Kamis, 14 Juni 2012

Penentuan Batas Maritim (Maritime Delimitation) Menurut International Tribunal for The Law Of The Sea (ITLOS), Studi Kasus Sengketa Teluk Benggala Antara Bangladesh vs Myanmar, Putusan ITLOS No.16, 14 Maret 2012

Latar Belakang Tulisan
    Telah dipahami bahwa sumber daya alam baik di darat maupun di laut serta pulau kecil, harus dimanfaatkan untuk tujuan yang mulia secara baik dan damai terutama bagi kesejahteraan manusia maupun pelestarian alam sendiri. Namun kepentingan atas pemanfaatan itu perlu dilaksanakan secara bijak, terencana dan menyeluruh. Sehingga terdapat pengertian berupa pengelolaan dalam sebuah kerangka kegiatan yang bernama eksplorasi, bukan perlakuan sepihak yang tanpa perencanaan dan pengawasan bersifat eksploitasi.
    Salah satu aspek eksplorasi adalah pelaksanaan secara tertib dan patuh terhadap berbagai peraturan, termasuk batas kelola yang telah membagi akses suatu wilayah pengelolaan, wilayah kedaulatan, serta wilayah hak kedaulatan. Pengertian "batas" dalam perspektif ini bukan berarti membatasi akses terhadap sumber daya alam darat dan perairan yang seharusnya bebas untuk siapa saja (open access), justru sebaliknya adalah demi aspek kejelasan dan memberi keadilan bagi siapapun (common properties).
    Laut secara historis memiliki dua fungsi penting yaitu sebagai media komunikasi dan sebagai tempat sumber daya alam baik hayati maupun non hayati.  Prinsip fundamental dalam mengatur hukum laut adalah tanah yang mendominasi laut sehingga situasi wilayah mendapatkan titik awal untuk menentukan hak – hak maritim dari negara pantai.  "Batas" atau “Delimitation” diperlukan untuk menegaskan sampai di mana sebuah entitas, apakah itu bagi keberadaan sebuah negara, provinsi, kabupaten dan kota, hingga desa dan seterusnya. Sekaligus memiliki peran dan tangung jawab masing-masing untuk memelihara lalu mengelola pada wilayah menurut kewenangannya. Tanggung jawab ini tidak saja untuk melindungi kepentingan eksplorasi, tetapi yang terpenting adalah untuk menjaga dan melindungi sumber daya alam dari eksplorasi berlebihan. Idealnya, batas wilayah diperlukan untuk menyeimbangkan antara hak dan kewajiban berbagai pihak yang terkait. Maka dalam pemahaman demikian, dibutuhkan pengetahuan untuk penanganan yang baik terkait aspek batas secara komprehensif.
    Dalam rangka mewujudkan dan terutama mengelola perbatasan, memerlukan keahlian tertentu dari segala pihak yang berkompoten. Keahlian ini akan saling terkait, diantaranya terdapat aspek hukum, sosial dan hal teknis yang menyeluruh. Contohnya penerapan dan penegakkan hukum tentang yurisdiksi perbatasan, harus diiringi pemahaman disiplin geografis dan geodesi karena penentuan batas yurisdiksi tersebut memerlukan pemetaan posisi dengan penentuan titik-titik koordinat yang faktual.  Sebaliknya penentuan dan penetapan titik koordinat perbatasan, memerlukan legitimasi sebagai berkekuatan hukum.
    Adapun dalam konteks batas laut negara, kewenangan pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil laut telah merupakan wilayah kedaulatan (souvereignty) NKRI. Sebagai negara pantai yang dilindungi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982), selain berhak atas laut teritorial 12 mil laut, Indonesia masih memiliki Zona Tambahan 24 mil laut serta Zona Ekonomi Ekslusif 200 mil laut yang disebut wilayah hak berdaulat (sovereign right). Kendati wilayah laut hingga 200 mil laut bukan wilayah kedaulatan negara, tetapi sebagai wilayah hak berdaulat ZEE telah memberi kewenangan bagi Indonesia untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi konservasi, dan pengelolaan sumber daya lautnya. Namun demikian, meskipun diberikan hak untuk mengelola laut, Indonesia masih berpotensi untuk bersengketa dengan negara – negara tetangganya dalam menentukan batas maritim, sehingga diperlukan adanya studi yang berkelanjutan serta pendalaman yang lebih komprehensif terkait masalah batas maritim. Penetapan batas maritim selain memberikan kepastian hukum, juga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya sengketa yang berkepanjangan dalam hubungan antar negara.
    Penetapan batas maritim juga bertujuan untuk memudahkan dan menjadi dasar hukum bagi segenap aparat keamanan laut dalam melaksanakan tugas menjaga kedaulatan, menjamin keselamatan pelayaran, penegakkan hukum (law enforcement) bagi setiap unsur-unsur di lapangan untuk bertindak. Adapun terjadinya pelanggaran di wilayah laut Indonesia yang dilakukan oleh pihak-pihak asing, merupakan salah satu akibat dari masih belum disepakatinya beberapa perjanjian tentang garis batas serta wilayah laut NKRI yang berbatasan dengan 10 negara tetangga.
    Dewasa ini potensi terjadinya konflik dan sengketa dalam ranah internasional kian bertambah mengikuti semakin intensnya subjek-subjek hukum internasional dalam menjalin hubungan. Hal ini tentu patut diwaspadai mengingat konflik dan sengketa merupakan bibit peperangan yang bisa mengganjal cinta-cita mulia semua bangsa yakni menciptakan perdamaian dan memelihara perdamaian. Namun perlu juga disadari bahwa pada kenyataannya adalah sebuah keniscayaan meniadakan konflik dan sengketa. Karena sengketa ataupun konflik internasional selalu berbanding lurus dengan interaksi subjek hukum internasional.
    Studi Hubungan Internasional pada dasarnya bertujuan mempelajari perilaku internasional, yaitu perilaku aktor-aktor baik negara maupun aktor non negara di dalam arena transaksi internasional. Hubungan atau interaksi yang terjadi antar aktor dalam sistem internasional sangat beraneka ragam. Pada dasarnya kondisi umum dan karakteristik hubungan di antara aktor-aktor tersebut akan selalu bergerak pada dua pola umum, yaitu konflik dan kerjasama.  Konflik dapat terjadi ketika kepentingan dan tujuan suatu pihak bertabrakan dengan kepentingan dan tujuan pihak lain yang berbeda.
    Semakin bertambahnya entitas yang menjadi subjek dari hukum internasional juga menjadi salah satu faktor yang menjadikan hubungan antara entitas ini semakin kompleks. Dalam hubungan yang hampir tak berbatas inilah potensi konflik yang berujung pada sengketa memunculkan dirinya semakin intens. Menurut beberapa pakar hukum internasional, subjek dari persengketaan bermacam-macam, mulai dari sengketa mengenai kebijakan suatu negara sampai persoalan perbatasan. Oleh sebab itu diperlukan sebuah sistem penyeleselaian sengketa yang mampu mewadahi pertikaian subjek-subjek hukum internasional ini.
    Penyelesaian sengketa secara harfiah disamakan dengan pertikaian. Pertikaian atau sengketa, keduanya adalah kata yang dipergunakan secara bergantian dan merupakan terjemahan dari “dispute”. John G. Merrils memahami persengketaan sebagai terjadinya perbedaan pemahaman akan suatu keadaan atau objek yang diikuti oleh pengklaiman salah satu pihak dan memunculkan reaksi penolakan oleh pihak lainnya.  Karena itu, sengketa internasional adalah perselisihan, yang tidak secara ekslusif melibatkan negara, dan memiliki konsekuensi pada lingkup internasional.
    Batas antar negara yang dipisahkan oleh perairan berpotensi menimbulkan sengketa kelautan. Walaupun Konvensi Hukum Laut Internasional telah ditandatangani oleh 147 negara dan 1 organisasi, yaitu Komunitas Eropa, namun perselisihan batas negara yang mengarah pada sengketa hukum laut masih saja bisa terjadi.  Seperti yang dialami Indonesia-Malaysia, yang tengah bersitegang mengenai blok Ambalat di perairan Sulawesi. Indonesia dan Malaysia adalah penandatangan konvensi tersebut. Upaya penyelesaian konflik hukum laut umumnya berujung di meja perundingan. Dosen hukum internasional dari Universitas Indonesia, Sidik Suraputra mengemukakan, sengketa yang berhubungan dengan batas wilayah diselesaikan terlebih dahulu lewat jalur diplomasi.  Pada kenyataannya, tidak sedikit sengketa batas laut yang diselesaikan melalui jalur litigasi. Seperti halnya perseteruan beberapa tahun lalu antara Indonesia-Malaysia mengenai pulau Sipadan Ligitan. Keduanya kemudian sepakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut ke International Court of Justice (ICJ).
    Selain ICJ, sebenarnya terdapat pengadilan internasional yang lebih khusus untuk menangani sengketa hukum laut. Pengadilan khusus tersebut adalah International Tribunal Law of The Sea (ITLOS) yang berkedudukan di Hamburg, Jerman. Berbicara tentang ITLOS, pakar hukum laut dari Universitas Padjadjaran Etty Agoes mengatakan perkembangan dari pengadilan ini cukup bagus. Untuk beberapa hal, ITLOS memiliki kelebihan dibanding ICJ. Seperti pada contoh sengketa Sipadan Ligitan yang penyelesaiannya di ICJ memakan waktu lama. Pada waktu itu, Indonesia harus menunggu giliran kasus lain di ICJ selesai diperiksa. Sedangkan di ITLOS, karena khusus menangani sengketa yang berhubungan dengan kelautan, maka otomatis penyelesaiannya akan lebih cepat.
    Di sekitaran putusan ITLOS, sengketa batas maritim yang paling terkenal dan bahkan paling pertama ditangani oleh tribunal ini adalah sengketa batas maritim antara Bangladesh dan Myanmar di sekitaran Teluk Benggala. Berbagai pertimbangan terkait dengan batas maritim sangat baik untuk dijadikan rujukan dalam mempelajari aspek – aspek penentuannya dalam rangka mendapatkan sudut pandang yang lebih komprehensif dalam perlindungan wilayah laut Indonesia yang memiliki struktur yang sama dengan para pihak yang bersengketa ini, karena ITLOS merupakan satu – satunya tribunal yang memakai rujukan khusus dalam bidang hukum laut. Atas dasar pertimbangan ini maka penulis merasa perlu diadakan pemahaman yang lebih lanjut lewat sebuah penulisan tentang Aspek Penentuan Batas Maritim Menurut International Tribunal For The Law Of The Sea Dalam Perlindungan Wilayah Laut Indonesia dengan Studi Kasus Sengketa Penentuan Batas Maritim Bangladesh dan Myanmar Di Teluk Benggala (Putusan ITLOS No.16 Tanggal 14 Maret 2012).
Secara umum, ada tiga unsur yang termasuk dalam wilayah negara yaitu unsur daratan, perairan / lautan, dan ruang udara. Masing – masing unsur ini mempunyai keterkaitan dengan pelaksanaan kedaulatan negara. Terhadap wilayah daratan, negara mempunyai atau melaksanakan kedaulatan mutlak. Dalam konteks ini, secara ekstrim negara dapat menutup secara sepihak wilayah negaranya terhadap negara di sekitarnya. Sementara terhadap wilayah ruang udara dan perairan / kelautan, kewenangan negara dalam melaksanakan kedaulatannya harus mempertimbangkan kepentingan negara lain (kewenangan minus). Dengan demikian, ketentuan hukum internasional yang berkaitan dengan wilayah negara diatur dalam perangkat hukum yang berbeda pula.
A. Pengaturan Zona Maritim Dalam UNCLOS 1982
    Untuk menentukan kepastian hukum dalam penguasaan dan pemanfaatannya untuk setiap zona, UNCLOS 1982 menetapkan berbagai ketentuan yang mengatur batas – batas maksimum suatu zona serta penerapan batas – batas terluarnya. Untuk Laut Teritorial (di bawah kedaulatan mutlak negara) ditetapkan lebarnya 12 mil laut. Zona Tambahan 24 mil laut, Zona Ekonomi eksklusif 200 mil laut dan Landas Kontinen antara 200 – 350 mil laut atau sampai dengan 100 mil laut dihitung dari kedalaman (isobath) 2.500 meter.
    Seperti diketahui, UNCLOS 1982 juga secara khusus mengatur dan mengakui karakteristik khusus keberadaan negara kepulauan dibanding dengan negara – negara yang seluruh atau sebagia besar wilayahnya terdiri attas daratan. Untuk itu, suatu negara kepulauan diberi hak untuk menetapkan :
1.    Perairan Kepulauan, yaitu perairan pada sisi dalam dari garis – garis pangkal pulau – pulau yang menjadi wilayahnya, dan
2.    Perairan Pedalaman pada perairan kepulauannya.
    Untuk menjamin kepastian hukum dan pemahaman bersama negara – negara mengenai luas dan cara/teknis pengukuran masing – masing zona di atas, UNCLOS 1982 menetapkan bahwa zona maritim tersebut harus diukur dari garis – garis dasar atau garis – garis pangkal. Ketentuan mengenai teknis penetapan garis – garis pangkal tersebut diatur dalam Pasal 5, 7 dan Pasal 47 UNCLOS 1982.
    UNCLOS 1982 memperkenalkan tiga bentuk garis pangkal di mana salah satunya dapat dipergunakan negara – negara dalam menetapkan zona maritimnya sesuai dengan bentuk geografis wilayahnya. Tiga bentuk garis pangkal yang dimaksud adalah :
1.    Garis Pangkal Biasa (normal base line), dalam hal ini penetapan zona maritim didasarkan pada garis air terendah sepanjang pantai pada waktu air laut sedang surut dan mengikuti segala lekukan pantai. Pada mulut atau muara sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut dan pelabuhan, garis air terendah tersebut dapat ditarik sebagai suatu garis lurus.
2.    Garis – Garis Pangkal Lurus (straight base lines), metode ini menetapkan penetapan garis air terendah yang menghubungkan titik – titik terluar dari garis pantai pulau – pulau suatu negara dengan bentuk geografis : a. garis pantai yang menjorok dan menikung jauh ke dalam, atau b. deretan / gugusan pulau sepanjang pantai di dekatnya, atau c. delta, atau d.kondisi alam lainnya yang menyebabkan garis pantai sangat tidak tetap, dan e. kepentingan ekonomi khusus bagi negara tersebut, yang kenyataan dan pentingnya secara jelas dibuktikan oleh praktek yang telah berlangsung lama.
3.    Garis – Garis Pangkal Lurus Kepulauan (straight archipelagic base lines), titik awal zona maritim dalam hal ini ditetapkan dengan menghubungkan garis air terendah pada titik – titik terluar pada pulau – pulau dan karang kering suatu negara kepulauan. namun metode ini mensyaratkan bahwa : a. garis – garis pangkal lurus kepulauan harus meliputi pulau – pulau utama dari negara kepulauan, b. perbandingan antara luas wilayah perairan dan luas daerah daratan harus berkisar antara 1 : 1 sampai 1 : 9, c. panjang setiap garis pangkal tidak boleh melebihi 100 mil laut kecuali 3% dari jumlah seluruh garis – garis pangkal yang terbentuk tidak lebih dari 125 mil laut, d. garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan tersebut, e. garis tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut kecuali : 1). diatasnya telah dibangun mercusuar atau instalasi serupa yang secara tetap berada di atas permukaan laut, atau 2). elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat, f. garis pangkal demikian tidak boleh memotong laut teritorial negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.
Dalam UNCLOS 1982 juga diatur bahwa penetapan batas terluar untuk setiap zona maritim dapat dilakukan secara unilateral dengan menggunakan garis – garis pangkal sebagai titik awal pengukuran. Namun apabila ternyata tidak mungkin untuk dilakukan klaim sesuai batas maksimum yang diperbolehkan, maka perlu ditetapkan (secara bersama dengan negara tetangga) garis – garis batas yang zona maritimnya berbatasan / bersinggungan atau tumpang tindih.
    Selain perkenalan terhadap ketiga bentuk penentuan garis batas tersebut, UNCLOS 1982 juga mengatur garis – garis batas yang lebih spesifik pada zona – zona tertentu yaitu :
1.    Garis Batas Laut Teritorial.
    Ketentuan mengenai penarikan dan penetapan garis batas laut teritorial baik bagi negara – negara yang pantainya berdampingan atau berhadapan diatur dalam Pasal 15 UNCLOS 1982 yang berbunyi : “Dalam hal dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun di antaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya di antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik – titiknya sama jaraknya dari titik – titik terdekat pada garis – garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing – masing negara diukur. Tetapi ketentuan di atas tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan di atas”. Ketentuan dalam pasal tersebut menunjukkan adanya beberapa pilihan dalam menarik dan menetapkan garis batas laut teritorial negara, yaitu : a. menggunakan metode garis tengah (median line), b. dengan cara lain apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain, dan c. dengan cara lain melalui persetujuan di anatar negara – negara yang berkepentingan.
2.    Garis Batas ZEE atau Landas Kontinen
    Pasal 74 dan Pasal 83 UNCLOS 1982 mengatur tentang penetapan batas ZEE maupun Landa Kontinen antara negara – negara yang secara geografis berdampingan ataupun berhadapan. Ketentuan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
(1)    Penetapan batas ZEE dan Landas Kontinen, antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan (antara negara – negara yang berkepentingan) atas dasar hukum internasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapati suatu penyelesaian yang adil.
(2)    Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara – negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV.
(3)    Sambil menunggu suatu persetujuan seperti ditentukan dalam ayat (1), negara – negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pegertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis, dan selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan.
(4)    Dalam hal adanya persetujuan yang berlaku antara negara – negara yang bersangkuran, maka masalah yang bertalian dengan penetapan batas ZEE / Landas Kontinen, harus ditetapkan dengan ketentuan persetujuan itu.
    Dengan berbagai ketentuan aturan dalam UNCLOS 1982 di atas, dapat dilihat bahwa penetapan garis batas (laut teritorial dan zona maritim) suatu negara harus dilakukan dengan persetujuan (kerjasama) negara yang berkepentingan. Dengan kata lain, penetapan tersebut bukanlah suatu tindakan secara unilateral. Rasa persahabatan antar negara dituntut untuk diutamakan dalam kerjasama penerapan garis batas zona maritim agar tercapat keadilan / keseimbangan yang memuaskan semua pihak. Namun dalam praktek prinsip persahabatan dan hidup bertetangga yang baik tidak selalu tercapai dalam penetapan batas tersebut sehingga melahirkan persengketaan wilayah .
    Penyelesaian sengketa dalam bidang hukum laut sebelum UNCLOS 1982 dilakukan dalam kerangka penyelesaian sengketa internasional pada umumnya, yaitu sengketa diselesaikan melalui mekanisme – mekanisme dan institusi – institusi peradilan internasional yang sudah ada. 
    UNCLOS 1982 mengarahkan negara – negara untuk segera menyelesaikan sengketa yang berhubungan dengan laut. Negara – negara tidak dapat lagi menunda penyelesaian sengketa dengan bersembunyi di balik kedaulatan negara. Suatu negara dapat menunda penyelesaian sengketa bila negara lain yang terlibat dalam sengketa setuju untuk penundaan tersebut. Jika tidak ada persetujuan demikian, maka mekanisme prosedur memaksa (compulsory procedure) dalam UNCLOS 1982 harus diberlakukan.
B. Sarana Penyelesaian Sengketa Batas Maritim dalam Kerangka UNCLOS 1982
    Seperti yang disinggung di atas, bahwa negara – negara yang menghadapi sengketa diharuskan menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi dalam ketentuan yang diharuskan UNCLOS 1982. Untuk itu, Pasal 287 UNCLOS 1982 mengatur tentang alternatif dan prosedur penyelesaian sengketa bagi negara – negara yang berhubungan dengan wilayah atau zona kelautan. Ada dua bentuk alternatif penyelesaian sengketa dimana negara – negara diberi kebebasan memilih bentuk penyelesaian mana yang mereka anggap paling tepat dalam sengketa yang dihadapi. Adapun bentuk alternatif penyelesaian sengketa dalam kerangka UNCLOS 1982 adalah :
1.    Penyelesaian Sengketa Secara Damai.
    Dalam perspektif ini, UNCLOS 1982 mewajibkan negara – negara menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka dengan merujuk pada ketentuan Pasal 3 ayat (2) Piagam PBB. Di sini negara – negara diberi kebebasan untuk memilih bentuk prosedur penyelesaian sengketa dengan menggunakan sarana – sarana penyelesaian sengketa sebagaimana diatur pada Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB. Sekalipun demikian, ketentuan dalam Pasal 33 Piagam PBB tidak meniadakan kemungkinan para pihak untuk memilih bentuk penyelesaian sengketa secara damai lainnya sepanjang para pihak sepakat untuk itu.
    Jika cara dan prosedur yang ditentukan pada Pasal 33 Piagam PBB tidak mampu menyelesaikan sengketa di antara para pihak, maka salah satu pihak dapat mengundang pihak lainnya untuk mengadakan prosedur konsiliasi. jika prosedur ini disetujui para pihak, masing – masing pihak akan memilih dua konsiliator dari negara – negara peserta konvensi kemudian ditambah masing – masing satu konsiliator dari negara yang terlibat sengketa. Keseluruhan konsiliator ini akan memilih konsiliator kelima yang akan bertindak sebagai Ketua. Panel konsiliasi akan bertugas selama satu tahun untuk melakukan dengar pendapat, membuat laporan pelaksanaan konsiliasi dan membuat rekomendasi – rekomendasi untuk penyelesaian sengketa tersebut. Laporan dan rekomendasi yang dihasilkan oleh Panel Konsiliasi tidak otomatis mengikat para pihak yang bersengketa sebab keputusan akhir diterima atau tidak diterimanya rekomendasi Panel dalam menyelesaikan sengketa ada pada negara – negara yang menghadapi sengketa.  Artinya, penerimaan rekomendasi Panel harus dinyatakan secara tegas secara bersama oleh para pihak yang bersengketa. Apabila satu pihak menerima dan pihak lain tidak menerima, maka rekomendasi Panel tidak dapat dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa.
    Suatu prosedur penyelesaian sengketa secara damai dapat dikatakan berhasil adalah apabila para pihak yang terlibat sengketa secara bersama – sama menyatakan menerima dan puas akan hasil rekomendasi atau keputusan prosedur penyelesaian sengketa yang dilakukan.
2.    Penyelesaian Sengketa Dengan Prosedur Wajib (Compulsory Settlement)
    Dalam hal tidak tercapai suatu kesepakatan dalam penyelesaian sengketa secara damai, maka para pihak dapat menggunakan prosedur wajib yang menghasilkan keputusan yang mengikat. Bab XV khususnya Pasal 287 UNCLOS 1982 menyediakan empat forum yang dapat dipilih untuk penyelesaian sengketa yaitu :
a.    International Tribunal For The Law Of The Sea (ITLOS).
b.    International Court of Justice (ICJ).
c.    Arbitral Tribunal.
d.    Special Arbitral Tribunal.
    ITLOS adalah badan peradilan independen yang dibentuk oleh UNCLOS. Badan ini ditujukan untuk mengadili sengketa – sengketa yang lahir dari pelaksanaan maupun penafsiran ketentuan – ketentuan dalam UNCLOS.  Berdasarkan statutanya, ITLOS dapat membentuk Chamber untuk menangani bidang – bidang tertentu yang disengketakan. Saat ini ada beberapa Chamber yang telah dibentuk yaitu : a. the Chamber of Summary Procedure, b. the Chamber of Fisheries Disputes and the Chamber for Environment Disputes, c. Special Chamber Concerning the Conservation and Sustainable Exploitation of Swordfish Stock In The south Eastern Pacificc Ocean, dan d. Seabed Disputes Chamber. Tribunal ini terbuka bagi semua negara anggota UNCLOS, dan di samping itu dalam kasus – kasus tertentu membuka kesempatan pada orang, badan hukum atau organisasi internasional mengajukan perkara ke hadapannya.  Yurisdiksi Tribunal tidak terbatas atas semua kasus yang berhubungan dengan pelaksanaan dan penafsiran ketentuan UNCLOS 1982 yag disampaikan padanya. Tribunal juga berwenang mengadili sengketa – sengketa yang lahir dari pelaksanaan perjanjian – perjanjian internasional yang secara tegas menyatakan ITLOS sebagai forum penyelesaian sengketa.
    ICJ adalah sarana peradilan yang dapat dipilih negara – negara dalam menyelesaikan sengketa, termasuk di bidang kelautan dengan cara litigasi sebelum terbentuknya ITLOS. ICJ dalam memutus perkara, termasuk dalam bidang Hukum Laut, tidak hanya menggunakan ketentuan dalam UNCLOS akan tetapi juga menggunakan ketentuan Hukum Internasional yang berkaitan dengan sengketa. Ketentuan Hukum Internasional tetap dipakai oleh ICJ dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan perbatasan karena Hukum Internasional masih banyak mengandung nilai – nilai kolonial.  Dengan kandungan demikian, nilai – nilai dan prinsip kolonial tersebut masih digunakan ICJ sebagai landasan dalam membuat keputusan, padahal secara faktual telah terjadi perubahan geopolitik dunia setelah era kolonial berakhir pada Abad XX yang sekaligus membawa perubahan pada nilai dan prinsip hukum. Salah satu indikasi atas putusan ICJ yang menggunakan nilai dan prinsip lama adalah atas kasus yang diajukan oleh Kamerun dan Nigeria mengenai pengaturan batas maritim di wilayah sekitar Semenanjung Bakassi tahun 2002.  Artinya, penggunaan perspektif yang kurang tepat oleh Hakim ICJ dalam mengadili sengketa pemilikan wilayah yang disampaikan ke Mahkamah adalah dengan pengutamaan penggunaan alasan dan kaedah hukum yang berakar pada era kolonial (dominasi Eropa atas wilayah dunia).

    Penyelesaian sengketa dengan menggunakan Arbitral Tribunal dan Special Arbitral Tribunal pada intinya adalah penyelesaian apabila para pihak yang bersengketa tidak sepakat / berhasil menyelesaikan sengketa secara damai seperti yang sudah dipaparkan terlebih dahulu.  Keterikatan para pihak yang bersengketa untuk memilih forum penyelesaian sengketa di atas, Boer Mauna menyebut : “Negara – negara pihak pada waktu menandatangani, meratifikasi, atau kapan saja, melalui suatu deklarasi dapat memilih badan – badan penyelesaian sengketa yang ada. Jika tidak ada deklarasi dimaksud maka negara pihak tersebut dianggap memilih Arbitrase.”  Artinya, negara – negara diberi kebebasan waktu untuk memilih forum penyelesaian sengketa baik sebelum atau sesudah sengketa timbul. Forum / sarana penyelesaian sengketa manapun yang dipilih, para pihak bersengketa dalam menyelesaikan sengketa dalam konteks UNCLOS, ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai pedoman penilaian pemilihan saran penyelesaian yaitu : a. mencapai tujuan untuk memelihara perdamaian, b. efektivitas penyelesaian sengketa, c. strategi dalam menyelesaikan sengketa, dan d. efisiensi waktu, biaya, dan upaya. Hal ini perlu ditekankan karena sekali satu sarana penyelesaian sengketa dipilih akan otomatis diikuti oleh konsekuensi yuridis dibelakangnya. Setiap negara dapat mengklaim hak berdaulatnya meskipun berdampingan negara lain, berdasarkan latar belakang sejarah penggunaan laut teritorialnya, lewat berbagai penyelesaian sengketa ini.
C.    Penyelesaian Sengketa Batas Maritim Dalam ITLOS Berdasarkan Kasus Bangladesh dan Myanmar Di Teluk Benggala.
1. Latar Belakang Sengketa
    Teluk Benggala ialah sebuah teluk yang terletak di bagian timur laut Lautan Hindia. Teluk ini terletak di barat Semenanjung Malaya dan barat India. Teluk ini terlihat seperti segitiga. Ini disebut Teluk Benggala karena di utaranya ada negara bagian India Benggala Barat dan negara Bangladesh. Teluk Benggala kaya akan sumber daya alam ( minyak dan cadangan gas) sehingga banyak negara yang ingin memilikinya untuk mengeksplorasi dan mengekploitasinya (menguasai). Dengan kata lain, eksplorasi dan eksploitas sumberdaya alam masih merupakan motivasi utama negosiasi batas maritim ini. Selama kurun waktu 5 tahun (2005 – 2010), India dan Myanmar (dikenal juga dengan Birma) secara ekstensif melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas di Teluk Bengal yang merupakan teluk tempat beberapa negara mengklaim wilayah maritim termasuk Bangladesh, India dan Myanmar. Oleh sebab itu muncullah sengketa batas laut maritim antara Myanmar dan Bangladesh. Mereka saling mengklaim bahwa Teluk Benggala merupakan wilayahnya.












Gambar 1.   
    Teluk Benggala sesuai gambar di atas terletak di Delta Benggala yang membentuk kurang lebih 60% garis pantai Bangladesh, dan dipercaya kaya akan kekayaan alam dan gas. Pada 1974, Bangladesh dan Myanmar telah membentuk sebuah Agreed Minutes yang pada intinya menyepakati batas laut teritorial antara keduanya, dan dipakai sampai saat sengketa diajukan ke tribunal. Pada tahun yang sama, Bangladesh juga telah membentuk kesepakatan dengan Myanmar dan India mengenai pengaturan tentang Zona Ekonomi Eksklusif. Sejak 1979 sampai 2005 ada sebuah Friendship Line yang disepakati oleh Bangladesh dan Myanmar tentang batas – batas ZEE dan Landas Kontinen mereka, yang selama kurun waktu tersebut setiap aktivitas yang dilakukan sesuai dengan prosedur yang disepakati. Namun seiring dengan perkembangan teknologi, kebutuhan akan gas dan sumber daya alam, serta adanya aktivitas konsesi gas alam yang semakin tinggi di antara kedua negara, maka sengketa pun tidak dapat dihindarkan.
    India juga memasukkan diri dalam sengketa ini, karena sebagian batas Teluk Benggala masuk dalam wilayah teritorial India di Pulau Andaman, dan India secara ekstensif melakukan konsesi gas terhadapnya. Negosiasi dengan pihak Bangladesh telah dilakukan sejak 1982, dan sampai 2008 telah melaksanakan pertemuan bilateral namun belum juga menemukan titik temu. Tidak dapat dihindarkan bahwa campur tangan India dalam sengketa ini akan menghasilkan masalah karena permasalahan hanya berada di tangan dua belah pihak. T. O. Elias berpendapat, permasalahan seperti ini sangat berkaitan dengan adanya hak dan kewajiban yang dilanggar yang berimplikasi pada pihak ketiga dalam sebuah perjanjian.









    Gambar 2
    Sengketa batas maritim berkepanjangan yang telah berusia sekitar 21 tahun antara Bangladesh dan Myanmar akhirnya dirundingkan kembali. Pertemuan-pertemuan terus dilakukan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Pertemuan berlangsung di Dhaka, ibukota Bangladesh selama dua hari tanggal 1-2 April 2008. Meski bisa dikatakan sebagai kemajuan dalam hubungan kedua negara dalam usaha menetapkan batas maritim, pertemuan tersebut berakhir tanpa hasil. Kedua negara yang bersengketa di Teluk Benggala tidak berhasil menyatukan pandangan sehingga tidak bisa menyepakati garis batas tunggal seperti yang diinginkan.
    India dan Myanmar telah menyepakati batas maritim dengan menggunakan metode garis ekuidistan yang memungkinkan kedua negara melakukan eksplorasi dan ekploitasi sumber daya di Teluk Benggala dengan lebih luas secara legal. Mengingat berakhirnya perundingan antara Bangladesh dan Myanmar yang tanpa keputusan, negosiasi dilanjutkan Juni 2008 di Yangon, ibukota Myanmar. Pada tanggal 3 November 2008, Bangladesh akan mengirimkan tim diplomatik ke Myanmar untuk berusaha memecahkan sengketa perbatasan, pada saat kapal-kapal kedua pihak berhadapan di lepas pantai perairan yang disengketakan di Teluk Benggala. Pertemuan lain dijadwalkan untuk menetapkan garis batas laut yang akan diselenggarakan di Dhaka, 16-17 November 2008. Bangladesh dan Myanmar menandatangani perjanjian untuk mempercepat penyelesaian semua masalah kedua negara, termasuk sengketa pengungsi di Bangladesh.
    Pada tanggal 8 November 2008, Bangladesh menyatakan akan menarik kapal-kapal perang yang dikirim ke Teluk Benggala apabila Myanmar, memberikan jaminan akan menghentikan eksplorasi di satu zona maritim yang disengketakan. Myanmar, yang menemukan cadangan besar gas alam di Teluk Benggala, menegaskan bahwa kegiatan eksplorasinya adalah sah. Ketegangan muncul ketika Myanmar mengirim kapal-kapal perang untuk mendukung kegiatan pengeboran sekitar 50 km selatan Pulau Saint Martin, Bangladesh. Bangladesh pun segera mengirim empat kapal perang ke daerah itu serta beberapa personel angkatan bersenjata untuk siaga menghadapi berbagai ancaman yang terjadi. Pada tanggal 12 November 2008, Pejabat Myanmar dan Bangladesh mengadakan pertemuan di New Delhi untuk membahas sengketa territorial di kawasan Teluk Benggala yang kaya minyak dan gas alam.
    Bangladesh, India, dan Myanmar merupakan negara peratifikasi UNCLOS 1982. Pada 8 Oktober 2009, Bangladesh secara resmi mengajukan sengketa Teluk Benggala ini dengan cara arbitrase melawan Myanmar dan India. India kemudian menyatakan setuju terhadap cara penyelesaian sengketa demikian. Myanmar pada 4 November 2009 dan Bangladesh 12 Desember 2009 secara resiprokal menyepakati bahwa klaim ini akan dibawa ke ITLOS.
    Kasus antara Bangladesh dan Myanmar menjadi kasus delimitasi batas maritim pertama yang ditangani oleh Tribunal. Sebelumnya Tribunal telah menerima dan menyelesaikan 15 kasus di bidang hukum laut internasional. Myanmar menjadi negara anggota ASEAN pertama yang sepakat dan memilih untuk menyelesaikan sengketa batas maritimnya melalui jalur mahkamah internasional. Sebagai catatan, beberapa negara ASEAN pernah bersengketa di mahkamah Internasional terkait masalah kelautan dan kedaulatan, namun tidak pernah terkait batas maritim. Sebagai contoh adalah Malaysia dan Singapura yang pernah bersengketa di Tribunal tentang reklamasi pantai Singapura dan di Mahkamah terkait kedaulatan beberapa karang dan elevasi surut di Selat Singapura.
    Mandat tribunal dalam kasus ini adalah untuk menentukan batas – batas laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas Kontinen, termasuk yang melebihi 200mil laut. Berdasarkan mandat tersebut, maka tribunal mulai melakukan eksaminasi atas bukti – bukti yang diajukan kedua belah pihak.
2. Yurisdiksi, Hukum Yang Dipakai, serta Putusan ITLOS
    Putusan ITLOS penting yang paling pertama harus dibahas adalah bagaimana ITLOS menyikapi pertentangan yurisdiksi yang dikehendaki oleh kedua belah pihak terhadap ITLOS. Bangladesh yang berpendapat bahwa ITLOS diberikan yurisdiksi untuk menentukan batas laut teritorial, ZEE, dan Landas Kontinen sampai 200 mil laut berdasarkan UNCLOS 1982 Pasal 15, 74, 76, dan 83 ditentang oleh Myanmar dengan berpendapat bahwa ITLOS tidak berhak menentukan batas Landas Kontinen sampai 200 mil laut. ITLOS berpendapat bahwa dalam kesepakatan awal kedua belah pihak, ITLOS diberikan yurisdiksi untuk menentukan sesuai mandat yang telah disebutkan di atas, oleh karena itu pada intinya menerima pendapat Bangladesh, dan menolak pendapat Myanmar.
    Hukum yang dipakai oleh ITLOS adalah berdasarkan Pasal 23 Statuta ITLOS yang menyatakan bahwa tribunal akan memakai semua hukum internasional yang diperlukan untuk menentukan segala sesuatu yang berkaitan dengan Pasal 293 UNCLOS 1982.
    ITLOS dalam menentukan batas laut teritorial memutuskan bahwa akan memeriksa Agreed Minutes yang telah disepakati kedua belah pihak pada 1974 dan 2008. Perdebatan awal pada saat pelaksanaan kasus ini adalah bagaimana kedua belah pihak mempertahankan pengertian Agreed Minutes tersebut. Bangladesh berpendapat bahwa Agreed Minutes bersifat mengikat secara hukum sedangkan Myanmar berpendapat sebaliknya. Perdebatan ini dengan mengajukan Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Perdebatan kemudian berlanjut pada keabsahan diplomat para pihak yang mewakili pada saat dibuat Agreed Minutes tersebut dimana Myanmar kesemua pihak tidak memiliki full powers yang sah dalam menyusun sebuah perjanjian internasional. Tribunal berpendapat bahwa Agreed Minutes yang dihasilkan tersebut adalah sah dan mengikat karena yang diperhatikan adalah isi dan materi pembahasannya, bukan pada bentuk atau pembentukannya. Masalah penggunaan sebuah perjanjian internasional bukanlah terikat pada bagaimana perjanjian tersebut dibentuk, namun kekuatan mengikat atas isi materi perjanjian tersebut.
    Perdebatan selanjutnya adalah tentang bagaimana pelaksanaan Agreed Minutes itu sendiri. Bangladesh berpendapat bahwa mereka telah melaksanakan perjanjian tersebut dengan mengijinkan kapal laut Myanmar untuk menggunakan hak lintas damai dalam laut teritorial sesuai yang disepakati dalam perjanjian tersebut, juga sekaligus telah mengadakan patroli laut secara berkelanjutan dan memiliki nelayan – nelayan yang melakukan penangkapan ikan secara aktif. Namun Myanmar berpendapat Bangladesh tidak melaksanakan secara de facto tentang pengelolaan dalam laut teritorial yang disepakati tersebut, oleh karena itu laut teritorial yang disepakati dalam perjanjian tersebut tidak dapat disahkan. Dalam perdebatan ini, Tribunal memutuskan bahwa bukti – bukti yang diajukan oleh Bangladesh tidaklah de facto karena hanya berdasarkan kesaksian semata, dan tidak menunjukkan adanya bukti – bukti hukum yang faktual terkait keberadaan patroli laut dan nelayan – nelayan tersebut sebagai bentuk hukum yang tetap, sehingga persetujuan mengenai laut teritorial tersebut dinyatakan tidak sah. Pelaksanaan perjanjian tersebut adalah hal yang rumit namun sederhana, karena perdebatan pelaksanaannya bukanlah pada pengajuan bukti, namun hal – hal yang terjadi di lapangan.  Tribunal kemudian menentukan batas laut teritorial antara kedua belah pihak dengan menggunakan pasal 15 UNCLOS 1982, namun memperhatikan terlebih dahulu latar belakang historis serta beberapa keadaan khusus dalam area tersebut seperti keberadaan pulau St.Martin. Setelah mempertimbangkan berbagai hal tersebut, diputuskan bahwa laut teritorial akan dibatasi dengan menggunakan metode equidistan line.
    Pelaksanaan sebuah perjanjian sangat mutlak diikuti oleh keinginan kedua belah pihak untuk secara berkelanjutan mengaplikasikan isi perjanjian, dengan segala kemungkinan menghindari sengketa yang dapat muncul di kemudian hari. Apabila kemudian muncul sengketa, maka isi dari perjanjian tersebut menjadi pertimbangan kuat di atas bentuk dan tanggal disetujui perjanjian.
    Putusan ITLOS dapat dilihat pada gambar berikut.




Gambar 3.
    Dalam menentukan batas ZEE dan Landas Kontinen, tribunal dengan persetujuan kedua belah pihak memakai metode single delimitation line atau garis batas tunggal meskipun UNCLOS 1982 memakai metode lain, namun berdasarkan praktik dunia internasional (dari pandangan Bangladesh yang kemudian disetujui oleh Myanmar) pemakaian single maritime boundary atau batas maritim tunggal sudah diakui untuk menentukan kedua zona tersebut. Dasar hukum yang dipakai untuk menentukan garis batas tunggal untuk ZEE dan Landas Kontinen pada sengketa ini adalah berdasarkan Pasal 74 dan 83 UNCLOS 1982 yang pada dasarnya memiliki kesamaan isi namun berbeda dalam tujuan penggunaannya semata. Seperti disebutkan pada Pasal 74 yang mengakui keberadaan Pasal 38 Statuta ICJ yang didalamnya juga mengakui keberadaan aturan internasional lain dalam pengaturan semacam ini, maka hukum kebiasaan internasional dianggap tribunal sebagai salah satu aturan hukum internasional yang dapat dipakai untuk menentukan garis batas tunggal tersebut untuk mendapatkan solusi yang terbaik. Tribunal memakai putusan pada kasus “Arbitration between Barbados and the Republic of Trinidad and Tobago, relating to the delimitation of the exclusive economic zone and the continental shelf between them, Decision of 11 April 2006, RIAA, Vol. XXVII, p. 147, at pp. 210-211, para. 223” , bahwa keberadaan hukum kebiasaan internasional diakui untuk membantu berbagai persoalan yang terkait dengan penentuan batas kedaulatan bersama – sama dengan aturan hukum internasional dan putusan – putusan pengadilan lainnya.
    Dalam proses penentuan garis batas tunggal dengan menggunakan hukum kebiasaan internasional, tribunal memakai prinsip “the land dominates the sea through the projection of the coasts or the coastal fronts” atau tanah yang mendominasi laut lewat proyeksi pantai atau pantai terluar. (Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine), Judgment, I.C.J. Reports 2009, p. 61, at p. 89, para. 77), dan juga sesuai dengan putusan ICJ dalam North Sea Case yang menyatakan “the land is the legal source of the power which a State may exercise over territorial extensions to seaward” atau tanah adalah sumber hukum untuk memperoleh kekuatan mengikat dimana negara dapat memakainya untuk mendapatkan perpanjangan wilayah sampai ke daerah laut. (North Sea Continental Shelf, Judgment, I.C.J. Reports 1969, p. 3, at p. 51, paragraph 96) . Putusan akhir tribunal adalah dengan menetapkan bahwa rasio perbandingan pantai adalah 1 : 1.42 untuk Myanmar. Gambar hasil putusan tribunal dapat dilihat sebagai berikut.



Gambar 4

    Metode penetapan batas ZEE dan Landas Kontinen yang ditetapkan tribunal dalam kasus ini adalah dengan memakai metode equidistance / relevant circumstances method dengan mengemukakan berbagai yurisprudensi yang sudah ada sebelumnya dalam ICJ dengan mengingat bahwa sengketa ini merupakan sengketa pertama tentang penentuan batas maritim yang ditangani ITLOS. Penentuan selanjutnya merupakan penentuan teknis secara geodesi berdasarkan metode yang telah ditentukan tersebut.
    Tribunal dalam putusannya menetapkan bahwa mereka memiliki yurisdiksi dalam mengadili perkara tentang Landas Kontinen yang melebihi 200 mil laut, dengan memperhatikan Pasal 76 UNCLOS 1982 tentang konsep landas kontinen tunggal yang berkaitan dengan dengan Pasal 77 UNCLOS 1982 tentang negara mendapatkan hak berdaulat atas landas kontinen sepanjang 200 mil laut dan sampai melebihinya. Pasal 83 UNCLOS 1982 juga menegaskan bahwa hak berdaulat tersebut tidak mendapatkan pembedaan apabila memiliki negara pantai lain yang berdekatan (adjacent coasts). Dengan konsep landas kontinen tunggal pada Arbitration between Barbados and Trinidad and Tobago (Putusan 11 April 2006, RIAA, Vol. XXVII, p. 147, at pp. 208-209, para. 213), maka tribunal berpendapat bahwa yurisdiksi untuk menerapkan hukum terhadap landas kontinen tidak terbatas pada landas kontinen bagian dalam saja, namun juga termasuk pada bagian luarnya karena landas kontinen dianggap merupakan satu kesatuan yang utuh, oleh karena itu tribunal diberikan hak untuk menerapkan hukum atas landas kontinen yang melebihi 200 mil laut. Penolakan Myanmar atas hak Bangladesh akan landas kontinen yang melebihi 200 mil laut ditolak oleh tribunal dengan alasan telah ditetapkan terlebih dahulu saat diputuskan tentang ZEE dan Landas Kontinen di atas. Penetapan yurisdiksi, pengertian, serta pengukuran landas kontinen melebihi 200 mil laut selanjutnya ditetapkan tribunal dengan memperhatikan berbagai keputusan ICJ, arbitrase, dan komisi – komisi yang telah ada terlebih dahulu seperti Arbitration between Barbados and the Republic of Trinidad and Tobago (Decision of 11 April 2006, RIAA, Vol. XXVII, p. 147, at p. 209, para. 217), Territorial and Maritime Dispute between Nicaragua and Honduras in the Caribbean Sea (Nicaragua v. Honduras), Responsibilities and obligations of States sponsoring persons and entities with respect to activities in the Area (Request for Advisory Opinion submitted to the Seabed Disputes Chamber), 1 February 2011, para. 57), Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional khususnya Pasal 33, dan International Seabed Authority, agar penetapan batas landas kontinen tersebut tidak merugikan pihak yang permohonannya ditolak sehingga putussan ini memperoleh kekuatan mengikat sesuai dengan Pasal 33 paragraf 2 Statuta ITLOS yang menyatakan bahwa putusan ITLOS hanya mengikat apabila tidak merugikan pihak yang permohonannya ditolak.
D. Putusan ITLOS tentang Sengketa Batas Maritim Bangladesh dan Myanmar Dalam Hubungan Dengan Perlindungan Wilayah Laut Di Indonesia.
    Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas dengan berbatasan dengan banyak negara tetangga yang juga memiliki pantai, baik yang berhadapan maupun yang berdampingan. Dalam perlindungan wilayah laut di Indonesia, potensi munculnya sengketa dengan berbagai negara tetangga tersebut akan sangat dimungkinkan mengingat hukum internasional mengakui adanya hak berdaulat atas wilayah laut . Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Indonesia dalam mengantisipasi potensi sengketa wilayah laut sebagai bentuk perlindungan adalah :
1.    Perlindungan wilayah laut harus dilakukan berdasarkan UNCLOS 1982, dimana Indonesia termasuk negara peratifikasi konvensi tersebut. Pengetahuan yang mendalam tentang pengaturan terhadap wilayah laut serta hak – hak yang diperoleh oleh sebuah negara lewat UNCLOS 1982 adalah mutlak diperlukan dengan melibatkan berbagai pihak dan ahli.
2.    Ketika berhadapan dengan negara pantai yang lain yang berdekatan ataupun berhadapan dengan wilayah kedaulatan Indonesia di laut, maka perlu diadakan perundingan pembuatan perjanjian internasional yang tepat. Perwujudan atau realisasi hubungan – hubungan internasional dalam bentuk perjanjian internasional sudah sejak lama dilakukan oleh negara – negara di dunia ini.  Banyak perjanjian bilateral mempunyai persamaan yang paling dekat dengan kontrak – kontrak pribadi yang dibuat oleh perorangan – perorangan, sehingga kehati – hatian sangat diperlukan dengan memperhatikan kepentingan nasional negara.
3.    Dalam menyusun sebuah perjanjian bilateral terkait masalah perbatasan, perlu diperhatikan adanya keterlibatan pihak ketiga. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi ketika ada hak – hak tertentu dari pihak ketiga dilanggar akibat dibuatnya perjanjian bilateral tersebut. Negara pihak ketiga memiliki kekuatan diplomatik yang sah untuk melibatkan diri dalam perjanjian tersebut khususnya masalah kedaulatan negara.
4.    Pemilihan sarana penyelesaian sengketa yang tepat sangat menentukan eksistensi wilayah laut Indonesia. Negosiasi adalah sarana penyelesaian sengketa yang mutlak harus dilakukan terlebih dahulu untuk menghindari sengketa yang berkepanjangan. Namun demikian, sengketa yang terkait dengan masalah kedaulatan atas wilayah laut biasanya diselesaikan lewat ICJ, mengingat ICJ telah memiliki begitu banyak yurisprudensi yang terkait dengan masalah kedaulatan. Untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang lebih khusus menangani masalah delimitasi maritim, maka hendaknya ITLOS merupakan saran yang paling tepat dengan memperhatikan efisiensi waktu serta ketepatan penggunaan hukum yang dipakai dalam menyelesaikan sengketa.
5.    ITLOS dalam menyelesaikan sengketa memakai berbagai yurisprudensi serta hukum kebiasaan internasional yang ada. Pengetahuan yang komprehensif akan berbagai kasus yang telah ada sangat membantu mempertahankan materi pembelaan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa.
6.    Penetapan Batas Zona Maritim Laut oleh ITLOS tidak terpaku pada satu metode saja, namun memperhatikan bukti – bukti semerta pemeriksaan fakta serta kondisi laut, beserta dengan perjanjian internasional yang telah dibuat yang terkait dengan zona – zona maritim yang dimaksud. Dalam kasus ini, Laut Teritorial memakai metode equidistan line serta ZEE dan Landas Kontinen dengan single delimitation line dan relevant circumstances method.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

tatacara penulisan terlalu padat sehingga pembaca menjadi malas untuk membacanya,untuk materi sudah baik