Rabu, 09 November 2011

Yurisdiksi Negara menurut D.J.Harris, LLM, Ph.D

YURISDIKSI NEGARA

Yurisdiksi negara adalah kewenangan negara menurut hukum internasional untuk mengatur orang dan benda dengan hukum nasionalnya. Itu termasuk kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan (yurisdiksi preskriptif) dan kewenangan untuk menegakkan suatu keputusan yang didasarkan kepada perundang-undangan yang dibuat tadi (penegakkan yurisdiksi). Yang merupakan kekuasaan dari badan eksekutif dan penegakkannya berasal dari badan yudikatif. Yurisdiksi negara dalam hal ini sama seperti negara-negara lain yang lebih diterapkan dalam aspek perdata maupun pidana. Aturan-aturan tentang yurisdiksi negara mengidentifikasi orang dan benda di dalam wilayah-wilayah yang memperbolehkan hukum suatu negara untuk mengaturnya sesuai dengan prosedur-prosedur hukum yang berlaku di negara tersebut. Mereka tidak sesuai dengan substansi hukum suatu negara kecuali dengan begitu jauhnya itu bertujuan untuk subyek seseorang atau untuk mencegah prosedur-prosedur pemberlakuannya secara mengikat. Organisasi internasionalpun mempunyai yurisdiksi seperti pengertian di atas dan tentunya untuk hal-hal yang terbatas.

Criminal Jurisdiction : Yurisdiksi Kriminal / Pidana

Dickinson, Introductory Comment to the Harvard Research Draft Convention on Jurisdiction with Respect to Crime

Dalam analisis nasional modern kode hukum pidana dan prosedur pidana diperiksa kesimpulannya oleh penulis resolusi dari konferensi internasional atau yang diajarkan pada masyarakat dan ditambahkan oleh dari hasil pengeksplorasian jurisprudensi pengadilan nasional, mengemukakan lima prinsip umum yang kurang lebih diakui oleh negara-negara pada saat ini. Lima prinsip tersebut adalah:

1. Prinsip Teritorial, yang kewenangannya ditentukan terhadap pelanggaran yang dilakukan dalam satu wilayah.

2. Prinsip Nasionalitas, yang mana negara mempunyai kewenangan terhadap warga negaranya yang melakukan pelanggaran.

3. Asas Protektif, kewenangan suatu negara dalam melindungi kepentingan nasionalnya dari suatu pelanggaran

4. Asas Universalitas, kewenangan suatu negara terhadap seseorang yang berada dalam kekuasaannya.

5. Asas Personalitas Pasif, kewenangan suatu negara berdasarkan pelanggaran terhadap warga negaranya.

THE LOTUS CASE

France v Turkey (1927)

Laporan PCIJ Series A No.10

Pada kasus ini,pada dasarnya Pengadilan harus memutuskan untuk menjawab dua pertanyaan yang muncul yaitu :

1. Apakah Turki telah mengakui prinsip – prinsip kedudukan dan yurisdiksi ketika memiliki konflik dengan pihak Perancis pada masalah kapal uap Lotus dan Boz Kourt yang terjadi pada tanggal 2 Agustus 1926 di Konstantinopel, ketika kasus ini diajukan ke Pengadilan Turki melawan M.Demons, salah satu petugas di kapal Lotus, karena mengakibatkan kematian delapan pelaut dan penumpang Turki ?

2. Apabila eksepsi diterima, apakah bentuk pembayaran yang harus dibayarkan oleh M.Demons sesuai dengan prinsip hukum internasional, apabila dikenakan pada kasus – kasus yang sama ?

Setelah melalui berbagai pemeriksaan dan pengajuan opini yang sangat panjang, maka para hakim memutuskan bahwa sebenarnya tidak ada aturan hukum internasional dalam kasus – kasus seperti ini yang membolehkan pengadilan kriminal sebuah negara tidak dapat mengadili sebuah yurisdiksi dimana dikibarkan sebuah bendera negara. Para hakim memiliki berbagai pendapat, dan keputusan diambil melalui voting yang pada dasarnya pendapat hakim memutuskan bahwa dalam kasus ini Turki tidak mengakui prinsip yurisdiksi Perancis.

Prinsip Teritorial. Untuk keputusan para hakim ini, Harris mengajukan pendapat Brierly bahwa alasan para hakim dalam mengambil keputusan ini datang dari pemikiran para positivis ekstrimis bahwa hukum datang dari kehendak bebas negara berdaulat dan dalam kasus ini para hakim saling berargumen apakah kehendak bebas bebas ini dapat diterapkan atau tidak. Harris kemudian mempertanyakan ada sebuah pendapat dari para hakim yaitu : wilayah hukum pidana / criminal law bukanlah prinsip absolut dalam hukum internasional dan tidak ada hubungannya dengan kedaulatan wilayah.

Harris pada dasarnya tidak setuju dengan keputusan pengadilan ini dengan alasan yang sama dengan Dissenting Opinion dari Judge Moore bahwa pada saat ini telah diterima secara internasional kasus apapun yang terjadi di dalam yurisdiksi sebuah negara pastilah harus memakai hukum negara itu sendiri. Harris mengemukakan sebuah penelitian dari Harvard Research Draft Convention yaitu sebuah Negara diberikan yurisdiksi wilayah ketika sebuah kejahatan terjadi baik di seluruh maupun sebagian wilayahnya.

Prinsip Personalitas Pasif. Untuk kasus ini, semua hakim yang memiliki Dissenting Opinion menolak memberlakukan asas ini, namun sangat berbeda dengan kasus – kasus yang terjadi di negara – negara Anglo – American yang mengakui adanya prinsip ini untuk kasus yang sama.

ATTORNEY-GENERAL OF THE GOVERNMENT OF ISRAEL v EICHMANN

Eichmann adalah seorang Jerman yang bertanggung jawab terhadap “the final solution”, sebuah kebijakan pemerintah Nazi untuk membantai jutaan warga Yahudi di Eropa. Eichmann ditemukan di Argentina tahun 1960 oleh orang – orang yang kemungkinan merupakan agen – agen Israel dan dibawa ke Israel tanpa sepengetahuan pemerintahan Argentina. Dia kemudian diadili di Israel dengan Pengadilan Israel khusus para Nazi dengan memakai hukum Israeli NAZI and NAZI Collaborators (Punishment) Law untuk kejahatan perang, kejahatan terhadap warga Yahudi, yang kemudian aturan – aturan ini menjadi dasar terbentuknya Konvensi Genosida 1949. Eichmann diputus bersalah dan dihukum mati, bandingnya kepada Mahkamah Agung Israel dikesampingkan. Abunya disebar di Laut Mediterania karena dianggap akan mengotori tanah Yahudi. Berikut merupakan beberapa putusan pengadilan yang menarik tentang kasus ini :

1. Hukuman terhadap tindakan – tindakan yang dilakukan diluar batas negara dan pemberlakuannya terhadap warga yang bukan israel, dan terhadap orang yang bertindak atas nama tugas negara lain, dianggap bertentangan dengan hukum internasional dan melampaui kekuasaan hukum Israel.

2. Namun demikian, hukum yang diterapkan untuk mengadili Eichmann dianggap dapat diterima dan dapat diterapkan di Pengadilan Inggris. (Israeli NAZI and NAZI Collaborators (Punishment) Law).

3. Kejahatan – kejahatan yang diadili dengan hukum Israel ini bukan hanya kejahatan untuk Israel saja, melainkan juga untuk semua umat manusia (Delicta Juris Gentium).

4. Tindakan pemerintahan Israel ini juga telah disebutkan dalam Corpus Juris Civilis (C.3,15, ubi de criminibus agi oported) dan tindakan kota – kota di utara Italia pada waktu Abad Pertengahan dalam mengadili kejahatan – kejahatan yang berbahaya, dan dalam hukum Inggris dalam mengadili para bajak laut.

5. Tindakan Pemerintahan Israel ini datang dari dua dasar : pertama, secara universal berkaitan dengan seluruh umat manusia, yang membenarkan hak untuk mengusut dan menghukum kejahatan seperti ini yang terjadi di setiap negara, dan kedua, sumber khusus nasional, yang memberikan hak kepada negara korban untuk mengadili siapapun yang menyerang keberadaannya. Dasar yang kedua ini kemudia mengerucut menjadi istilah Protective Principle (Prinsip Protektif/Perlindungan)

Catatan Harris :

1. Harris menyatakan sesuai dengan penelitian Harvard Research bhawa kebanyakan negara menggunakan Prinsip Protektif ini baik untuk jangkauan yang lebih sedikit maupun lebih luas.

2. Harris mempertanyakan “A Fair Trial” terhadap Eichmann. Meskipun Eichmann telah diberikan keluasan untuk mempertahankan pendapatnya, pertanyaan terbesarnya adalah apakah Eichmann berhak untuk diadili di Pengadilan Israel ?

Structure of Scientific Revolution, Pemikiran Thomas Kuhn

Selama hampir satu abad, sampai terjadinya perang Dunia I, ilmu secara nyaris universal telah dipandang dengan kacamata heroik. Para ilmuwan berjuang sendirian untuk mencari kebenaran. Ilmu adalah aktivitas yng murni dan otonom, terlepas dari teknologi dan industry serta mengatasi atau melampui masyarakat. Kemurnian penelitian ilmiah secara khusus ditegaskan di Universitas-universitas dimana riset dilakukan dan demi pegetahuan dan dimana generasi para ilmuwan masa depan dididik. Namun kendati ilmu tetap murni sepanjang zaman, tetap saja terdapat kesalahan-kesalahan yang harus dikoreksi.

Tapi tidak semua meyakini akan kemurnian ilmu.[1] Ernst Mach (1838-1916) fisikawan dan filosof ilmu, dalam beberapa dasawarsa menjelang Perang Dunia I, ketika para ilmuwan fisika terlibat dalam industry dan militer, ia justru membela ilmu yang tepat guna untuk memenuhi kebutuhan manusia. Mach ditentang oleh Max Planck (1858-1947) fisikawan Jerman yang mendukung idealitas ilmu yang lebih otonom. Perdebatan mereka memunculkan banyak isu epistemology dan politik yang penting, dan isu yang paling bertahan diantaranya adalah yang memandang realism bertentangan dengan instrumentalisme dalam filsafat ilmu.

Dalam perdebatan antara murni dan tidaknya sebuah pengetahuan dari kekuasaan dan ideology inilah Thomas S. Kuhn turut serta dalam kancah polemic ini. Karya monumentalnya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution banyak mengubah persepsi orang terhadap ilmu. Jika sebagian orang mengatakan bahwa pergerakan ilmu adalah bersifat linier- akumulatif, maka tidak demikian dengan pandangan Kuhn. Menurut Kuhn, ilmu bergerak melalui tahapan-tahapan yang akan berpuncak pada kondisi normal dan kemudian membusuk karena telah tergantikan oleh ilmu atau paradigm baru. Demikian seterusnya, paradigm baru mengancam paradigm lama yang sebelumnya juga menjadi paradigm baru. Sehingga terjadilah proses benturan antar paradigma. Banyak orang menganggap bahwa ilmu adalah bebas nilai tetapi menurut Kuhn ilmu sagat terkait erat pada paradigm subyektif ilmuwan. Belum lagi keterkaitan ilmu dengan kekuasaan dan mengabdi pada kekuasaan ataupun ideologi dari masing-masing ilmuwan ketika menganalisis atau menyajikan sebuah tesis.


[1] Perang dunia satu mengungkap kelemahan teknologi kekaisaran inggris dan membuka kemungkinan campur tangan pemerintah secara langsung terhadap manajemen ilmu. Monopoli universitas sebagai lembaga riset pun runtuhketika lembaga-lembaga baru didirikan dengan dana pemerintah maupun swasta. Banyak para cendekiawan terutama yang berpandangan Marxis menyatakan ada hubungan antara ilmu dengan ekonomi. Hubungan atara ilmu dan ideology menjadi eksplisit ketika pada tahun 1931 diadakan konferensi tentang sejarah ilmu yang diselenggarakan di London mengundang Delegasi dari Uni soviet. Point terpenting dari konferensi ini adalah makalah yang ditulis oleh Boris Hessen tentang akar-akar social dan ekonomi dalam Principia Newton. Hessen menyatakan bahwa karya besar Newton bukan produk dari kejeniusan ilmiah atau logika internal ilmu, melainkan konsekuensi dari kekuatan-kekuatan social ekonomi pada abad 17 di Inggris. Ziauddin Sardar, Thomas Kuhn Dan Perang Ilmu, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002…hal 9-10.

BIOGRAFI THOMAS S. KUHN

Thomas Samuel Kuhn lahir di Cicinnati, Ohio pada tanggal 18 juli 1922. Kuhn lahir dari pasangan Samuel L, Kuhn seorang Insinyur industri dan Minette Stroock Kuhn. Dia mendapat gelar B.S di dalam ilmu fisika dari Harvard University pada tahun 1943 dan M.S. Pada tahun 1946. Kuhn belajar sebagai fisikawan namun baru menjadi pengajar setelah mendapatkan Ph.D dari Harvard pada tahun 1949. Tiga tahunnya dalam kebebasan akademik sebagai Harvard Junior Fellow sangat penting dalam perubahan perhatiannya dari ilmu fisika kepada sejarah (dan filsafat) ilmu. Dia kemudian diterima di Harvard sebagai asisten profesor pada pengajaran umum dan sejarah ilmu atas usulan presiden Universitas James Conant.

Setelah meninggalkan Harvard dia belajar di Universtitas Berkeley di California sebagai pengajar di departemen filosofi dan sains. Dia menjadi profesor sejarah ilmu pada 1961. Di berkeley ini dia menuliskan dan menerbitkan bukunya yang terkenal The Structure Of Scientific Revolution pada tahun 1962. Pada tahun 1964 dia menjadi profesor filsafat dan sejarah seni di Princeton pada tahun 1964-1979. Kemudian di MIT sebagai professor filsafat. Tetap di sini hingga 1991. Jadi Thomas Kuhn tumbuh ketika ilmu telah terindustrialisasikan dan telah ditransformasikan menjadi karir dari pada pengabdian. Pada tahun 1994 dia mewawancarai Niels Bohr sang fisikawan sebelum fisikawan itu meninggal dunia. Pada tahun 1994, Kuhn didiagnostik dengan kanker dari Bronchial tubes. Dia meninggal pada tahun 1996 di rumahnya di Cambridge Massachusetts. Dia menikah dua kali dan memiliki tiga anak. Kuhn mendapat banyak penghargaan di bidang akademik. Sebagai contohnya dia memegang posisi sebagai Lowel lecturer pada tahun 1951, Guggeheim fellow dari 1954 hingga 1955, Dan masih banyak penghargaan lain.

Pada suatu hari yang panas Thomas Samuel Kuhn sedang membaca sebuah buku Aristoteles di kamarnya. Ada sesuatu hal yang tidak dimengertinya, kenapa Aristoteles begitu brilian dalam ilmu lain tapi begitu bingung mengenai gerak. Tiba-tiba dia mendapat sebuah Ide. Sebuah pemahaman baru mengenai Science. “Saya menerawang keluar dari jendela kamarku. Tiba-tiba kepingan-kepingan dalam kepalaku tiba-tiba membentuk dirinya dalam cara yang baru, dan jatuh ditempatnya bersama-sama. Aku ternganga.”

PARADIGMA ILMU DALAM PERSPEKTIF THOMAS S. KUHN

Dengan diterbikannya Structure of scientific revolution pada tahun 1962,[2] Thomas Samuel Kuhn mengawali sebuah zaman baru dalam memahami ilmu. Dalam pengantarnya untuk structure ia menguraikan:

“Keikutsertaan yang menguntungkan dalam sebuah kuliah eksperimental dalam perguruan tinggi yang mengajarkan ilmu fisika untuk mereka yang bukan ilmuwan memungkinkan perjumpaan pertama saya dengan teori dan praktek ilmiah yang telah kadaluwarsa sehingga meruntuhkan secara radikal sejumlah konsepsi dasar saya tentang hakikat ilmu serta sebab-sebab keberhasilannya yang istimewa. Konsepsi-konsepsi itu adalah apa yang sebelumnya saya simpulkan untuk sebagian dari pelatihan ilmiah itu sendiri dan sebagian minat sampingan saya yang telah yang telah lama terhadap filsafat ilmu. Tetapi apapun manfaat pedagogisnya dan nilai abstraknya, anggapan-anggapan itu tidak sepenuhnya sesuai dengan upaya yang ditunjukkan oleh kajian sejarah. Namun anggapan-anggapan itu telah dan masih bersifat fundamental bagi pembebasan yang manapun tentang ilm, dan ketidaksesuaiannya tampak benar-benar perlu diselidiki. Hasilnya adalah pergeseran secara drastis dari fisika menuju sejarah ilmu, dan kemudian secara berangsur-angsur dari masalah-masalah kesejarahan yang secara relatif bersifat langsung kembali kepada perhatian-perhatian yang lebih filosofis yang semula mengarahkan perhatian saya terhadap sejarah”.


[2] Ketika pertama kali diterbitkan, Structure memicu sejumlah besar kontroversi. Reaksi dari para ilmuwan tidak mengejutkan, bagaimanapun Kuhn telah meruntuhkan anggapan yang telah diterima tentang ilmuwan sebagai pencari kebenaran dan interogator alam dan realitas yang heroic, berpikiran terbuka dan babas kepentingan. Dan sebagimana ditampilkan lewat parodi-parodi dalam karyanya, ia telah mereduksi ilmu menjadi tak lebih dari periode-periode panjang aktivitas konformis yang membosankan, yang diselingi dengan munculnya irasional. Namun para filosof ilmupun terlampau memusuhi Kuhn, karena mereka hingga saat ini merasa bertanggung jawab untuk menghasilkan penjelasan-penjelasan tentang hakikat penelitian dan kemajuan ilmiah. Penjelasan Kuhn nyaris tak diakui dibandingkan produk mereka yang telah diformalisasikan dan diidealisasikan. Perbandingan-perbandingannya dengan dengan teologi, perubahan agama dan revolusi politik menakutkan bagi para ilmuwan maupun para filosof ilmu. Para filosof juga memandang bahwa relativisme Kuhn sangat mencemaskan. Dalam lingkungan sejarah dan filsafat ilmu, Structure digambarkan sebagai tidak rasional, nkering dan rancu. Namun pada Akhirnya tahun 1960, Structure mulai diterima sebagai karya revolusioner dalam filsafat ilmu. Ziauddin Sardar, Thomas Kuhn Dan Perang Ilmu, Yogyakarta:Penerbit Jendela, 2002.hal 30-31.

Kuhn memandang ilmu dari perspektif sejarahwan professional tertentu. Ia mengeksplorasi tema-tema yang lebih besar misalnya seperti apakah ilmu itu didalam prakteknya yang nyata dengan analisis kongkrit dan empiris. Didalam Structure ia menyatakan bahwa ilmuwan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki yang bekerja didalam pandangan dunia yang sudah mapan. Ilmu bukan merupakan upaya untuk menemukan obyektivitas dan kebenaran, melainkan lebih menyerupai upaya pemeecahan masalah didalam pola-pola keyakinanyang telah berlaku. Kuhn memakai istilah paradigma untuk menggambarkan system keyakinan yang mendasari upaya pemecahan teka-teki didalam ilmu.[3] Dengan memakai istilah paradigma, tulisnya, “saya bermaksud mengajukan sejumlah contoh yang telah diterima tentang praktik ilmiah nyata-contoh-contoh yang meliputi hukum, teori, aplikasi, dan instrumentasi-yang menyediakan model-model yang menjadi sumber tradisi ilmiah riset tertentu yang koheren. Inilah tradisi-tradisi yang oleh sejarah ditempatkan didalam rubric-rubrik seperti “Ptolemaic Astronomy atau Copernican, Aristotelian Dynamic atau Newtonian, corpuscular optic atau wave optic” dan sebagainya.

Istilah Paradigma berkaitan erat dengan ilmu normal.[4] Mereka yang bekerja didalam paradigma umum dan dogmatis, menggunakan sumber dayanya untuk menyempurnakan teori, menjelaskan data-data yang membingungkan, menetapkan ketepatan ukuran-ukuran standar yang terus meningkat dan melakukan kerja lain yang diperlukan untuk memperluas batas-batas ilmu normal.

Dalam skema Kuhn, stabilitas dogmatis ini diselingi oleh revolusi-revolusi yang sesekali terjadi. Ia menggambarkan bermulanya ilmu revolusioner secara gamblang seperti yang ia nyatakan:

“ilmu normal…sering menindas kebaruan-kebaruan fundamental karena mereka pasti bersifat subversive terhadap komitmen-komitmen dasarnya…(namun) ketika profesi tak bisa lagi mengelak dari anomaly-anomali yang merongrong tradisi praktek ilmiah yang sudah ada..”


[3] Dalam buku Structure Kuhn menyatakan “dengan memilih istilah ini saya bermaksud mengemukakan bahwa beberapa contoh praktek ilmiah nyata yang diterima-contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi-menyajikan model-model yang daripadanya lahir tradisi-tradisi padu tertentu dari riset ilmiah. Tradisi-tradisi inilah yang oleh para sejarahwan dilukiskan dengan judul-judul seperti “astronomi Ptolomeus atau Copernican, dinamika Aristoteles atau Newton, Optika Korpuskular atau Optika gelombang dan sebagainya. Studi tentang paradigm-paradigma, termasuk banyak yang jauh lebih terspesialisasi daripada yang disebut sebagai illustrasi diatas, ialah yang terutama mempersiapkan mahasiswa bagi keanggotaannya dalam masyarakat Ilmiah tertentu, yang dengan latar itu ia akan melakukan praktek dikemudian hari. Karena disana ia bergabung dengan orang-orang yang trelah mempelajari dasar-dasar bagi bidang mereka dari model-model kongkret yang sama, maka prakteknya setelah itu akan jarang membangkitkan perselisihan yang jelas tentang berbagai fundamental. Orang-orang yang risetnya didasarkan atas paradigm bersama terikat pada kaidah-kaidah dan standar praktek ilmiah yang sama. Komitmen itu serta consensus yang jelas yang dihasilkan merupakan prasyarat bagi sains yang normal, yaitu bagi penciptaan dan kesinambungan tradisi riset tertentu”. Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005…hal 10.

[4] Kuhn menyatakan “Untuk memperlihatkan dengan jelas apa yang dimaksud dengan riset normal atau riset berdasarkan paradigma, baiklah saya coba mengklasifikasi dan mengilustrasikan masalah-masalah yang pada prinsipnya sains yang normal terdiri atas masalah-masalah tersebut. Untuk memudahkan, saya menangguhkan kegiatan teoritis dan memulai dengan pengumpulan fakta, yakni dengan eksperimen-eksperimen dan pengamatan yang diuraikan dalam berkala-berkala teknis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memberikan informasi tentang hasil-hasil riset mereka yang berkesinambungan pada rekan-rekan professional mereka. Aspek-aspek alam yang mana yang biasanya dilaporkan oleh para ilmuwan itu? Apa yang menentukan pilihan mereka? Dan karena kebanyakan pengamatan ilmiah itu memerlukan banyak waktu, perlengkapan, dan uang, apa yang memotivasi para ilmuwan untuk meneruskan pilihan itu sampai memperoleh kesimpulan?”..Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005 ..hal 24

Maka dimulailah investigasi diluar kelaziman. Suatu titik tercapai ketika krisis yang hanya bisa dipecahkan dengan revolusi dimana paradigma lama memberikan jalan bagi paradigma baru. Demikianlah ilmu revolusioner mengambil alih. Namun apa yang sebelumnya pernah revolusioner itu sendiri akan mapan dan menjadi ortodoksi baru, ilmu normal yang baru. Jadi menurut Kuhn, ilmu berkembang melalui siklus-siklus ilmu normal diikuti oleh revolusi, lalu ilmu yang revolusioner menjadi mapa dan normal lalu diikuti oleh revolusi lagi. Setiap paradigma bisa menghasilkan karya khusus yang menentukan dan membentuk paradigm misalnya Physic karya aristoteles, Principia dan Optiks karya Newton serta Geology karya Lyell adalah contoh karya yang menentukan paradigma cabang-cabang ilmu tertentu pada suatu masa tertentu.

Berbeda tajam dengan gambarann tradisional tentang ilmu sebagai penerimaan atas pengetahuan secara progressif, gradual dan kumulatif yang didasarkan pada kerangka eksperimental yang dipilih secara rasional, Kuhn menunjukka bahwa ilmu normal sebagai upaya dogmatis. Jika kita menganggap teori ilmiah yang sudah ketinggalan seperti dinamika Aristotelian, kimia flogistis, dan termodinamika kalori sebagai mitos, menurut Kuhn kita bisa sama-sama bersikap logis untuk mengangggap teori-teori ini sebagai irrasional dan dogmatis:

“Jika keyakinan-keyakinan yang kadaluwarsa itu hendak disebut mitos-mitos, maka mitos-mitos itu bisa dihasilkan lewat jenis-jenis metode yang sama dan berlaku untuk jenis-jenis rasio yang sama yang kini mengarahkan pegetahuan ilmiah. Jika, dilain pihak, mereka hendak disebut ilmu, maka ilmu telah mencakup bangunan-bangunan keyakinan yang sangat tidak sesuaidengaan bangunan-bangunan yang kita percaya saat ini…(ini) menyulitkan kita untuk melihat perkembangan ilmiah sebagai proses akumulasi”.

Dalam seluruh buku ia mengguanakan contoh contoh historis untuk menjelaskan praktek masa kini, mengidentifikasi factor-faktor umum dan menekankan sifat cacat metode ilmiah. Demikianlah metode ilmiah- proses observasi, eksperimentasi, deduksi dan konklusi yang diidealisasikan- yang menjadi dasar kebanyakan klaim ilmu akan obyektivitas dan universalisme berubah menjadi ilusi. Kuhn menyatakan bahwa paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan masalah yag mereka anggap penting. Tanpa paradigma tertentu, para ilmuwan bahkan tidak bisa mengumpulkan fakta. Dengan tiadanya paradigma atau calon paradigma tertentu, maka fakta yang mungkin sesuai dengan perkembanga ilmu tertentu tampaknya cenderung sama-sama relevan . akibatnya, pengumpulan fakta tahap awal, jauh lebih berupa kegiatan acak jika dibandingkan dengan kegiatan yang telah diakrabi dalam perkembanga ilmu yang lebih lanjut. Pergeseran paradigma mengubah konsep-konsep dasar yang melandasi riset dan mengilhami standar-standar pembuktian baru, teknik-teknik riset baru, serta jalur-jalur teori da eksperimen baru yang secara radikal tidak bisa dibandingkan lagi dengan yang lama.

Kebanyakan aktivitas ilmiah, menurut Kuhn berlangsung dalam rubric ilmu normal,[5] yakni ilmu yang kita jumpai dalam buku-buku teks dan yang mensyaratkan agar riset didasarkan pada satu pencapainya ilmiah masa silam atau lebih, pencapaian-pencapaian yang diakui sementara waktu oleh komunitas ilmiah tertentu sebagai dasar bagi praktek selanjutnya. Ilmu yang restriktifdan bersifat pemecahan masalah secara tertutup ini memiliki kekurangan maupun kelebihannya. Disatu sisi ia memungkinkan komunitas ilmiah untuk mengumpulkan data berdasarkan satu basis sistematis dan secara cepat memperluas batas-batas ilmu.

Jika ilmuwan individual bisa menerima paradigma begitu saja, maka ia dalam karya-karya besarnya, tidak lagi memerlukan upaya untuk membangun bidangnya secara baru, berangkat dari prinsip pertama dan menjustifikasi setiap konsep yang diajukan. Ttugas ini bisa diberikan kepada para penulis bbuku teks. Namun dengan tetap mengingat buku teks, ilmuwan yang kreatif bisa memulai risetnya dari tempat dimana riset itu telah berhenti dan dengan demikian memusatkan perhatian secara eksklusif pada aspek-aspek fenomena alam yag palig substil dan esoteric yang menjadi oerhatian kelompoknya.

Dilain pihak ilmu normal mengisolasi komunitas ilmiah dari segala sesuatu yang berada diluar komunitas itu. Masalah-masalah yang penting secara sosial, yang tak bisa direduksi menjadi bentuk pemecahan teka-teki, menurut Kuhn, dikesampingkan dan apapun yang berada diluar lingkup konseptual dan instrumental paradigma itu dianggap tidak relevan.[6]


[5] Dalam buku Structur Kuhn menyatakan “sains yang normal berarti riset yang dengan teguh berdasar atas satu atau lebih pencapaian ilmiah yang lalu. Pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fondasi pada praktek selanjutnya. Sekarang pencapaian-pencapaian itu diceritakan, meski jarang dalam bentuk aslinya, oleh buku-buku teks sains tingkat dasar dan tingkat lanjutan. Buku-buku teks ini menjelaskan secara rinci tubuh teori yang diterima, menerangkan banyak atau seluruh penerapan yang berhasil, dan membandingkan penerapan inidengan eksperimen dan pengamatan contoh. Sebelum buku-buku tersebut menjadi popular pada awal abad 19 (bahkan sampai akhir-akhir ini bagi sains-sains yang baru mapan) banyak dari buku-buku klasik yang termasyhur tentang sains yang memenuhi fungsi yang serupa. Physica karya Aristoteles, Almagest karya Ptolomeus, Principia dan Optic karya Newton, Electricity karya Franklin, nChemistry karya Lavoisier dan Geology karya Lyell. Semua ini dan banyak karya lainnya pada suatu masa digunakan secara mutlak untuk menetapkan masalah-masalah yang sah dan metode-metode bidang riset bagi generasi-generasi pemraktek selanjutnya. Mereka bisa berbuat demikian karena mereka sama-sama memiliki dua karakteristik yang essensial. Pencapaian mereka cukup baru, belum pernah ada sebelumnya, sehingga dapat menghindarkan kelompok penganut yang kekal dari mempersaingkan cara melakukan kegiatan ilmiah. Sementara itu, pencapaian tersebut cukup terbuka sehingga segala macam masalah diserahkan kepada kelompok pemraktek yang ditetapkan kembali untuk dipecahkan. Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005…hal 10.

[6] Pendekatan Kuhn terhadap Ilmu pada dasarnya adalah reaksi terhadap tafsir Whig atas sejarah, bahwa sejarah adalah progresi kebebasan linier yang kian meningkat dan berpuncak pada masa kini. Sejarah Whig membaca masa silam dengan arah kebelakang dan menjelaskan masa kini sebagai produk kumulatif pencapaian masa silam. Penolakan terhadap sejarah Whig dalam bidang sejarah ilmu, dimulai antara lain oleh Alexander Koyre, yang terhadapnya Kuhn mengakui hutang intelektual yang besar. Kuhn menyadari bahwa untuk menyadari bagaimana suatu tradisi historis berkembang, orang harus memahami perilaku sosial dari mereka yang terlibat membentuk tradisi. Pemahaman inilah, tulis Barry Barnesyang berpadu dengan kepekaan dan sensibilitas historisnya yang menjadi sumber orisinaitas dan arti penting karya Kuhn. Pelestarian suatu bentuk kebudayaan mengandaikan mekanisme-mekanismesosialisasi dan penyebaran pengetahuan, prosedur-prosedur untuk menunjukkan lingkup makna dan representasi yang diterima, metode-metode untuk meratifikasi inovasi-inovasi yang telah diterima dan member mereka cap legitimasi. Semua itu harus dijaga keberlangsungannya oleh para anggota kebudayaan itu sendiri, jika konsep-konsep dan representasi hendak dipertahankan eksistensinya. Jika ada bentuk budaya yang tetap bertahan, pasti ada pula sumber-sumber otoritas dan control kognitif. Kuhn menampilkan riset ilmiah sebagai produk dari suatu interaksi yang kompleks antara komunitas peneliti, tradisi otoritatif, dan lingkungannya. Dalam keseluruhan proses itu rasio dan logika sama sekali bukan satu-satunya criteria bagi kemajuan dalam pengetahuan ilmiah. Ziauddin Sardar, Thomas Kuhn Dan Perang Ilmu, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002…hal 29-30.


Dalam perkembangan sejarahnya, ilmu dipandang sebagai aktivitas yang murni dan tidak terkait dengan kekuasn dan ideologi serta bebas dari nilai subyektivitas. Dan kepercayaan inipun sampai sekarang masih banyak diyakini oleh banyak orang. Pengetahuan yang ada dalam teori juga banyak diyakini keobyektivannya baik dalam ilmu alam maupun Ilmu sosial. Tetapi seiring dengan perkembangan filsafat keilmuan, asumsi tersebut banyak tekikis dan menyatakan bahwa sebuah teori pengetahuan sangat terkait erat dengan subyektivitas ilmuwan yang menemukan sebuah teori dan juga terkait dengan ideology yang melatarbelakangi corak berfikirnya. Seorang ilmuwan yang corak berfikirnya positivistic pasti hasil penelitiannya tidak akan jauh dari prosedur yang positivis, begitupun dengan yang lainnya.

Dalam buku Structure Thomas Kuhn juga mengkritik tentang bebas nilai dari sebuah ilmu pengetahuan. Ia menyatakan bahwa ilmuwan ketika meneliti sesuatu dan menciptakan teori ada “paradigma” yang mendasari proses dalam penelitiannya. Paradigma ini adalah menggambarkan system keyakinan yang mendasari upaya pemecahan teka-teki. Lingkup paradigm biasanya persoalan Aspek-aspek alam yang mana yang biasanya dilaporkan oleh para ilmuwan itu? Apa yang menentukan pilihan mereka? Dan karena kebanyakan pengamatan ilmiah itu memerlukan banyak waktu, perlengkapan, dan uang, apa yang memotivasi para ilmuwan untuk meneruskan pilihan itu sampai memperoleh kesimpulan?”. Paradigma lama bertarung dengan paradigm baru yang lebih rasional dan maju. Paradigm baru ini lalu menjadi mapan dan usang lalu digantikan dengan paradigma yang lebih baru, begitupun seterusnya.