Jumat, 01 Juni 2012

Penegakan Hak Konstitusional Perempuan

A.Hak Asasi Manusia dan Hak Konstitusional Warga Negara
    Hak asasi manusia merupakan materi inti dari naskah undang-undang dasar negara modern. Demikian pula hak dan kewajiban warga negara merupakan salah satu materi pokok yang diatur dalam setiap undang-undang dasar sesuai dengan paham konstitusi negara modern. Hak Asasi Manusia (HAM), adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintahan, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.  Artinya, yang dimaksud sebagai hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi manusia. Karena itu, hak asasi manusia (the human rights) itu berbeda dari pengertian hak warga negara (the citizen’s rights). Namun, karena hak asasi manusia itu telah tercantum dengan tegas dalam UUD 1945, sehingga juga telah resmi menjadi hak konstitusional setiap warga negara atau “constitutional rights”.
    Namun tetap harus dipahami bahwa tidak semua “constitutional rights” identik dengan “human rights”. Terdapat hak konstitusional warga negara (the citizen’s constitutional rights) yang bukan atau tidak termasuk ke dalam pengertian hak asasi manusia (human rights). Misalnya, hak setiap warga negara untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan adalah “the citizen’s constitutional rights”, tetapi tidak berlaku bagi setiap orang yang bukan warga negara. Karena itu, tidak semua “the citizen’s rights” adalah “the human rights”, akan tetapi dapat dikatakan bahwa semua “the human rights” juga adalah sekaligus merupakan “the citizen’s rights”.
    Di negara lain, pembedaan semacam ini juga biasa dilakukan. Di Amerika Serikat, misalnya, biasa dibedakan antara “the people’s rights” versus “the citrizen’s rights”. Umpamanya diajukan pertanyaan, “Are you one of the People of the United States as contemplated by the U.S. Constitution Preambule? Or, are you one of the citizens of the United States as defined in the U.S. Constitution 14th Amendment?”. “If you are one the People of the United States, then all ten amendments are available to you. You have natural rights. If you are a citizen of the United States, then you have civil rights (properly called civil privilages)”.  “Civil privileges” itu tidak dimiliki oleh penduduk Amerika Serikat yang bukan warga negara Amerika Serikat.
    Pengertian-pengertian mengenai hak warga negara juga harus dibedakan pula antara hak konstitusional dan hak legal. Hak konstitutional (constitutional rights) adalah hak-hak yang dijamin di dalam dan oleh UUD 1945, sedangkan hak-hak hukum (legal rights) timbul berdasarkan jaminan undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya (subordinate legislations). Setelah ketentuan tentang hak asasi manusia diadopsikan secara lengkap dalam UUD 1945,  pengertian tentang hak asasi manusia dan hak asasi warga negara dapat dikaitkan dengan pengertian “constitutional rights” yang dijamin dalam UUD 1945. Selain itu, setiap warga negara Indonesia memiliki juga hak-hak hukum yang lebih rinci dan operasional yang diatur dengan undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lain yang lebih rendah. Hak-hak yang lahir dari peraturan di luar undang-undang dasar disebut hak-hak hukum (legal rights), bukan hak konstitusional (constitutional rights).

B. Hak Asasi Manusia Dalam UUD 1945
    UUD 1945 sebelum diadakan perubahan tidak mencantumkan adanya jaminan hak asasi manusia secara jelas kepada warga negara Indonesia. Kalaupun dapat dianggap bahwa UUD 1945 juga mengandung beberapa aspek ide tentang HAM, maka yang dirumuskan dalam UUD 1945 sangatlah sumir sifatnya . Dengan disahkannya Perubahan Kedua UUD 1945 pada 2000, materi baru ketentuan dasar tentang hak asasi manusia itu dalam UUD 1945 dimuat dalam Pasal 28A ayat (1) sampai dengan Pasal 28J ayat (2).
    Selain itu, dalam rumusan UUD 1945 pasca perubahan, terdapat pula pasal-pasal selain Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J yang juga memuat ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia. Di samping Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J tersebut, ketentuan yang dapat dikaitkan dengan hak asasi manusia terdapat pula dalam Pasal 29 ayat (2), yaitu “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal inilah yang sebenarnya paling memenuhi syarat untuk disebut sebagai pasal hak asasi manusia yang diwarisi dari naskah asli UUD 1945. Sedangkan ketentuan lainnya, seperti Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), serta Pasal 32 ayat (1) dan (2) bukanlah ketentuan mengenai jaminan hak asasi manusia dalam arti yang sebenarnya, melainkan hanya berkaitan dengan pengertian hak warga negara.
    Ketentuan-ketentuan UUD 1945 tersebut di atas, jika dirinci butir demi butir, dapat mencakup prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:
1)    Setiap orang berhak untuk hidup;
2)    Setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya;
3)    Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah;
4)    Setiap orang berhak melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
5)    Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang;
6)    Setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
7)    Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia; 
8)    Setiap orang berhak mendapat pendidikan, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
9)    Setiap orang berhak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia;
10)    Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya;
11)    Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
12)    Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
13)    Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan; 
14)    Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;
15)    Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;
16)    Setiap orang bebas memilih pendidikan dan pengajaran;
17)    Setiap orang bebas memilih pekerjaan;
18)    Setiap orang bebas memilih kewarganegaraan;
19)    Setiap orang berhak memilih tempat tinggal di wilayah negara, meninggalkannya, dan berhak kembali lagi ke negara;
20)    Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya;
21)    Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat (freedom of association) ; 
22)    Setiap orang berhak atas kebebasan berkumpul (freedom of peaceful assembly);
23)    Setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat  (freedom of expression);
24)    Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi guna mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya;
25)    Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia;
26)    Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya;
27)    Setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi;
28)    Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan  atau perlakuan lain yang merendahkan derajat martabat manusia;
29)    Setiap orang berhak memperoleh suaka politik dari negara lain;
30)    Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin;
31)    Setiap orang berhak bertempat tinggal (yang baik dan sehat);
32)    Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat;
33)    Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan;
34)    Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan;
35)    Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat;
36)    Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun;
37)    Setiap orang berhak  untuk hidup; 
38)    Setiap orang berhak untuk tidak disiksa;
39)    Setiap orang berhak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
40)    Setiap berhak atas kebebasan beragama; 
41)    Setiap orang berhak untuk tidak diperbudak; 
42)    Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;
43)    Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. 
44)    Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun;
45)    Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Berbagai ketentuan yang telah dituangkan dalam rumusan UUD 1945 itu merupakan substansi yang berasal dari rumusan Ketetapan No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya menjelma menjadi materi UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Karena itu, untuk memahami substansi yang diatur itu dalam UUD 1945, kedua instrumen yang terkait ini, yaitu TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan UU No. 39 Tahun 1999 perlu dipelajari juga dengan seksama.  Selain itu, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia yang telah diadopsikan ke dalam sistem hukum nasional Indonesia berasal dari konvensi-konvensi internasional, dan deklarasi universal hak asasi manusia, serta berbagai instrumen hukum Internasional lainnya.
Menjadi Warga Negara Republik Indonesia menurut UUD 1945 mempunyai arti yang sangat penting dalam sistem hukum dan pemerintahan. UUD 1945 mengakui dan menghormati hak asasi setiap individu manusia yang berada dalam wilayah negara Republik Indonesia. Penduduk Indonesia, apakah berstatus sebagai Warga Negara Indonesia atau bukan diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak dasar yang diakui universal. Prinsip-prinsip hak asasi manusia itu berlaku pula bagi setiap individu Warga Negara Indonesia. Bahkan, di samping jaminan hak asasi manusia itu, setiap Warga Negara Indonesia juga diberikan jaminan hak konstitusional dalam UUD 1945.
    Di samping itu, terdapat pula ketentuan mengenai jaminan hak asasi manusia tertentu yang hanya berlaku bagi Warga Negara atau setidaknya bagi Warga Negara diberikan kekhususan atau keutamaan-keutamaan tertentu, misalnya, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan dan lain-lain yang secara bertimbal balik menimbulkan kewajiban bagi negara untuk memenuhi hak-hak itu khusus bagi Warga Negara Indonesia. Artinya, negara Republik Indonesia tidak wajib memenuhi tuntutan warga negara asing untuk bekerja di Indonesia ataupun untuk mendapatkan pendidikan gratis di Indonesia. Hak-hak tertentu yang dapat dikategorikan sebagai hak konstitusional Warga Negara adalah:
a.    Hak asasi manusia tertentu yang hanya berlaku sebagai hak konstitusional bagi Warga Negara Indonesia saja. Misalnya, (i) hak yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap Warga Negara berhak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan”; (ii) Pasal 27 ayat (2) menyatakan, “Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; (iii) Pasal 27 ayat (3) berbunyi, “Setiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara”; (iv) Pasal 30 ayat (1) berbunyi, “Tiap-tiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”; (v) Pasal 31 ayat (1) menentukan, “Setiap Warga Negara berhak mendapat pendidikan”; Ketentuan-ketentuan tersebut khusus berlaku bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi setiap orang yang berada di Indonesia;
b.    Hak asasi manusia tertentu yang meskipun berlaku bagi setiap orang, akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, khusus bagi Warga Negara Indonesia berlaku keutamaan-keutamaan tertentu. Misalnya, (i) Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Setiap orang berhak untuk bekerja.....”. Namun, negara dapat membatasi hak orang asing untuk bekerja di Indonesia. Misalnya, turis asing dilarang memanfaatkan visa kunjungan untuk mendapatkan penghidupan atau imbalan dengan cara bekerja di Indonesia selama masa kunjungannya itu; (ii) Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Meskipun ketentuan ini bersifat universal, tetapi dalam implementasinya, orang berkewarganegaraan asing dan Warga Negara Indonesia tidak mungkin dipersamakan haknya. Orang asing tidak berhak ikut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, misalnya, secara bebas menyatakan pendapat yang dapat menimbulkan ketegangan sosial tertentu. Demikian pula orang warga negara asing tidak berhak mendirikan partai politik di Indonesia untuk tujuan mempengaruhi kebijakan politik Indonesia. (iii) Pasal 28H ayat (2) menyatakan, “Setiap orang berhak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Hal ini juga diutamakan bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi orang asing yang merupakan tanggungjawab negara asalnya sendiri untuk memberikan perlakuan khusus itu;
c.    Hak Warga Negara untuk menduduki jabatan-jabatan yang diisi melalui prosedur pemilihan (elected officials), seperti Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Walikota, Kepala Desa, Hakim Konstitusi, Hakim Agung, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, anggota lembaga permusyawaratan dan perwakilan yaitu MPR, DPR, DPD dan DPRD, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Dewan Gubernur Bank Indonesia, anggota komisi-komisi negara, dan jabatan-jabatan lain yang diisi melalui prosedur pemilihan, baik secara langsung atau secara tidak langsung oleh rakyat.
d.    Hak Warga Negara untuk diangkat dalam jabatan-jabatan tertentu (appointed officials), seperti tentara nasional Indonesia, polisi negara, jaksa, pegawai negeri sipil beserta jabatan-jabatan struktural dan fungsional dalam lingkungan kepegawaian, dan jabatan-jabatan lain yang diisi melalui pemilihan.
Setiap jabatan (office, ambt, functie) mengandung hak dan kewajiban serta tugas dan wewenang yang bersifat melekat dan yang pelaksanaan atau perwujudannya terkait erat dengan pejabatnya masing-masing (official, ambtsdrager, fungsionaris) sebagai subyek yang menjalankan jabatan tersebut. Semua jabatan yang dimaksud di atas hanya berlaku dan hanya dapat diduduki oleh warga negara Indonesia sendiri sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3). Pasal 27 ayat (1) menentukan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 28D ayat (3) berbunyi, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Dengan demikian, setiap warga negara Indonesia berhak untuk menduduki jabatan-jabatan kenegaraan dan pemerintahan Republik Indonesia seperti yang dimaksud di atas. Penekanan status sebagai warga negara ini penting untuk menjamin bahwa jabatan-jabatan tersebut tidak akan diisi oleh orang-orang yang bukan warga negara Indonesia. Dalam hal warga negara Indonesia dimaksud telah menduduki jabatan-jabatan sebagaimana dimaksud di atas, maka hak dan kewajibannya sebagai manusia dan sebagai warga negara terkait erat dengan tugas dan kewenangan jabatan yang dipegangnya. Kebebasan yang dimiliki oleh setiap orang dibatasi oleh status seseorang sebagai warga negara, dan kebebasan setiap warga negara dibatasi pula oleh jabatan kenegaraan yang dipegang oleh warga negara yang bersangkutan. Karena itu, setiap warga negara yang memegang jabatan kenegaraan wajib tunduk kepada pembatasan yang ditentukan berdasarkan tugas dan kewenangan jabatannya masing-masing;
Hak untuk melakukan upaya hukum dalam melawan atau menggugat keputusan-keputusan negara yang dinilai merugikan hak konstitusional Warga Negara yang bersangkutan. Upaya hukum dimaksud dapat dilakukan (i) terhadap keputusan administrasi negara (beschikkingsdaad van de administratie), (ii) terhadap ketentuan pengaturan (regelensdaad van staat orgaan), baik materiil maupun formil, dengan cara melakukan substantive judicial review (materiile toetsing) atau procedural judicial review (formele toestsing), atau pun (iii) terhadap putusan hakim (vonnis) dengan cara mengajukannya ke lembaga pengadilan yang lebih tinggi, yaitu tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali . Misalnya, Pasal 51 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi  menentukan bahwa perorangan Warga Negara Indonesia dapat menjadi pemohon perkara pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, yaitu dalam hal yang bersangkutan menganggap bahwa hak (dan/atau kewenangan) konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sesuatu undang-undang yang dimohonkan pengujiannya.

C. Hak Konstitusional Perempuan Di Dalam Hukum Nasional dan Internasional
Hak konstitusional warga negara yang meliputi hak asasi manusia dan hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 berlaku bagi setiap warga negara Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari perumusannya yang menggunakan frasa “setiap orang”, “segala warga negara”,  “tiap-tiap warga negara”, atau ‘setiap warga negara”, yang menunjukkan bahwa hak konstitusional dimiliki oleh setiap individu warga negara tanpa pembedaan, baik berdasarkan suku, agama, keyakinan politik, ataupun jenis kelamin. Hak-hak tersebut diakui dan dijamin untuk setiap warga negara bagi laki-laki maupun perempuan. Bahkan UUD 1945 juga menegaskan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Dengan demikian, jika terdapat ketentuan atau tindakan yang mendiskriminasikan warga negara tertentu, hal itu melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara, dan dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu setiap perempuan Warga Negara Indonesia memiliki hak konstitusional sama dengan Warga Negara Indonesia yang laki-laki. Perempuan juga memiliki hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan karena statusnya sebagai perempuan, ataupun atas dasar perbedaan lainnya. Semua hak konstitusional yang telah diuraikan sebelumnya merupakan hak konstitusional setiap perempuan Warga Negara Indonesia.
Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara harus dilakukan sesuai dengan kondisi warga negara yang beragam. Realitas masyarakat Indonesia menunjukkan adanya perbedaan kemampuan untuk mengakses perlindungan dan pemenuhan hak yang diberikan oleh negara. Perbedaan kemampuan tersebut bukan atas kehendak sendiri kelompok tertentu, tetapi karena struktur sosial yang berkembang cenderung meminggirkannya. Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang dilakukan tanpa memperhatikan adanya perbedaan tersebut, dengan sendirinya akan mempertahankan bahkan memperjauh perbedaan tersebut. Agar setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama dan dapat memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang sama pula, diperlukan perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu. Hanya dengan perlakuan khusus tersebut, dapat dicapai persamaan perlakuan dalam perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional setiap warga negara.  Oleh karena itu, UUD 1945 menjamin perlakuan khusus tersebut sebagai hak untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama. Pasal 28H Ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Salah satu kelompok warga negara yang karena kondisinya membutuhkan perlakuan khusus adalah perempuan. Tanpa adanya perlakuan khusus, perempuan tidak akan dapat mengakses perlindungan dan pemenuhan hak konstitusionalnya karena perbedaan dan pembedaan yang dihasilkan dan dilanggengkan oleh struktur masyarakat patriarkis.Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional tanpa adanya perlakuan khusus, justru akan cenderung mempertahankan diskriminasi terhadap perempuan dan tidak mampu mencapai keadilan.
Pentingnya menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan melalui perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan juga telah diakui secara internasional. Bahkan hal itu diwujudkan dalam konvensi tersendiri, yaitu Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW). Penghapusan diskriminasi melalui pemajuan perempuan menuju kesetaraan jender bahkan dirumuskan sebagai kebutuhan dasar pemajuan hak asasi manusia dalam Millenium Development Goals (MDGs). Hal itu diwujudkan dalam delapan area upaya pencapaian MDGs yang diantaranya adalah; mempromosikan kesetaraan jender dan meningkatkan keberdayaan perempuan, dan meningkatkan kesehatan ibu. Rumusan tersebut didasari oleh kenyataan bahwa perempuan mewakili setengah dari jumlah penduduk dunia serta sekitar 70% penduduk miskin dunia adalah perempuan.
    Pada tingkat nasional upaya menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan mencapai kesetaraan gender telah dilakukan walaupun pada tingkat pelaksanaan masih membutuhkan kerja keras dan perhatian serius. CEDAW telah diratifikasi sejak 1984 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 . Upaya memberikan perlakuan khusus untuk mencapai persamaan jender juga telah dilakukan melalui beberapa peraturan perundang-undangan, baik berupa prinsip-prinsip umum , maupun dengan menentukan kuota tertentu . Bahkan, untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan yang sering menjadi korban kekerasan, telah dibentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga .

D. Studi Kasus Pelanggaran Hak Konstitusional Perempuan di Papua
    Konflik selalu punya arti dan dampak tersendiri bagi perempuan. Mereka kerap menjadi target kekerasan dengan pola berbeda. Bentuk penyasaran terhadap perempuan, sebagai target penaklukan, secara simbolik untuk menjatuhkan mental lawan, maupun berbagai bentuk kekerasan yang berulang, sistemik dan sistematis.
    Pemantauan terkait kekerasan dan pelanggaran HAM yang pernah dilakukan Komnas Perempuan terjadi di berbagai konteks konflik di berbagai wilayah di Indonesia seperti Aceh, Timor Leste, Ambon, Poso, Mei 1998, Peristiwa 65, dan konflik agama terkait Ahmadiyah menemukan bahwa pola – pola kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi dalam kurun waktu 45 tahun (1965 s/d 2010) terus berulang dan hanya berbeda konteks, gradasi, kuantitas maupun kualitas.
    Beberapa temuan yang disimpulkan oleh Komnas Perempuan terkait pelanggaran HAM di Papua terhadap kaum perempuan perlu dikemukakan terlebih dahulu sebagai titik awal kelanjutan pelanggaran hak konstitusionalnya. Kekerasan dan eksploitasi seksual sebagai alat perang dan simbol penaklukan sangat berbasis pada kebutuhan perempuan, baik berupa kekerasan seksual seperti tubuh perempuan sebagai alat teror, perkosaan, eksploitasi seksual maupun perbudakan seksual. Penyerangan terhadap tubuh perempuan dari komunitas lawan dianggap sebagai bagian dari penundukan dan penghancuran psikososial komunitas lawan. Hal ini terkait erat dengan pandangan masyarakata yang memandang simbol kemurnian / kesucian komunitas yang dibebankan kepada perempuan. Penghancuran martabat perempuan merupakan penghancuran pada komunitas dan penghancuran mother of life. Berdasarkan dokumentasi dalam laporan Stop Sudah , para pelaku yang teridentifikasi adalah kelompok musuh / berseberangan, orang yang tak dikenal maupun aparat keamanan yang bertugas melakukan operasi keamanan di wilayah – wilayah yang dianggap sebagai basis OPM.
    Perempuan Papua berada di tengah tarikan peran – peran yang dilematis, apalagi dalam situasi konflik. Sebagai anggota keluarga (isteri, anak perempuan, saudara perempuan) dari pihak yang dianggap musuh atau pemberontak menjadi sasaran penyiksaan termasuk penyiksaan seksual dengan tujuan mendapatkan informasi keberadaan musuh, sebagai hukuman karena dianggap mendukung musuh / pemberontak dan sekaligus sebagai bentuk intimidasi kepada pihak musuh / pemberontak. Perempuan sebagai anggota komunitas musuh / kelompok yang berseberangan juga menjadi target kekerasan : pembunuhan, penyiksaan termasuk penyiksaan seksual, perkosaan, penelanjangan paksan maupun pelecehan seksual. Hal ini dilakukan sebagai bentuk intimidasi dan memberikan efek jera kepada musuh, bukti penaklukan, bentuk hukuman dan juga untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaan kelompok musuh.
    Perempuan muda/remaja menjadi target utama paling rentan, selain melalui bentuk – bentuk di atas, di beberapa wilayah konflik potensial digunakan oleh komunitas maupun keluarganya sebagai penyelamat mereka karena ketidakberdayaan menghadapi ancaman keamanan. Misalnya pembiaran berrelasi dengan aparat atau pihak lawan untuk alasan keamanan, atau tonggak pencari nafkah ketika sumberdaya ekonomi sudah tidak ada yang bisa diandalkan. Selain itu, kelompok perempuan pembela HAM juga sering menjadi sasaran dalam situasi konflik maupun post konflik, baik stigmatissasi berbagai isu moralitas, dianggap menyalahi kelaziman sosial karena pilihan kehidupan pribadinya, tuduhan mata – mata atau separatis, hingga ancaman teror mental dan fisik, bahkan penghilangan nyawa.
    Berbagai temuan di atas sangat mungkin disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut  :
1.    Pendekatan keamanan oleh negara yang mengedepankan kekerasan untuk melumpuhkan lawan, tanpa ada sanksi yang serius bagi pelaku pelanggaran HAM, termasuk pelakuk kekerasan terhadap perempuan. Pendekatan keamanan ini mendominasi masa – masa awal sejarah Papua menjadi bagian dari Indonesia dan terus berlangsung sampai sekarang. Operasi pencarian OPM menjadi alasan yang membenarkan segala cara baik operasi militer maupun polisi. Secara khusus, perempuan menjadi rentan terhadap kekerasan seksual pada saat para istri digunakan sebagai umpan untuk mencari OPM. Tidak adanya sanksi terhadap aparat keamanan yang melakukan kekerasan terhadap perempuan memperkuat siklus impunitas.
2.    Diskriminasi terhadap perempuan dalam adat dan budaya di Papua mengakibatkan pembiaran kekerasan terhadap perempuan. Perubahan struktur budaya masyarakat asli Papua mengalami pergeseran yang dahsyat dalam waktu yang relatif pendek. Hal paling sederhana adalah kedudukan perempuan dalam lembaga adat yang masih timpang, dimana perempuan tidak mendapatkan kesempatan untuk mengambil keputusan secara penuh dalam berbagai lembaga adat terkait persoalan – persoalan mendasar yang justru harus melibatkan peran perempuan di dalamnya seperti masalah keluarga dan anak.
3.    Konflik sumber daya alam, konflik politik, dan perebutan kekuasaan dari tingkat lokal sampai dengan nasional, menumbuhkan situasi dimana kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan negara maupun kekerasan dalam keluarga semakin meningkat. Kekayaan alam Papua merupakan sumber konflik yang sangat rentan dalam perebutan kedaulatan politik serta kepentingan lokal, nasional, dan internasional. Berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di wilayah – wilayah pertambangan, perkebunan kelapa sawit, pertukaran kayu gaharu, industri ikan, dan lokalisasi serta industri hiburan di kota – kota dan daerah – daerah eksploitasi sumber daya alam.
4.    Tidak adanya respon dan kemauan politik yang serius dari pihak Pemerintah untuk mengatasi konflik di Papua secara umum, atau masalah kekerasan terhadap perempuan secara khusus. Kewajiban negara dalam melindungi warga negaranya mengkristalkan persoalan pengabaian terhadap kekerasan yang terjadi di Papua khususnya perempuan. Proses yang terjadi di tingkat lanjut hanyalah sampai pada proses investigasi meskipun telah ada aturan nasional yang mengatur secara tegas. Impunitas dan pembiaran kekerasan dalam keluarga berimbas pada kekerasan negara, dan sebaliknya.
5.    Trauma dan ketidakberdayaan berlapis yang tumpang tindih tidak tertangani sehingga menimbulkan siklus viktimisasi. Penderitaan mental, ketakutan, rasa tidak berdaya, tidak percaya diri, depresi dan stres yang berkepanjangan telah dialami oleh perempuan dan anak – anak perempuan pada masa operasi keamanan, pada saat pecah kekerasan antar suku, maupun dalam situasi di mana terjadi kekerasan dalam keluarga. Akibat trauma yang berlapis ini, perempuan mengalami tekanan psiko-sosial yang membuatnya semakin kesulitan dari segi keberdayaan ekonomi, akses pada pendidikan dan informasi, dan semakin sulit mengambil keputusan – keputusan untuk dirinya sendiri.
E. Studi Kasus Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan Pengungsi Aceh, Nias, Yogyakarta, dan Porong Sidoarjo (Laporan Bersama Komnas Perempuan 2007) .
    Tsunami Aceh Desember 2004, gempa Nias Maret 2005, gempa Yogyakarta Mei 2006, dan lumpur Porong-Sidoarjo Mei 2006 menyisakan berbagai kisah pelanggaran terhadap hak konstitusional perempuan terkait dengan pengungsi – pengungsi yang menyelamatkan diri dari kondisi alam ini. Diskriminasi terutama terjadi terhadap perempuan tua, janda, dan perempuan yang berstatus bukan istri pertama. Rasa aman dan nyaman perempuan untuk beraktivitas dan bepergian sendiri juga menjadi perhatian besar ketika terjadi pelanggaran. Bagi perempuan muda, rasa aman terkait dengan kondisi infrastruktur seperti kualitas barak, lokasi MCK dan fasilitas penerangan. Kondisi kemiskinan dan tidak adanya penegakan hukum terhadap berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan juga ikut meningkatkan kerentanan perempuan terhadap kekerasan.
    Di Aceh dan Nias, ditemukan masalah – masalah sebagai berikut :
1.    Tidak adanya bantuan untuk ibu hamil dan melahirkan.
2.    Air bersih sulit diperoleh di Barak Lhong Raya
3.    Bantuan pokok sudah hampir tidak ada sementara pengungsi masih bertahan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka akibat hilangnya mata pencaharian pasca tsunami.
4.    Kondisi kamar barak yang papannya rapuh, dinding berlubang, dan tidak tertutup sampai ke atas serta kondisi MCK yang tidak tertutup menyebabkan perempuan merasa tidak aman setiap kali menggunakan fasilitas tersebut terutama bila sendirian.
5.    Kecuali di Barak Musa, perempuan pengungsi di Barak Lhong Raya dan Alue Naga hampir tidak pernah memiliki akses untuk terlibat dalam perumusan keputusan dan pelaksanaan kegiatan di tempat pengungsian mereka.
6.    Bantuan sembako dan keuangan diputus oleh WFP dan Pemerintah pada akhir Desember 2006.
7.    Kasus – kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi sejak November 2006 – Februari 2007 di Nias.
8.    Kasus trafficking pada sepanjang 2006 – 2007 yang tercatat lebih dari 60 kasus berdasarkan penelitian PKPA.

    Di Yogyakarta dan Porong Sidoarjo ditemukan masalah – masalah pengungsi sebagai berikut :
1.    Bantuan hidup diterima hanya pada awal bencana, selanjutnya berusaha sendiri.
2.    Akses pada layanan dasar seperti MCK tidak terpenuhi secara merata, bahkan pada keluarga miskin tidak tersentuh sama sekali.
3.    Pengambilan keputusan hanya diambil oleh para perangkat desa yang didominasi oleh laki – laki.
4.    Diskriminasi hasil – hasil keputusan yang diambil di dalam rapat – rapat karena anggapan perempuan tidak layak untuk ditampilkan.
5.    Tidak ada layanan pendidikan untuk perempuan dan anak – anak di lokasi pengungsian.
6.    Tidak tersedia layanan pengembangan ekonomi sebagai usaha di tempat pengungsian sebagai pengganti pekerjaan yang telah ditinggalkan semasa pengungsian.
7.    Diskriminasi terhadap perempuan pada akses terhadap layanan – layanan tertentu seperti layanan dasar, kegiatan di pengungsian, informasi, terutama untuk mereka yang perkawinannya tidak jelas.

    Beberapa kasus pelanggaran HAM dan diskriminasi terhadap kaum perempuan ini sangat terkait dengan status dan konstruksi sosial yang dibangun oleh masyarakat terhadap perempuan itu sendiri. Selain itu, penanganan yang tidak efektif dalam kasus pengungsian akibat bencana alam ini erat kaitannya dengan upaya pelepasan tanggung jawab perusahaan dan pemerintah serta beberapa pihak terkait dalam permasalahan kejahatan lingkungan maupun pengelolaan keuangan penanganan korban bencana. Tanggung jawab seharusnya tidak hanya berada di tangan perusahaan ataupun pihak – pihak luar, tetapi juga di pihak pemerintah sebagai pengurus negara yang telah memberikan izin bagi perusahaan untuk melakukan eksplorasi di wilayah bencana (Porong Sidoarjo), ataupun kepada pihak luar untuk ikut campur dalam masalah kepengungsian (Aceh, Nias, Yogyakarta). Dalam penanganan, kedua belah pihak ini terkesan saling melempar tanggung jawab, dan masayarakat pengungsi kena dampak pelemparan tanggung jawab ini.
    Dalam kondisi yang sangat sulit, perempuan mempunyai kekuatan untuk mengenlola masalah yang dihadapi, berbeda dari prasangka umum, perempuan tidak bersikap emosional dalam menghadapi kondisi yang ada. Perempuan banyak berpikir tentang persoalan yang sering dilupakan oleh kaum laki – laki misalnya untuk menghadapi anak – anaknya yang masih kecil, belum paham kondisi sesungguhnya, dan mengalami trauma. Dalam menghadapi kesulitan ekonommi akibat kehilangan segalanya, perempuan masih mempunyai kekuatan untuk menginisiasi usaha ekonomi untuk menambah ekonomi keluarga, mengupayakan sendiri informasi yang mereka butuhkan, dan memenuhi kebutuhan – kebutuhan dasar untuk bertahan hidup.

F. Tantangan dan Upaya Penegakan Hak Konstitusional Perempuan
Tantangan penegakan hak konstitusional warga negara dengan sendirinya juga merupakan tantangan bagi penegakan hak konstitusional perempuan. Di sisi lain, karena perbedaan yang ada dalam  masyarakat, tantangan penegakan hak konstitusional bagi perempuan tentunya lebih berat dan memerlukan perlakuan-perlakuan khusus. Penegakan hak konstitusional perempuan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 tentu harus melibatkan semua komponen bangsa, baik lembaga dan pejabat negara maupun warga negara, baik perempuan maupun laki-laki. Ketentuan konstitusional tersebut diwujudkan melalui seperangkat aturan hukum dan kebijakan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Oleh karena itu upaya penegakan hak konstitusional harus dilakukan baik dari sisi aturan, struktur, maupun dari sisi budaya.
Disamping ketentuan-ketentuan hukum yang telah memberikan perlakuan khusus terhadap perermpuan, atau paling tidak telah disusun dengan perspektif kesetaraan jender, tentu masih terdapat peraturan perundang-undangan yang dirasakan bersifat diskriminatif terhadap perempuan, atau paling tidak belum sensitif jender. Apalagi hingga saat ini masih banyak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibuat pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Untuk itu upaya identifikasi dan inventarisasi harus dilakukan yang diikuti dengan penataan dan penyesuaian berdasarkan UUD 1945 pasca perubahan. Hal itu dapat dilakukan dengan mendorong dilakukannya legislatif review kepada pembentuk undang-undang atau melalui mekanisme judicial review. Terkait dengan wewenang Mahkamah Konstitusi, setiap perempuan Warga Negara Indonesia yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh suatu undang-undang, atau tidak mendapat perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, tentu dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang tersebut terhadap Undang-Undang Dasar kepada Mahkamah Konstitusi.
Selain dari sisi substansi aturan hukum, tantangan yang dihadapi adalah dari struktur penegakan hukum dan konstitusi. Untuk mencapai perimbangan keanggotaan DPR dan DPRD misalnya, tidak cukup dengan menentukan kuota calon perempuan sebanyak 30% yang diajukan oleh setiap partai politik. Ketentuan tentang kuota itu tentu harus menjamin bahwa tingkat keterwakilan perempuan di parlemen akan semakin besar. Padahal, saat ini jumlah anggota DPR perempuan baru 11 persen, di DPD 21%. Bahkan jumlah pegawai negeri sipil eselon I yang perempuan hanya 12,8%. Untuk itu, perlu dirumuskan mekanisme yang dapat menjamin keterwakilan perempuan di sektor publik semakin meningkat di masa mendatang.
Tantangan di bidang struktur penegak hukum juga diperlukan misalnya terkait dengan proses hukum dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebagai korban atau saksi, perempuan memerlukan kondisi tertentu untuk dapat memberikan keterangan dengan bebas tanpa tekanan. Untuk itu proses perkara, mulai dari penyelidikan hingga persidangan perlu memperhatikan kondisi tertentu yang dialami perempuan. Misalnya saat dilakukan penyidikan, perempuan korban kekerasan tentu membutuhkan ruang tersendiri, apalagi jika kekerasan tersebut adalah kekerasan seksual yang tidak semua perempuan mampu menyampaikannya secara terbuka. Demikian pula terkait dengan persidangan yang membutuhkan jaminan keamanan baik fisik maupun psikis.
Yang tidak kalah pentingnya dalam upaya menegakan hak konstitusional perempuan, adalah menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi terutama yang terkait dengan hak konstitusional perempuan. Hal ini semakin penting karena kendala yang dihadapi selama ini memiliki akar budaya dalam masyarakat Indonesia. Akar budaya tersebut melahirkan dua hambatan, pertama, adalah dari sisi perempuan itu sendiri; dan kedua, dari masyarakat secara umum. Walaupun telah terdapat ketentuan yang mengharuskan mempertimbangkan prinsip kesetaraan jender dalam pimpinan partai politik misalnya, namun hal itu sulit dipenuhi salah satunya karena sedikitnya perempuan yang aktif di dunia politik. Demikian pula dengan pemenuhan kuota 30% dalam pencalonan anggota DPR dan DPRD oleh partai politik. Sebaliknya, sering pula terjadi, seorang perempuan yang layak dipilih atau diangkat untuk jabatan tertentu, namun tidak dipilih atau diangkat karena dinilai perempuan mempunyai kelemahan tertentu dibanding laki-laki.
Hal itu menunjukkan bahwa adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan hak konstitusional perempuan tidak cukup untuk memastikan tegaknya hak konstitusional tersebut. Peraturan perundang-undangan harus diikuti dengan adanya penegakan hukum yang sensitif jender serta yang tidak kalah pentinganya adalah perubahan budaya yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Untuk mengubah nilai budaya tertentu bukanlah hal yang mudah, bahkan tidak dapat dilakukan dengan paksaan hukum. Cara yang lebih tepat adalah dengan merevitalisasi nilai budaya setempat merefleksikan pengakuan terhadap hak-hak perempuan sehingga dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.



















DAFTAR PUSTAKA
--------------------------. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
--------------------------. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi. Jakarta: BIP Gramedia, 2006.
Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Asshiddiqie, Jimly, Hak Konstitusional Perempuan Dan Tantangan Penegakannya, Jakarta, 27 Nopember 2007, didownload dari www.jimly.com
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Baehr, Peter and Pieter van Dijk dkk. (eds). Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Chemerinsky, Erwin. Constitutional Law: Principles and Policies New York: Aspen Law and Business, 1997.
Ferejohn, John, Jack N. Rakove, and Jonathan Riley (eds). Constitutional Culture and Democratic Rule. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.
Kelompok Kerja Pendokumentasian Kekerasan dan Pelanggaran HAM Perempuan Papua, “STOP SUDAH”, 2009-2010.
Laporan Bersama Komnas Perempuan Kondisi Pemenuhan HAM Perempuan Pengungsi Aceh, Nias, Jogjakarta, Porong, “Perempuan Pengungsi: Bertahan Dan Berjuang Dalam Keterbatasan”, 2007
Senate Document 99-16, “The Constitution of the United States of America, Analysis and Interpretation”. http://www.chrononhotonthologos.com/lawnotes/ pvcright.htm.

Tidak ada komentar: