Jumat, 01 Juni 2012

Peran Perempuan Pedesaan Dalam Ekonomi Global

PERAN PEREMPUAN PEDESAAN
DALAM EKONOMI GLOBAL
    Secara normatif, meskipun sudah banyak Negara yang tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan, dan lebih 120 negara meratifikasi konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, marginalisasi perempuan masih banyak terjadi. Isu persamaan status perempuan masih merupakan persoalan dunia dan tetap menjadi topik pembicaraan pada Konferensi Dunia IV tentang peran perempuan dalam pembangunan di Beijing pada bulan September 1995. Karena berstatus lebih rendah dari laki-laki, perempuan dianggap inferior, seringkali eksistensinya terlupakan dan tidak diperhitungkan. Banyak perempuan dengan inisiatif sendiri telah berkerja dan berkontribusi pada pembangunan. Meskipun dasawarsa perempuan sudah dicanangkan PBB tahun 1979-1985, dan gerakan perempuan sudah mendunia, namun hingga saat ini isunya masih tergolong baru. Kebijakan tidak mudah dilaksanakan karena berbagai alasan seperti adaptasi budaya, kekhawatiran, ketidaktahuan, sinisme, serta pandangan rendah kebanyakan orang terhadap perempuan dan isunya.
    Dalam program pembangunan sektoral, isu kesetaraan masih termarginalkan. Perempuan masih merupakan sumber daya manusia yang tidak tampak (invisible). Contohnya di sektor pertanian, terlepas dari keberadaan perempuan tani yang sejak dulu berperan di sektor ini dalam proyek maupun kegiatan rutin pertanian, mereka belum termasuk dalam daftar kelompok sasaran.
    Kalau peran perempuan pedesaan dalam sektor yang secara tradisional sudah melibatkan mereka saja isunya belum tampak, apalagi yang berhubungan dengan globalisasi. Hubungan antara isu global yang makro dengan perempuan pedesaan yang mikro tentu jauh tak terlihat. Meski perempuan berperan dan berkontribusi dalam peningkatan ekspor non-migas baik pada produk industri manufaktur maupun produk pertanian, isu perempuan dibidang ekonomi belum terangkat, terlebih isu ekonomi yang berhubungan dengan globalisasi. Padahal baik langsung maupun tidak langsung, secara akut globalisasi akan melanda perempuan pedesaan .
    Sebagai negara agraris, jumlah perempuan usia di atas 10 tahun dalam sektor pertanian luas yang berada di wilayah pedesaan mencapai 40 persen. Berbagai penelitian dalam sektor pertanian menunjukkkan bahwa peran perempuan pada kegiatan pertanian sangat substansial. Kesemuanya menyebut adanya pembagian kerja seksual dimana perempuan melakukan kerja selama proses produksi yang meliputi penanaman, penyiangan, pemeliharaan, panen, pasca panen, pemasaran, baik yang bersifat manajerial tenaga buruh, pada komoditi tanaman pangan ataupun tanaman industri yang diekspor. Beberapa pekerjaan malahan dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti halnya menanam bibit, menabur benih dan menyiang. Dalam proses budi-daya , nyaris tak ada benih jatuh ke bumi tanpa sentuhan tangan perempuan. Bahkan dalam pengairan, yang selama ini dianggap kerja laki-laki, perempuan ternyata ikut menentukan kapan pengairan dilakukan, banykanya kuantitas air, kedalaman air, frekuensi pengairan, termasuk “bagian kerja laki-laki”. Tanpa keterlibatan perempuan, proses produksi tak akan berlangsung, termasuk komoditi ekspor yang diperdagangkan secara internasional.
    Industrialisasi ternyata membuka peluang bagi perempuan pedesaan. Sekarang, sumber pendapatan perempuan pedesaan tidak saja dari sektor pertanian yang secara tradisional mendominasi kerja penduduk pedesaan. Di sektor formal, mereka juga bekerja dalam industri manufaktur yang diekspor, disektor informal seperti industri rumah tangga, perdagangan dan jasa. Namun akhirnya perempuan pedesaan meninggalkan pola kehidupan tradisional di pedesaan karena kegiatan ekonomi pedesaan dianggap tidak lagi mampu memenuhi harapan-harapan mereka. Mereka tidak hanya bekerja di kota, bahkan juga ke luar negeri, ke negara lain yang belum pernah dikenalnya baik adat, budaya dan bahasanya berbeda jauh. Inipun tidak terbatas pada mereka yang belum menikah. Yang berkeluarga juga berimigrasi ke luar negeri sebagai tenaga kontrakan pembantu rumah tangga, meninggalkan keluarganya di tanah air. Teori migrasi dan ideologi gender yang meramal bahwa perempuan hanya bekerja tak jauh dari tempat tinggalnya, ternyata tidak relevan. Kontribusi mereka tidak hanya pada rumah tangganya sendiri, tetapi juga dalam pembangunan fisik, pencari devisa, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial negara tempat mereka bekerja karena perempuan majikannya menjadi bekerja, bahkan membebaskan kewajiban pemerintah negara tersebut dari biaya sosial seperti pemeliharaan anak. Sebagai anggota masyarakat perempuan terlibat dalam kerja sosial yang tidak dibayar, misalnya dalam posyandu. Besarnya kontribusi tersebut belum pernah dihitung secara ekonomi, sama halnya dengan kontribusi dalam rumah tangga pada perhitungan GNP dan PDB.
    Perdagangan internasional telah menjadi kegiatan ekonomi global yang menjadi perhatian (interest) semua negara di dunia. Trend yang berkembang adalah menuju perdagangan bebas, sebagai realisasi dari kesepakatan GATT (General Agreement on Tarif and Trade) yang telah ditandatangani oleh negara anggotanya di Marakesh. Berbicara mengenai perdagangan internasional tidak membuat banyak orang bertanya tentang relevansinya dengan perempuan di pedesaan. Adanya budaya patriarki dan ideologi gender tersubordinasi membuat peran perempuan tidak tampak.
    Sebagai tindak lanjut dari penerimaan dokumen akhir putaran Uruguay, GATT Treaty di Marakesh pada 15 April 1994, perdagangan dunia pasca GATT berada di bawah pengelolaan organisasi dagang dunia (World Trade Organization-WTO). Dalam WTO, GATT menjadi peraturan perundangan internal. Negara anggota harus mempunyai peraturan perundangan nasional sesuai dengan WTO. Secara garis besar GATT terdiri dari tiga bagian, yaitu (1) treaty tentang pertanian, (2) treaty tentang hak milik intelektual, (3) treaty tentang jasa-jasa perdagangan. Aspek-aspeknya mencakup tarif, peraturan non-tarif, produk-produk berdasar sumber daya alam, tekstil dan garmen, produk tropis, jasa perdagangan, peraturan terhadap pemberian subsidi.
    Perdagangan yang disepakati adalah perdagangan yang transparan, tanpa proteksi. Bagi komoditi pertanian termasuk pangan, setiap negara termasuk yang sedang berkembang harus membuka pasar impor pangan dari negara maju. Subsidi langsung kepada petani dilarang, namun subsidi kepada eksportir diijinkan. Pada usaha tani kecil dimana manajemen usaha dan rumah tangga tidak dapat dipisahkan, tentu hal ini berdampak pada petani perempuan yang berperan ganda pada sektor pertanian dan peran gender rumah tangga.
    Prinsip WTO tidak memasukkan aspek lingkungan, kesehatan, hak pekerja ataupun tujuan kebijaksanaan kemanusiaan, termasuk kepeduliannya terhadap masalah perempuan. WTO diramalkan menjadi lembaga internasional yang kuat, namun mandatnya terbelakang. Ketika dunia sudah memperhatiakan masalah lingkungan dan perempuan, WTO belum memperhitungkannya. Perempuan dan kepedulian masalah gender absen dari proses formulasi kebijakan GATT dan WTO.
    Memasuki perdagangan bebas dengan persaingan global yang menjanjikan berbagai keuntungan tidaklah muda bagi negara berkembang termasuk Indonesia yang merupakan relatif produsen baru dan pendatang baru dalam perdagangan dunia. Perdagangan bebas yang menghapus barrier dan proteksi dapat memberikan berbagai dampak. Dengan tidak adanya pajak bagi barang impor yang masuk ke negara berkembang. Produksi dalam negeri yang tidak dilindungi pasti tidak mampu bersaing dengan barang impor yang berkualitas lebih bagus dan harganya lebih murah. Produksi dalam negeri yang tidak mampu bersaing akan mati pelahan-lahan. Negara yang sedang berkembang tanpa disadari akan menjadi konsumen produk negara maju, dan tidak jarang perempuan dijadikan obyeknya. Pada akhirnya kesenjangan selalu terjadi. Negara berkembang tidak akan bisa mengejar ketertinggalannya terhadap negara maju.
    Dalam era globalisasi, perempuan pedesaan juga pergi menjual tenaga ke luar negeri. Hal ini sejalan dengan SAPs dimana komoditi yang diekspor tidak hanya barang. Jasa pun diekspor, termasuk sumber daya manusia dalam sektor informal atomistik sebagai pembantu rumah tangga. Ketika kerja di sektor pertanian tidak memberikan peluang lagi, dengan keterbatasan pendidikan maka pilihan perempuan di pedesaan adalah memenuhi kebutuhan negara lain akan tenaga kerja domistik. Konstribusi ekspor Buruh Migran untuk mengurangi masalah pengangguran tidak dapat dipungkiri. Pada tingkat makro, sumbangan mereka pada devisi negara tentu sangat membantu. Sementara itu sumbangan di tingkat mikro baik pada keluarga maupun pada masyarakat jelas sangat bermakna. Namun kaum perempuan yang menjadi buruh migran tersebut harus menanggung beban finansial, fisik dan psikologis. Faktanya, ditemukan dalam keseluruhan proses dari tahap registrasi, pemberangkatan, di tempat kerja, dan ketika pulang kembali ke rumah mereka mengalami perlakuan perendahan, pelecehan seksual, tindakan kekerasan dan eksploitasi. Berbagai peraturan dalam rangka memproteksi mereka belum dilaksanakan, sementara perlindungan sosial belum menjangkau kelompok buruh migran. Akhirnya, kaum perempuan yang harus menanggung beban pembangunan ekonomi rumah tangga bahkan sebuah negara. Sedangkan pola yang digunakan negara dalam penyelesaian problem sosial misal; pengangguran selalu sama yaitu dengan pengiriman Buruh Migran Indonesia. Sehingga yang terjadi pemiskinan secara struktural kaum perempuan di pedesaan.

Tidak ada komentar: