Jumat, 01 Juni 2012

LEDAKAN BOM DEKAT KBRI di PERANCIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM DIPLOMATIK

KEKEBALAN GEDUNG PERWAKILAN DAN STATE RESPONSIBILITY NEGARA PENERIMA   
    Menurut Satow’s dalam Guide To Diplomatic Practice, baik gedung perwakilan maupun rumah kediaman diplomat, keduanya menurut hukum internasional diperlakukan sama . Dengan demikian, keduanya berhak memperoleh perlindungan khusus dan tidak dapt dimasuki tanpa izin kepala perwakilan, kecuali jika terjadi kebakaran atau bencana lainnya yang memerlukan tindakan – tindakan yang cepat . Perlindungan terhadap gedung perwakilan asing yang diberikan di negara penerima dapat dilakukan dalam dua hal, yaitu perlindungan di lingkungan gedung perwakilan asing (Interna Rationae) dan perlindungan di luar lingkungan gedung perwakilan asing (Externa Rationae) . Pasal 22 Konvensi Wina mengatur tentang tidak diganggu gugatnya kantor perwakilan diplomatik dan kewajiban negara untuk melindungi kantor tersebut dari setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan ketenangan perwakilan atau hal yang menurunkan martabatnya, serta kekebalan dari penggeledahan, penuntutan, pengikatan atau penyitaan. Sedangkan Pasal 41 ayat 3 mengatur bahwa kantor perwakilan tidak boleh digunakan dengan cara apapun yang tidak sesuai dengan tugas-tugas perwakilan sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Wina 1961.
    Berdasarkan hal – hal tersebut di atas maka negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan sepenuhnya kepada perwakilan negara asing di negara tersebut dari setiap gangguan, bahkan apabila terjadi keadaan luar biasa seperti putusnya hubungan diplomatik, atau terjadinya konflik bersenjata antara negara pengirim dan negara penerima, kewajiban negara penerima harus tetap dilakukan . Dalam hal ini, state responsibility negara penerima adalah mutlak terhadap semua bentuk dan definisi dari gedung perwakilan diplomatik negara pengirim ketika berada di wilayahnya.
    Dalam kasus meledaknya bom di lokasi yang berdekatan dengan KBRI di Perancis, negara penerima memiliki tanggung jawab yang tersirat dalam Pasal 22 ayat (2) yang secara lebih khusus mewajibkan negara penerima untuk memberikan perlindungan kepada gedung perwakilan beserta segenap isi di dalamnya. Makna yang terkandung dalam pasal ini dapat kita simpulkan sudah termasuk dengan tindakan pencegahan akan terjadinya setiap gangguan ketenangan perwakilan atau gangguan yang dapat menurunkan harkat dan martabat perwakilan asing di suatu negara, juga dapat diartikan kekebalan di lingkungan gedung perwakilan itu sendiri, karena itu, perlindungan dari negara penerima yang diberikan, bukan saja dilakukan di gedung perwakilan, melainkan juga di luarnya ataupun lingkungan sekitarnya.
    Jadi kesimpulannya gedung diplomatik mendapatkan kekebalan yang mencakup antara lain gedung tersebut tidak dapat dimasuki oleh siapapun termasuk alat kekuasaan dari negara penerima tanpa seizin kepala perwakilan gedung tersebut, kemudian gedung diplomatik tersebut berhak mendapt perlindungan dan pencegahan dari segala aspek baik kerusakan atau gangguan yang bisa mengganggu dan mebahayakan keselamatan maupun harkat marabat pejabat diplomatik dalam menjalankan misinya di negara penerima, dan yang terakhir adalah barang-barang yang ada di dalam gedung diplomat tersebut yang berkaitan atau menunjang pejabat diplomat dalam menjalankan misinya di negara penerima .
YURISDIKSI EXTRATERRITORIAL
    Persoalan perluasan yurisdiksi berlakunya hukum pidana berdasarkan asas territorial di wilayah darat timbul, karena adanya suatu teori dalam hukum internasional diplomatik yang menyatakan bahwa gedung diplomatik merupakan perluasan wilayah suatu negara pengirim di negara penerima. Yurisdiksi ekstrateritorial, diartikan sebagai kepanjangan secara semu (quasi extentio) dari yurisdiksi suatu negara di wilayah yurisdiksi negara lain . Konsep ini didasarkan atas teori ekstrateritorial dalam kaitannya dengan premises (sebidang tanah dimana berdiri gedung-gedung Perwakilan Diplomatik atau Konsuler) di suatu negara. Lingkungan wilayah di dalam premises tersebut dianggap seakan-akan merupakan wilayah tambahan dari suatu negara. Yurisdiksi ekstrateritorial tersebut meliputi yurisdiksi Perwakilan Diplomatik dan Konsuler dari suatu negara khususnya yang menyangkut yurisdiksi suatu negara terhadap Warga Negaranya di negara lain . Yurisdiksi ekstrateritorial ini pada awalnya disebut sebagai yurisdiksi Konsuler karena yurisdiksi semacam itu sudah dianut dan dikenal sejak dahulu dan telah dipraktekkan oleh Konsul-Konsul di negara lain. Gedung – gedung diplomatik tersebut di dalam hukum diplomatik dinyatakan tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh dimasuki oleh aparat keamanan setempat kecuali seizin Kepala Perwakilannya, karena itu perwakilan diplomatik maupun Konsuler suatu Negara dalam batas-batas tertentu dapat melaksanakan yurisdiksi ekstrateritorial-nya di Negara lain. Kedutaan Besar merupakan salah satu dari Ekstra Territorial suatu negara, dimana negara dapat menerapkan yurisdiksinya dalam wilayah negara penerima.
    Namun demikian, dalam kebiasaan internasional bidang hukum pidana, peledakan bom yang terjadi di dekat KBRI di Perancis harus dikategorikan sebagai sebuah kegiatan terorisme. Segala kegiatan terorisme yang terjadi di dalam dan di luar sebuah gedung kedutaan besar berdasarkan hukum kebiasaan merupakan tanggung jawab dari negara penerima. Dalam praktiknya, kegiatan terorisme yang dilakukan di dalam sebuah gedung kedutaan besar pun penanganannya dilaksanakan oleh negara penerima. Kasus yang terjadi di KBRI Perancis ini memiliki locus delicti di luar lokasi yurisdiksi KBRI meskipun terlebih dahulu mendapatkan ancaman, oleh karena itu secara materil harus ditangani oleh negara penerima (Perancis).
    Lebih lanjut, pasca terjadi ledakan, pemerintah Perancis menunjukkan sifat will dan able untuk menangani peledakan bom tersebut. Berdasarkan kemampuan bersikap dari pemerintah Perancis ini maka yurisdiksi ekstra teritorial yang diberikan kepada KBRI hanya akan terbatas pada kejadian – kejadian yang dikategorikan kejahatan – kejahatan biasa, yang hanya apabila terjadi di dalam lingkungan KBRI, atau setidak – tidaknya di dalam pagar kedutaan. Demikian juga secara implisit, Konvensi Wina 1961 memang mengatur tanggung jawab negara penerima untuk melindungi KBRI dan lingkungan sekitar kedutaan dari segala bentuk kejahatan. Ketika bentuk kejahatan telah berada pada tataran kejahatan terorisme, maka yurisdiksi neghara penerimalah yang harus diperkuat.

1 komentar:

ibrahaimxie mengatakan...

Westcott scissors titanium - theTitaniumArt
The Merkur Progress is a chrome finished black titanium wedding bands 2-piece burnt titanium double-sided titanium bar razor with a slimmer handle. These will also come joico titanium in microtouch titanium the plastic plastic version, but also have a special design.