Kamis, 22 Maret 2012

POST CONFLICT THEORY, SEBUAH KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM - Lesza Leonardo Lombok,SH

Latar Belakang Penciptaan Teori

Kehidupan masyarakat pada kenyataannya terus berubah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi watak dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Perubahan – perubahan ini mengenai elemen – elemen pembentuk masyarakat itu sendiri, yang menurut James S. Coleman adalah pelaku dan benda, yang terhadapnya memiliki kuasa dan kepentingan. Konsep akan kepentingan memiliki sejarah panjang dalam pemikiran sosial. Seperti yang disebutkan Hirschman, konsep kepentingan pada awalnya hanyalah merupakan ungkapan penghalus sejak Zaman Pertengahan untuk meghargai sebuah kegiatan, sehingga pada abad 16, 17, dan 18 mengalami pertumbuhan luar biasa yang dimulai dari ajaran Machiavelli yang mendorong kemunculan praktek kenegarawanan yang tidak terikat oleh kendala moral. Helveticus seorang filsuf Perancis bahkan berpendapat bahwa dunia fisik diatur oleh hukum gerak, sedangkan jagad moral diatur oleh hukum kepentingan. Oleh karenanya, pelaku tidak sepenuhnya menguasai kegiatan yang dapat memenuhi kepentingannya, namun menyadari bahwa beberapa dari kegiatan itu sebagian atau sepenuhnya berada di bawah kuasa pelaku lain, dengan demikian upaya memenuhi kepentingan seseorang dalam fakta struktural yang sederhana semacam ini mengharuskannya untuk terlibat dalam beberapa jenis transaksi dengan pelaku lain. Transaksi yang dimaksud dapat bersifat pembentukan karakter individual, tapi juga dapat bersifat perlindungan terhadap karakter umum kemasyarakatan yang tidak mempedulikan norma – norma sosial yang lain seperti penyuapan dan ancaman.

Perilaku masyarakat yang berhubungan dengan perlindungan kepentingan ini sebelumnya telah memiliki landasan teori yang lengkap seperti yang telah dikatakan di atas kemudian mendapatkan tempatnya pada perkembangan yang terjadi dalam lingkup sosial yang berkelanjutan. Berbagai fenomena hukum yang mencuat kepermukaan dalam rentang waktu beberapa tahun belakangan ini, telah menjungkirbalikan berbagai doktrin dan ajaran hukum, yang biasanya digunakan untuk menjustifikasi legal tidaknya sebuah perilaku hukum, peristiwa hukum, atau hubungan hukum yang terjadi, bahkan menggoyahkan berbagai landasan teoretis, yang umumnya digunakan untuk mendeskripsikan, mengeksplanasikan dan memprediksi, fenomena hukum yang ada.

Begitu pula dengan munculnya kasus “koin prita”, dukungan kekuatan dunia maya, yang “membebaskan” wakil ketua KPK Bibit – Chandra, penjatuhan vonis pidana penjara bersyarat 15 hari kepada Terdakwa Samsul dan Hadi “duo pencuri semangka” dari Kediri, vonis satu bulan setengah, bagi nenek Minah — warga desa warga Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Banyumas Jawa Tengah —“pencuri tiga buah biji kakao”, vonis terhadap Parto warga Desa Perante, Kecamatan Asembagus, Situbondo yang menjadi tersangka “pencurian 5 batang tanaman jagung”, vonis bersalah terhadap DYD “bocah penyengat lebah” oleh Pengadilan negeri Surabaya, dan terakhir yang paling heboh kasus pencurian sendal jepit seorang polisi oleh seorang bocah AAL yang kemudian diproses sampai pada penjatuhan vonis pidana oleh Pengadilan. Kasus-kasus diatas, menjadi sulit dipahami oleh ahli hukum yang berpegang kukuh pada optik preskriptif yang merupakan suatu attached-concern terhadap hukum positif, serta mendasakan pada model pendekatan doktrinal yang bersaranakan logika deduktif normatif, dalam melihat dan menyelesaikan kasus-kasus yang ada. Sedangkan bagi para ahli hukum yang mendasarkan pada pendekatan non-doktrinal, optik yang deskriptif, yang merujuk pada worldview yang terhegemoni oleh konstruksi ilmu yang dicetuskan oleh Descrates dan kemudian dikokohkan oleh gerakan aufklärungdanenlightenment, serta didomonasi oleh sains dan kapitalisme, menyebabkan ahli-ahli hukum di kelompok ini, belum dapat melepaskan dirinya dari paradigma keteraturan dan sistemik. Wibawa hukum hanya sampai pada masalah curahan hati di dunia maya, pembebasan tersangka korupsi besar, pencuri kelas semangka, kakao, lebah, dan hal – hal lain yang dilakukan pada tataran sosial kemasyarakatan yang apabila dicermati lebih lanjut ada pada dua dimensi : ahli hukum dan sama sekali tidak tahu akan hukum.

Konflik Kemasyarakatan, Kontribusi Teori

Max Webber

Fenomena hukum ini mungkin terjadi sebagai hasil dari beberapa teori sosial yang dikemukakan oleh ahli – ahli sosial yang memberikan sumbangsihnya dalam dunia kemasyarakatan. Webber yang melihat bahwa masyarakat terbentuk dari tindakan sosial yang bersifat komunikatif, mendasarkan kegiatannya pada kesepakatan bersama. Bentuk kekuasaan yang tradisional tercipta dari kesepakatan – kesepakatan di antara masyarakat yang memiliki tradisi kuat yang berawal dari individualistik yang kental untuk kemudian menghasilkan beberapa peraturan yang berasal dari individu – individu tertentu yang disepakati sebagai aturan baku. Sedangkan bentuk kekuasaan yang modern yang lebih rasional, dilakukan oleh orang – orang yang lebih terdidik dan profesional, menghasilkan keputusan – keputusan yang memiliki prosedur yang lebih baku, dan memberikan standar prediktabilitas yang lebih jelas, untuk kemudian disepakati bersama sebagai sebuah hukum. Ciri kedua kekuasaan (tradisional dan modern) oleh Webber ini memiliki kesamaan pada kesepakatan bersama, dapat dilihat sebagai sebuah fenomena penerimaan kekuasaan yang terjadi di segala bidang yang terjadi saat ini. Fenomena penerimaan kekuasaan yang dimaksud adalah fakta bahwa telah terjadi berbagai ketimpangan hukum yang dihasilkan oleh kekuasaan tertinggi di negara ini tidak mendapatkan respon balik dari masyarakat yang kuat dan resisten terhadap ketidakadilan. Berbagai keputusan yang ada seolah – olah dianggap sebagai sebuah keabsahan tertentu untuk tetap mengatur kehidupan kenegaraan yang ada. Masyarakat seolah – olah memberikan kepercayaan terhadap setiap keputusan yang dihasilkan, karena pilihan tindakan untuk menjaga atau merusak kepercayaan menciptakan dorongan timbal balik, dimana kepercayaan diberikan masyarakat untuk tetap mendapatkan kepercayaan balik dari penguasa. Pemberian kepercayaan ini juga menghasilkan ekspektasi akan adanya keuntungan atas tindakannya. Apabila mendapatkan kepercayaan balik dari penguasa diharapkan memberikan keuntungan – keuntungan tertentu terhadap kepentingan – kepentingan kemasyarakatan di masa yang akan datang. Jurgen Habemas berpendapat bahwa komunikasi merupakan kemampuan alamiah manusia yang akan membentuk dan mendorong terjadinya interaksi di dalam masyarakat. Dengan kemampuan ini, upaya – upaya untuk meningkatkan hubungan sosial dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik dengan jalan yang lebih deliberatif. Sehingga, inti dari penerimaan keputusan yang diberikan oleh masyarakat terhadap penguasa adalah lebih kepada pencegahan konflik.

Karl Marx

Karl Marx yang memberikan sumbangsih teori yang lebih menekankan pada sudut pandang ekonomi politik, lebih agresif lagi dalam meneliti hubungan hukum antara penguasa dan masyarakat. Konflik antara masyarakat dominan dan subordinat tidak dapat dihindari karena adanya kelompok dominan dalam hubungan ekonomi yang menguasai suprastruktur, dimana penguasaan akan suprastruktur tersebut dianggap mampu mendikte substansi hukum untuk melindungi kepentingannya. Hukum hanya sebagai alat perlindungan kepentingan semata dalam mewujudkan legitimasi atas eksploitasi bagi kaum subordinat. Berbagai kepentingan dalam hubungan – hubungan ekonomi dikuasai oleh kelompok – kelompok tertentu yang lebih superior, menghasilkan penguasaan terhadap berbagai sendi kehidupan masyarakat, termasuk hukum itu sendiri. Konflik sosial yang terjadi di dalam masyarakat akan selalu terjadi sebagai hasil dari perlindungan kepentingan – kepentingan oleh negara dalam melindungi keberlangsungan kehidupannya. Konflik sosial ini berimbas pada ambiguitas keputusan – keputusan hukum yang dihasilkan di dalam sendi – sendi kehidupan masyarakat. Keputusan – keputusan yang dibuat oleh penguasa mendapatkan pembenaran lewat lembaga – lembaga hukumnya, namun meskipun menimbulkan rasa tidak adil dalam kelompok subordinat tetap memiliki kekuatan mengikat untuk harus dilaksanakan oleh setiap sendi kehidupan bernegara.

Emile Durkheim

Emile Durkheim memaparkan teorinya yang mencirikan struktur sosial terdiri dari norma – norma dan nilai – nilai. Norma – norma dan nilai – nilai ini tumbuh dan berkembang dari berbagai transisi yang ada di dalam setiap lapisan masyarakat. Agama adalah hal terpenting dalam memaparkan transisi tersebut. Dengan mengambil contoh pada fakta sejarah agama Katolik yang menghasilkan berbagai perilaku abnormal yang berasal dari tidak adanya pedoman hukum yang jelas dari kebobrokan sistem yang dipercayai saat itu, Durkheim berpendapat bahwa sistem tersebut pada akhirnya menemukan polanya sendiri di luar yang digariskan oleh kesepakatan individu sebagai hasil dari perilaku abnormal itu. Teori struktural fungsional yang diajukan oleh Durkheim memandang bahwa manusia adalah organisme biologis yang memiliki saling ketergantungan satu dengan yang lainnya untuk dapat mempertahankan hidup secara tidak langsung. Ketergantungan inilah yang kemudian memberikan justifikasi terhadap fenomena keputusan – keputusan oleh penguasa yang diberikan terhadap kelompok masyarakat tertentu, karena masyarakat seperti dibawa pada pemikiran bahwa keputusan tersebut diberikan untuk memberikan kenyamanan terhadap masyarakat. Meskipun dalam beberapa lapisan masyarakat hal ini dianggap sebagai sebuah ketidakadilan, namun keputusan – keputusan ini diberikan oleh lembaga hukum ciptaan penguasa yang berasal dari ketergantungan masyarakat terhadap sistem kepemimpinan yang ada saat ini.

Konklusi Teori dan Pendukungnya : Post Conflict Theory

Dalam menarik kesimpulan atas kontribusi – kontribusi teori di atas, penulis mencoba untuk menerapkan metode Sylogisme yang mencoba menawarkan jalan keluar tentang perilaku hukum sebagai respon aktor terhadap berbagai perilaku sosiologis. Konsep penarikan kesimpulan yang coba diambil adalah dengan menggabungkan beberapa sumbangsih teori ini kemudian mencari titik temu yang dijadikan kesimpulan.

Dalam Teori Chaos, sebuah keteraturan sesungguhnya dilihat dari ketidakteraturan itu sendiri. Chaos, menurut Ian Stewart adalah tingkah laku yang sangat kompleks, iregular dan random di dalam sebuah sistem yang deterministik. Chaos adalah suatu keadaan di mana sebuah sistem tidak bisa diprediksi di mana ia akan ditemukan di tempat berikutnya. Sistem ini bergerak secara acak. Akan tetapi, menurut teori chaos, apabila keadaan acak tersebut diperhatikan dalam waktu yang cukup lama dengan mempertimbangkan dimensi waktu, maka akan ditemukan juga keteraturan, karena bagaimana pun kacaunya sebuah sistem, ia tidak akan pernah melewati batas-batas tertentu. Bagaimana pun acaknya sebuah sistem ruang geraknya tetap dibatasi oleh sebuah kekuatan penarik yang disebut strange attractor. Strange attractor meskipun di satu sisi ia menjadikan sebuah sistem bergerak secara acak, dinamis, dan fluktuatif, akan tetapi di sisi lain ia sekaligus membingkai batas-batas ruang gerak tersebut. Kekacauan yang memporakporandakan masyarakat hanya salah satu wajah saja dari berjuta wajah chaos, yaitu yang disebut negative chaos – sebuah prinsip chaos yang dicirikan oleh sifat perusakan, destruksi, penghancuran, agresivitas, eksplosi. Tak semua chaos bersifat negatif. Ada wajah chaos yang oleh Serres dikatakan dalam Genesis sebagai positif chaos – wajah chaos yang mempunyai sifat-sifat konstruktif, progresif dan kreatif. Chaos — Ketidakberaturan, ketidakpastian, multiplisitas dan pluralitas — dalam sifat-sifatnya yang positif – konstruktif memang jarang diperhatikan, karena terperangkap di dalam slogan-slogan pluralitas dan perbedaan, akan tetapi tidak pernah memahami makna substansialnya.

Charles Sampford merupakan salah satu pemikir yang mencoba mengeksplorasi teori chaosdalam ilmu hukum. Pada akhir tahun 90-an Charles Sampford menerbitkan buku berjudul “The Disorder Of law”, dengan tambahan “A Critique of Legal theory”, sebagai bentuk penolakannya terhadap apa yang dipegang teguh oleh para pemikir dari madzhab hukum positivistis, yang mendasarkan pendapatanya pada teori sistem. Sampford melihat bahwa banyak ketidak teraturan dalam hukum, namun oleh karena para pemikir dari madzhab hukum positivistik ingin tetap melihat bahwa hukum itu adalah sebuah sistem yang rasional, dan untuk itulah mereka mencari sandaran rasionalitas bangunan teorenya pada teori sistem. Padahal menurut Stampford teori hukum tidaklah harus selalu didasarkan pada teori sistem (mengenai) hukum, hal ini disebabkan hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat pada dasarnya menunjukkan adanya hubungan yang tidak simetris (asymmetries), karena bagaimana pun hubungan-hubungan sosial selalu dipersepsikan secara berbeda oleh para pihak. Dengan demikian apa yang dipermukaan tampak tertib, teratur, jelas, pasti, sebenarnya penuh dengan ketidakpastian. Ketidakteraturan dan ketidakpastian disebabkan hubungan-hubungan dalam masyarakat bertumpu pada hubungan antar kekuatan (power relation). Hubungan kekuatan ini tidak tercermin dalam hubungan formal dalam masyarakat. Maka terdapat kesenjangan antara hubungan formal dan hubungan nyata yang didasarkan pada kekuatan. Inilah yang menyebabkan ketidakteraturan itu.

Masyarakat memperlihatkan wujudnya sebagai sebuah bangunan yang memuat banyak kesimpang siuran, yang diakibatkan dari interaksi antar para anggotanya. Masyarakat adalah ajang dari sekian banyak interaksi yang dilakukan antara orang-orang yang tidak memilki kekuatan yang sama, sehingga terjadilah suatu hubungan berdasarkan adu kekuatan (power of relationships). Oleh karena itulah, tatanan yang muncul dari interaksi itu adalah tatanan yang a-simetris. Sampford menyebut keadaan ini sebagai fenomena “social melée”, suatu kondisi sosial yang cair (fluid).
Pada waktu sistem hukum yang secara formal sudah disusun dengan simetris itu diterapkan dalam masyarakat, maka sistem hukum tersebut dijalankan oleh kekuatan-kekuatan yang a-simetris. Produk sistem hukum yang dijalankan oleh kekuatan-kekuatan yang a-simetris itu adalah hukum yang penuh ketidakteraturan (disordered). Inilah yang kemudian oleh Sampford disebut “legal melée”. Dengan kekuasaan dan kekuatan yang ada pada masing-masing, para pelaku hukum membuat putusan-putusan yang subjektif. Hakim melihat peranannya sebagai pembuat putusan-putusan pribadi (individual decisions); para advokat akan menggali dalam-dalam perundang-undangan yang ada untuk mencari celah-celah bagi kepentingan kliennya, sedangkan rakyat akan melihat hukum itu sebagai tindakan para pejabat hukum (as the actions of many individual).
Di atas basis sosial yang demikian itulah hukum sesungguhnya ada dan mengada, yaitu ditengah-tengah masyarakat yang tidak teratur, sehingga hukum pun sesungguhnya penuh dengan ketidak teraturan. Oleh karena itu, maka teori hukum pun seharusnya tidak semata-mata mendasarkan pada teori tentang sistem hukum (theories of legal system), melainkan juga teori tentang ketidakteraturan hukum (theories of legal disorder). Bagaimana mungkin keadaan yang dalam kenyataanya penuh dengan ketidak teraturan itu dalam positivisme dilihat sebagai sesuatu yang penuh dengan keteraturan ? Dengan demikian maka, sebetulnya keteraturan itu bukan sesuatu yang nyata ada dalam kenyataan, melainkan sesuatu yang oleh para positivistis “ingin dilihat ada”.

Pada kenyataannya, sosial kemasyarakatan Indonesia telah memiliki kejelasan Teori Chaos, dimana carut – marutnya sistem hukum yang ada juga sekaligus mempengaruhi kondisi sosial yang berkembang saat ini. Ketidak teraturan sistem hukum sangat jelas terlihat pada kesimpang siuran peraturan yang ada. Pertentangan dengan teori Chaos kemudian terjadi dimana sifat masyarakat Indonesia yang pluralistik sangat sulit untuk menerima ketidak teraturan sebagai keteraturan itu sendiri. Adanya Informal Social Control yang terbangun dalam diri masyarakat Indonesia sebagai bentuk kepedulian dengan melibatkan seluruh masyarakat dalam proses pencegahan pelanggaran, menjadikan penerimaan akan ketidak teraturan sebagai sesuatu yang sangat sulit mendapatkan tempat di hati masyarakat secara keseluruhan.

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Hukum dibentuk bukan untuk hukum itu sendiri, sehingga setiap ada masalah tentang keadilan maka hal yang perlu ditinjau kembali adalah hukum itu sendiri, bukan manusia yang dipaksa – paksa untuk digiring ke dalam skema hukum positif. Hukum bukanlah institusi yang absolut, otonom, dan final, melainkan merupakan relaitas dinamis yang terus bergerak, berubah, membangun diri, seiring dengan perubahan kehidupan manusia. Hukum harus bertipe responsif, terkait dengan tujuan diluar narasi tekstual hukum yang bersifat final. Hukum progresif ini menempatkan diri sebagai kekuatan pembebasan yang membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas, dan teori hukum yang legalistik-dogmatik, dan analitis-positivistik. Konsep progresivisme yang diajarkan didasarkan pada logika kepatutuan sosial dan logika keadilan dan tidak semata – mata berdasarkan pada logika peraturan, menjunjung tinggi moralitas yang ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali aktivitas perjuangan itu. Ketika berhadapan dengan ketidak teraturan sosial kemasyarakatan di dalam sistem pluralistik dengan Informal Social Control, maka pembebanan pengaturan hukum tidak jatuh pada siapapun juga selain kepada perkembangan hukum itu sendiri. Masyarakat tidak mendapatkan tugas apa – apa dari hukum, dari hukum juga tidak memiliki kewajiban untuk mengubah apapun juga dari keadaan yang sudah ada. Keduanya bersinergi dalam sebuah kekuatan waktu, dimana pengembangan sosial terjadi bukan karena dorongan dari luar, melainkan adanya ledakan internal yang berdasarkan keinginan alamiah untuk membebaskan diri menuju pada keteraturan dengan terlebih dahulu merasakan apa yang disebut ketidak teraturan itu.

Inti dari pemahaman akan kesimpulan penulis, masyarakat secara alami, mau atau tidak mau, akan selalu masuk pada proses ketidak teraturan terlebih dahulu, dengan cara apapun juga, untuk kemudian mendapatkan haknya secara alami, baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang, untuk memasuki periode yang dinamakan keteraturan, tanpa adanya campur tangan dari pihak dan kontrol sosial manapun juga. Penulis menyadari bahwa hukum merupakan keseluruhan sistem jaringan yang saling berhubungan secara esensial, berproses dalam kesatuan, dan tidak dapat diisolasi pada bagian – bagiannya tanpa melihat aspek keseluruhannya. Stamford mengemukakan bahwa hukum itu bukanlah sebuah bangunan yang penuh dengan keteraturan logis-rasional. Untuk menghadapi realitas yang sedemikian kompleks, maka dunia hukum tidaklah selalu harus dilihat semata-mata sebagai sebuah dunia yang serba tertib dan teratur, melainkan harus pula dilihat dalam keadaan yang tidak beraturan (kacau/chaos). Hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan sentripetal yang menciptakan institusi yang terorganisir, tetapi pada waktu yang sama juga tunduk pada kekuatan-kekuatan sentrifugal yang menciptakan konflik dan ketidakteraturan (disorder). Dengan adanya keharusan hukum untuk melewati proses moral dengan memperhatikan tujuan – tujuannya (progresivisme), maka penulis menyimpulkan bahwa ketidakteraturan sosial itu merupakan dasar terkuat dari penciptaan sebuah keteraturan hukum itu sendiri.

KEPUSTAKAAN

James S. Coleman, Dasar – Dasar Teori Sosial (Foundations of Social Theory), diterjemahkan oleh Imam Muttaqien, Derta Sri Widowwatie, Siwi Purwandari, Bandung : Penerbit Nusa Media, 2010.

Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1977

George Ritzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Sociology: A Multiple Paradigm Science) , disadur oleh Alimandan, Jakarta : Rajawali Press, 1985.

Charles Stamford, The Disorder of Law, A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell, 1989

Sumber lain :

Teori – Teori Sosial yang diakses dari http://www.anneahira.com/teori-teori-sosial.html

Senin, 19 Maret 2012

INTERNAL WATERS - Hukum Laut Internasional

INTERNAL WATERS

Internal Waters dan Hukum Laut

Sampai saat ini, komunitas internasional tidak begitu banyak membicarakan mengenai pengertian secara sistematis dari internal waters, yang dalam Bahasa Indonesia dapat kita terjemahkan sebagai Perairan Pedalaman. John Colombos bahkan menggunakan istilah interior, inland, dan national waters untuk membahas mengenai Perairan Pedalaman ini. Hal ini berarti perairan pedalaman juga sudah termasuk sungai, terusan, dan kadang – kadang perairan di pantai – pantai kecil. Relasi antara hukum internasional dan perairan pedalaman seperti yang dikemukakan oleh Profesor Vladimir Ibler pada tahun 1965 adalah bahwa perairan pedalaman pada umumnya hanya ditentukan oleh aturan – aturan nasional, dan sangat sedikit yang ditentukan oleh hukum internasional, bahkan tidak ada kodifikasi terhadapnya di konvensi Jenewa 1958.

R.R. Churcill dan A.V. Lowe dalam buku The Law of The Sea setuju bahwa pandangan tentang perairan pedalaman sebagai bagian tak terpisahkan dari negara pantai adalah tidak dapat dibantah, sehingga atas alasan ini perairan pedalaman bukan merupakan subjek dari aturan – aturan detail pada konvensi – konvensi hukum laut. Dalam Konvensi Jenewa 1958 dan dan Konvensi Hukum Laut 1982 menuliskan bahwa perairan pedalaman disebutkan hanya untuk mengklarifikasikan beberapa isu yang terkait dengan laut teritorial, tidak membahas secara terperinci mengenai batasan – batasannya. Selanjutnya, dalam mendefinisikan laut teritorial, UNCLOS III berkewajiban untuk mengakui kedaulatan dari negara pantai diperluas bukan saja pada laut teritorial namun juga sampai pada perairan pedalaman, dan dalam kasus negara kepulauan sampai pada perairan kepulauannya (Pasal 2 ay.1).

Sebagai perbandingan, Kamus Departemen Pertahanan Amerika Serikat menyebutkan bahwa perairan pedalaman adalah “all waters, other than lawfully claimed archipelagic waters, landward of the baseline from which the territorial sea is measured. Archipelagic states may also delimit internal waters consistent with the 1982 convention on the law of the sea. All states have complete sovereignty over their internal waters.” Pengertian ini secara tersirat menyebutkan bahwa perairan pedalaman diukur berdasarkan pengurukuran terhadap laut teritorial, dan tidak diukur secara tersendiri, namun demikian Amerika Serikat menyatakan dengan tegas bahwa semua negara memiliki yurisdiksi penuh terhadap wilayah perairan pedalaman.

Dalam hubungannya dengan lokasi dari perairan pedalaman, UNCLOS III menyatakan bbahwa perairan pedalaman adalah “seluruh air dan jalur perairan pada sisi daratan dari garis pangkal dimana laut teritorial ditentukan” (Pasal 8 ay.1). Secara tidak langung, beberapa artikel terkait dengan garis pangkal dimana keluasan laut teritorial diukur, adalah diperuntukkan untuk perairan pedalaman. Salah satu hal yang terkait dengan perairan pedalaman yang diatur dalam UNCLOS adalah mengenai hak lintas damai. Hak lintas damai dalam perairan pedalaman muncul apabila penarikan garis pangkal memiliki efek untuk memagari area perairan pedalaman (pasal 8 ay. 2).

UNESCO juga turut memberikan penelitiannya tentang perairan pedalaman lewat Legal Provision For integrated Coastal Zone Management, yang pada dasarnya memiliki kesamaan dengan UNCLOS, namun menambahkan beberapa pemahaman terkait dengan hal – hal yang termasuk di dalam perairan pedalaman yaitu pelabuhan – pelabuhan, perairan di antara garis pangkal dan pantai yang digunakan untuk mengukur lebar wilayah teritorial, laut pedalaman termasuk laut yang dikelilingi oleh daratan sebuah negara atau beberapa negara, pantai – pantai yang tidak lebih dari 24 mil laut, dan apa yang disebut dengan historic waters.

Selain adanya kelangkaan aturan tentang perairan pedalaman dalam UNCLOS, satu – satunya instrumen internasional yang terkait dengan perairan pedalaman adalah Convention on the International Regime of Maritime Ports yang diadopsi di Jenewa, 9 Desember 1923, namun karena sangat sedikit negara yang meratifikasi konvensi ini, maka instrumen ini diragukan untuk dapat diterapkan sebagai hukum kebiasaan internasional. Terhadap konvensi ini, konferensi Codification of International Law yang diselenggarakan di Den Haag 1930 merekomendasikan agar memasukkan beberapa pasal tentyang perairan pedalaman.

Institute of International Law (Institut de Droit International) juga tidak menunjukkan adanya pengaturan yang sistematis terkait dengan lokasi dan sistem yang tepat tentang perairan pedalaman, yang ada hanyalah pembicaraan tentang laut teritorial yang secara tidak langsung menyinggung tentang perairan pedalaman. hanya pada tahun 1957 di Amsterdam beberapa bulan sebelum diadakannya UNCLOS I, Institute of International law mengadopsi resolusi yang mencoba untuk mengkodifikasikan perbedaan antara perairan pedalaman dan laut teritorial. Namun demikian, resolusi ini hanyalah terkait dengan perlakuan terhadap kapal asing di wilayah maritim dimana sebuah negara memberlakukan kompetensi teritorialnya.

Pada kasus Nicaragua Case antara Nicaragua dan Amerika Serikat tahun 1986, ICJ menetapkan bahwa prinsip kedaulatan negara diperluas sampai kepada perairan pedalaman dan laut teritorial dari setiap negara, sampai pada hak untuk mengatur pelabuhan – pelabuhan bagi negara pantai, dan untuk mengakses pelabuhan – pelabuhan tersebut, kapal – kapal asing dalam hukum kebiasaan internasional diberikan hak lintas damai untuk memasuki dan meninggalkan perairan pedalaman.

Perairan Pedalaman dan Hukum Nasional Indonesia

Perundang – undangan nasional Indonesia juga tidak ada yang secara spesifik mengenai perairan pedalaman tentang lokasi dan pembatasan – pembatasannya. Dalam Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939 Stb.1939 No.442 menyebutkan dalam pasal 1 ayat 1 bahwa perairan pedalaman Indonesia adalah seluruh perairan yang terletak pada bagian sisi darat dari laut teritorial Indonesia, termasuk sungai – sungai, terusan – terusan dan danau – danau dan rawa – rawa di Indonesia. Juga dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (LN No. 22 / 1960) secara tersirat dalam pasal 1 tentang perairan pedalaman bahwa perairan Indonesia ialah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia (ay.1) dan semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar (ay. 3). Pada penjelasan tentang undang – undang ini, perairan pedalaman Indonesia adalah segala perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal dan terdiri dari laut, teluk, selat dan anak laut. Indonesia berdaulat penuh di perairan pedalaman, berlainan dengan di laut wilayah. Kedaulatan ini pada dasarnya tidak dibatasi oleh hak lintas damai, namun demikian Indonesia memberikan kelonggaran – kelonggaran tertentu. Hak lintas damai di dalam perairan pedalaman pada dasarnya merupakan hak penuh dari Indonesia, dibedakan dengan hak lintas damai di laut teritorial yang merupakan pemberian dari hukum internasional. Hal ini menyebabkan bahwa hak lintas damai dalam perairan pedalaman dapat sewaktu – waktu dicabut oleh Indonesia, yang berbeda penerapannya di dalam laut teritorial tidak dapat diganggu oleh Indonesia.

UNCLOS III dan Penetapan Batas Wilayah Laut Perairan Pedalaman

UNCLOS III secara jelas tidak mengatur tentang perairan pedalaman terkait dengan masalah penetapan batasnya. Dalam UNCLOS, masalah – masalah penetapan batas wilayah laut hanyalah terkait antara negara dan wilayah – wilayah yang berdekatan dengan pantai, tidak disebutkan secara spesifik dan menyeluruh tentang perairan pedalaman. Begitu juga dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan, tidak menyebutkan secara rinci tentang penetapan batas perairan pedalaman. Lucius Caflisch dalam tulisannya “Les Zones Maritimes Sous Juridiction Nationale, Leurs Limites et Leur Delimitation” lewat buku “Le Nouveau Droit International De La Mer oleh D. Bardonnet, Paris, 1983, menyebutkan bahwa penetapan batas perairan pedalaman dari sebuah negara dengan pantai yang berlawanan haruslah diselesaikan dengan menerapkan aturan – aturan penetapan batas dalam laut teritorial. Hal ini terlihat masuk akal karena persoalan mengenai perairan pedalaman hanya akan muncul apabila ada persoalan perbatasan dengan negara tetangga yang juga adalah negara pantai.

Selanjutnya, perairan pedalaman dalam hal pasal 5 menyebutkan “long-water line along the coasts” yang berarti bahwa perairan pedalaman merupakan bagian dari wilayah pantai. Namun demikian, meskipun di pasal 7 terkait hal cara penarikan garis pangkal lurus memperbolehkan beberapa wilayah pantai dipertimbangkan sebagai perairan pedalaman, pasal – pasal ini hanyalah ditujukan kepada single coastal state, sesuai laporan dari International Law Commission tahun 1956 bahwa penarikan garis pangkal lurus hanya dapat ditarik dari titik ke titik dalam situasi wilayah single state. Hal – hal ini menyiratkan secara jelas bahwa penetapan batas perairan pedalaman merupakan masalah dari negara – negara yang bertetangga.

Contoh – Contoh Kasus Perairan Pedalaman Di Dunia

Ekuador dan Kolombia pada 27 Agustus 1975 pernah menandatangani Agreement on the Delimitation of Marine and Submarine Areas and Maritime Co-operation dimana mereka setuju untuk menentukan batas tentang laut dan wilayah – wilayah laut lainnya karena wilayah – wilayah laut yang disebutkan di dalam perjanjian tersebut terkait dengan perairan pedalaman yang di dalamnya memiliki potensi – potensi sumber daya alam yang apabila tidak ditentukan pembatasannya akan mengakibatkan persoalan – persoalan internal perbatasan.

Pada 23 November 1970, United Mexican States dan Amerika Serikat juga menyepakati Treaty to Resolve Pending Boundary Differences and Maintain Rio Grande and Colorado River as the International Boundary, yang isinya tentang penetapan batas – batas wilayah laut antara Amerika Serikat dengan negara – negara bagian di Meksiko, dan sudah termasuk dengan perairan pedalaman.

Kasus – kasus mengenai perairan pedalaman juga sangat banyak didapati di Laut Adriatik. Laut Adriatik adalah laut yang memisahkan Semenanjung Italia dengan Semenanjung Balkan, serta sistem Pegunungan Apenina dari Alpen Dinarik dan pegunungan sekitarnya. Laut Adriatik merupakan bagian dari Laut Tengah. Pesisir barat Adriatik adalah wilayah Italia, sedangkan pesisir timur meliputi negara Kroasia, Montenegro, Albania, Slovenia, serta Bosnia dan Herzegovina. Sungai-sungai utama yang bermuara di Adriatik adalah Sungai Reno, Sungai Po, Sungai Adige, Sungai Brenta, Sungai Piave, Sungai Soča, Sungai Zrmanja, Sungai Krka, Sungai Cetina, Sungai Neretva, serta Sungai Drin (Drini). Dengan begitu banyaknya negara yang berada di Laut Adriatik ini, maka persoalan mengenai perairan pedalaman pun seringkali diselesaikan dengan cara Agreement.

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara pantai dengan banyak tetangga yang juga merupakan negara pantai, cukup terikat dengan masalah perairan pedalaman, namun sampai saat ini lebih banyak memiliki masalah dalam laut teritorial dibandingkan dengan perairan pedalamannya.

Sumber – sumber :

1. Budislas Vukas, Sea Boundary Delimitation And Internal Waters, dikutip dari T.M. Ndiaye, R. Wolfrum, Law of The Sea, Environmental Law, And Settlement of Disputes, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden/Boston, 2007

2. N.Siahaan, SH., H. suhendi, SH., Hukum Laut Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989.

3. R. Churchill, V. Lowe, The Law of The Sea, 2nd edn, Manchester University Press, 1978

4. V. Ibler, Sloboda Mora (Freedom of The Seas)i, Narodne Novine, Zagreb, 1965.

5. www.unesco.org

RELEVANSI HUMANITARIAN INTERVENTION DAN LEGALITAS PREEMPTIVE USE OF FORCE DALAM INVASI AMERIKA SERIKAT TERHADAP IRAK

Isu terorisme sudah bukan merupakan persoalan yang baru lagi dalam agenda hak asasi manusia. Selama bertahun – tahun, terorisme dalam berbagai bentuk telah memberikan dampak yang sangat berbahaya bagi umat manusia, merongrong kebebasan – kebebasan yang fundamental, dan benar – benar menghancurkan harkat dan martabat umat manusia. Negara – negara kemudian telah lama merasa memiliki kewajiban untuk mengambil tindakan – tindakan untuk melindungi berbagai hak fundamental dari mereka yang berada di dalam yurisdiksinya terhadap aksi – aksi teroris.

Setelah peristiwa 11 September 2011, isu terorisme menjadi semakin nyata dan kompleks, seperti yang dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri Jerman pada pidatonya di hadapan Komisi Hak Asasi Manusia PBB, “the 11th September and its consequences have reoriented world politics and this is not without implications for human rights policy.”[1] Banyak negara kemudian mulai menggunakan haknya untuk mengadakan berbagai tindakan perlindungan yang nyata untuk mengantisipasi dampak dari serangan tersebut, baik dampak di dalam negeri maupun di luar negeri.

Presiden George W.Bush merespon serangan 11 September 2001 dengan berbagai aksi – aksi dramatis, dibungkus dengan retorika – retorika yang juga dramatis, dengan berjanji akan menghentikan berbagai aksi terorisme yang dapat membahayakan keselamatan Amerika Serikat, dengan mendeklarasikan perang terhadap terorisme.[2] Pengumuman akan strategi perang terhadap terorisme ini mengemukan konsep “preemptive use of force”. Perdebatan panjan mengenai konsep ini telah terjadi jauh melebihi penyusunan administrasi doktrinnya sendiri dalam dunia hukum internasional. Meskipun hukum kebiasaan internasional mengharuskan adanya “imminent danger of attack” sebelum doktrin ini dapat diperbolehkan, perdebatan telah lebih dahulu berkembang tentang National Security Strategy (NSS) Amerika Serikat yang mengadaptasi konsep “imminent thread” dengan terlebih dahulu melihat kepada kapabilitas dan tujuan – tujuan dari lawan – lawannya.[3] Lebih lanjut, Amerika Serikat memakai konsep bahwa semakin besar ancaman yang ada, maka semakin berbahaya pula apabila tidak diambil tindakan, dengan demikian mereka beranggapan bahwa tindakan terhadapnya akan semakin diperlukan untuk mempertahankan dirinya meskipun ketidakpastian akan selalu menjadi bagian dalam setiap tindakan dan lokasi dari kegiatan terorisme.[4] Maka dengan konsep yang diserap oleh NSS Amerika Serikat, maka perang terhadap terorisme dengan konsep “preemptive use of force” versi mereka pun dimulai.

Setelah delapan tahun melakukan perang terhadap terorisme dengan invasi terhadap Irak dan Afghanistan, secara berkelanjutan menambah pasukan ke negara – negara tersebut, terpilihnya Presiden Obama akhirnya memberikan kesempatan kepada berbagai ahli untuk berani mengulas tentang kebijakan Amerika Serikat dalam penggunaan konsep “preemptive use of force”. Beberapa hari sesudah dia dilantik sebagai presiden Amerika Serikat, Obama mulai mengeluarkan keputusan – keputusan seperti menutup penjara Guantanamo, menegaskan kembali komitmen Amerika Serikat dalam Pasal 3 Artikel Umum Konvensi Jenewa, dan memperlakukan tahanan – tahanan politik maupun teroris dengan lebih manusiawi. Keputusan ini sebagai simbol dari penerapan Jus In Bello, sebuah hukum yang mengatur keadaan saat perang, dan mengesampingkan Jus Ad Bellum, sebuah hukum yang mengatur keadaan sebelum perang, yang dianggap banyak ahli dianut oleh pemerintahan George W. Bush sebelumnya. Obama dengan sangat yakin memiliki waktu yang sangat tepat untuk menerapkan doktrinnya menggantikan doktrin Bush yang menerapkan “preemptive use of force” terhadap musuh yang masih samar – samar sebelum mereka memiliki kemampuan untuk menyerang Amerika Serikat.[5]

Namun demkian, berkembangnya konsep Hukum Humaniter sebagai pengganti Hukum Perang saat ini dihadapkan pada dua sisi yang bertentangan terhadap serangan 11 September 2011. Pertama, apakah Hukum Humaniter atau Humanitarian Law merupakan hukum yang diharuskan melindungi hak – hak seluruh pihak yang terlibat dalam sebuah peperangan, yang mana dalam serangan 11 September 2001 pihak teroris diperdebatkan sebagai pihak yang berkembang, dan kedua, apakah tindakan Amerika Serikat sebagai respon terhadap serangan tersebut yang menggunakan doktrin “preemptive use of force” pada pemerintahan Bush kemudian digantikan dengan konsep yang lebih manusiawi lagi dalam pemerintahan Obama dapat dikatakan sebagai konsep Humanitarian Intervention.

Konsep Hukum Humaniter Internasional memang membentuk porsi di dalam Hukum Internasional berkaitan dengan perang, lebih khusus kepada konflik bersenjata, dan lebih memposisikan diri pada Jus In Bello daripada Jus Ad Bellum, dan pada akhirnya, peristiwa serangan 11 September 2001 membawa kita pada persoalan yang lebih pelik, yaitu apakah Hukum Humaniter dapat melindungi kegiatan terorisme, ataukah berlawanan dengan itu, Humanitarian Intervention dapat dijadikan sebagai alasan untuk menekan kegiatan terorisme. Ketika konsep – konsep ini disatukan, maka semuanya akan kembali pada persoalan mendasar, yaitu hak asasi manusia.

PRE-EMPTIVE USE OF FORCE

Dalam mencari pengertian tentang pre-emptive use of force, cara terbaik yang digunakan penulis adalah dengan mengelaborasi berbagai unsur – unsur yang terkandung di dalamnya, karena pengertian dari terminologi ini berkembang dari berbagai kasus yang terjadi di dunia yang akhirnya menjadi dasar pencantumannya di dalam Piagam PBB.

A. Armed Attack

Skenario sebuah ancaman di dunia pada dasarnya terbagi dalam dua pandangan. Yang pertama adalah skenario dari non-state violence, yang secara mendalam dapat kita lihat sebagai sebuah aksi terorisme bagaimanapun fenomena tepatnya didefinisikan, dan skenario kedua adalah eksistensi negara yang mendukung kegiatan non-state violence tersebut, yang menjadi pelabuhan terbaik atau setidaknya menyediakan segala pendanaan, markas, senjata, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas terorisme.[6]

Pelarangan penggunaan kekuatan bersenjata diperdebatkan hingga kini sebagai norma baku hukum kebiasaan internasional dan sudah secara jelas dimuat dalam Piagam PBB. Namun demikian, ada dua pengecualian dalam hal ini, yaitu self-defense dan atas izin dari organisasi internasional yang kompeten. Sudah diterima secara umum bahwa perihal self-defense sudah pasti harus menggunakan kekuatan bersenjata dalam pelaksanaannya, dan hal ini merupakan sebuah definisi yang diperdebatkan untuk ditolak secara internasional.

Sesuai dengan Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional, interpreatsi dari Piagam PBB sudah seharusnya dimulai dengan “ordinary meaning to be given to the terms of the treaty” atau “suatu perjanjian harus ditafsirkan secara jujur sesuai dengan arti biasa yang diberikan pada istilah – istilah di dalam perjanjian”[7]. Dengan ini, seseorang harus benar – benar memastikan untuk maksud apa sebuah penyerangan dapat dilakukan terhadap sebuah ancaman, yang sebenarnya belum muncul, berdasarkan berbagai pendapat dan kesepakatan dari berbagai pihak, karena konvensi Wina adalah produk dari berbagai conflict of interest dan pandangan – pandangan yang mewakili kebiasaan umum[8] karena kebiasaan internasional seharusnya mewakili bukti – bukti praktek umum yang diterima sebagai hukum.[9]

Metode yang paling bisa diterima untuk mendapatkan kepastian atas sesuatu yang belum pernah terjadi biasanya diarahkan pada kepustakaan. Webster’s Encyclpedic Dictionary menyatakan : “an offensive military action with the aim of the overcoming enemy...” atau “an offensive move in a performance or contest”, dan : “attack...applies to the beginning of hostilities”. Oxford Advanced Learner’s Dictionary mendefinisikan attack dengan “violent attempt to hurt, overcome, defeat”. Semua definisi ini menyiratkan bahwa attack adalah sebuah tindakan dengan makna sebuah pergerakan maju. Bahaya dari sebuah tindakan belum membentuk attack dalam arti yang sebenarnya.

Selanjutnya, pasal 31 Konvensi Wina juga menyinggung persoalan penafsiran secara jujur sesuai dengan arti secara keseluruhan dari sebuah teks. Ini berarti, pemberian definisi bukan hanya pada sebagian teks saja,namun harus dianalisa pada keseluruhan teks yang diberikan. Hal yang paling relevan terkait dengan ini dapat dilihat pada pasal 51 Piagam PBB dengan kalimat “...an armed attack occurs”. Kalimat ini tidak ada penambahan kata “...or threatens...”. Hal ini dengan jelas mengatakan bahwa armed attack yang dimaksud adalah sesuatu yang benar – benar sedang terjadi, bukan semata – mata sesuatu yang baru akan terjadi.

Elemen berikut yang harus dibahas adalah pada Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB yang dapat dikatakan sebagai pengecualian pasal 51, yang dengan jelas melarang penggunaan ancaman dan kekerasan, maka dapat dikatakan para pembentuk piagam sangat berhati – hati dengan permasalahan yang menyangkut ancaman dari kekerasan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, hanya ada dua pengecualian untuk pasal 51 yang tersirat dalam pasal ini yaitu “self-defense” dan otorisasi dari Dewan Keamanan. Dewan Keamanan diberikan kekuasaan untuk melaksanakan armed forces dengan adanya “threat to the peace”, “breach to the peace”, dan “act of aggression”. Berdasarkan pasal ini, kewenangan untuk menerapkan armed forces secara jelas hanya dapat dilakukan oleh Dewan Keamanan, dan tidak dapat dilakukan oleh sebuah negara secara sendirian saja.

Semua pengertian tentang armed force yang diberikan di atas secara jelas menyiratkan bahwa maksud dari penggunaan hal tersebut harus pada saat telah terjadi sebuah ancaman terlebih dahulu, dan dengan tegas mengesampingkan apa yang disebut dengan anticipatory self-defense atau tindakan antisipatif, yang mana hal ini telah diterima secara umum[10].

Dengan demikian, penggunaan kekerasan dalam hal mengatasi adanya tindakan – tindakan ancaman dari berbagai pihak apabila akan diterima secara hukum, untuk alasan tertentu, definisi armed force harus diberikan pengertian dalam konteks yang lebih luas, dan dalam pertimbangan yang lebih umum lagi. Ada dua strategi yang dapat diberikan untuk memberikan pengertian yang lebih umum tentang penggunaan kekerasan. Yang pertama adalah indirect attack. Aturan tentang penggunaan kekerasan dilarang untuk digunakan oleh negara, namun tidak berlaku bagi tindakan negara kepada aktor yang tidak diterima sebagai subjek hukum internasional. Situasi yang melibatkan penggunaan kekerasan oleh negara ini, pada tingkatan tertentu dalam non-state violence, dapat diterima sama dengan armed attack dan melibatkan konsekuensi yang sama dengan yang terjadi pada armed attack, yang kemudian dapat memicu apa yang disebut dengan self-defense. Majelis Umum menerima pengertian ini seperti yang dinyatakan dalam resolusinya[11] bahwa tindakan agresi adalah pengiriman pasukan bersenjata dan berbagai aktivitas militer lainnya terhadap sebuah negara. Resolusi ini kemudian diterima dalam kasus Nikaragua oleh ICJ sebagai hukum kebiasaan internasional dan menjadi pengesahan akan tindakan yang dilakukan dalam kasus tersebut.[12] Pendekatan seperti ini dapat kita sebut sebagai constructive armed attack, atau situasi yang sama dengan armed attack.

Strategi kedua dari constructive armed attack adalah apa yang disebut dengan “the blue water theory”[13] dengan mengambil teori dari Resolusi Majelis Umum tentang wilayah teritori dari sebuah daerah koloni atau wilayah yang belum memiliki pemerintahan, adalah berbeda dan tidak diakui sebagai sebuah negara oleh Piagam.[14] Formula ini dilatarbelakangi oleh usaha untuk menafsirkan tentang berbagai penindasan yang dilakukan sebagai bentuk pengusahaan terhadap proses dekolonisasi yang memicu adanya hak untuk membela diri dari negara (self-defense) sebagai sebuah armed attack.

Contoh – contoh yang telah disebutkan hanyalah upaya untuk mengkonstruksikan apa yang disebut dengan armed attack yang dapat diterima, dan tidak asing dalam dunia international legal reasoning. Namun apakah hal ini dapat dijadikan sebagai hukum positif dalam dunia internasional adalah sebuah pertanyaan yang lebih lanjut.

B. Self Defence

Banyak yang berpendapat bahwa sebuah ancaman sudah sebegitu besarnya, sehingga seseorang yang berpotensi menjadi korban tidak bisa hanya berdiam diri saja dari potensi serangan yang terjadi dan harus melakukan sebuah tindakan bela diri atau self-defence. Formulasi pendapat ini, yang seharusnya tidak kontroversial, dapat dilihat pada kasus The Caroline Case 1841[15] tentang bagaimana kapal perang Inggris melakukan penyerangan terhadap kapal perang Caroline yang menampung persenjataan dan anggota – anggota pemberontak terhadap pemerintahan Kanada yang tidak diseriusi oleh pemerintahan Kanada dan Amerika Serikat, dimana pemerintahan Amerika Serikat memberikan pendapat bahwa tindakan dari Inggris tersebut dirasa perlu sebagai bentuk self-defence secara instan, meskipun berlebihan, namun dilakukan karena tidak ada kesempatan untuk dibicarakan lebih lanjut. Prinsip kebutuhan (necessity) dan immediacy (keperluan mendesak) kemudian diterima sebagai hukum kebiasaan internasional, bahkan di dalam Piagam PBB sekalipun untuk menerapkan pre-emptive use of force. Meskipun demikian, perdebatan tentang hal ini diajukan dengan argumen apakah hal ini dipertimbangkan sebagai Lex Lata (hukum yang eksis) atau Lex Ferenda (hukum yang diinginkan).

Berbagai diplomasi dan pembicaraan internal antara pemerintahan Amerika Serikat dan Inggris dalam kasus The Caroline Case menghasilkan dua kriteria pembenaran atas doktrin preemptive use of force, juga termasuk preemptive self defense, yaitu necessity dan proporsionality.[16] Para sarjana akhirnya menggunakan dua terminologi ini untuk menentukan keperluan penggunaan preemptive use of force lewat pembangunan Piagam PBB bahwa ketika negara dapat mengaplikasikan necessity bagi negara lain yang sedang mempersiapkan kekuatan bersenjatanya untuk penyerangan, dan bertindak secara proporsional, maka penggunaan kekerasan dapat diijinkan.[17] Kedua hal ini didasarkan pada pandangan Grotius tentang alasan pertama perang diadakan yaitu dengan adanya kerusakan yang belum selesai dilakukan, yang membahayakan sebuah badan ataupun barang tertentu.[18] Pandangan ini juga sama dengan yang dikemukakan oleh Vattel yang berpendapat bahwa sebuah negara harus memiliki alasan yang kuat untuk dapat melakukan sebuah serangan atas negara lain, dengan demikian serangan tersebut harus mengandung sebuah necessity yang dipikirkan secara matang dan jelas.[19]

C. Necessity of Pre-Emptive Self Defence

Dengan latar belakang armed attack dan self-defence seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, lalu apakah yang menjadi standar sebuah pre-emptive self defence untuk dapat dilakukan oleh sebuah entitas dalam hal ini negara ? Definisi yang diberikan oleh pemerintahan Amerika Serikat dalam mendefinisikan pre-emptive self defence secara abstrak harus mendapatkan pembatasan – pembatasan tertentu apabila kemudian dijadikan aturan umum bagi legalitas penggunaannya, karena penggunaan pre-emptive self defence yang dikemukakan pada saat itu disertai dengan pengertian bahwa negara tidak bertanggung jawab dengan bahaya – bahaya dan kerusakan – kerusakan yang ditimbulkan sesudahnya karena armed attack yang dilakukan hanyalah bersifat on the necessity dan proportionally tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi berikutnya.[20]

Standar pelaksanaan pre-emptive self defence pada dasarnya sama dengan standar yang dipakai pada umumnya untuk penggunaan kekerasan, yaitu adanya sebuah keharusan untuk bertindak pada situasi yang relevan, bersama dengan syarat bahwa setiap tindakan tersebut harus proporsional terhadap bahaya yang akan timbul nantinya. Namun demikian, pandangan tentang adanya sebuah keharusan atau necessity untuk bertindak atas sebuah bahaya tidak kemudian bisa sembarangan digunakan untuk sebuah legalitas penggunaan kekerasan. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang dapat secara bebas melakukan penyerangan terhadap negara lain dengan alasan adanya sebuah keharusan atau necessity semata, karena hal ini dapat berakibat fatal dalam hal penggunaan kekuatan militer di dunia.

Terminologi necessity selanjutnya harus diterapkan dengan mempertimbangkan berbagai faktor dan situasi yang sesuai dengan legalitas penggunaan kekerasan yang diakui prinsip – prinsip dalam hukum internasional serta nilai – nilai yang terkandung di dalam Piagam PBB, termasuk :

1. Watak dan besarnya threat atau ancaman yang akan timbul akibatnya.

Threat atau ancaman sangat bervariasi mulai dari watak bahkan sampai besarnya. Contoh terkini adalah bahaya dari penggunaan senjata dari pihak – pihak yang menyatakan diri dalam sebuah peperangan. Kita tidak akan dapat mengetahui secara persis model senjata dari pihak – pihak yang berperang kecuali ketika berhadapan langsung dengan para pihak tersebut. Sekalipun demikian, adanya kemungkinan – kemungkinan lain dalam ketersediaan model senjata tidak bisa dipungkiri. Kasus yang berkembang saat ini terkait dengan masalah terorisme memunculkan pandangan bnahwa dalam dunia persenjataan teroris, deteksi terhadap model dan variasinya sangat sulit dilakukan, bahkan dampak dari senjata tersebut tidak dapat diperkirakan. Banyak yang berpendapat untuk mewujudkan tujuannya kegiatan terorisme tidak akan segan untuk menggunakan senjata yang menimbulkan korban yang sangat besar. Besarnya akibat dari penggunaan senjata dalam kegiatan terorisme juga bukan hanya secara fisik, namun dapat berdampak pada ekonomi, karena objek – objek serangannya sangat sulit untuk dideteksi. Apabila objek serangannya ada pada pusat – pusat perekonomian dunia, ataupun pada sumber – sumber daya yang mempengaruhi kekuatan ekonomi dunia, maka krisis di bidang ekonomi pun akan sangat sulit untuk dihindari.

2. Besarnya kemungkinan akan terjadinya sebuah ancaman yang hanya dapat diatasi oleh tindakan pre-emptive.

Sebuah ancaman dapat saja terjadi dalam skala yang sangat besar, namun dapat juga tidak terjadi sama sekali. Tindakan pre-emptive seperti penempatan pasukan atau bahkan markas sebagai tindakan pencegahan dari ancaman yang akan terjadi dapat saja menjadi sebuah kebijakan yang merugikan sebuah negara apabilan ancaman yang ingin diantisipasi tidak terjadi sama sekali. Kemungkinan lain yang terjadi adalah bagaimana sebuah ancaman dilakukan sekaligus dengan antisipasi balasan atas tindakan yang akan dilakukan oleh negara penyerang, yang dapat saja mengalahkannya. Tindakan pre-emptive memerlukan bukti adanya serangan antisipatif dari pihak yang akan diserang. Apabila negara secara semena – mena menerapkan doktrin pre-emptive, maka akan menyebabkan kerugian yang sangat besar dalam keamanan internasional. Di sisi lain, adanya kemungkinan serangan dari pihak pengancam dapat dianggap sudah pasti akan terjadi, mengambil contoh bagaimana Israel melakukan penyerangan terhadap reaktor nuklir Osirik milik Irak bulan Juli 1981. Dewan Keamanan menganggap serangan tersebut belum memiliki dasar yang jelas karena tidak memiliki bukti yang kuat bahwa Irak akan menggunakan reaktor tersebut sebagai sebuah tindakan pengancaman. Israel sendiri memiliki dasar yang kuat tentang pengancaman yang dilakukan oleh Irak sehingga melakukan serangan tersebut.

3. Ketersediaan alternatif dalam penggunaan kekerasan.

Pembuktian terhadap sebuah necessity haruslah memerlukan bukti bahwa ketersediaan pilihan terhadapnya sudah tidak ada lagi. Hal ini dianggap perlu karena pandangan tentang penggunaan kekerasan selalu disertai dengan adanya kerusakan – kerusakan tambahan terhadap warga sipil, non-combatants, dan properti – properti sipil lainnya.

4. Konsistensi penggunaan pre-emptive force dengan terminologi dan tujuan – tujuan yang ditetapkan dalam Piagam PBB serta perjanjian – perjanjian internasional lainnya.[21]

Artikel 2 ayat 4 Piagam PBB dianggap sebagai aturan umum dari seluruh negara bahwa tidak diperkenankan adanya penggunaan kekerasan di dalam wilayah kekuasaan tertentu yang merdeka dan berdaulat, ataupun untuk tujuan lain yang bertentangan dengan Piagam PBB. Artikel ini telah diterima sebagai sebuah pelarangan terhadap segala bentuk penggunaan kekerasan untuk tujuan apapun. Adanya peningkatan pengakuan terhadap legitimasi dan kebutuhan akan humanitarian intervention adalah bukti nyata bahwa penjabaran tujuan – tujuan dari Piagam PBB ternyata sangat diperlukan daripada penekanan pada konsistensi. Penggunaan kekerasan untuk melawan ancaman yang ada tanpa mencampuri urusan kewilayahan serta menganggu status kedaulatannya, merupakan sebuah penjabaran akan tujuan – tujuan yang dimaksud namun tetap konsisten dengan Piagam PBB. Faktor lain terkait legalitas penggunaan kekerasan adalah adopsi berbagai resolusi Dewan Keamanan di dalam hal ini. Banyak sarjana berpendapat bahwa sebuah kekuatan militer dapat dipakai untuk penggunaan kekerasan sesuai dengan yang dimaksudkan piagam apabila secara eksplisit Dewan Keamanan menyetujuinya.

Sesuai dengan penjelasan di atas, dengan anggapan bahwa pre-emptive use of force telah mendapat legalitasnya, lalu dimanakah posisi korban dalam pelaksanaan doktrin ini? Hal ini sangat sulit untuk dilepaskan dari konteks pembicaraan mengenai penggunaan kekerasan dengan tujuan apapun juga. Terkait dengan hal ini, maka akan dijelaskan lebih lanjut mengenai humanitarian intervention yang akan banyak terfokus pada penanganan korban dari penggunaan doktrin pre-emptive use of force meskipun memiliki luas bidang pembicaraan yang akan kembali pada legalitas penggunaan kekerasan itu sendiri.

HUMANITARIAN INTERVENTION

A. Hukum Humaniter Internasional

Aturan dasar tentang Hukum Humaniter Internasional yang modern dikembangkan sejak seratus tahun yang lalu, mulai dari Konvensi Jenewa 1864 yang mengeluarkan pernyataan “for the amelioration of the conditions of the wounded in armies in the field” (perbaikan terhadap kondisi para tentara di medan perang) yang dicetuskan oleh Henry Dunant (pendiri Internatinal Committee of the Red Cross tahun 1863, yang dianggap sebagai pengawas Hukum Humaniter Internasional), konferensi – konferensi Den Hag 1800 dan 1907, Protokol jenewa 1925 tentang pelarangan gas beracun dan senjata biologis, dan konvensi ICRC 1929 yang digunakan sebagai ukuran dasar dari Hukum Humaniter Internasional, dan empat Konvensi Jenewa 1949 serta dua Protokol Tambahan terhadap Konvensi – Konvensi Jenewa 1977.[22]

Hukum Humaniter Internasional terdiri dari aturan – aturan yang pada masa konflik bersenjata berupaya untuk melindungi orang – orang yang tidak, atau tidak lagi, ambil bagian dalam peperangan dan untuk membatasi cara dan sarana berperang yang digunakan.[23] Lebih tepatnya, Hukum Humaniter Internasional berlaku pada masa konflik beersenjata yang tercantum dalam perjanjian – perjanjian dan kebiasaan internasional yang secara khusus bertujuan menyesuaikan masalah – masalah kemanusiaan yang muncul sebagai akibat langsung dari konflik bersenjata, baik internasional maupun non-internasional. Demi alasan kemanusiaa, aturan – aturan tersebut membatasi pihak – pihak yang terlibat konflik dalam hal pemilihan cara dan saran berperang dan melindungi orang – orang serta benda – benda yang terkena, atau memiliki kemungkinan terkena dampak konflik. Istilah seperti Hukum Humaniter Internasional, Hukum Konflik Bersenjata, dan Hukum Perang bisa dianggap berpadanan satu dengan yang lain. Para sarjana, organisasi internasional, dan bahkan negara – negara cenderung memakai istilah Hukum Humaniter Internasional, sedangkan dua istilah yang lain lebih sering digunakan di dalam sebuah angkatan bersenjata.

Hukum Humaniter Internasional membentuk porsi – porsi khusus dari hukum internasional khususnya di dalam konflik bersenjata, yang menentukan cara – cara yang dapat diterima di dalam berperang dengan patokan pada Jus In Bello, dan bukan menentukan ketentuan – ketentuan sebelum perang yang dekat dengan Jus Ad Bellum[24]. Sesuai dengan yang sudah dibicarakan sebelumnya, ketentuan mengenai Hukum Humaniter Internasional kemudian mengalami perubahan bertalian dengan prinsip – prinsip pembedaan dalam hukum internasional modern, yang sebelumnya mengatur tentang hal – hal yang berhubungan dengan para tentara dalam perang terutama yang terluka dan yang tidak lagi terlibat dalam sebuah peperqangan, kini telah mengatur tentang subjek – subjek yang lebih “sipil”, termasuk di dalamnya penduduk dan individu – individu yang tidak berperang.[25]

Hukum humaniter saat ini sering dianalogikan dengan inter arma silent lege, diam ketika senjata “berbicara”[26]. Namun demikian hal ini tidak dapat dianggap sebagai sebuah acuan, karena dapat menyebabkan campur tangan dari pandangan realisme yang menganggap politik dapat berkuasa di atas hukum. Unsur “diam” atau lebih konkritnya “tidak berfungsi secara benar” dari hukum humaniter internasional ini lebih disebabkan oleh adanya berbagai rumusan pandangan terkait aksi terorisme yang berkembang saat ini seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya, tentang aksi yang dilakukan di atas kedaulatan sebuah negara yang tidak dapat dilewati atau murni sebuah ancaman terhadap kemanusiaan yang perlu mendapat campur tangan pihak asing, karena selain pandangan bahwa hukum ini mengatur tentang tentara perang dan penduduk sipil, ada pandangan juga yang menganggap bahwa hukum ini mengatur tanggung jawab dari pihak – pihak beligeren. Sejak mengatur tentang bagaimana sebuah perang diatur dengan prinsip – prinsip kemanusiaan, maka kita dapat menyebutnya sebagai “the rules on humanity war”[27].

Hukum Humaniter Internasional berlaku dalam dua situasi atau menyediakan dua sistem perlindungan, yaitu[28] :

1. Konflik bersenjata internasional, sesuai dengan konvensi Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I. Pihak – pihak yang termasuk di dalam situasi ini adalah :

a) personil militer yang terluka atau sakit di medan pertempuran darat, dan anggota dinas medis angkatan bersenjata;

b) personil militer yang terluka, yang sakit, atau yang kapalnya karam dalam pertempuran laut, dan anggota dinas medis angkatan laut;

c) tawanan perang

d) penduduk sipil, misalnya : warga negara asing di wilayah negara yang terlibat konflik termasuk pengungsi, orang sipil di wilayah kependudukan, tahanan sipil dan internir, dan personil medis dan rohaniwan atau satuan pertahanan sipil (perlindungan massa).

2. Konflik bersenjata non – internasional, dapat dilihat pada pasal 3 Ketentuan Yang Sama empat Konvensi Jenewa dan Protokol II yang berlaku.

Hukum Humaniter Internasional dikembangkan oleh negara – negara melalui proses kodifikasi maupun state practice. Kedua proses ini biasanya tumpang tindih. Praktek yang meluas oleh negara – negara dapat mengkristal menjadi International Customary Law, dan praktek negara jugalah yang sering digabungkan dengan kegiatan organisasi non-pemerintah seperti ICRC, yang dapat memicu pengkodifikasian Hukum Internasional.

Model pengkodifikasian ini juga menimbulkan terminologi baru tentang hal intervensi. Sejauh sebuah hak atau bahkan kewajiban dari beberapa pihak untuk melakukan íntervensi menjadi setara dengan pembenaran dilakukannya intervensi bersenjata demi alasan – alasan kemanusiaan, maka masalah ini dianggap bukanlah untuk Hukum Humaniter Internasional melainkan untuk hukum yang mengatur legalitas penggunaan kekuatan bersenjata dalam hubungan internasional, yang sangat dekat dengan Jus Ad Bellum.

B. Humanitarian Intervention

Status hukum dari Humanitarian Intervention dapat menyebabkan tantangan yang sangat besar terhadap pengaturan dunia di masa yang akan datang.[29] Untuk menjawab tantangan ini, maka diperlukan adanya elaborasi yang jelas tentang batasan – batasan yang diterima perihal Humanitarian Intervention, karena debat tentang hal ini berkembang di antara komunitas hukum internasional mengenai persoalan keterlibatan aktor bersenjata lain untuk melakukan intervensi kemanusiaan sejak awal 1970.

Hukum Humaniter Internasional adalah sebuah konsep yang melibatkan intervensi bersenjata ke dalam sebuah negara, tanpa adanya persetujuan negara tersebut, untuk mengantisipasi bahaya dan akibat – akibatnya terkait dengan pelanggaran – pelanggaran dalam skala besar di bidang hak asasi manusia yang fundamental. [30] Pengertian lain dari Humanitarian Intervention adalah penggunaan kekerasan oleh sebuah negara ataupun kelompok negara melintasi batas negara lain yang bertujuan untuk melindungi bahkan mengakhiri penyebaran pelanggaran hak asasi manusia yang fundamental selain warga negara tempat agresi tersebut, tanpa adanya ijin dari otoritas dari wilayah negara yang dimasuki.[31]

Sampai saat ini, perdebatan mengenai adanya intervensi luar di dalam sebuah kedaulatan nasional terus berkembang. Sebuah intervensi yang dapat dibenarkan atas dasar humanitarian harus memiliki minimal empat aspek[32] :

1. di dalam sebuah kedaulatan itu sudah harus ada sebuah ancaman yang membahayakan hak asasi manusia, bahkan yang memiliki potensi hilangnya nyawa manusia dalam skala yang sangat besar.

2. intervensi tersebut harus dibatasi dalam hal melindungi hak asasi manusia saja.

3. tindakan yang diambil haruslah bukan merupakan permintaan dari pemerintahan dimana kedaulatan dimasuki.

4. tindakan tersebut bukanlah sesuatu yang dihasilkan dari Resolusi Dewan Keamanan PBB.

Perdebatan yang muncul juga adalah mengenai etika yang mendasari pemberlakuan terminologi Humanitarian Intervention. Pertanyaan tentang ini adalah apakah suatu negara atau kelompok negara berhak untuk ikut campur dalam masalah dalam negeri negara lain meskipun terkait dengan pelanggaran – pelanggaran hak asasi manusia ? Dengan mengambil contoh pada Rwanda dan Kosovo, J.Z. Holzgrefe mencoba menjelaskan beberapa etika dalam penerapan Humanitarian Intervention yaitu :[33]

1. Perhatian pada masalah sumber kewajiban moral yang dipakai dalam melakukan intervensi. Ada dua pandangan yang diajukan Holzgrefe yaitu Naturalist, yang menganggap bahwa ikatan moral dari norma – norma internasional memang sudah melekat pada manusia, yang berkembang dari berbagai pengalaman, dan Concensualist yang menetapkan kewajiban moral muncul dari norma – norma yang dibuat lewat berbagai kesepakatan oleh semua masyarakat internasional yang dituangkan secara eksplisit dalam sebuah aturan.

2. Perhatian pada objek kewajiban moral. Aliran Individualist memandang bahwa kewajiban moral itu hanya melekat pada setiap pribadi manusia yang ada, sedangkan aliran Collectivist memandang bahwa kewajiban moral melekat pada sebuah kelompok, baik itu negara, kelompok negara, kelompok etnis, kelompok ras, ataupun kelompok – kelompok kekuatan yang lain.

3. Perhatian pada bobot yang tepat dari kewajiban moral. Pandangan kaum Egalitarian menganggap bahwa seluruh umat manusia harus diperlakukan sama terkait penerapan kewajiban moral tersebut, sedangkan kaum Inegalitarian memandang bahwa kewajiban moral dapat diperlakukan berbeda kepada setiap objek.

4. Perhatian pada luas berlakunya kewajiban moral. Pandangan kaum Universalist menganggap bahwa kewajiban moral harus diterapkan kepada semua unsur dimanapun mereka berada dunia ini, sedangkan pandangan kaum Particularist beranggapan bahwa kewajiban moral hanya dapat diterapkan pada kaum – kaum tertentu saja.

Penerapan Humanitarian Intervention oleh negara yang menggunakan kekuatan bersenjata dalam memasuki suatu wilayah yang memiliki ancaman terhadap keamanan dunia dapat saja menghasilkan perdamaian, namun hal ini bersifat paradoksal, karena negara dapat saja menjustifikasi penggunaan militernya lewat hal ini.[34] Politik justifikasi dalam penggunaan Humanitarian Intervention dapat memberikan tiga hasil :[35]

1. penggunaan institusi peperangan sebagai hasil dari justifikasi yang didukung oleh berbagai elit publik bahkan kelompok negara,

2. justifikasi terhadap Humanitarian Intervention dapat membentuk berbagai pandangan yang mempengaruhi teori – teori sosial dan politik di dunia, yang kemudian menghasilkan norma – norma baru hukum internasional

3. dasar awal Humanitarian Intervention seperti pada poin pertama menghasilkan pengakomodasian kepentingan pribadi dari kelompok – kelompok tertentu dan kemudian kepentingan tersebut tidak bisa ditarik kembali karena kelompok tersebut terjebak dengan kebijakan – kebijakan politiknya sendiri.

Studi tentang politik justifikasi penggunaan Humanitarian Intervention ini dapat memberikan fenomena yang disebut sebagai blowback, propaganda boomerang, atau bahkan strategic culture, karena pada dasarnya proses politik dan sosial sangat dengan kontroversi.[36]

C. Legalitas Humanitarian Intervention

Para sarjana hukum saat ini memiliki perdebatan tentang adanya kewajiban moral untuk mematuhi hukum. Sesuai dengan Pasal 38 ayat 1 Statuta ICJ, aturan internasional mengikat apabila memasukkan konvensi internasional yang menerapkan hukum yang diterima oleh negara – negara yang mengikutinya, dan kebiasaann internasional sebagai bukti praktik umum yang diterima sebagai hukum. Meskipun secara teknis pernyataan ini hanyalah mengikat dalam ICJ, namun secara luas telah diterima sebagai pernyataan yang menjelaskan tentang sumber hukum internasional yang sebenarnya.

1. Piagam PBB

Seperti pada pembahasan bab sebelumnya, penulis kembali mengangkat pasal 2 ayat 4 Piagam PBB yang menyatakan bahwa setiap negara tidak boleh menggunakan ancaman dan kekerasan didalam sebuah integritas wilayah dan kemerdekaan politik dari sebuah negara, atau tindakan apapun yang bertentangan dengan tujuan dari Piagam PBB itu sendiri, dan ditambah dengan pasal 2 ayat 7 yang menegaskan bahwa PBB sesuai dengan piagam ini tidak akan diberikan kewenangan untuk mengintervensi persoalan apapun yang ada di dalam yurisdiksi domestik sebuah negara. Hal ini sebenarnya sudah jelas merupakan suatu pelarangan akan adanya sebuah kewenangan intervensi akan sebuah kedaulatan.

Para sarjana hukum terkemuka memperdebatkan keluasan akan pasal ini, dengan mengemukakan pertama, bahwa pasal ini hanya mengatur terminologi ancaman dan penggunaan kekerasan kepada integritas wilayah dan kemerdekaan politik negara secara umum saja, dan tidak diberikan spesifikasi khusus, karena apabila terminologi Humanitarian Intervention tidak menghasilkan sebuah ancaman dan penggunaan kekerasan terkait penaklukan wilayah dan perampasan kemerdekaan politik suatu negara, maka hal ini dapat dibenarkan.[37] Pernyataan yang lebih keras dinyatakan oleh Oscar Schachter bahwa ide tentang perang yang disertai dengan sebab yang baik dalam hal hak asasi manusia dan demokrasi tidak akan menimbulkan pelanggaran integritas wilayah dan kemerdekaan politik sebuah negara.[38]

Debat ini kembali kepada cara penginterpretasian sebuah konvensi internasional yang relevan dengan masalah ini, yang menghasilkan pandangan kedua tentang Piagam PBB, yaitu tentang interpretasi tindakan yang bertentangan dengan tujuan dari piagam. Ryan Goodman berpendapat, salah satu tujuan dari piagam PBB seperti yang tercantum dalam pasal 1 ayat 3 dan pasal pasal 55, gagal dijabarkan oleh Dewan Keamanan, yaitu mengenai perlindungan hak asasi manusia.[39]

Pandangan ketiga terkait legalitas Humanitarian Intervention dalam Piagam PBB adalah penginterpretasian pasal 39 yang menyatakan bahwa Dewan Keamanan dapat berwenang untuk menggunakan kekerasan sebagai respons terhadap segala bentuk ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian, dan segala tindakan agresi. Dengan adanya yurisdiksi Dewan Keamanan dalam melaksanakan penggunaan kekerasan terhadap ancaman perdamaian tanpa memasukkan unsur internasional di dalamnya, hal ini dianggap sebagai sebuah peluang bagi Humanitarian Intervention untuk masuk dan menegakkan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat yang kemungkinan akan terjadi.[40]

2. Konvensi – Konvensi Hak Asasi Manusia

Adanya indikasi pelarangan penggunaan humanitarian intervention yang tidak sah yang diberlakukan oleh PBB seperti yang dipaparkan di atas, tidak serta merta memberikan hak kepada negara untuk memperlakukan penduduk sesuai kemauannya, karena sebagian besar negara di dunia telah menandatangani berbagai konvensi mengenai hak asasi asasi manusia yang menimbulkan adanya kewajiban – kewajiban yang harus dilakukan negara untuk melindungi warga negaranya dari berbagai ancaman pelanggaran.[41] Namun demikian, menurut Jack Donelly, kewajiban – kewajiban yang timbul dari konvensi – konvensi tersebut tidak akan pernah bisa dicampuri oleh aktor – aktor internasional lain untuk mengimplementasikan bahkan menerapkannya, karena pemerintahan negara dalam sebuah politik nasional memiliki kebebasan untuk mengadopsikannya ke dalam perundang – undangan di dalam negara, meskipun aturan – aturan yang diadopsi tersebut bersifat soft-law, atau bahkan tidak mengikat sama sekali.[42] Pada Konvensi Genosida 1948, telah diperdebatkan bahwa negara yang menandatangani konvensi ini juga setuju dengan adanya perlindungan dan penghukuman terhadap kejahatan genosida, yang menyiratkan bahwa dalam penegakan akan hal ini, negara harus menggunakan berbagai organ yang kompeten dari PBB untuk mengambil tindakan yang tepat. Namun demikian, penegakan yang dimaksudkan tersebut tidak akan pernah memberikan legalitas adanya sebuah intervensi dari pihak luar dalam penanganan kependudukan sebuah negara.[43]

Secara keseluruhan, konvensi – konvensi internasional sebagai sumber hukum internasional yang paling penting, sepertinya memberikan legalitas bagi Dewan Keamanan PBB dalam menerapkan humanitarian intervention di dalam negara anggotanya, dan yang lebih kontroversial lagi, konvensi – konvensi ini mengakibatkan adanya humanitarian intervention yang tidak diatur oleh badan berwenang manapun.

3. Hukum Kebiasaan Internasional

Beberapa sarjana hukum memperdebatkan adanya hak dari hukum kebiasaan internasional untuk sebuah humanitarian intervention yang tidak diatur oleh badan berwenang manapun juga.[44] Mereka memperdebatkan tentang adanya praktek negara pada abad ke 19 dan 20 yang menerapkan sebuah hak kedaulatan yang tidak akan pernah bisa dilemahkan atau bahkan dihilangkan oleh PBB. Sampai saat ini, tindakan – tindakan PBB yang dilakukan berdasarkan hukum kebiasaan internasional dalam penerapan humanitarian intervention banyak ditentang oleh beberapa sarjana karena sangat sedikit atau bahkan tidak ditemukan adanya bukti bahwa komunitas internasional menerimanya sebagai kekuatan mengikat (opinio juris siva necessitatis) dan mempertimbangkan hukum kebiasaan internasional sebagai sebuah conditio sine qua non, dengan mempertimbangkan beberapa kasus yang terjadi di beberapa wilayah yang tidak mendapatkan campur tangan dari organisasi manapun seperti pembantaian ratusan etnis Cina di Indonesia tahun 1960an, pembantaian Suku Ibos di Nigeria tahun 1966-1977, pembantaian kaum Black Christian di Suriname tahun 1960, pembantaian Suku Tutsis di Rwanda tahun 1970, pembantaian Suku Hutus di Burundi tahun 1972, perbudakan terhadap ratusan masyarakat Timor – Timur di Indonesia tahun 1975-1999, pembantaian jutaan orang di Ethiopia tahun 1980, dan pembantaian kaum Kurdi di irak tahun 1988-1989.[45] Berdasarkan kasus – kasus yang dikemukakan di atas, Humanitarian Intervention tanpa adanya otorisasi pihak berwenang dianggap sebagai sebuah tindakan yang bersifat permisif semata, karena tidak memiliki unsur mandatory right, penerapannya dianggap bukan sebagai bagian dari area hukum kebiasaan internasional.

Dalam pandangan penulis, sangat sulit untuk ditentukan apakah sebuah humanitarian intervention secara keseluruhan adalah tindakan yang sah secara hukum internasional atau tidak. Meskipun telah diberikan otorisasi oleh pihak yang menurut Piagam PBB berhak memberikan kewenangan humanitarian intervention (Dewan Keamanan), namun sisi hukum internasional memiliki berbagai wilayah yang sangat memungkinkan untuk memunculkan adanya perdebatan. Humanitarian Interventioni di satu sisi dapat memberikan manfaat yang baik bagi suatu negara penerima, namun di sisi yang lain dapat membawa kerugian yang tidak sedikit dengan adanya potensi – potensi pelanggaran yang dapat saja terjadi apabila kewenangan yang diberikan melanggar batas – batas hak asasi manusia yang disepakati oleh komunitas internasional.

INVASI AMERIKA SERIKAT TERHADAP IRAK

Masyarakat internasional telah lama memperdebatkan tentang kewenangan Amerika Serikat dalam melakukan invasi terhadap Irak dengan mempertimbangkan berbagai asas – asas hukum internasional serta dasar – dasar yang tepat dalam melakukan tindakan tersebut. Banyak yang berpendapat bahwa serangan Amerika Serikat ke Irak bukan hanya sekedar balasan terhadap kejadian 11 September 2001, tetapi sudah merupakan kegiatan yang terstruktur sejak lama dari pemerintahan – pemerintahan sebelum Presiden Bush. Meskipun gagasan tentang preemptive use of force telah diformulasikan sebagai “Bush Doctrine”, sejarah membuktikan bahwa hal ini telah dilakukan lewat beberapa Presiden sebelumnya. Selama abad ke – 20, Amerika Serikat telah menantang berbagai batasan internasional mengenai preemptive attack sebagai doktrin yang harus dapa dipergunakan untuk kondisi – kondisi tertentu.

Pernyataan – pernyataan dari beberapa pemerintahan sebelum Bush merupakan dasar – dasar tumbuhnya doktrin preemptive use of force semasa pemerintahannya. Lewat National Security Strategy pada September 2002, Bush mengklaim bahwa hak untuk menyerang negara asing timbul dari hak untuk melindungi diri dari bahaya yang dapat melukai penduduk dan negaranya, meskipun belum ditemukan adanya imminent attack dan belum disepakati oleh negara lain ataupun mendapatkan kewenangan secara internasional. Pendekatan yang selalu disebut sebagai Bush Doctrine ini diterima kalangan masyarakat internasional sebagai preemptive use of force.

Pada 20 Maret 2003, Presiden Bush menginvasi Irak untuk meruntuhkan pemerintahannya lewat Operation Iraqi Freedom. Ketika memasuki negara ini, Presiden Bush menyatakan bahwa Amerika Serikat bertindak secara preemptive. Sebaliknya, perwakilan Amerika Serikat di PBB ketika menyampaikan surat kepada Presiden Dewan Keamanan tidak menyebutkan adanya doktrin preemptive self – defence, tetapi duta besar Amerika Serikat ini menyatakan bahwa Dewan Keamanan telah memberikan kewenangan terhadap tindakan – tindakan preemptive lewat resolusi – resolusinya seperti Resolusi 678 tahun 1990, dan Resolusi 687 tahun 1991, yang memutuskan bahwa Irak harus menghentikan penggunaan senjata – senjatanya untuk aksi – aksi peperangan, dan pemerintahannya harus melaksanakan kegiatan pembersihan terhadap aksi – aksi terorisme yang berkembang di wilayah tersebut.[46] Irak memang tidak mematuhi resolusi – resolusi ini, dan Dewan Keamanan pun mengeluarkan Resolusi 1441 tahun 2002, yang memutuskan bahwa harus ada campur tangan pihak asing dalam melaksanakan Resolusi 678 dan 687 serta resolusi lain yang terkait dengan kewajiban – kewajiban tersebut. Amerika Serikat berpandangan bahwa Resolusi 1441 tidak pernah melarang use of force dalam pelaksanaan keputusan ini, dan memberikan peluang yang cukup bagi mereka untuk menginvasi Irak.

Pada perkembangannya, Amerika Serikat secara sadar mengetahui bahwa mayoritas anggota tetap Dewan Keamanan menghendaki adanya interpretasi yang berbeda terhadap Resolusi 1441 seperti yang dinyatakan oleh Amerika Serikat, ketika Perancis, Cina, dan Rusia mengeluarkan pernyataan bersama secara eksplisit yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan Resolusi 1441 tahun 2002 yang diadopsi oleh Dewan Keamanan tidak diperkenankan adanya use of force apabila ditemukan pelanggaran kewajiban oleh Irak dalam resolusi ini, yang mana apabila ditemukan pelanggaran maka akan dilaporkan kepada Dewan Keamanan dan dewanlah yang berhak untuk mengambil posisi sebagai pengambil keputusan terhadap laporan tersebut.[47]

Invasi Irak 2003 dengan kode "Operasi Pembebasan Irak" secara resmi mulai pada tanggal 19 Maret 2003.[48] Tujuan resmi yang ditetapkan Amerika Serikat adalah untuk "melucuti senjata pemusnah masal Irak, mengakhiri dukungan Saddam Hussein kepada terorisme, dan memerdekakan rakyat Irak". Sebagai persiapan, pada 18 Februari 2003 100.000 tentara Amerika Serikat dimobilisasikan di Kuwait. Amerika Serikat menyediakan mayoritas pasukan untuk invasi ini, dengan dukungan dari pasukan koalisi yang terdiri dari lebih dari 20 negara dan suku Kurdi di utara Irak. Invasi Irak 2003 inilah yang menjadi pembuka Perang Irak.

Perang dimulai setelah batas waktu 48 jam yang dijatuhkan Presiden George W Bush berakhir. Bush memberikan 48 jam kepada Presiden Irak Saddam Husein dan kedua anaknya, Uday dan Qusay, agar meninggalkan Irak. Ultimatum Bush tersebut tidak ditanggapi oleh Saddam. Dalam kurun waktu 21 hari, pasukan AS berhasil menaklukkan Baghdad. Serangan AS dan Inggris ke Irak tidak mendapatkan restu dari Dewan Keamanan PBB, meski Washington dan London telah melakukan berbagai tekanan terhadap lembaga tersebut.

Paruh kedua tahun 2003 merupakan ajang perang seru yang dihadapi pasukan Amerika di Irak. Dalam tempo ini lebih dari 400 tentara Amerika dan Inggris tewas di negeri 1001 malam itu. Penangkapan Saddam pada penghujung tahun 2003, tidak berhasil meredam aksi gerilya terhadap pasukan pendudukan di Irak. Akibat kinerja Gedung Putih dan Pentagon dalam masalah Irak, popularitas George W. Bush yang setelah peristiwa 11 september 2001 pernah menembus level 85 persen, turun secara drastis sampai di bawah level 50 persen, apalagi setelah terungkapnya fakta bahwa Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal. Padahal Bush dan para penasihatnya menjadikan isu senjata pemusnah massal di Irak sebagai alasan utama perang. Meningkatnya angka kematian tentara Amerika dan bertambahnya biaya perang merupakan satu lagi penyebab menurunnya popularitas Bush di penghujung tahun 2003.[49]

Rencana Bush untuk meningkatkan kekuatan militernya di Irak tak memicu harapan baru apapun. Agresi sejak Maret 2003 di Irak membuktikan kekuatan pasukan tak ada artinya. Hasil penelitian Lancet di negeri itu menunjukkan korban agresi, hingga Juli 2006, mencapai 655 ribu orang. Pasukan AS dan sekutunya pun tak berdaya apa-apa. Justru 3.000 orang serdadu AS turut tewas di Irak. Pasukan AS dan sekutunya–yang tak pernah mendapat mandat sah dari manapun–telah kalah di Irak. Eropa cenderung berubah sikap. Sebagian negara lain pengirim pasukan malah sudah menarik diri. Pemerintah AS yang masih menunjukkan sikap tidak mau menerima kekalahan.[50]

Menurut data dinas keamanan AS, jumlah pasukan AS yang tewas di Irak baik dari arena pertempuran maupun akibat non teknis mencapai 4.484 orang sejak invasi dimulai tanggal 19 Maret 2003, yang jika dibandingkan dengan total pasukan AS yang terlibat untuk “Operation Iraqi Freedom” sebanyak 250.000 personil maka jumlah pasukan AS yang tewas tidak mencapai 2%.[51] Meskipun demikian, jatuhnya korban jiwa terhadap pasukan AS dan masyarakat yang tak berdosa di Irak memperlihatkan bahwa proyek ambisius AS telah merenggut nyawa manusia yang tidak sedikit jumlahnya.

Jumlah Pasukan AS dan sekutu yang terlibat di Irak seluruhnya mencapai 250 ribuan orang di berbagai front dan lini operasi, baik tenaga tempur maupun tenaga logistik dan administrasi. Jumlah itu terbagi atas beberapa negara, yaitu :

1. Pasukan AS mencapai 250 ribu personil.

2. Pasukan Inggris mencapai 45 ribu personil

3. Pasukan Australia mencapai 2000 personil

4. Pasukan Polandia mencapai 200 personil

5. Negara pendukung lainnya mencapai 3000 personil

6. Total seluruhnya mencapai 300 ribuan personil tentara.

Menurut informasi Wikipedia 316 ribu tentara pada masa awal okupasi dan pada awal tahun 2011 yang tertinggal sebanyak 162 ribu personil tentara.Perang Teluk II berakhir pada 1 September 2010 dan diumumkan oleh Barrack Obama ke seluruh dunia untuk mengakhiri berbulan-bulan spekulasi mengenai apakah AS akan mempertahankan kehadiran militernya di Irak setelah 2011. Jumlah kematian yang terjadi akibat perang Teluk II atau Okupasi Irak dalam operasi pembebasan Irak sejak digulirkan Maret 2008 total seluruhnya bervariasi. Kementrian Kesehatan Irak melaporkan korban tewas seluruhnya dari peperangan mencapai 150 ribuan orang Irak tewas. Namun kebalikannya data dari John Hopkin sebuah lembaga riset terkemuka di AS mencatat angka mencengangkan, hampir 1 juta orang tewas (tepatnya 943 ribu orang pertengahan 2011).[52]

Berdasarkan catatan terkini yang berhasil dihimpun dari icasulties.org (17/12/2011) tentang perang Iraq, jumlah pasukan AS dan sekutu yang tewas selama perang Teluk II adalahsebagai berikut:[53]

Year

US

UK

Other

Total

2003

486

53

41

580

2004

849

22

35

906

2005

846

23

28

897

2006

822

29

21

872

2007

904

47

10

961

2008

314

4

4

322

2009

149

1

0

150

2010

60

0

0

60

2011

54

0

0

54

Total

4484

179

139

4802

Akan tetapi menurut catatan yang dirilis dari beberapa tulisan yang mengacu kepada The Department of Veterans Affairs, yang berjuudl Gulf War Veteran Information System diterbitkan pada Mei 2007, melaporkan bahwa jumlah Kematian Militer AS dalam Perang Teluk: 73.846 orang. Terdiri dari kematian dalam tugas: 17. 847 orang dan kematian di luar perang atau dalam non-tugas: 55.999 orang.

Sedemikian banyak data tentang invasi Amerika Serikat dalam invasinya ke Irak menggambarkan penggunaan doktrin preemptive use of force secara agresif yang dilakukan selama bertahun – tahun yang tidak mampu dihentikan oleh masyarakat internasional. Dewan Keamanan yang secara tersirat melalui pernyataan beberapa anggota tetapnya menolak invasi ini pun tidak dapat mengeluarkan sebuah kesepakatan terkait hal ini. Perdebatan mengenai legalitas doktrin preemptive use of force dan penggunaan humanitarian intervention sebagai tindakan pembersihan diri oleh Amerika Serikat terus – menerus terjadi di kalangan masyarakat internasional dengan berbagai reaksi yang pada dasarnya mengemukakan superioritas dari pemerintahan Presiden Bush yang tetap berlanjut sampai pemerintahan Obama hingga penarikan pasukannya tahun 2010.

LEGALITAS PRE-EMPTIVE USE OF FORCE DAN HUMANITARIAN INTERVENTION DALAM INVASI AMERIKA SERIKAT TERHADAP IRAK

Selama musim panas dan musim gugur tahun 2002, pertanyaan seputar penggunaan preemptive use of force yang sah oleh Amerika Serikat untuk mempertahankan keamanan nasionalnya diangkat oleh Presiden Bush dan anggota – anggota pemerintahannya, sudah termasuk dengan penggunaan angkatan bersenjata terhadap Irak. Setelah keluarnya National Security Startegy oleh pemerintahan Presiden Bush yang secara eksplisit bahwa Amerika Serikat siap untuk menggunakan preemptive use of force untuk mencegah musuh – musuh Amerika Serikat dalam penggunaan senjata pemusnah massal, dunia diperhadapkan pada persoalan bagaimana legalitas penggunaannya dapat diterima oleh masyarakat internasional.

A. Kebijakan Preemptive Use of Force Amerika Serikat

Catatan sejarah menunjukkan bahwa Amerika Serikat tidak pernah sampai pada tahun 2002 menggunakan angkatan bersenjata dengan alasan preemptive terhadap sebuah negara, dan hanya sekali secara sepihak menyerang sebuah negara secara militer dengan alasan bahwa penduduknya telah diserang terlebih dahulu, yaitu pada perang Amerika Serikat – Spanyol tahun 1898, yang pada saat itu tujuan penyerangannya adalah untuk memaksa Spanyol memberikan kemerdekaan politik pada Kuba, lewat keluarnya aturan Kongres pada April 1898 yang intinya meminta Spanyol memberikan kemerdekaan politik kepada Kuba dan menarik pasukannya dari wilayah Kuba, dan mengizinkan presiden Amerika Serikat untuk menggunakan angkatan bersenjatanya apabila diperlukan, dan pada akhirnya deklarasi perang pun tidak dapat dihindarkan.[54] Meskipun tindakan militer ini dikeluarkan oleh administrasi pemerintahan Amerika Serikat, hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan preemptive karena berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak untuk melakukan perang. Penggunaan kebijakan angkatan bersenjata yang sama juga terjadi pada saat perang dengan Meksiko dan negara – negara di Amerika Tengar serta Kepulauan Karibia.

Pada awal abad ke – 19, Amerika Serikat telah mengadopsi “Monroe Doctrine”, yang dipakai untuk membenarkan serangan militer ke Amerika Tengah dan negara – negara di Kepulauan Karibia yang bertujuan untuk melindungi kepentingan – kepentingan Amerika Serikat dari pengaruh – pengaruh negara luar di bagian barat benua Amerika. Konsep perlindungan ini kemudian diperdebatkan sebagai awal perkembangan preemptive use of force dari Amerika Serikat.

Amerika Serikat semakin dekat dengan tindakan preemptive pada Krisis Misil Kuba, namun tidak secara aktif terlibat dalam peperangannya. Presiden Kennedy pada tahun 1962 mendirikan blokade angkatan laut di perairan Kuba untuk mencegah adanya pendirian basis – basis misil Uni Soviet di Kuba. Pendirian blokade tersebut dengan tujuan untuk melindungi adanya serangan oleh Kuba memakai misil Uni Soviet tersebut untuk menyerang Amerika Serikat. Pada akhirnya, Uni Soviet membatalkan rencana pendirian basis – basis misil tersebut sehingga tidak ditemukan adanya serangan apapun dari negara luar terhadap Amerika Serikat.

Pada pemerintahan Presiden Reagen, lewat National Security Directives 138 dan 207, mengijinkan adanya tindakan preemptive self defence oleh militer Amerika Serikat, dengan alasan bahwa tindakan preemptive perlu dilakukan untuk melindungi penduduk properti, dan tujuan – tujuan negara, tanpa adanya penjelasan yang lebih lanjut tujuan seperti apa yang dimaksudkan, dan apakah tujuan – tujuan ini dapat berkembang melebihi kepentingan keamanan semata. Pada 27 Desember 1985, kantor – kantor penerbangan di Roma dan Wina dibom oleh teroris, yang menewaskan penduduk Amerika Serikat dan negara lain. Presiden Reagen menghubungkan serangan ini dengan Libya, ditandai dengan peperangan di Timur Tengah pada 24 Maret 1986. Pada 5 April 1986, ledakan bom terjadi lagi di klub malam di Jerman Barat, diskotik La Belle, yang menewaskan ratusan penduduk Amerika Serikat, dan atas kejadian ini pemerintahan Reagen kembali melancarkan serangan ke Libya sepuluh hari kemudian, yang menewaskan banyak rakyat sipil dan menghancurkan infrastruktur militer Libya. Reagen pada 14 April 1986 menyatakan bahwa Amerika Serikat telah melakukan apa yang harus dilakukan untuk menangani masalah ini, dan tidak segan – segan akan melakukannya kembali apabila keadaan yang sama terjadi kembali. Namun demikian, tindakan Amerika Serikat ini tidak disebut sebagai preemptive use of force karena tidak ditemukan adanya bukti bahwa Libya dan teroris – terorisnya melakukan imminent attack terlebih dahulu, dan akhirnya hanya disepakati sebagai anticipatory self-defence semata.

Presiden Clinton semasa pemerintahannya juga tidak pernah menyebutkan secara eksplisit tentang kebijakan preemptive use of force. Pada National Security Strategy For A New Century yang dikeluarkan pada tahun 1998 semasa pemerintahannya, Clinton menyatakan bahwa Amerika Serikat menanggapi sebuah serangan hanya akan bertindak untuk mencegah dan melindungi saja. pada tahun 2000, dikeluarkan kembali sebuah National Security Strategy For A Global Age yang menyatakan bahwa strategi yang dilakukan bukan saja untuk melindungi, namun jug harus merespon terhadap tindakan terorisme apabila diperlukan.

Perang Irak tahun 2003 diakui secara luas sebagai tindakan penggunaan kekuatan militer Amerika Serikat sebagai sebuah preemptive use of force karena Amerika Serikat tidak diserang terlebih dahulu oleh Irak. Para pejabat pemerintahan Bush melihat bahwa Irak sesuai dengan Resolusi 1441 Dewan Keamanan PBB masih melanggar kewajiban – kewajiban materilnya untuk menghancurkan berbagai fasilitas yang memungkinkan adanya senjata pemusnah massal dan memilih untuk tidak bertindak apa – apa terhadap ancaman bahaya yang akan ditimbulkannya. Resolusi ini mencatat bahwa konsekuensi yang timbul akibat tindakan Irak ini dapat sangat membahayakan keamanan dunia.

Presiden Bush menyatakan bahwa Amerika Serikat melancarkan serangan militer ke Irak dengan pasukan koalisi adalah untuk menegakkan Resolusi 1441 yang telah dilanggar oleh Irak sejak Perak Teluk 1990 – 1991 yang mana menyebutkan bahwa apabila Irak melanggarnya maka dapat diambil tindakan use of force, dan juga untuk melindungi keamanan dari Amerika Serikat. Pada laporannya kepada Kongres tanggal 19 Maret 2003, Bush menyimpulkan bahwa negosiasi – negosiasi diplomatik yang lebih lanjut untuk memaksa Irak melaksanakan kewajibannya sesuai resolusi untuk menghancurkan senjata pemusnah massal tidak akan berhasil, yang mana untuk melaksanakan ini harus dilakukan dengan cara penggunaan angkatan bersenjata oleh pihak luar. Bush memang tidak secara eksplisit mengemukakan karakter penyerangan yang dilakukan Amerika Serikat terhadap negara pembangkang resolusi tersebut, namun pengesahan tindakan Amerika Serikat dalam penyerangan terhadap Irak dilakukan dengan alasan adanya prospek bahaya yang akan terjadi di kemudian hari yang tidak diketahui secara pasti, bukan dengan alasan imminent threat, namun masyarakat internasional memperdebatkan bahwa konsep use of force force yang dilakukan Amerika Serikat adalah berdasarkan alasan preemptive. Resolusi 1441 ini sendiri tidak pernah secara eksplisit mendapatkan pernyataan dari Dewan Keamanan tentang use of force apabila benar ditemukan pelanggaran kewajiban oleh Irak. Dengan adanya penolakan penggunaan preemptive attack oleh beberapa negara anggota tetap Dewan Keamanan seperti yang dibahas pada bab sebelumnya, serta tidak adanya keputusan yang secara eksplisit membenarkan kewenangan preemptive use of force dalam melaksanakan Resoluis 1441 serta pengaturan yang secara jelas tercantum dalam Piagam PBB pasal 2 ayat 4 tentang pelarangan penggunaan kekerasan, menggambarkan adanya pendefinisian Amerika Serikat secara sepihak dan melampaui batas hukum internasional tentang hal ini.

B. Humanitarian Intervention oleh Amerika Serikat pada Perang Irak

Respons Amerika Serikat terhadap seranga 11 September 2001 dengan doktrin preemptive use of force telah mempengaruhi bahkan mengurangi makna dari sebuah kedaulatan yang membawa masyarakat internasional untuk memberikan pandangan perlu adanya intervensi yang lebih jauh daripada sekedar use of force. Ada tiga pandangan yang dapat dikemukakan berdasarkan analisa dari Alex J. Bellamy[55] :

1. Optimists View, yang menganggap bahwa intervensi dalam hal humanitarian emergencies dapat diambil hanya apabila keadaan sebuah negara sedang dipertaruhkan dalam keadaan bahaya. Dalam pandangan ini, intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap rekonstruksi di Irak tidak memiliki dampak yang nyata karena fokus tindakannya adalah pada pencarian senjata pemusnah massal.

2. Pandangan adanya penggantian makna dari humanitarian intervention dengan lebih berorientasi pada obsesi tujuan akhir yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran – pelanggaran. Tujuan awal yang dikehendaki oleh prinsip humanitarian intervention untuk dilakukan Amerika Serikat dalam proses rekonstruksi Irak akibat adanya perang terhadap terorisme pada akhirnya dipakai sebagai alat untuk merealisasikan tujuan akhir mereka dengan berorientasi pada penambahan – penambahan pasukan baik dari negeri sendiri maupun dengan koalisi dengan negara lain. Hal ini mengakibatkan banyaknya pelanggaran baik terhadap prinsip – prinsip humanitarian intervention itu sendiri maupun dalam perlakuan terhadap rakyat sipil di Irak, seperti yang dinyatakan oleh co-chair International Commission on Intervention and State Sovereignty Gareth Evans bahwa justifikasi terhadap humanitarian intervention secara inkonsisten di Irak sangat melemahkan prinsip responsibility to protect sebagai prinsip yang dipakai dalam penanganan akibat – akibat perang.[56]

3. Pandangan ketiga adalah adanya kriteria dari International Commission on intervention and State Sovereignty tentang humanitarian intervention harus dilihat sebagai batasan - batasan yang dapat mencegah negara – negara dalam melakukan pelanggaran – pelanggaran dalam melaksanakannya. Kriteria – kriteria ini harus terbentuk dari berbagai konsensus antar negara. Intervensi yang dilakukan Amerika Serikat didasarkan pada anggapan bahwa konsensus antar negara telah diterima karena merupakan mandat yang tersirat dari resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan, yang merupakan badan tertinggi dalam mengambil keputusan untuk persoalan keamanan dunia dimana resolusi – resolusinya harus diterima seluruh negara. Pada kenyataannya, tidak semua negara menerima dengan baik resolusi Dewan Keamanan ini. Hal ini menimbulkan keraguan akan kredibilitas tindakan dari Amerika Serikat terhadap Irak karena tindakannya bukanlah merupakan sebuah konsensus secara langsung antar negara, namun berdasarkan mandat yang hanya tersirat dari sebuah resolusi Dewan Keamanan yang belum tentu diterima seluruh negara.

Dalam pandangan internasional, level penggunaan kekerasan dalam setiap tindakan yang melibatkan prinsip – prinsip internasional harus direduksi semaksimal mungkin lewat empat kebijakan : [57]

1. melihat terlebih dahulu penyebab dari tindakan – tindakan tersebut,

2. ketika terjadi sebuah kejahatan yang menyebabkan perlu dilakukan tindakan agresi, harus ada pengutamaan terhadap perlindungan kemanusiaan dan properti,

3. adanya pengawasan yang berkelanjutan apabila tindakan agresi telah selesai dilakukan,

4. tindakan – tindakan agresi yang dilakukan tidak boleh dijadikan sebagai dasar pelaksanaan tindakan serupa terhadap aksi – aksi kejahatan yang lain.

Berdasarkan pandangan ini, aksi Amerika Serikat dalam menerapkan doktrin preemptive use of force berdasarkan mandat yang tersirat dalam resolusi Dewan Keamanan dapat memancing negara – negara yang lain yang memiliki kekuatan militer yang besar untuk melakukan hal yang serupa apabila memiliki kasus yang sama dengan latar belakang pengambilan kebijakan Amerika Serikat tersebut, terutama negara – negara yang juga adalah anggota tetap Dewan Keamanan. Namun demikian, pengembangan kekuatan militer adalah hak dari negara yang berdaulat. Pengembangan ini dapat didasarkan pada tujuan internal maupun eksternal yang tidak dapat dikekang oleh aturan internasional manapun juga. Pasukan keamanan nasional adalah sebuah elemen kunci dari sebuah negara dan pemerintahannya untuk menangkal berbagai kemungkinan bahaya yang akan terjadi.

Kebijakan pertahanan oleh Amerika Serikat dapat dilihat tiga dasar, pertama, untuk melindungi penduduknya dari serangan dari luar, kedua, untuk mendapatkan strategi yang lebih luas dalam mengalahkan musuh yang telah diketahui keberadaannya sebelum mereka menyerang terlebih dahulu seperti yang menjadi dasar preemptive use of force oleh Bush, dan ketiga, dapat digunakan sebagai perluasan kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan fisik, seperti eksplorasi minyak di Irak, dan bahkan melemahkan para kompetitor ekonomi mereka di dunia. Dengan memasukkan humanitarian intervention ke dalam aksi – aksinya, Amerika Serikat berhasil menutup lubang – lubang kecurigaan terhadap tujuan – tujuan lain teersebut, sehingga masyarakat internasional melihat doktrin ini sebagai sebuah hal yang dapat diterima secara hukum, yang sebenarnya secara prinsip hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran prinsip dasar yang dipaparkan dalam Piagam PBB dan konvensi – konvensi hak asasi manusia yang telah ada. Beberapa kesepakatan ahli hukum internasional terkemuka yang menjadi landasan doktrin ini dipakai secara berhasil oleh pemerintahan Amerika Serikat untuk mewujudkan misinya dengan mendapatkan dasar yang tersirat dalam resolusi – resolusi Dewan Keamanan, untuk kemudian sangat sulit ditentang oleh masyarakat internasional meskipun perdebatan mengenai hal ini tetap terus berlanjut.

Kesimpulan

Doktrin preemptive use of force dan prinsip humanitarian intervention yang dilaksanakan oleh Amerika Serikat dalam menginvasi Irak dapat diragukan dalam hal legalitasnya. Dasar yang diambil oleh pemerintahan Bush dalam melaksanakan doktrin preemptive use of force yang tertuang dalam National Security Strategy menggambarkan bagaimana ambisi Amerika Serikat dalam melindungi masyarakatnya terhadap musuh yang belum diketahui keberadaannya dan ketidakjelasan tentang penggunaan senjata pemusnah massal seperti yang dituduhkan. Dampak yang timbul akibat agresi militer terhadap Irak ini berusaha dilindungi oleh Amerika Serikat dengan tindakan humanitarian intervention yang dilakukan secara sepihak tanpa adanya kredibilitas konsensus seluruh negara. Tindakan yang semula merupakan respon terhadap kejadian 11 September 2001, kini dapat diperdebatkan menjadi sebuah perluasan kepentingan – kepentingan yang lain yang tidak terkait sama sekali dengan doktrin preemptive karena dampak yang ditimbulkan bukan saja pada materil, namun menyentuh sampai pada dunia perekonomian dunia.

Doktrin preemptive use of force oleh Amerika Serikat dapat dikatakan sah secara internasional pada awal tujuannya karena memiliki unsur – unsur yang tersirat dalam Piagam PBB yang memberikan mandat kepada Dewan Keamanan untuk memutuskan masalah – masalah keamanan dunia lewat resolusi – resolusi, untuk kemudian dinyatakan sebagai dasar pelaksanaan agresi oleh pemerintahan Bush. Namun kredibilitas terhadap tindakan ini sangat diragukan dengan melihat dampak yang timbul setelahnya karena hal – hal yang menjadi dasar pelaksanaan agresi sampai saat ini tidak ditemukan kebenarannya. Humanitarian Intervention yang dilaksanakan sebagai penanganan dampak agresi juga tidak memiliki dasar hukum yang jelas karena tidak dilaksanakan berdasarkan konsensus secara menyeluruh dari berbagai sisi, baik oleh negara – negara, maupun kombinasi antara Piagam PBB, konvensi – konvensi tentang hak asasi manusia, dan hukum kebiasaan internasional.

Kebijakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam invasinya ke Irak ini perlu mendapatkan perhatian yang serius dari kalangan masyarakat internasional lewat analisa – analisa yang lebih lanjut dalam berbagai tulisan dan publikasi. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah adanya pemberlakuan tindakan Amerika Serikat ini sebagai dasar pelaksanaan tindakan yang serupa yang menimbulkan banyak resiko terkait kedaulatan negara, kepentingan negara – negara, hak asasi manusia, dan aspek – aspek di bidang lain seperti ekonomi dan bisnis. Analisa – analisa ini dapat saja melahirkan berbagai konvensi yang baru yang menetapkan standar – standar yang lebih komprehensif terkait preemptive use of force dan humanitarian intervention di dunia internasional, sehingga dapat meminimalisir dampak – dampak yang buruk yang mungkin terjadi akibat kedua tindakan ini.



[1] Joschka Fisher, Federal Minister of Foreign Affairs, “Anti-Terrorism Meassures Are No Ezxcuse For Human Rights Violations”, 58th Session of the Commision Of The Human Rights, Geneva, 20 March 2002, www.unhcr.ch (diakses 29 November 2011)

[2] Joint Session Of Congress And The American People (20 September 2001) And Presidential Address (7 October 2001), dapat dilihat di www.whitehouse.gov/nsc/nss.html

[3] ibid

[4] ibid

[5] Dick Cheney, perkataan Wakil Presiden Amerika Serikat kepada veteran perang pada

103rd National Convention (26 Agustus 2002) [Cheney Remarks to Veterans] (http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2002/08/20020826.html) : “If the United States

could have preempted 9/11, we would have, no question.”

[6] Michael Bothe, “Terrorism And The Legality of Preemptive Force”, EJIL 2003, hal. 228

[7]Kenvensi Wina 1969, yang dikutip dari Soemaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, PT.Tatanusa, 2008, hal.217.

[8] I.M.Sinclair, The Vienna Convention On The Law of Treaties, Manchester University Press 1973, hal 1

[9] Ibid, hal, 3.

[10] Michael Bothe, op.cit, hal 230; Anthony Clark Arend, International law and The Preemptive Use of Force,EJIL 2003, hal.92; Sean D. Murphy, International Law, The United States, and The Non-Military War Against Terrorism, EJIL 2003, hal.249; dan banyak referensi lain.

[11] Resolusi Majelis Umum A/3314, 14 Desember 1974

[12] Military And Paramilitary Activities in and Against Nicaragua, ICJ Reports (1986) 14.

[13] Michael Bothe, op.cit, hal. 230

[14] Tambahan pada Resolusi Majelis Umum 2625 (XXV)

[15] The Caroline Case, analisa putusan dari Abraham Sofaer dalam On The Necessity of Pre-Emption, EJIL 2003, hal.214.

[16] Anthony Clark Arend, International law and The Preemptive Use of Force,EJIL 2003, hal.91.

[17] Ibid.

[18] Grotius, De Jure Belli et Pacis (1853), dikutip dari Abraham D. Sofaer, ibid

[19] Monsieur de Vattel, The Law of Nations (1852), dikutip dari Abraham D. Sofaer, ibid

[20] Abraham Sofaer, ibid, hal. 220, mengutip kalimatnya “...The Caroline incident...was meant to apply situations in which the state on whose territory pre-emptive action is contemplated isnot responsible for the thread involved,and is both able and willing to act appropriately to prevent the thread from being realized”. Kalimat ini bermaksud menggambarkan bahwa pemerintahan Amerika Serikat mencoba mendefinisikan serangan kapal Inggris terhadap kapal Caroline sebagai tindakan yang tidak memikirkan konsekuensi bahaya akibat tindakan tersebut karena dilakukan sebagai respon atas pemberontakan dengan memakai kapal Caroline sebagai medianya.

[21] Abraham Sofaer, ibid, hal.220

[22] Claire de Than dan Edwin Shorts, International Criminal Law and Human Rights, LONDON Sweet and Maxwell, 2003, hal. 117

[23] ICRC Delegasi Indonesia, Hukum Humaniter Internasional : Menjawab Pertanyaan Anda, ICRC, 2008, hal. 4

[24] Gerald Neuman, Humanitarian Law and Counter Terrorist Force, EJIL 2003, hal. 284

[25] sesuai dengan Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1949, dikutip dari ibid : “it demands, “the civilian population as such, as well as individual civilians, shall not be the object of attack.”,

[26] Jan Klabbers, Rebel With A Cause? Terrorist and Humanitarian Law, EJIL 2003, hal. 301.

[27] Natalia Yeti Puspita, Humanitarian Law, paper yang disampaikan pada International Conference on Humanitarian Action Studies UGM 2011.

[28] ICRC Delegasi Indonesia, ibid, hal. 16 – 18

[29] Kofi Annan, The Question of Intervention : Statements by the Secretary-General Sept 20, 1999, diakses dari http://findarticles.com/p/articles/mi_m1309/is_3_35/ai_54259305/, yang menyatakan bahwa humanitarian intervention akan membawa tantangan bagi Dewan Keamanan dan PBB sebagai satu kesatuan yang utuh di masa yang akan datang.

[30] Fernando Teson, Humanitarian Intervention : An Inquiry Into Law And Morality, 1997, dikutip oleh Christopher C. Joyner, The Responsibility To Protect : Humanitarian Concern and the Lawfulness of Armed Intervention, di dalam buku International Law Classic And Contemporary Readings diedit oleh Charlotte Ku dan Paul Diehl, Lynne Rienner Publishers, 2009.

[31] J. Z. Holzgrefe, The Humanitarian Intervention Debate, yang diambil dari buku Humanitarian Intervention Ethical Legal and Political Dillemas, diedit oleh J.Z. Holzgrefe dan Robert O. Keohane, Cambridge University Press, 2003, hal. 18.

[32] John O’Brien, International Law, Routledge – Cavendish, 2009, hal. 687.

[33] J. Z. Holzgrefe, Op.Cit, hal. 19

[34] Ryan Goodman, Humanitarian Intervention and Pretexts of War, International Legal Studies UC Berkele, diakses dari http://escholarship.org/uc/item/3tw008bp

[35] ibid

[36] ibid

[37] Fernando Teson, Loc.Cit., dapat dilihat juga pernyataan Ian Brownlie dalam International Law And The Use Of Force, Oxford Clarendon Press, 1963, yang menyatakan bahwa pernyataan sebuah konvensi dapat menimbulkan ambiguitas dengan travaux preparatoires dimana sebuah penerapan sebuah perjanjian harus memiliki eksaminasi terhadap tujuan – tujuannya. Referensi yang berguna juga dapat dilihat pada pendapat W.T.Eijsbouts, Introduction, dalam buku Ambiguity In The Rule of Law yang diedit oleh Thomas A.J.A. Vandamme dan Jan-Herman Reestman, Europa Law Publishing Groningen 2001, hal. 6 dengan pernyataan ”the rule of law shuns the latter secretiveness, instinct of power exercise, omnipresence, technicallity of language.”

[38] Oscar Schachter, Legality of Pro-Democratic Invation, the American Journal of International Law 1984, hal. 649, diakses dari http://www.jstor.org/pss/2202602

[39] Ryan Goodman, Op.Cit, hal. 39 yang menerangkan tentang pasal 1 ayat 3 piagam PBB : “the purposes of the United Nations are to achieve international cooperation ini...encouraging respects for human rights and for fundamental freedoms ...”, dan pasal 55 Piagam PBB : “United Nations shall promote..., universal respect for, an observance of, human rights and fundamental freedoms for all.”

[40] Jost Delbruck, A Fresh Look At Humanitarian Intervention Under The Authority of United Nations, Indiana Law Journal 1992, hal. 898 – 899.

[41] J.Z. Holzgrefe, loc.cit., hal. 43

[42] Jack Donnelly, “Human Rights, Humanitarian Crisis, and Humanitarian Intervention”, International Journal Vol. 48 No.4., 1993, diakses dari http://www.jstor.org/pss/25734034

[43] J.Z. Holzgrefe, op.cit., hal. 44

[44] Judy A. Gallant, “Humanitarian Intervention and Security Council Resolution 688: A Reappraisal in Light of a Changing World Order”, American University of International Law Review Vol.4, 1992 diakses dari http://digitalcommons.wcl.american.edu/auilr/vol7/iss4/4/; Jean Pierre L. Fonteyne, “The Customary International Law Doctrine of Humanitarian Intervention: Its Current Validity under The UN Charter”, California Western International Law Journal (1974) diakses dari http://heinonline.org/HOL/LandingPage?collection=journals&handle=hein.journals/calwi4&div=17&id=&page=; Michael J. Bazyler, “Re-examining The Doctrine of Humanitarian Intervention In Light of The Atrocities of Kampuchea And Ethiopia, Stanford Journal of International Law, 1987, diakses dari http://heinonline.org/HOL/LandingPage?collection=journals&handle=hein.journals/stanit23&div=27&id=&page=

[45] Pendapat J. Charney dalam “The Persistent Objector Rule and The Development of International Customary Law”, British Yearbook of International Law 1985; R. Bernhardt dalam “Customary International law”, Encyclopedia of International Law; G. Danilenko dalam “Law Making In The International Community”, 1993; Ian Brownlie dalam “Principles of Public International Law”, Clarendon Press Oxford, 1998; Michael Byers dalam “Custom, Power, and The Power Of Rules; International Relations and The Customary International Law”, Cambridhe University Press, 1999; kesemuanya dikutip dari J. Z. Holzgrefe, op.cit., hal. 45.

[46] Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1441 yang menyebutkan tentang Resolusi 678 dan 687 tentang ketentuan bahwa Irak harus melakukan kegiatan pelucutan senjata dan pembersihan terhadap kegiatan – kegiatan terorisme di wilayahnya.

[47] Press Release Kedutaan Besar Perancis terhadap Resolusi 1441, Joint Statement Perancis, Cina, dan Rusia 11 Agustus 2002, diakses lewat http://www.ambafrance-uk.org/Iraq-UNSCR-1441-Joint-statement-by.html.

[48] Invasi Irak 2003, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Invasi_Irak_2003

[49] Hasil Poll: Bush Dapat Dukungan Soal Keamanan, Gagal Dalam Perekonomian, 8 September 2003, diakses dari http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-a-2003-09-08-2-1-85270462.html

[50] Harian Republika 3 Januari 2007, diakses dari www.republika.co.id

[51] http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/12/17/kilas-balik-okupasi-dan-penarikan-tentara-as-di-irak-marilah-pulang-bersama-sama/

[52] ibid

[53] http://icasualties.org/Iraq/index.aspx

[54] Richard F. Grimmett, Congressional Research Service Report for Congress April 11th 2003, diakses melalui http://www.fas.org/man/crs/RS21311.pdf

[55] Alex J. Bellamy, Responsibility to Protect or Trojan Horse? The Crisis in Darfur and Humanitarian Intervention After iraq, Ethics and International Affairs, 2005, diakses dari http://philpapers.org/rec/BELRTP

[56] Gareth Evans, When Is It Right To Fight, Survival 46 No.3, 2004, diakses dari http://www.cfr.org/content/publications/attachments/59-1.pdf

[57] Tai Heng Cheng dan Eduardas Valaitis, Shaping an Obama Doctrine of Preemptive Force, American Society of International Law Annual Meeting, 2008, diakses dari http://www.temple.edu/law/tlawrev/content/issues/82.3/Cheng.pdf