Kamis, 22 Maret 2012

POST CONFLICT THEORY, SEBUAH KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM - Lesza Leonardo Lombok,SH

Latar Belakang Penciptaan Teori

Kehidupan masyarakat pada kenyataannya terus berubah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi watak dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Perubahan – perubahan ini mengenai elemen – elemen pembentuk masyarakat itu sendiri, yang menurut James S. Coleman adalah pelaku dan benda, yang terhadapnya memiliki kuasa dan kepentingan. Konsep akan kepentingan memiliki sejarah panjang dalam pemikiran sosial. Seperti yang disebutkan Hirschman, konsep kepentingan pada awalnya hanyalah merupakan ungkapan penghalus sejak Zaman Pertengahan untuk meghargai sebuah kegiatan, sehingga pada abad 16, 17, dan 18 mengalami pertumbuhan luar biasa yang dimulai dari ajaran Machiavelli yang mendorong kemunculan praktek kenegarawanan yang tidak terikat oleh kendala moral. Helveticus seorang filsuf Perancis bahkan berpendapat bahwa dunia fisik diatur oleh hukum gerak, sedangkan jagad moral diatur oleh hukum kepentingan. Oleh karenanya, pelaku tidak sepenuhnya menguasai kegiatan yang dapat memenuhi kepentingannya, namun menyadari bahwa beberapa dari kegiatan itu sebagian atau sepenuhnya berada di bawah kuasa pelaku lain, dengan demikian upaya memenuhi kepentingan seseorang dalam fakta struktural yang sederhana semacam ini mengharuskannya untuk terlibat dalam beberapa jenis transaksi dengan pelaku lain. Transaksi yang dimaksud dapat bersifat pembentukan karakter individual, tapi juga dapat bersifat perlindungan terhadap karakter umum kemasyarakatan yang tidak mempedulikan norma – norma sosial yang lain seperti penyuapan dan ancaman.

Perilaku masyarakat yang berhubungan dengan perlindungan kepentingan ini sebelumnya telah memiliki landasan teori yang lengkap seperti yang telah dikatakan di atas kemudian mendapatkan tempatnya pada perkembangan yang terjadi dalam lingkup sosial yang berkelanjutan. Berbagai fenomena hukum yang mencuat kepermukaan dalam rentang waktu beberapa tahun belakangan ini, telah menjungkirbalikan berbagai doktrin dan ajaran hukum, yang biasanya digunakan untuk menjustifikasi legal tidaknya sebuah perilaku hukum, peristiwa hukum, atau hubungan hukum yang terjadi, bahkan menggoyahkan berbagai landasan teoretis, yang umumnya digunakan untuk mendeskripsikan, mengeksplanasikan dan memprediksi, fenomena hukum yang ada.

Begitu pula dengan munculnya kasus “koin prita”, dukungan kekuatan dunia maya, yang “membebaskan” wakil ketua KPK Bibit – Chandra, penjatuhan vonis pidana penjara bersyarat 15 hari kepada Terdakwa Samsul dan Hadi “duo pencuri semangka” dari Kediri, vonis satu bulan setengah, bagi nenek Minah — warga desa warga Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Banyumas Jawa Tengah —“pencuri tiga buah biji kakao”, vonis terhadap Parto warga Desa Perante, Kecamatan Asembagus, Situbondo yang menjadi tersangka “pencurian 5 batang tanaman jagung”, vonis bersalah terhadap DYD “bocah penyengat lebah” oleh Pengadilan negeri Surabaya, dan terakhir yang paling heboh kasus pencurian sendal jepit seorang polisi oleh seorang bocah AAL yang kemudian diproses sampai pada penjatuhan vonis pidana oleh Pengadilan. Kasus-kasus diatas, menjadi sulit dipahami oleh ahli hukum yang berpegang kukuh pada optik preskriptif yang merupakan suatu attached-concern terhadap hukum positif, serta mendasakan pada model pendekatan doktrinal yang bersaranakan logika deduktif normatif, dalam melihat dan menyelesaikan kasus-kasus yang ada. Sedangkan bagi para ahli hukum yang mendasarkan pada pendekatan non-doktrinal, optik yang deskriptif, yang merujuk pada worldview yang terhegemoni oleh konstruksi ilmu yang dicetuskan oleh Descrates dan kemudian dikokohkan oleh gerakan aufklärungdanenlightenment, serta didomonasi oleh sains dan kapitalisme, menyebabkan ahli-ahli hukum di kelompok ini, belum dapat melepaskan dirinya dari paradigma keteraturan dan sistemik. Wibawa hukum hanya sampai pada masalah curahan hati di dunia maya, pembebasan tersangka korupsi besar, pencuri kelas semangka, kakao, lebah, dan hal – hal lain yang dilakukan pada tataran sosial kemasyarakatan yang apabila dicermati lebih lanjut ada pada dua dimensi : ahli hukum dan sama sekali tidak tahu akan hukum.

Konflik Kemasyarakatan, Kontribusi Teori

Max Webber

Fenomena hukum ini mungkin terjadi sebagai hasil dari beberapa teori sosial yang dikemukakan oleh ahli – ahli sosial yang memberikan sumbangsihnya dalam dunia kemasyarakatan. Webber yang melihat bahwa masyarakat terbentuk dari tindakan sosial yang bersifat komunikatif, mendasarkan kegiatannya pada kesepakatan bersama. Bentuk kekuasaan yang tradisional tercipta dari kesepakatan – kesepakatan di antara masyarakat yang memiliki tradisi kuat yang berawal dari individualistik yang kental untuk kemudian menghasilkan beberapa peraturan yang berasal dari individu – individu tertentu yang disepakati sebagai aturan baku. Sedangkan bentuk kekuasaan yang modern yang lebih rasional, dilakukan oleh orang – orang yang lebih terdidik dan profesional, menghasilkan keputusan – keputusan yang memiliki prosedur yang lebih baku, dan memberikan standar prediktabilitas yang lebih jelas, untuk kemudian disepakati bersama sebagai sebuah hukum. Ciri kedua kekuasaan (tradisional dan modern) oleh Webber ini memiliki kesamaan pada kesepakatan bersama, dapat dilihat sebagai sebuah fenomena penerimaan kekuasaan yang terjadi di segala bidang yang terjadi saat ini. Fenomena penerimaan kekuasaan yang dimaksud adalah fakta bahwa telah terjadi berbagai ketimpangan hukum yang dihasilkan oleh kekuasaan tertinggi di negara ini tidak mendapatkan respon balik dari masyarakat yang kuat dan resisten terhadap ketidakadilan. Berbagai keputusan yang ada seolah – olah dianggap sebagai sebuah keabsahan tertentu untuk tetap mengatur kehidupan kenegaraan yang ada. Masyarakat seolah – olah memberikan kepercayaan terhadap setiap keputusan yang dihasilkan, karena pilihan tindakan untuk menjaga atau merusak kepercayaan menciptakan dorongan timbal balik, dimana kepercayaan diberikan masyarakat untuk tetap mendapatkan kepercayaan balik dari penguasa. Pemberian kepercayaan ini juga menghasilkan ekspektasi akan adanya keuntungan atas tindakannya. Apabila mendapatkan kepercayaan balik dari penguasa diharapkan memberikan keuntungan – keuntungan tertentu terhadap kepentingan – kepentingan kemasyarakatan di masa yang akan datang. Jurgen Habemas berpendapat bahwa komunikasi merupakan kemampuan alamiah manusia yang akan membentuk dan mendorong terjadinya interaksi di dalam masyarakat. Dengan kemampuan ini, upaya – upaya untuk meningkatkan hubungan sosial dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik dengan jalan yang lebih deliberatif. Sehingga, inti dari penerimaan keputusan yang diberikan oleh masyarakat terhadap penguasa adalah lebih kepada pencegahan konflik.

Karl Marx

Karl Marx yang memberikan sumbangsih teori yang lebih menekankan pada sudut pandang ekonomi politik, lebih agresif lagi dalam meneliti hubungan hukum antara penguasa dan masyarakat. Konflik antara masyarakat dominan dan subordinat tidak dapat dihindari karena adanya kelompok dominan dalam hubungan ekonomi yang menguasai suprastruktur, dimana penguasaan akan suprastruktur tersebut dianggap mampu mendikte substansi hukum untuk melindungi kepentingannya. Hukum hanya sebagai alat perlindungan kepentingan semata dalam mewujudkan legitimasi atas eksploitasi bagi kaum subordinat. Berbagai kepentingan dalam hubungan – hubungan ekonomi dikuasai oleh kelompok – kelompok tertentu yang lebih superior, menghasilkan penguasaan terhadap berbagai sendi kehidupan masyarakat, termasuk hukum itu sendiri. Konflik sosial yang terjadi di dalam masyarakat akan selalu terjadi sebagai hasil dari perlindungan kepentingan – kepentingan oleh negara dalam melindungi keberlangsungan kehidupannya. Konflik sosial ini berimbas pada ambiguitas keputusan – keputusan hukum yang dihasilkan di dalam sendi – sendi kehidupan masyarakat. Keputusan – keputusan yang dibuat oleh penguasa mendapatkan pembenaran lewat lembaga – lembaga hukumnya, namun meskipun menimbulkan rasa tidak adil dalam kelompok subordinat tetap memiliki kekuatan mengikat untuk harus dilaksanakan oleh setiap sendi kehidupan bernegara.

Emile Durkheim

Emile Durkheim memaparkan teorinya yang mencirikan struktur sosial terdiri dari norma – norma dan nilai – nilai. Norma – norma dan nilai – nilai ini tumbuh dan berkembang dari berbagai transisi yang ada di dalam setiap lapisan masyarakat. Agama adalah hal terpenting dalam memaparkan transisi tersebut. Dengan mengambil contoh pada fakta sejarah agama Katolik yang menghasilkan berbagai perilaku abnormal yang berasal dari tidak adanya pedoman hukum yang jelas dari kebobrokan sistem yang dipercayai saat itu, Durkheim berpendapat bahwa sistem tersebut pada akhirnya menemukan polanya sendiri di luar yang digariskan oleh kesepakatan individu sebagai hasil dari perilaku abnormal itu. Teori struktural fungsional yang diajukan oleh Durkheim memandang bahwa manusia adalah organisme biologis yang memiliki saling ketergantungan satu dengan yang lainnya untuk dapat mempertahankan hidup secara tidak langsung. Ketergantungan inilah yang kemudian memberikan justifikasi terhadap fenomena keputusan – keputusan oleh penguasa yang diberikan terhadap kelompok masyarakat tertentu, karena masyarakat seperti dibawa pada pemikiran bahwa keputusan tersebut diberikan untuk memberikan kenyamanan terhadap masyarakat. Meskipun dalam beberapa lapisan masyarakat hal ini dianggap sebagai sebuah ketidakadilan, namun keputusan – keputusan ini diberikan oleh lembaga hukum ciptaan penguasa yang berasal dari ketergantungan masyarakat terhadap sistem kepemimpinan yang ada saat ini.

Konklusi Teori dan Pendukungnya : Post Conflict Theory

Dalam menarik kesimpulan atas kontribusi – kontribusi teori di atas, penulis mencoba untuk menerapkan metode Sylogisme yang mencoba menawarkan jalan keluar tentang perilaku hukum sebagai respon aktor terhadap berbagai perilaku sosiologis. Konsep penarikan kesimpulan yang coba diambil adalah dengan menggabungkan beberapa sumbangsih teori ini kemudian mencari titik temu yang dijadikan kesimpulan.

Dalam Teori Chaos, sebuah keteraturan sesungguhnya dilihat dari ketidakteraturan itu sendiri. Chaos, menurut Ian Stewart adalah tingkah laku yang sangat kompleks, iregular dan random di dalam sebuah sistem yang deterministik. Chaos adalah suatu keadaan di mana sebuah sistem tidak bisa diprediksi di mana ia akan ditemukan di tempat berikutnya. Sistem ini bergerak secara acak. Akan tetapi, menurut teori chaos, apabila keadaan acak tersebut diperhatikan dalam waktu yang cukup lama dengan mempertimbangkan dimensi waktu, maka akan ditemukan juga keteraturan, karena bagaimana pun kacaunya sebuah sistem, ia tidak akan pernah melewati batas-batas tertentu. Bagaimana pun acaknya sebuah sistem ruang geraknya tetap dibatasi oleh sebuah kekuatan penarik yang disebut strange attractor. Strange attractor meskipun di satu sisi ia menjadikan sebuah sistem bergerak secara acak, dinamis, dan fluktuatif, akan tetapi di sisi lain ia sekaligus membingkai batas-batas ruang gerak tersebut. Kekacauan yang memporakporandakan masyarakat hanya salah satu wajah saja dari berjuta wajah chaos, yaitu yang disebut negative chaos – sebuah prinsip chaos yang dicirikan oleh sifat perusakan, destruksi, penghancuran, agresivitas, eksplosi. Tak semua chaos bersifat negatif. Ada wajah chaos yang oleh Serres dikatakan dalam Genesis sebagai positif chaos – wajah chaos yang mempunyai sifat-sifat konstruktif, progresif dan kreatif. Chaos — Ketidakberaturan, ketidakpastian, multiplisitas dan pluralitas — dalam sifat-sifatnya yang positif – konstruktif memang jarang diperhatikan, karena terperangkap di dalam slogan-slogan pluralitas dan perbedaan, akan tetapi tidak pernah memahami makna substansialnya.

Charles Sampford merupakan salah satu pemikir yang mencoba mengeksplorasi teori chaosdalam ilmu hukum. Pada akhir tahun 90-an Charles Sampford menerbitkan buku berjudul “The Disorder Of law”, dengan tambahan “A Critique of Legal theory”, sebagai bentuk penolakannya terhadap apa yang dipegang teguh oleh para pemikir dari madzhab hukum positivistis, yang mendasarkan pendapatanya pada teori sistem. Sampford melihat bahwa banyak ketidak teraturan dalam hukum, namun oleh karena para pemikir dari madzhab hukum positivistik ingin tetap melihat bahwa hukum itu adalah sebuah sistem yang rasional, dan untuk itulah mereka mencari sandaran rasionalitas bangunan teorenya pada teori sistem. Padahal menurut Stampford teori hukum tidaklah harus selalu didasarkan pada teori sistem (mengenai) hukum, hal ini disebabkan hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat pada dasarnya menunjukkan adanya hubungan yang tidak simetris (asymmetries), karena bagaimana pun hubungan-hubungan sosial selalu dipersepsikan secara berbeda oleh para pihak. Dengan demikian apa yang dipermukaan tampak tertib, teratur, jelas, pasti, sebenarnya penuh dengan ketidakpastian. Ketidakteraturan dan ketidakpastian disebabkan hubungan-hubungan dalam masyarakat bertumpu pada hubungan antar kekuatan (power relation). Hubungan kekuatan ini tidak tercermin dalam hubungan formal dalam masyarakat. Maka terdapat kesenjangan antara hubungan formal dan hubungan nyata yang didasarkan pada kekuatan. Inilah yang menyebabkan ketidakteraturan itu.

Masyarakat memperlihatkan wujudnya sebagai sebuah bangunan yang memuat banyak kesimpang siuran, yang diakibatkan dari interaksi antar para anggotanya. Masyarakat adalah ajang dari sekian banyak interaksi yang dilakukan antara orang-orang yang tidak memilki kekuatan yang sama, sehingga terjadilah suatu hubungan berdasarkan adu kekuatan (power of relationships). Oleh karena itulah, tatanan yang muncul dari interaksi itu adalah tatanan yang a-simetris. Sampford menyebut keadaan ini sebagai fenomena “social melée”, suatu kondisi sosial yang cair (fluid).
Pada waktu sistem hukum yang secara formal sudah disusun dengan simetris itu diterapkan dalam masyarakat, maka sistem hukum tersebut dijalankan oleh kekuatan-kekuatan yang a-simetris. Produk sistem hukum yang dijalankan oleh kekuatan-kekuatan yang a-simetris itu adalah hukum yang penuh ketidakteraturan (disordered). Inilah yang kemudian oleh Sampford disebut “legal melée”. Dengan kekuasaan dan kekuatan yang ada pada masing-masing, para pelaku hukum membuat putusan-putusan yang subjektif. Hakim melihat peranannya sebagai pembuat putusan-putusan pribadi (individual decisions); para advokat akan menggali dalam-dalam perundang-undangan yang ada untuk mencari celah-celah bagi kepentingan kliennya, sedangkan rakyat akan melihat hukum itu sebagai tindakan para pejabat hukum (as the actions of many individual).
Di atas basis sosial yang demikian itulah hukum sesungguhnya ada dan mengada, yaitu ditengah-tengah masyarakat yang tidak teratur, sehingga hukum pun sesungguhnya penuh dengan ketidak teraturan. Oleh karena itu, maka teori hukum pun seharusnya tidak semata-mata mendasarkan pada teori tentang sistem hukum (theories of legal system), melainkan juga teori tentang ketidakteraturan hukum (theories of legal disorder). Bagaimana mungkin keadaan yang dalam kenyataanya penuh dengan ketidak teraturan itu dalam positivisme dilihat sebagai sesuatu yang penuh dengan keteraturan ? Dengan demikian maka, sebetulnya keteraturan itu bukan sesuatu yang nyata ada dalam kenyataan, melainkan sesuatu yang oleh para positivistis “ingin dilihat ada”.

Pada kenyataannya, sosial kemasyarakatan Indonesia telah memiliki kejelasan Teori Chaos, dimana carut – marutnya sistem hukum yang ada juga sekaligus mempengaruhi kondisi sosial yang berkembang saat ini. Ketidak teraturan sistem hukum sangat jelas terlihat pada kesimpang siuran peraturan yang ada. Pertentangan dengan teori Chaos kemudian terjadi dimana sifat masyarakat Indonesia yang pluralistik sangat sulit untuk menerima ketidak teraturan sebagai keteraturan itu sendiri. Adanya Informal Social Control yang terbangun dalam diri masyarakat Indonesia sebagai bentuk kepedulian dengan melibatkan seluruh masyarakat dalam proses pencegahan pelanggaran, menjadikan penerimaan akan ketidak teraturan sebagai sesuatu yang sangat sulit mendapatkan tempat di hati masyarakat secara keseluruhan.

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Hukum dibentuk bukan untuk hukum itu sendiri, sehingga setiap ada masalah tentang keadilan maka hal yang perlu ditinjau kembali adalah hukum itu sendiri, bukan manusia yang dipaksa – paksa untuk digiring ke dalam skema hukum positif. Hukum bukanlah institusi yang absolut, otonom, dan final, melainkan merupakan relaitas dinamis yang terus bergerak, berubah, membangun diri, seiring dengan perubahan kehidupan manusia. Hukum harus bertipe responsif, terkait dengan tujuan diluar narasi tekstual hukum yang bersifat final. Hukum progresif ini menempatkan diri sebagai kekuatan pembebasan yang membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas, dan teori hukum yang legalistik-dogmatik, dan analitis-positivistik. Konsep progresivisme yang diajarkan didasarkan pada logika kepatutuan sosial dan logika keadilan dan tidak semata – mata berdasarkan pada logika peraturan, menjunjung tinggi moralitas yang ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali aktivitas perjuangan itu. Ketika berhadapan dengan ketidak teraturan sosial kemasyarakatan di dalam sistem pluralistik dengan Informal Social Control, maka pembebanan pengaturan hukum tidak jatuh pada siapapun juga selain kepada perkembangan hukum itu sendiri. Masyarakat tidak mendapatkan tugas apa – apa dari hukum, dari hukum juga tidak memiliki kewajiban untuk mengubah apapun juga dari keadaan yang sudah ada. Keduanya bersinergi dalam sebuah kekuatan waktu, dimana pengembangan sosial terjadi bukan karena dorongan dari luar, melainkan adanya ledakan internal yang berdasarkan keinginan alamiah untuk membebaskan diri menuju pada keteraturan dengan terlebih dahulu merasakan apa yang disebut ketidak teraturan itu.

Inti dari pemahaman akan kesimpulan penulis, masyarakat secara alami, mau atau tidak mau, akan selalu masuk pada proses ketidak teraturan terlebih dahulu, dengan cara apapun juga, untuk kemudian mendapatkan haknya secara alami, baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang, untuk memasuki periode yang dinamakan keteraturan, tanpa adanya campur tangan dari pihak dan kontrol sosial manapun juga. Penulis menyadari bahwa hukum merupakan keseluruhan sistem jaringan yang saling berhubungan secara esensial, berproses dalam kesatuan, dan tidak dapat diisolasi pada bagian – bagiannya tanpa melihat aspek keseluruhannya. Stamford mengemukakan bahwa hukum itu bukanlah sebuah bangunan yang penuh dengan keteraturan logis-rasional. Untuk menghadapi realitas yang sedemikian kompleks, maka dunia hukum tidaklah selalu harus dilihat semata-mata sebagai sebuah dunia yang serba tertib dan teratur, melainkan harus pula dilihat dalam keadaan yang tidak beraturan (kacau/chaos). Hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan sentripetal yang menciptakan institusi yang terorganisir, tetapi pada waktu yang sama juga tunduk pada kekuatan-kekuatan sentrifugal yang menciptakan konflik dan ketidakteraturan (disorder). Dengan adanya keharusan hukum untuk melewati proses moral dengan memperhatikan tujuan – tujuannya (progresivisme), maka penulis menyimpulkan bahwa ketidakteraturan sosial itu merupakan dasar terkuat dari penciptaan sebuah keteraturan hukum itu sendiri.

KEPUSTAKAAN

James S. Coleman, Dasar – Dasar Teori Sosial (Foundations of Social Theory), diterjemahkan oleh Imam Muttaqien, Derta Sri Widowwatie, Siwi Purwandari, Bandung : Penerbit Nusa Media, 2010.

Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1977

George Ritzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Sociology: A Multiple Paradigm Science) , disadur oleh Alimandan, Jakarta : Rajawali Press, 1985.

Charles Stamford, The Disorder of Law, A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell, 1989

Sumber lain :

Teori – Teori Sosial yang diakses dari http://www.anneahira.com/teori-teori-sosial.html

Tidak ada komentar: