Jumat, 01 Juni 2012

Review Jurnal, Craig Forcese : Perlindungan Diplomatik Terhadap Kewarganegaraan Ganda Dalam Perang Melawan Teror

PERLINDUNGAN DIPLOMATIK TERHADAP KEWARGANEGARAAN GANDA DALAM
'PERANG MELAWAN TEROR'
Craig Forcese
Abstrak
    Secara terselubung, “pemindahan secara tidak wajar” terhadap tersangka teroris dari negara-negara barat untuk di ineterogasi di negara yang menggunakan kekerasan saat ini telah menjadi cirikhas. “extraordinary renditions” tersebut bisa jadi melanggar kewajiban HAM. Mereka juga terlibat pelanggran terhadap sebuah prinsip dalam hukum internasional yang sering dilupakan: perlindungan diplomatik terhadap warga negara. Dalam sebuah dokumentasi, seseorang yang diserahkan Amerika Serikat dan disiksa di Syiria merupakan individu yang berkewarganegaraan ganda yaitu syiria dan Kanada. Pertanyaan yang muncul dalam artikel ini apakah keberadaan hukum internasional negara-negara seperti Kanada juga memperluas perlindungan diplomatik kepada warganegara mereka yang berkewarganegaraan ganda. artikel ini menyimpulkan bahwa aturan lama menyangkut perlindungan dalam kontes antara dua negara terhadap kewarganegaraan tidak lagi menjadi bagian dari hukum internasional. Untuk ini dan alasan lainnya, kewarganegaraan ganda bukan merupakan bagian hukum perlindungan diplomatik terhadap seseorang yang dipindahkan tidak wajar (extraordianary renditions)

Pendahuluan
    Pada bulan Maret 2005, Human Rights Watch mengatakan kepada wartawan yang berkumpul pada konferensi pers di ibukota Hill bahwa pengiriman orang untuk penyiksaan adalah tindakan yang sama halnya terlibat dalam penyiksaan secara langsung '.Organisasi ini mengomentari tentang' extraordinary renditions', sebuah praktek kelompok hak asasi manusia telah didefinisikan sebagai' pengiriman individu, dengan keterlibatan Amerika Serikat atau agen, pada sebuah negara asing dalam keadaan yang membuatnya kemungkinan besar bahwa individu tersebut akan mengalami penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau tindakan merendahkan’. pemindahan ke negara-negara  yang mempraktekkan penyiksaan merupakan kebijakan pemerintah AS yang jelas, dan mungkin juga praktek tertentu negara-negara Barat lainnya.
    Dihadapan publik, para pejabat AS menyangkal bahwa penyiksaan adalah tujuan dari pemindahan, merujuk pada upaya jaminan diplomatik Amerika Serikat dari negara-negara yang melakukan penyiksaan individu-individu. Akan tetapi secara tertutup, para pejabat AS mengakui bahwa ancaman penyiksaan memotivasi banyak pemindahan. Selain itu, organisasi hak asasi manusia dan kritikus lainnya melaporkan bahwa, setelah pemindahan mereka, setidaknya beberapa individu diserahkan telah disiksa untuk intelijensi dalam perang melawan teror.
    Untuk alasan ini, pemindahan jelaslah merupakan kekerasan terhadap norma-norma hak asasi manusia. Mereka mungkin juga mempertanyakan mengenai prinsip hukum internasional yang telah lama dipraktekan dan sering dilupakan yaitu perlindungan diplomatik terhadap warga negara. dimana salah satu negara menyerahkan seseorang ke  negara kedua yang merupakan warga negara dari negara ketiga, hukum internasional membolehkan negara ketiga untuk campur tangan, mencari bantuan untuk orang yang diserahkan tersebut. namun, Perlindungan diplomatik menjadi lebih sulit,  di mana individu yang diserahkan adalah seseorang yang berkewarganegaraan ganda dari kedua negara yaitu negara dimana ia dipindahkan sekaligus negara ketiga. Sebagai contoh, dalam kasus yang berhasil didokumentasikan terhadap seorang individu yang diserahkan oleh Amerika Serikat yaitu Maher Arar individu yang berkewarganegaraan tidak hanya negara yang dipindahkan (Syria), tetapi juga dari negara lain (Kanada). Keadaan seputar kasus Arar itu tetap menjadi beberapa bahan tuntutan hukum dan penyelidikan resmi Pemerintah Kanada. Bagaimanapun, hal tersebut akan muncul, intervensi pemerintah kanada yang tidak maksimal atas  kewarganegaraan ganda yang  dimiliki oleh Arar membuatnya sangat rentan terhadap perlakuan buruk.
    Artikel ini akan menjelaskan tentang tiga hal. Pertama tentang perlindungan oleh negara ketiga seperti kanada terhadap warga negara nya yang berkewarganegaraan ganda. Kedua fokus terhadap penjelasan mengenai perlindungan diplomati serta menyoroti bentuk dan syarat terkait perlindungan diplomatik. Untuk tujuan ini, ia mendefinisikan perlindungan diplomatik di arti luas, klasik, fokus pertama pada sejauh mana hukum internasional membolehkan dua  perlindungan konsuler yaitu terhadap warga negara dan juga 'dukungan terhadap klaim' dalam proses internasional. Ketiga menjelaskan dampak terhadap kewarganegaraan ganda dalam perlindungan diplomatik dari aspek pemindahan (rendition). Melihat  pada spesifikasi kasus Arar, ini berfokus pada seberapa jauh dimana satu negara atas kewarganegaraan ganda dimana Kanada dapat memperluas perlindungan diplomatik terhadap kedua negara selaku pihak ketiga yaitu Amerika Serikat dan Suriah. Artikel ini menyimpulkan bahwa kewarganegaraan ganda bukanlah penghalang untuk melakukan perlindungan diplomatik di dalam hukum internasional modern dan tidak ada alasan untuk tidak bertindak di mana warga negara yang berkewarganegaraan ganda akan dipindahkan untuk penyiksaan.
1. Pemindahan secara Tidak Wajar dan perang melawan teror
A. Latar Belakang   
    Pemindahan (rendition) merupakan  kepindahan rahasia tanpa ekstradisi formal atau deportasi bukanlah hal yang baru. Prosedur ini digunakan oleh para pejabat AS pre-9/11 untuk memindahkan orang  secepatnya ke luar negeri atas dugaan keterlibatannya dalam tindakan terroris. Sejak September 2011 diperkirakan sekitar 150 orang telah dipindahkan dari Amerika Serikat.
B. Kasus Arar
    Maher Arar (35 tahun) adalah warga negara Kanada, tinggal di Ottawa, Kanada. Pada usia 17 tahun, Arar beremigrasi dari Suriah, negara kelahirannya. Dia tetap seorang warga negara dari negara yang berdasarkan hukum kewarganegaraan Suriah.
    Ketika sedang beribur dengan luarga di Tunisia pada akhir September 2002, Arar menerima e-mail dari tempatnya bekerja suatu perusahaan konsultan tekhnologi di Massachusetts, memintanya untuk kembali ke Ottawa. Pada tanggal 25 September, Arar terbang ke Zurich dan kemudian lanjut ke Montreal, dengan transit di John F. Kennedy Airport, New York. Ketika debarkment di Amerika Serikat, Arar  memperlihatkan password Kanada yang sah  kepada inspektur imigrasi AS. Dia segera ditahan dan kemudian diinterogasi oleh pejabat pemerintahan AS selama hampir dua minggu. pejabat Amerika mencurigai  Arar memiliki hubungan dengan Al Qaida.
    Beberapa hari penahanannya, pihak berwenang AS diduga meminta Arar untuk secara sukarela dipulangkan ke Suriah. Dia menolak, dan bersikeras bahwa ia dikembalikan ke Kanada (rumahnya) atau Swiss (negara dari mana ia telah tiba di Amerika Serikat).
Akhirnya, pada tanggal 1 Oktober, pihak imigrasi Amerika mengatakan Arar 'dapat diterima'
ke Amerika Serikat dengan alasan mengakui dia memiliki hubungan dengan Al-Qaeda. Pada saat yang sama Arar dizinkan untuk menelpon. Dia menghubungi orang-orang tedekatnya (keluarganya) serta kantor konsuler kanada. Hingga artikel ini ditulis pemerintah kanada tidak menerima pemberitahuan resmi terkait penahanan Arar. Keesokan harinya, dua petugas imigrasi AS mengunjungi sel Arar, meminta bahwa ia menunjuk secara tertulis negara yang ingin ditinggali. Arar secara resmi memilih  Kanada. Namun demikian, pada pagi hari dari 8 Oktober, Arar diduga dirantai dan belenggu ke sebuah ruangan di mana dua pejabat AS imigrasi mengatakan kepadanya ia akan dikirim ke Suriah. Arar memprotes, tapi petugas diduga menyatakan bahwa pelayanan keimigrasian AS tidak diatur oleh Konvensi  Jenewa. Arar kemudian dibawa ke suriah, menurut pengakuannya selama perjalanan dia mengalami penyiksaan mental dan fisik.
    Pada tanggal 21 Oktober 2002, para pejabat Suriah mengkonfirmasikan kepada Kedutaan Besar Kanada di Damaskus bahwa Arar berada di tahanan mereka. Pemerintah Amerika Serikat, diduga tidak mau mengakui ke Kanada bahwa Arar telah dipindahkan ke Suriah. Pada akhirnya, setelah kontroversi besar di Kanada, Arar dibebaskan pada tanggal 3 Oktober 2003. Diplomat Suriah di Washington menjelaskan bahwa pejabat Suriah telah berusaha untuk mengungkap hubungan antara Arar dan Al-Qaeda, tetapi tidak dapat menemukan hubungan tersebut. Pejabat Suriah menegaskan secara terbuka bahwa mereka tidak bisa membuktikan salah satu tuduhan terhadap Arar. Berdasarkan kasus tersebut muncul suatu pertanyaan apakah kanada menutup mata terkait perlindungan terhadap warga negara. Akan tetapi satu persoalan yang timbul adalah terkait kewarganegaraan tersebut.

2. Perlindungan Diplomatik terhadap Orang Asing
    Hukum internasional memungkinkan negara untuk melindungi warga negara mereka. Pada awal 1758, Emmerich de Vattel dalam pendapatnya , Hukum Bangsa-Bangsa, bahwa siapa pun yang menyakiti warga negara secara tidak langsung menyinggung Negara, yang pasti guna melindungi warga negara . hak suatu negara untuk menjalankan perlindungan tersebut tidak bisa dibantah. Dalam kasus Konsesi Palestina dimana PCIJ memutuskan bahwa Negara berkewajiban untuk melindungi rakyatnya, bila terluka oleh tindakan bertentangan dengan hukum internasional yang dilakukan oleh Negara lain, dimana mereka tidak mampu untuk memperoleh kepuasan melalui cara yang  biasa. Dalam memperluas perlindungan tersebut, bisa menempuh jalur Pengadilan, negara itu sekedar mempertahankan haknya, yaitu haknya untuk memastikan bahwa rakyatnya, menghormati aturan hukum internasional. perlindungan tersebut kemudian disebut sebagai perlindungan diplomatik.
A Consuler Acces
    'Perlindungan Diplomatik' memiliki dimensi yang sangat harfiah. Pasal 3 Konvensi Wina dalam hubungan diplomatik, sebagai salah satu fungsi sebuah misi diplomatik, melindungi  kepentingan negara pengirim dan warga negaranya, dalam batas-batas yang diijinkan oleh hukum internasional. Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler menegaskan peran serupa. Lebih kritis, dalam perjanjian  hubungan konsuler juga menetapkan tanggung jawab negara penerima dalam memfasilitasi bantuan konsuler dari negara pengirim terhadap warga negara nya. Dengan demikian, Pasal 36 mengatur bahwa pejabat konsulat bebas untuk berkomunikasi dengan warga negara dari Negara pengirim dan memiliki akses kepada mereka. Warga negara dari negara pengirim  juga memiliki kebebasan untuk berkomunikasi, dan memiliki akses ke petugas konsuler dari negara pengirim. Selain itu, atas permintaan dari warga negara pengirim, negara penerima harus menginformasikan pejabat konsuler bahwa warga negaranya ditahan. Dalam ketentuan dalam dua kasus yang diputus oleh Mahkamah Internasional, negara penerima harus menginformasikan tanpa menunda orang asing yang ditahan memiliki hak untuk menghubungi pejabat konsuler. Di Avena,  Mahkamah Internasional menyimpulkan bahwa kewajiban ini muncul segera setelah pejabat negara menduga bahwa individu yang ditahan adalah warga negara asing. Setelah diberitahu tentang penahanan, pejabat konsuler kemudian memiliki hak untuk mengunjungi dan berkomunikasi dengan warga mereka dan mengatur wakil hukumnya, kecuali ditolak oleh warga negara tersebut.

B. Dukungan terhadap Klaim
    Kedua, 'Perlindungan diplomatik' memiliki arti lebih luas dari sekedar akses konsuler
di negara-negara asing. Ini mencakup sebuah persidangan internasional, yang merupakan keberatan oleh satu negara untuk pelaksanaan kewajiban, yang tumbuh dari hak bersama dan kewajiban mereka. Sesuai dengan definisi yang luas, International Law Commission’s Special Rapporteur (ILC Rapporteur) dalam perlindungan   medefinisikan konsep tersebut sebagai tindakan yang diambil oleh suatu Negara terhadap Negara lain sehubungan dengan kerugian  pada orang atau properti sebuah negara yang disebabkan oleh tindakan internasional yang salah atau kelalaian yang timbul dari Negara lain.  terkait banyaknya tanggapan dalam definisi tentang tindakan, dikenal sebagai pendukung klaim.
C. Syarat Perlindungan Diplomatik
    Sesuatu yang Tepat ketika negara dapat melaksanakan perlindungan diplomatik - terutama dari dukungan terhadap klaim. Dalam prakteknya, perlindungan diplomatik ini dibatasi oleh beberapa syarat, yang harus dipenuhi.
1. Sebuah kesalahan Internasional
    Pertama, dan yang paling jelas, untuk klaim yang akan dianut oleh suatu negara harus ada kesalahan internasional, disebabkan oleh negara. Dimana pengaduan tersebut memicu akses konsuler terhambat dengan warga negara yang ditahan, aliran yang keliru dari pelanggaran dari kewajiban Konvensi Wina yang mengikat.
    Bagaimanapun, pelanggaran yang mungkin membenarkan terhadap dukungan  klaim tidak terbatas pada pelanggaran konsuler. Klaim dapat dipicu oleh perlakuan buruk suatu negara, ganti rugi yang tepat pada sebuah kesalahan internasional   menjadi sumber pertentangan antara negara maju dan berkembang. Sebagai akibatnya, beberapa negara berkembang telah membuat ketentuan  untuk ganti rugi terhadap orang asing yang cukup rendah,  memberlakuan standar  tindakan nasional: sebuah negara harus memperlakukan warga negara asing tidak lebih buruk dari memperlakukan warga negaranya sendiri. Tindakan nasional tersebut dianggap sebagai tindakan non diskrimanasi.
    Contoh kasus mengenai tindakan minimun yaitu Neer v Meksiko. Di Neer, seorang warga negara Amerika Serikat dibunuh oleh orang Meksiko, penyelidikan hanya dilakukan  oleh pemerintah Meksiko. dalam proses sehubungan dengan kasus tersebut, Majelis
mengamati bahwa tindakan terhadap warga negara asing, untuk mendefinisikan kesalahan internasional, harus memenuhi unsur kebiadaban, kelalaian yang disengaja, atau
tidak maksimalnya tindakan pemerintah dimana tidak memenuhi standar internasional bahwa setiap manusia diperlakukan  wajar dan tidak memihak.
    Contoh kasus  hukum modern terhadap tindakan minimal telah dikembangkan oleh panel arbitrase yang dibentuk sesuai Bab 11 dari Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (North American Trade Agreement /NAFTA). Pasal 1105 mengenai perlakuan standar minimum, menegaskan bahwa hukum internasional mengenai tindakan tersebut membutuhkan tindakan adil dan merata dan penuh perlindungan serta keamanan. Khususnya, Pasal 1105 dimaksudkan hanya untuk mengkodifikasi kebiasaan aturan tindakan minimal, bukan untuk membuat aturan baru bagi para investor NAFTA.
    Namun, arbiter NAFTA telah menemukan perlakuan minimum yang dijamin oleh Pasal 1105 menjadi lebih rumit daripada standar yang ditetapkan dalam kasus Neer. Memang, dalam Mondev Internasional v Amerika Serikat, Bab 11 NAFTA panel menolak proposisi
standar kebiadaban dalam kasus Neer yang mencerminkan perspektif modern atas perlakuan minimum. Dalam pernyataan pengadilan tersebut, untuk perspektif moderna, bahwa ketidak adilan atau ketidakmerataan tidak perlu disamakan dengan sesuatu yang  mengerikan. Secara khusus, suatu Negara bisa jadi memperlakukan investasi asing secara tidak adil dan tidak merata tanpa harus bertindak dengan itikad buruk. Jika para hakim NAFTA  tersebut benar dan hukum kebiasaan internasional saat ini lebih menuntut lebih dibanding kasus Neer, hal ini menunjukkan bahwa perlakuan minimal bisa dibilang lebih memberikan perlindungan daripada hukum hak asasi manusia. 
2. Exhaustion of Local Remedies
    Kedua, dari semua contoh sebelum negara memperluas perlindungan diplomatiknya, individu yang mendapatkan pelanggaran harus menggunakan semua peraturan – peraturan yang ada di dalam negara tersebut yang berbicara tentang pelanggaran haknya. Namun, ada pengecualiannya yaitu pertama, hukum internasional tidak membutuhkan aturan – aturan lokal yang tidak memiliki hubungan dengan pelanggaran yang dimaksud, seperti yang diatur dalam ILC Draft Articles On Diplomatic Protection yang mengesampingkan persyaratan exhaustion dimana diantaranya peraturan lokal tersebut tidak menyediakan adanya kemungkinan untuk ganti rugi oleh negara yang menerapkan hukum tersebut. Kedua, ICJ telah menggarisbawahi bahwa doktrin exhaustion tidak berlaku ketika pelanggaran yang dinyatakan terkait dengan Pasal 36 Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler 1963.
3. Hubungan Kewarganegaraan
    Sudah diterima secara umum bahwa perlindungan diplomatik hanya dapat diterapkan oleh negara yang individunya mengalami pelanggaran. Ikatan kewarganegaraan antara negara yang memperluas perlindungan diplomatiknya dengan individu yang mengklaim perlindungan tersebut adalah kondisi mutlak dalam aturan tradisional dalam perlindungan diplomatik. Dalam ILC  Draft Articles on Diplomatic Protection, kewarganegaraan yang dimaksud ditentukan dengan melihat kelahiran, keturunan, suksesi negara, naturalisasi ataupun kondisi lainnya, yang harus konsisten dengan hukum internasional. Masalah konsistensi dengan hukum internasional dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Cara Memperoleh Kewarganegaraan
    Hukum internasional sangat sedikit membicarakan masalah kewarganegaraan. Pasal 1 Hague Convention on Certain Questions Relation to the Conflict of Nationality Laws 1930 mengatakan bahwa “adalah merupakan hak setiap negara untuk menentukan berdasarkan hukumnya sendiri siapa saja yang menjadi warga negaranya”. Pendekatan negara ini masih dapat diperdebatkan ketika ada sebuah hubungan yang tidak cukup antara kewarganegaraan dengan individu yang dimaksud. Pengadilan dalam kasus Nottebohm mengkarakterisasikan kewarganegaraan sebagai ikatan legal yang memiliki dasar pada fakta sosial, koneksi asli ketika ditetapkan, kepentingan dan sentimen atasnya, bersama – sama dengan adanya hak – hak timbal balik dan tugas – tugas yang diembankan kepadanya. Beberapa pengamat menginterpretasikan kasus Nottebohm ini sebagai adanya kewajiban untuk memberikan kehadiran koneksi asli (genuine connection) antara seseorang dengan negara yang memperluas kewarganegaraannya kepada orang tersebut, bahkan dalam hal dimana seseorang hanya memiliki satu kewarganegaraan saja. Aplikasi yang ketat dari pendekatan ini yang kadang – kadang disebut dengan “kewarganegaraan efektif” (effective nationality) dalam kasus – kasus perlindungan diplomatik dikritik oleh laporan ILC tentang perlindungan diplomatik yang mengatakan bahwa di dalam dunia dimana berjuta orang memiliki status kewarganegaraan yang mengambang dari sebuah negara dan mendapatkan kehidupan di negara lain dimana mereka tidak pernah mendapatkan kewarganegaraannya, penerapan yang ketat tentang konsep kewarganegaraan efektif ini dapat saja mengesampingkan mereka dari keuntungan – keuntungan perlindungan diplomatik dan menciptakan kelompok orang – orang yang tidak terlindungi. Kritik ini hanya muncul apabila hukum internasional mengharuskan negara tidak menerapkan perlindungan diplomatik dalam hubungannya dengan warga neegara yang pada satu sisi memiliki hubungan asli namun hubungan tersebut telah mengalami pergeseran dan menjadi tidak asli lagi seiring berjalannya waktu.
    The United States – Italian Conciliation Commission menolak pendekatan kewarganegaraan seperti ini dalam Flegenheimer Case. Komisi berpendapat bahwa ketika seseorang memiliki satu kewarganegaraan, teori effective nationality tidak dapat diterapkan tanpa resiko kebingunga. Begitu banyak orang yang karena fasilitas travel dalam dunia modern, yang memiliki  kewarganegaraan sah dari sebuah negara namun tinggal di luar negeri dimana mereka berdomisili dan dimana keluarga dan sentra bisnis mereka berlokasi, akan dikenai non-recognition pada level internasional karena kewarganegaraan mereka.
    Pendekatan kasus Flegenheimer melihat effective nationality bukan sebagai persyaratan mutlak yang harus ada dalam perlindungan diplomatik oleh sebuah negara, tapi sebagai salah satu alat untuk menentukan sebuah kewarganegaraan pada suatu waktu tertentu di masa lalu ditentukan.
b. Melepaskan Kewarganegaraan
    Kewarganegaraan yang melekat timbul dalam situasi dimana seseorang yang berharap meninggalkan kewarganegaraan negara leluhur, namun tidak diberikan kewarganegaraan lewat kelahiran ataupun naturalisasi oleh hukum negara tersebut. Namun demikian, tidak ada prinsip hukum internasional yang membolehkan negara untuk mengizinkan adanya pelepasan kewarganegaraan oleh warga negaranya. UN Declaration of Human Rights mengindikasikan bahwa seseorang memiliki kebebasan untuk mengganti kewarganegaraannya. Berbagai perdebatan mengenai pelepasan kewarganegaraan ini mendapatkan pertentangan dari banyak negara, karena sampai saat ini tidak menjadi sebuah kebiasaan internasional, juga sekaligus menolak adanya kewarganegaraan ganda. Hak melepaskan kewargangeraan ini tidak ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Rights.
    Pasal 6 Hague convention 1930 menciptakan adanya kapasitas terbatas untuk melepaskan sebuah kewarganegaraan dengan menyatakan bahwa seseorang yang memiliki dua kewarganegaraan yang didapatkan tanpa adanya tindakan sukarela darinya (misalnya kelahiran) dapat melepaskan salah satunya dengan otorisasi dari negara dimana kewargangeraannya itu akan dilepaskan. Otorisasi ini tidak dapat ditolak oleh negara yang akan dilepaskan kewarganegaraannya dalam kasus seseorang memiliki tempat tinggal di luar negeri juga memiliki kondisi – kondisi yang tidak dapat ditolak dan yang sangat sesuai dengan hukum negara dimana kewarganegaraannya akan dilepaskan.
    Hukum internasional pada dasarnya memberikan mengizinkan seseorang untuk mendapatkan kewarganegaraan lewat naturalisasi, namun bukan untuk melepaskan secara aktif sebuah kewarganegaraan yang satunya lagi yang sudah tidak dikehendaki, yang dapat mengakibatkan adanya kewarganegaraan ganda.

3. Perlindungan Diplomatik Warga Negara Ganda dan Implikasinya dalam Perang Terhadap Teror.
    Kewarganegaraan ganda menciptakan kesulitan yang nyata untuk mewujudkan tujuan pemerintahan yang melindungi warga negaranya. Berbagai pemerintahan seperti yang dikatakan oleh US State Department menyatakan bahwa mereka mengenal adanya kewarganegaraan ganda namun tidak menyatakannya sebagai masalah kebijakan karena mengantisipasi persoalan yang dapat ditimbulkannya. Klaim dari negara lain tentang kewarganegaraan ganda dapat berbenturan dengan hukum di dalam suatu negara, dan kewarganegaraan ganda dapat membatasi usaha – usaha dari setiap pemerintahan untuk membantu warga negaranya yang berada di luar wilayahnya.
    Titik awal untuk membicarakn perlindungan diplomatik bagi warga negara ganda adalah Hague Convention 1930. Pasal 4 mengindikasikan secara jelas bahwa negara tidak dapat mengusahakan perlindungan diplomatik bagi warga negara melawan negara lain yang kewarganegaraan dari seseorang juga dimilikinya. Ketentuan ini menciptakan aturan “non-responsibility” dalam hubungannya dengan warga negara ganda, yang dapat dikodifikasikan menjadi hukum kebiasaan internasional.

A. Konsekuensi Doktrin “Non-Responsibility” untuk Extraordinary Renditions (Pemindahan Secara Tidak Wajar)
    Non-responsibility ketika dipasangkan dengan kewarganegaraan yang melekat, dapat menempatkan rintangan yang penting ketika negara mengajukan protes terkait perlakuan bagi warga negara ganda dalam perang terhadap teror. Perlu dicatat, beberapa negara kunci yang dianggap sebagai penerima individu – individu yang disumbangkan oleh otoritas AS semuanya membuat penghalang – penghalang untuk adanya pelepasan kewarganegaraan. Maroko dan Yordania memerlukan adanya pengesahan awal dari pemerintah untuk adanya pelepasan kewarganegaraannya. Mesir juga memerlukan syarat semacam itu, dan bagi yang gagal, akan mendapatkan warga negara ganda. Syria bahkan sama sekali tidak mengizinkan adanya sebuah pelepasan kewarganegaraan.
B. Alternatif Bagi Doktrin “Non-Responsibility”
    Negara yang sampai menghentikan perlindungan diplomatik terhadap warga negara ganda sebagai konsekuensi dari doktrin non-responsibility, telah melakukan perbuatan yang merugikan bagi warga negaranya sendiri. Hal ini disebabkan pertama, ada alasan yang kuat untuk percaya bahwa prinsip non-responsibility telah memudar dan telah digantikan dengan konsep effective nationality yang diambil dari kasus Nottebohm. Kedua, doktrin non-responsibility berlaku dalam kontes antara dua negara dari kewarganegaraan, bukan sebuah negara dari kewarganegaraan dan negara pihak ketiga. Terakhir, akan ada kemungkinan – kemungkinan yang lain dalam hukum internasional publik yang membolehkan alternatif lain adanya klaim – klaim dimana seseorang dianggap sakit untuk diperlakukan sebagai bagian dari adanya pelepasan kewarganegaraan.
1. Pendekatan berdasarkan Efektifitas Kewarganegaraan
    Doktrin non-responsibility tidak dapat dianggap sebagai kebiasaan internasional. Ada alasan untuk mempertanyakan yakni pertama apakah para penyusun konvensi Den Haaq dalam mengkodifikasi pasal 4, telah mempertimbangkan dengan cermat tentang otoritas. Pembentukan pasal 4 tersebut dipengaruhi oleh risalah Prof Borchard yang berjudul the diplomatic protection of citizen abroad (1916). Risalah tersebut juga membahas status kewarganegaraan ganda, dimana Prof Borchard menyatakan bahwa sesorang yang memiliki kewarganegaraan ganda tidak dapat menuntut salah satu negara tersebut dihadapan pengadilan internasional. Pendapat tersebut sering kali diragukan karena tidak didukung dengan contoh kasus yang memadai. Selain itu, juga dipertanyakan apakah pasal 4 tersebut dapat mencakup kejahatan kemanusiaan atau kejahatan ekstraordinari yang dilakukan oleh pemerintah negara asal korban yang memiliki kewarganegaraan ganda dan warga negara tersebut tetap mempertahankan kediamannya di negara asalnya yang lain.
Kedua, meskipun doktrin non responsibility telah ada sejak tahun1930 namun pada kenyataannya doktrin tersebut tidak lagi dipergunakan sejak awal abad ke 21. Bahkan sejak perang dunia, pengadilan internasional menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap donktrin ini. Pada kasus merge dimana Merge adalah seorang warga negara Amerika Serikat karena kelahiran. Namun ia juga adalah warga negara Italia karena pernikahan, mempergunakan paspor Italia dan diperlakukan sebagai warga negara Italia semasa ia tinggal di jepang pada masa perang. Ketika memeriksa apakah Merge dapat dianggap sebagai warga negara amerika agar dapat menerima kompensasi setelah perang, komisi menyatakan bahwa berdasarkan Prinsip Persamaan Kedaulatan antar Negara, hukum kebiasaan internasional membatasi perlindungan terhadap seseorang yang memiliki kewarganegaraan ganda, baik itu kewarganegaraan negara penggugat dan negara tergugat. Pada kesimpulannya, komisi menyimpulkan bahwa berasarkan prinsip persamaan kedaulatan negara yang meniadakan perlindungan diplomatik dalam kasus dengan kewarganegaraan ganda, maka harus mendasarkan pada prinsip kewarganegaraan efektif, yakni mempergunakan kewarganegaraan negara penuntut. Hal tersebut juga dilakukan oleh tribunal alam sengketa Iran vs. Amerika Serikat. Tribunal memutuskan untuk mempergunakan prinsip kewarganegaraan efektif dan juga mempertimbangkan faktor-faktor terkait seperti domisili, hubungan kekerabatan, partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, dan bukti-bukti terkait lainnya.
Akan tetapi, berlawanan dengan praktik ICJ dan peradilan internasional lainnya, dalam ILC’s Special Rappourteur on Diplomatic Protection ILC kemudian memilih untuk mendukung perlindungan diplomatik terhadap kewarganegaraan ganda. Dalam pasal 6 laporannya, ILC menyatakan bahwa sebuah negara dapat melaksanakan perlindungan diplomatik terhadap warga negaranya yang dirugikan, dimana warga negara yang dirugikan tersebut juga merupakan warga negara dari negara tergugat.
2. Negara pihak ke-tiga
Dalam hal “perang terhadap terorisme”, perlu digarisbawahi bahwa dalam perlindungan terhadap warga negara dengan kewarganegaraan ganda, doktrin non-responsibility hanya dapat diterapkan apabila negara penggugat dan tergugat sama-sama menyatakan adanya hubungan keterkaitan dengan individu yang dirugikan. Prinsip tersebut menjadi tidak berlaku ketika yang melakukan kesalahan adalah negara ketiga, yang tidak memiliki keterkaitan apapun dengan individu tersebut.
Dalam kasus Arar, negara ketiga disini adalah Amerika Serikat. Petugas AS tidak menginformasikan kepada Arar bahwa ia berhak untuk menghubungi konsulernya. Pihak konsuler Canada baru mengetahui kabar penahanan Arar dari pihak keluarganya.
Status kewarganegaraan ganda yang dimiliki Arar tidak dapat menghalangi klaim pihak Kanada berdasarkan pasal 36 Konvensi Wina 1963 tentang hubungan konsuler. Sedangkan pasal 5 Konvensi Den Haaq menyatakan bahwa di wilayah negara ketiga, seseorang dengan kewarganegaraan ganda harus diperlakukan seolah-olah ia hanya memiliki satu kewarganegaraan. Negara ketiga harus memperlakukannya (dalam wilayah negara ketiga saja) sesuai dengan kewarganegaraan dinegara mana ia biasanya bertempat tinggal atau negara mana yang memiliki hubungan keterkaitan yang paling erat dengan seseorang tersebut.
Dalam draf ILC tentang perlindungan diplomatik dinyatakan bahwa sebuah negara yang memiliki warganegara dengan kewarganegaraan ganda atau lebih, dapat menerapkan perlindungan diplomatiknya apabila individu tersebut bukan merupakan warga negara dari negara yang dituntut.
3. Cara-cara lain Dalam Hukum Internasional Publik
a)    Konsep kewajiban erga omnes
Telah diketahui bersama bahwa setiap negara harus menindak setiap perlakuan yang salah terhadap seseorang berdasarkan hukum internasional. Hal tersebut merupakan kewajiban erga omnes (setiap negara berkewajiban untuk mengambil tindakan perlindungan atau memberikan perlindungan). Dalam kasus barcelona tranction, ICJ menetapkan daftar hal-hal yang termasuk dalam kewajiban erga omnes yaitu pelarangan agresi dan genosida, peraturan tentang hak-hak mendasar manusia (HAM), pelarangan perbudakan dan diskriminasi rasial, dan hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination).
Dalam pembahasannya, ICJ seolah olah tidak memasukkan perlindungan diplomatik sebagai erga omnes, akan tetapi dalam Foreign Relation Law Amerika Serikat memperluas cakupan erga omnes hingga mencakup pembunuhan atau penghilangan individu, penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan, hukuman pengadilan yang diperpanjang, kekerasan terpola terhadap HAM. ILC bahkan kemudian memperluasnya lagi sehingga kewajiban tersebut mencakup “setiap negara yang berhubungan dengan komunitas internasional dan setiap negara memiliki kepentingan untuk melindungi HAM. Sehingga, apabila disimpulkan bahwa penyiksaan terhadap orang asing dapat ditindak oleh setiap negara, termasuk negara yang tidak memiliki keterkaitan apapun dengan korban.
b)    Yurisdiksi ICJ dalam Konvensi anti Penyiksaan
Perlakuan terhadap Arar yang telah digambarkan sebelumnya merupakan pelanggaran terhadap instrumen HAM internasional, khususnya Konvensi Anti Penyiksaan. Pasal 3 konvensi tersebut melarang tindakan memindahkan seseorang ke negara lain dimana diketahui ia akan berada dalam bahaya penyiksaan. Dengan demikian tindakan Amerika Serikat merupakan pelanggaran terhadap pasal ini. Sedangkan pasal 1 melarang penggunaan penyiksaan untuk memperoleh pengakuan atau informasi. Tindakan Syria juga melanggar pasal tersebut. Sayangnya, Amerika Serikat tidak tunduk pada yurisdiksi konvensi tersebut karena melakukan reservasi terhadap yurisdiksi. Akan tetapi AS dapat digugat oleh negara-negara pihak yang lain, yang tunduk pada yurisdiksi konvensi. Sedangkan Syria baru melakukan aksesi terhadap konvensi setelah terjadi kasus Maher Arar. 
Akan tetapi, masih ada harapan untuk membawa kasus ini ke jalur hukum. Canada dapat mengajukan gugatan terhadap Amerika Serikat berdasarkan pasal 21 Konvensi atau melalui arbitrase. Sedangkan terhadap Syria, Kanada dapat mengajukan kasus ini kehadapan ICJ berdasarkan pasal 30, dan menekankan pada pelaksanaan konvensi oleh Syria. Karena Kanada sebagai negara pihak konvensi hanya melaksanakan hak nya untuk meninjau pelaksanaan konvensi oleh sesama negara pihak konvensi.
Kesimpulan
Dalam kasus ini, dengan adanya kewarganegaraan ganda, kesan yang terlihat adalah negara melakukan penyiksaan terhadap warga negaranya sendiri. Namun para korban msih memiliki harapan untuk penegakan keadilan. Dengan membawa kasus ini ke dalam mekaisme HAM internasional. Dalam hukum internasional modern, kewarganegaraan ganda tidak menjadi penghalang bagi pelaksanaan perlindungan diplomatik, meskipun prinsip non responsibility pernah menghalangi perlindungan ketika koran adalah warga negara dari negara yang digugat.
Jalan lain yang dapat ditempuh adalah melalui kewajiban erga omnes , dimana sebuah negara tidak dapat mempergunakan prinsip non responsiiblity untuk menghindar, karena jarang ditemukan dukungan terhadap negara yang melakukan perbuatan melawan hukum internasional terhadap warga negaranya sendiri. Dimana telah diketahui bersama bahwa pelanggaran terhadap hukum internasional menimbulkan pertanggungjawaban negara.
Akan tetapi, masih dapat ditemukan escaping clause bagi negara, seperti pasal 30 konvensi anti pentiksaan yang tidak dapat menjamin pengajuan gugatan, tidak adanya yurisdiksi ICJ akibat penarikan diri AS dari optional protokol konvensi wina tentang hubungan konsuler dan aksesi Syria yang lambat. Akan tetapi, hal-hal tersebut tidak boleh menghalangi hak untuk mendapatkan akses terhadap konsular atau perlakuan tidak adil terhadap seseorang dengan kewarganegaraan ganda, baik dalam bidang politik maupun diplomatik.

Tidak ada komentar: