Kamis, 14 Juni 2012

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam Perspektif Perdagangan Internasional

Bab 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
    Globalisasi ekonomi sudah ada sejak dahulu, tetapi mulai kelihatan ke permukaan pada dasawarsa 60-an.  Hal ini dapat dilihat dengan menyebarnya mata rantai produksi dan pemasaran sejumlah perusahaan multinasional dari negara-negara industri ke seluruh pelosok dunia. Pada kenyataannya tidak satupun negara di dunia yang mampu menghindari dampak globalisasi. Globalisasi pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi sosial yang akan membawa kondisi umat manusia yang berbeda-beda dan berpencar di dunia kepada suatu tradisi tunggal yang tidak mengenal batas-batas wilayah.  Globalisasi telah membuat dunia seolah tanpa batas (borderless). Era ini ditandai dengan maraknya aktivitas di bidang ekonomi. Salah satu ciri bisnis atau perekonomian yang paling menonjol pada era globalisasi : moving quickly, sangat cepat mengalami perubahan.
    Seperti yang dikemukakan oleh William Irvin Thompson, dengan dukungan teknologi dan informasi, kecepatan perubahan tidak lagi menghitung abad, tahun, dan bulan, tetapi pergeseran dan perubahan bisa terjadi setiap hari.  Globalisasi ekonomi tampak dari adanya kebebasan gerak perusahaan dan uang yang melintasi batas-batas negara yang dikenal dengan istilah perdagangan internasional atau transaksi bisnis internasional. Penggambaran tentang proses globalisasi dapat dilakukan dalam banyak dimensi di antaranya dimensi ekonomi, politik, sosial, budaya dan hukum.
    Namun meskipun demikian dalam banyak pembicaraan globalisasi senantiasa dipandang identik dengan internasionalisasi kegiatan ekonomi, khususnya dalam bentuk liberalisasi perdagangan dan investasi.  Globalisasi ekonomi yang semakin berkembang oleh prinsip perdagangan bebas selanjutnya membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum tidak dapat dihindarkan. Sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut dalam arti substansi berbagai undang-undang dan melewati batas-batas negara.  Globalisasi dalam dunia bisnis telah menimbulkan kompleksitas dan keberagaman transaksi. Kondisi seperti ini menimbulkan tuntutan akan kepastian hukum (legal certainty) dari setiap transaksi.
     Kondisi seperti diuraikan di atas menjadikan kebebasan berkontrak sebagai paradigma utama dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak dipandang sebagai penjelmaan hukum (legal expression) prinsip perdagangan bebas.  Sama halnya dengan liberalisasi perdagangan, doktrin kebebasan berkontrak dibangun diatas asumsi terdapatnya kekuatan posisi tawar yang sama antara para pihak yang melakukan transaksi. Akibatnya bisa terjadi pihak yang lemah dikuasai oleh pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Kritikan terhadap doktrin kebebasan berkontrak menyebutkan terjadinya perubahan paradigma hukum kontrak dari kebebasan berkontrak kearah kepatutan. Saat ini kebebasan berkontrak tidaklah berarti kebebasan tanpa batas.  Unsur kepastian hukum dalam kebebasan berkontrak diimbangi dengan unsur keadilan (justice) bagi para pihak dalam kontrak. 
    Para ahli hukum, baik yang berasal dari negara maju maupun negara berkembang, mengakui bahwa hukum perdagangan internasional akan mempengaruhi hukum nasional sebuah negara, demikian juga sebaliknya.  Hukum perdagangan internasional bertujuan membuka pasar internasional secara luas, tanpa terganggu oleh hambatan – hambatan perdagangan khususnya hambatan dalam negeri. Keterbukaan pasar, akan mendorong perubahan pola bisnis perusahaan multinasional dengan melakukan investasi ke luar negeri untuk memenuhi supply pasar internasional dan mendekatkan diri dengan konsumen. Hambatan – hambatan tersebut seringkali membawa dampak yang besar dalam arus perdagangan dunia, sehingga sangat sering menimbulkan sengketa, baik yang terjadi antar negara dengan negara, negara dengan pelaku usaha, atau pelaku usaha satu dengan yang lainnya. Mekanisme hambatan tarif yang diatur dalam hukum perdagangan internasional mempengaruhi pola perubahan pengembangan usaha perusahaan multinasional dari sekadar kegiatan perdagangan menjadi kegiatan investasi langsung (direct investment). Penerapan hambatan tarif daripada kegiatan impor akan menekan perusahaan – perusahaan multinasional untuk melakukan relokasi investasi langsung ke wilayah host country, yang membawa keuntungan yang lebih besar, namun dengan resiko sengketa yang besar juga. Resiko sengketa yang besar ini membawa pada dilematis pemilihan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien, namun dapat memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak. Ketakutan akan hukum nasional yang berbelit – belit dibarengi dengan tuntutan agar sengketa diselesaikan secepat mungkin namun harus memiliki kepastian hukum yang jelas mengakibatkan para pihak sangat berhati – hati dalam memilih mekanisme penyelesaian sengketanya. Beberapa perusahaan dari berbagai negara di dunia memiliki sifat dan karakteristik dengan metode pemilihan yang berbeda – beda dalam mencari sebuah penyelesaian sengketa.
    Menurut Erman Rajagukguk, masuk akal, jika masyarakat Cina tradisional enggan membawa persengketaan di antara mereka ke depan pengadilan yang resmi, karena hubungan yang harmonis bukan konflik mendapatkan tempat yang tinggi di masyarakat.  Salah satu model penyelesaian sengketa yang berkembang adalah arbitrase, tetapi konsep arbitrase dapat ditafsirkan secara berbeda oleh setiap kultur dan arbitrase tidak dapat ditujukan menyelesaikan sengketa yang melibatkan konflik kultural. Tradisi Jepang bersama dengan Cina dan negara-negara Asia Timur lainnya yang dipengaruhi oleh filosofi Confucian, memiliki kultur konsiliatori (conciliatory culture), dimana mediasi atau konsiliasi sudah lama diakui sebagai mekanisme yang lebih cocok untuk penyelesaian sengketa. Hal ini sejalan dengan kultur Jepang yang menekankan keharmonisan, yang pada gilirannya mempengaruhi untuk mengutamakan mediasi dan konsiliasi dan bukan litigasi.
    Setidak-tidaknya ada empat cara untuk menyelesaian sengketa. Pertama, satu pihak atau lebih sepakat untuk menerima suatu situasi, dimana kepentingan mereka tidak terpenuhi seluruhnya. Kedua, pihak-pihak mengajukan situasi atau persyaratan secara lengkap kepada orang atau panel, yang akan memutuskan kepentingan mana yang harus dipenuhi dan kepentingan mana yang tidak dipenuhi. Pada umumnya, orang atau panel yang tidak memihak tersebut akan merujuk kepada aturan-aturan atau pedoman yang telah ada dan yang telah disepakati oleh semua pihak atau sedikitnya sudah diketahui oleh semua pihak. Ketiga, persepsi satu pihak atau pihak lain berubah, sehingga tidak ada perbedaan kepentingan. Keempat, kepentingan satu pihak atau pihak yang lain berubah, sehingga, tidak ada perbedaan kepentingan. 
    Secara konvensional, penyelesaian sengketa dilakukan melalui litigasi (Pengadilan) dimana posisi para pihak berlawanan satu sama lain.  Proses ini membutuhkan waktu yang amat lama, oleh karena itu penyelesaian secara litigasi tidak diterima dalam dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangannya.  Pengadilan dianggap sebagai lembaga yang tidak efektif untuk penyelesaian sengketa bisnis. Disamping panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk menjalani proses persidangan, putusan pengadilan yang bersifat terbuka juga dapat “mematikan” reputasi seorang pelaku bisnis. Sedangkan dalam dunia bisnis, reputasi merupakan unsur yang sangat penting. Sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang ahli sosiologi hukum terkemuka Jepang bernama Takeyosi Kawasima : ”membawa perkara ke pengadilan berarti mengisukan suatu tantangan umum dan membakar suatu pertengkaran”.   Forum peradilan selama ini dianggap jauh dari ideal untuk menyelesaikan sengketa bisnis yang muncul dikalangan dunia usaha, khususnya dengan mitra usaha luar negeri . Seiring dengan makin tumbuhnya keperluan dunia usaha dan kesadaran kalangan praktisi dan pemerintah akan suatu proses penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan, dengan demikian diambil suatu cara sebagai alternatif atau pelengkap terhadap proses penyelesaian sengketa sebagai suatu pola yang dikenal dengan “alternatif penyelesaian sengketa” (Alternative Dispute Resolution/ADR).
    Namun di sisi lain, kemunculan berbagai organisasi internasional sebagai salam subjek hukum internasional, membawa perluasan yang baru bagi lapangan hukum internasional khususnya di bidang penyelesaian sengketa. Organisasi internasional sering bersengketa baik dengan sesama organisasi internasional lainnya, negara, bahkan dengan individu. Pembentukan dinas – dinas sipil internasional, atau sekretariat – sekretariat, dimana anggota – anggotanya terikat pada organisasi oleh hubungan kontraktual, menghendaki didirikannya pengadilan – pengadilan khusus yang kompeten untuk memutus sengketa – sengketa yang timbul dari hubungan – hubungan itu, apabila dipakai pandangan bahwa anggota – anggota itu mendapat hak – hak hukum yang seharusnya dilindungi oleh sistem peradilan administrasi, dan tidak diserahkan pada kebijaksanaan tanpa batas dari eksekutif sebagaimana banyak dipraktekkan oleh sistem Anglo – Amerika.
    Pengajuan langsung sengketa – sengketa demikian kepada ICJ adalah tidak mungkin mengingat kenyataan bahwa para pihak yang terlibat itu di satu pihak adalah orang – perorangan dan di pihak lainnya adalah organisasi internasional, yang masik – masing tidak memiliki locus standi di muka Mahkamah – mahkamah tersebut dalam perkara – perkara yang sifatnya contentious case. Pengajuan perkara demikian kepada pengadilan negeri dipandang tidak memadai, karena hal itu bertentangan dengan imunitas umum terhadap yurisdiksi lokal yang dituntut oleh organisasi – organisasi itu, dan pada umumnya sengketa itu meliputi masalah hukum internal dan hukum administrasi dari organisasi terkait dan bukan hukum lokal. Apabila hak – hak yang diperoleh para anggota staf itu harus dilindungi oleh suatu badan peradilan yang tidak memihak, maka harus dibentuk pengadilan – pengadilan khusus.
    Karakteristik perdagangan internasional yang termasuk dalam cross border issues selalu dipergunakan sebagai argumentasi untuk membedakan disiplin ini dengan beberapa disiplin hukum lainnya, sehingga penanganan dalam masalah penyelesaian sengketanya pun harus mendapatkan perhatian yang khusus. Hubungan yang tidak terpisahkan antara peraturan investasi dan peraturan perdagangan internasional sebenarnya telah menjadi pembahasan masyarakat internasional pada saat berlangsunya United Nations Conference on Trade and Employment tahun 1948 di Havana. Konferensi yang menghasilkan Havan Charter ini meminta kepada negara – negara peserta agar menghindari perlakuan yang diskriminatif terhadap investor asing.  Namun demikian, kegagalan ratifikasi menyebabkan kajian ini kurang mendapat perhatian.  Masalah ini kembali menarik perhatian pada saat parlemen Kanada mengesahkan Canada’s Foreign Investment Revies Act pada tanggal 12 Desember 1973.  Untuk menjamin keuntungan yang signifikan bagi Kanada, pemerintah menetapkan syarat – syarat bagi investor yang melakukan permohonan penanaman modal asing. Ketentuan di Kanada ini ditentang oleh Perusahaan Gannet dan membawanya ke Panel GATT. Panel GATT berpendapat bahwa panel mengakui kedaulatan Kanadap untuk mengatur sendiri kebijakan penanaman modalnya, dan panel tidak bermaksud untuk menguji kedaulatan tersebut. Namun panel berpendapat  bahwa dalam melaksanakan kedaulatan tersebut tidak berarti pemerintah Kanada boleh begitu saja menyampingkan kewajiban internasional yang telah disepakatinya (GATT).  Dengan memperhatikan keterkaitan antara persyaratan penanaman modal dan kewajiban – kewajiban Kanada di bawah ketentuan GATT, Panel memutuskan bahwa persyaratan – persyaratan penanaman modal yang diwajibkan oleh Pemerintah Kanada tersebut bertentangan dengan prinsip – prinsip perdagangan internasional yang diatur dalam GATT, terutama prinsip national treatment.
    Pada periode setelah berlakunya Agreement on Trade Related Investment Measures hasil perundingan Putaran Uruguay, bermunculan sengketa – sengketa perdagangan yang lahir dari peraturan – penanaman modal, antara lain Brazil dengan kebijakan investasi sektor otomotif, India dengan kebijakan local content requirement, Indonesia dengan kebijakan mobil nasional, Filipina dengan kebijakan foreign exchange limitation, dan berbagai negara lainnya.  Sejumlah sengketa tersebut menunjukkan bahwa peraturan penanaman modal suatu negara dapat menimbulkan sengketa bidang perdagangan internasional, ketika peraturan penanaman modal tersebut bertentangan dengan kewajiban internasional dari host country berdasarkan prinsip – prinsip perdagangan internasional yang diatur dalam GATT / WTO.
    Berbagai lembaga internasional dibentuk dan disepakati oleh masyarakat dunia untuk mencoba menyelesaikan sengketa perdagangan internasional terkait dengan masalah investasi. Masing – masing lembaga ini memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang berbeda, namun memiliki karakteristik yang hampir sama yaitu menerapkan prinsip – prinsip perdagangan internasional yang sama, serta mengutamakan waktu penyelesaian yang secepat mungkin dengan memperhatikan akibatnya bagi perdagangan internasional yang ditimbulkan oleh sengketa yang dibawa. Mekanisme penyelesaian sengketa, serta penerapan prinsip – prinsip perdagangan internasional dalam menyelesaikan kasus – kasus merupakan beberapa pedoman utama untuk berhasil mempertahankan hak ketika bersengketa dengan pihak lain.

B. Rumusan Masalah
    Pembahasan di dalam penulisan adalah aspek – aspek penyelesaian sengketa yang sering digunakan dalam dunia perdagangan internasional. Masalah akan dibatasi pada mekanisme serta praktiknya yang sering dipakai dalam dunia perdagangan internasional.



















Bab 2
PEMBAHASAN
    Penyelesaian sengketa perdagangan internasional tidak dapat dilepaskan dari kaidah – kaidah hukum internasional yang telah berlaku secara umum. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB memberikan pedoman yang cukup lengkap bagi para pihak yang bersengketa dalam lingkup hukum internasional, yang dapat pula dijadikan pedoman dalam bidang sengketa perdagangan internasional  : “the parties to any dispute... shall... seek a solution by negotiation, inquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement resorting to regional agencies or arrangements, or othe peaceful means of their own choice.”
    Transaksi – transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, dari berupa hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dan lain – lain. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa.  Umumnya, sengketa – sengketa perdagangan internasional sering didahului oleh penyelesaian dengan negosiasi. Jika penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara – cara lainnya seperti penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase.  Penyerahan sengketa, baik kepada pengadilan maupun ke arbitrasi seringkali didasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak. Langkah biasa yang ditempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau memasukkan suatu klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau badan arbitrase.
    Dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut diletakkan, baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul. Biasanya pula kelalaian para pihak untuk menentukan forum ini akan berakibat pada kesulitan dalam penyelesaian sengketanya karena dengan adanya kekosongan pilihan forum tersebut akan menjadi ulasan yang kuat bagi setiap forum untuk menyatakan dirinya berwewenang untuk memeriksa suatu sengketa. Lazimnya dalam sistem hukum Common Law dikenal dengan konsep long arm jurisdiction, yaitu konsep yang menerapkan bahwa pengadilan dapat menyatakan kewenangannya untuk menerima setiap sengketa yang dibawa kehadapannya meskipun hubungan antara pengadilan dengan sengketa tersebut tipis sekali.
    Di samping forum pengadilan , para pihak dapat pula menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif penyelesaian sengketa, yang lazim dikenal sebagai ADR (Alternative Dispute Resolution). Pengaturan alternatif di sini dapat berupa cara alternatif di samping pengadilan, bisa juga berarti alternatif penyelesaian secara umum, yaitu berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan termasuk pengadilan.   Dalam dunia transaksi bisnis internasional, berbagai jenis penyelesaian sengketa dipakai untuk dapat menjaga efektivitas dan efisiensi keberlangsungan bisnis yang diusahakan. Mekanisme penyelesaian sengketa dalam dunia perdagangan internasional dapat dibagi dalam beberapa bentuk yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Ada beberapa forum penyelesaian sengketa yang memiliki lebih dari satu fungsi di antara keempat fungsi yang disebutkan tadi. Beberapa karakteristik dari masing – masing penyelesaian sengketa ini memiliki kesamaan, namun berbeda dalam praktiknya.
A. Negosiasi
    Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua digunakan.  Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap hari oleh negosiasi tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian publik.  Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya. Setiap penyelesaiannya pun didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para pihak. Senada dengan itu, Kohona mengatakan bahwa negosiasi adalah :
“an efficacious means of settling disputes relating to an agreement because they enable parties to arrive at conclusions having regard to the wishes of all the disputants.”
    Dalam  dunia perdagangan internasional, negosiasi dapat dijabarkan dalam pertemuan – pertemuan kedua belah pihak yang bersengketa untuk mencoba mencari jalan keluar ketika ditemukan adanya persoalan terkait masalah perdagangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pertemuan – pertemuan tersebut sering gagal menemukan solusi terhadap permasalahan yang muncul, namun demikian praktek negosiasi sudah merupakan kebiasaan yang umum sebagai langkah awal proses penyelesaian sengketa di dunia, termasuk dalam dunia perdagangan internasional.
    Berbagai kelemahan dalam proses negosiasi dalam dunia perdagangan internasional hampir sama dengan kelemahan negosiasi dalam kasus lainnya, seperti proses berlangsung yang lambat dan memakan waktu yang lama tanpa ada batas waktu , dan pendirian salah satu pihak yang keras sehingga proses negosiasi tidak produktif .
    Semua transaksi internasional adalah produk dari negosiasi, hasil dari pembuatan kesepakatan, di antara para pihak. Meskipun beberapa pengacara sering berpikir bahwa negosiasi berakhir ketika para peserta menyetujui semua detail dan menandatangani kontrak yang dibuat pada saat negosiasi, pandangan ini hampir tidak pernah mencerminkan realitas yang terjadi dalam dunia nyata. Sebenarnya, sebuah kesepakatan internasional adalah negosiasi secara terus – menerus antara para pihak untuk sebuah transaksi karena mereka berusaha untuk menyesuaikan hubungan mereka dengan lingkungan internasional yang berubah dengan cepat seperti perselisihan sipil, gejolak politik, intervensi militer, fluktuasi moneter, dan perubahan teknologi di mana mereka harus bekerja .
    Tidak ada negosiasi, terutama dalam transaksi jangka panjang, bisa memprediksi segala kemungkinan bahwa para pihak mungkin tidak dapat mencapai pemahaman yang sempurna antara para pihak, terutama ketika mereka datang dari budaya yang berbeda. Jika mereka melakukan perubahan misalnya jadwal pertemuan, terjadi kesalahpahaman, atau masalah yang tidak diatur dalam kontrak, kedua pihak perlu untuk menggunakan negosiasi untuk menangani kesulitan mereka. Singkatnya, negosiasi adalah alat fundamental untuk mengelola kesepakatan mereka. Dan ketika para pihak asli dalam kesepakatan akhirnya memiliki konflik, misalnya, kegagalan dari satu pihak untuk melakukan sesuai dengan harapan pihak lain, negosiasi dapat menjadi alat yang realistis hanya untuk menyelesaikan kontroversi tersebut, terutama jika pihak yang ingin untuk mempertahankan hubungan bisnis mereka. Dengan demikian, negosiasi, setidaknya pada awalnya, adalah sarana untuk memperbaiki beberapa hal yang memiliki kerusakan konstruksi kesepakatan.
    Dalam kehidupan kesepakatan internasional, kita dapat mengidentifikasi sampai tiga tahap yang berbeda ketika konflik mungkin timbul dan para pihak mengandalkan resolusi konflik dan negosiasi untuk mencapai tujuan mereka: pembuatan kesepakatan, pengelolaan kesepakatan, dan pembenahan kesepakatan (deal making, deal managing, deal manding). Dalam konteks masing-masing tiga jenis negosiasi tersebut, kita harus mencari tahu untuk apa kewenangan pihak ketiga masuk dalam negosiasi, apakah yang disebut mediator, dapat membantu para pihak untuk membuat, mengelola, dan memperbaiki hubungan yang produktif dalam bisnis internasional. 
3. Mediasi
    Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut bisa individu (pengusaha) atau lembaga atau organisasi profesi atau dagang. Mediator ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi dengan kapasitasnya sebagai pihak netral berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.  Usulan – usulan penyelesaian melalui mediasi dibuat secara tidak resmi / informal, dan diberikan berdasarkan informasi – informasi yang diberikan oleh para pihak, bukan atas penyelidikannya.  Jika usulan tidak diterima, mediator masih dapat melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan – usulan baru.  Oleh karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal – hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat usulan – usulan yang dapat mengakhiri sengketa.
    Seperti halnya negosiasi, tidak ada prosedur – prosedur khusus yang harus ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas menentukan prosedurnya. Hal yang penting adalah kesepakatan para pihak mulai dari proses (pemilihan) cara mediasi, menerima atau tidaknya usulan – usulan yang diberikan mediator, sampai kepada pengakhiran tugas mendiator. 
    Kelebihan mediasi digambarkan oleh Gerald Cooke sebagai : “where mediation is successfully used, it generally provides a quick, cheap, and effective result. It is clearly appropriate, therefore, to consider providing for mediation or other alternative dispute resolution techniques in the contractual dispute resolution clause.”
    Model biasa dari sebuah negosiasi bisnis internasional adalah perwakilan dua perusahaan dari berbagai negara duduk di meja perundingan dan berdiskusi untuk membentuk ketentuan kontrak komersial. Sementara banyak transaksi terjadi dengan cara itu, banyak orang lain membutuhkan jasa dari satu atau lebih pihak ketiga untuk memfasilitasi kesepakatan proses pembuatan. Orang-orang ini biasanya tidak disebut sebagai mediator. Mereka tidak membawa berbagai label lain yang sebenarnya merupakan pekerjaan mereka: konsultan, penasihat, agen, broker, bankir investasi, dan lainnya. Kesepakatan keputusan mediator ini biasanya memiliki semacam kontrak kesepakatan dengan salah satu pihak, dan terkadang keduanya, namun mereka tidak secara resmi merupakan karyawan dari salah satu pihak.
    Meskipun bisa dikatakan bahwa konsultan dan penasehat tidak boleh dianggap mediator karena mereka tidak independen dari para pihak, pemeriksaan tentang peran mereka dalam negosiasi kesepakatan bisnis internasional mengungkapkan bahwa mereka melaksanakan fungsi mediator, dan bahwa mereka membantu para pihak untuk mengubah, mempengaruhi atau mempengaruhi perilaku mereka sehingga dipakai untuk mengelola konflik atau potensi konflik yang timbul dalam proses negosiasi. Bahkan jika mediator memiliki kontrak dengan dan dibayar hanya dengan satu sisi kesepakatan pihak saja, kemampuannya untuk memainkan peran mediasi yang efektif adalah krusial bergantung pada kemauan pihak lain untuk menerima orang itu sebagai peserta dalam prosen pembuatan kesepakatan. Memang, dalam banyak kasus, salah satu aset utama dari keputusan mediator adalah kenyataan bahwa mereka dikenal dan diterima oleh pihak lain dalam kesepakatan tersebut.
    Setelah kesepakatan telah ditandatangani, konsultan, pengacara, dan penasihat ini dapat terus berhubungan dengan satu atau kedua belah pihak dan secara informal membantu sebagai mediator dalam mengelola konflik yang mungkin timbul dalam pelaksanaan transaksi. Dalam beberapa kasus, para pihak untuk transaksi yang kompleks dan berkepanjangan, berusaha untuk meminimalkan risiko konflik. Mereka dapat memuat ketentuan khusus dalam kontrak mereka dengan menetapkan suatu proses untuk mengelola konflik dan mencegah dari adanya penghentian total kesepakatan.  Misalnya, suatu kontrak dapat saja menetapkan bahwa dalam hal konflik tidak dapat diselesaikan di tingkat operasional, sehingga manajemen senior dari kedua belah pihak akan terlibat dalam negosiasi untuk menyelesaikannya.
    Secara umum, manajemen perusahaan di tingkat atas tidak secara langsung terlibat dalam konflik namun secara berkelanjutan mengawasi transaksi dan hubungannya dengan perusahaan mengenai semua strategi pelaksanaannya, sehingga memungkinkan posisi yang lebih baik untuk menyelesaikan sengketa daripada mereka yang berada di lapangan, sehingga menimbulkan perasaan bahwa mereka memiliki kepentingan pribadi dalam "memenangkan" sengketa.  Setelah manajemen di tingkat atas dari kedua belah pihak telah mencapai pemahaman, mereka mungkin harus berfungsi sebagai mediator dengan bawahan mereka untuk mengubah perilaku dan sikap sehubungan dengan interaksi pada tingkat operasional.
    Akuisisi pada tahun 1991 oleh Perusahaan Matsushita dari Jepang, salah satu produsen terbesar di dunia elektronik, terhadap MCA, salah satu perusahaan terbesar Amerika Serikat di bidang hiburan, sebanyak lebih dari $6milyar, mengilustrasikan penggunaan mediator dalam proses pembuatan keputusan kesepakatan.  Matsushita telah menentukan bahwa pertumbuhan mereka di masa depan adalah bergantung pada dipenuhinya sumber film, program televisi, dan musik, dan perangkat lunak, untuk melengkapi konsumen elektronik produk perangkat keras. Matsushita tahu bahwa hal tersebut bisa menemukan sumber baru seperti sumber perangkat lunak dalam industri hiburan AS, tetapi juga mereka mengakui bahwa mereka hampir mengabaikan prinsip – prinsip dalam dunia industri dan praktik. Oleh karena itu mereka melibatkan Michael Ovitz, pendiri dan kepala Creative Artists Agency, salah satu agen bakat yang paling terkenal di Hollywood, untuk membimbing mereka sebagai seorang mediator antara Matsushita dan MCA.
    Secara tradisional, perusahaan yang terlibat dalam sengketa bisnis internasional belum aktif mencari bantuan mediator. Mereka pertama kali mencoba menyelesaikan masalah diri mereka sendiri melalui negosiasi, tetapi ketika mereka menilai bahwa telah gagal, mereka segera melanjutkan pada proses arbitrase. Berbagai faktor yang menjelaskan kegagalan mereka untuk mencoba mediasi diantaranya :
1.    kurangnya pengetahuan mereka tentang mediasi dan ketersediaan layanan mediasi,
2.    fakta bahwa perusahaan cenderung untuk memberikan kontrol sengketa mereka ke pengacara profesional yang memilih proses litigasi, dan
3.    keyakinan bahwa mediasi hanyalah mengulur-ulur taktik untuk penundaan sehingga terhindar dari proses arbitrase, refleksi akan sebuah ketakutan kekalahan.
    Dengan meningkatnya pengakuan akan kelemahan arbitrase, beberapa perusahaan mulai beralih ke bentuk yang lebih eksplisit dengan mediasi untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Semakin sengketa bisa diukur, misalnya tingkat kerusakan aset oleh tindakan rekanannya atau jumlah biaya royalti yang terhutang kepada pemberi lisensi, maka para pihak akan melibatkan pihak ketiga yang independen seperti ahli akuntansi internasional atau perusahaan konsultan untuk memeriksa masalah ini untuk memberikan pendapat.  Pendapat ini tidak mengikat para pihak tetapi memiliki efek yang memungkinkan mereka untuk membuat prediksi yang lebih realistis dari apa yang mungkin terjadi dalam proses arbitrase.
C. Konsiliasi
    Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit untuk dibedakan karena istilahnya seringkali digunakan dengan bergantian.  Namun menurut Behrens, ada perbedaan antar kedua istilah ini yaitu konsiliasi lebih formal daripada mediasi.
    Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi.  Komisi konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun, putusannya tidaklah mengikat para pihak.
    Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap yaitu tahap tertulis dan tahap lisan, yaitu sengketa yang diuraikan secara tertulis diserahkan kepada badan konsiliasi kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak, dan para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut namun bisa juga diwakili oleh kuasanya.  Berdasarkan fakta – fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasi akan menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan – usulan penyelesaian sengketanya. Sekali lagi, usulan ini sifatnya tidaklah mengikat sehingga diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.
    Konsiliasi internasional sebagai penyelesaian sengketa dengan modus diplomatik di mana konsiliator pihak ketiga atau komisi konsiliasi memiliki efek yang paling menonjol pada proses, didefinisikan oleh Cot sebagai :
    “Intervention in the settlement of an international dispute by a body having no political authority of its own, but enjoying the confidence of the parties to the dispute and entrusted with the task of investigating every aspect of the dispute and of proposing a solution which is not binding on the parties.”
    Meskipun definisi ini dibuat dalam konteks konsiliasi internasional antar negara, mungkin akan diterapkan sama untuk konsiliasi internasional yang melibatkan entitas non-negara. Cot mengidentifikasi aspek inti dari proses konsiliasi sebagai berikut:
1.    konsiliator (atau komisi konsiliasi) harus memiliki kepercayaan dari para pihak yang bersengketa agar dapat melakukan fungsinya denga baik,
2.    fungsi konsiliator adalah untuk memeriksa sengketa secara keseluruhan, termasuk klarifikasi fakta dan survei dari kedua hukum yang berlaku dan elemen non-yuridis,
3.    rekomendasi dari konsiliator tidak perlu didasarkan murni pada penerapan hukum. Prinsip hukum yang relevan dapat menjadi alasan tambahan atau mungkin tidak sama sekali; dan
4.    resolusi yang diusulkan oleh konsiliator adalah tidak mengikat para pihak yang bersengketa, yang dapat menolak untuk melaksanakan rekomendasi.
    Konsep otonomi dari para pihak dapat membuat mereka mengatur konstitusi konsiliasi masing-masing. Dengan persetujuan mereka, para pihak dapat menentukan kepribadian seluruh proses konsiliasi: jumlah dan identitas konsiliator, tingkat tugas konsiliator, dan semua aspek dari prosedur konsiliasi. Untuk konsiliasi yang melibatkan sengketa bisnis internasional, para pihak dapat menghindari ketidakpastian akibat perancangan peraturan mereka sendiri dengan setuju bahwa proses tersebut akan diatur oleh aturan kelembagaan seperti International Chamber of Commerce Conciliation Rules (UNCITRAL) bentukan PBB.
    Di bidang ekonomi internasional, konsiliasi baik disusun berdasarkan format tradisionalnya atau aspek-aspek tertentu dari konsep tersebut tetap digunakan sebagai salah satu penyelesaian sengketa. Selain itu, konsiliasi jarang dipakai bila perselisihan tidak timbul.  Dengan beberapa pengecualian yang ditemukan dalam bidang perdagangan internasional, para pihak yang bersengketa tampaknya lebih suka untuk menentukan metode penyelesaian sengketanya sendiri. Namun, ada beberapa dukungan kontemporer untuk penggunaan yang lebih besar tentang konsiliasi dan lainnya yang tidak mengikat bentuk penyelesaian. Mereka tidak berusaha untuk memberikan survei menyeluruh tentang penggunaan konsiliasi, melainkan akan melacak paradigma konsiliasi di seluruh spektrum hukum transnasional untuk menggambarkan keragaman penerapannya.
    Lembaga arbitrase seperti International Chamber of Commerce dan ICSID, menawarkan layanan konsiliasi, yang biasanya diatur oleh seperangkat aturan (misalnya ICC Rules of Optional Conciliation, 1995). Selain itu, UNCITRAL telah menyiapkan seperangkat aturan yang konsiliasi pihak dapat menggunakan tanpa mengacu pada sebuah institusi. Umumnya, dalam konsiliasi kelembagaan, pihak yang bersengketa dapat meminta konsiliasi untuk lembaga mereka. Konsiliator memiliki kebijaksanaan yang luas untuk melakukan proses, dalam praktek dia akan mengundang kedua belah pihak untuk menyatakan pandangan mereka tentang sengketa dan kemudian akan membuat laporan mengusulkan penyelesaian yang sesuai. Para pihak dapat menolak laporan tersebut dan melanjutkan ke arbitrase, atau mereka mungkin menerimanya.     Dalam banyak kasus, saran dari konsiliator digunakan sebagai dasar untuk penyelesaian negosiasi. Fungsi konsiliasi sangat prediktif. Konsiliator biasanya tidak mengadopsi pemecahan masalah atau pendekatan hubungan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak. Proses ini rahasia dan benar-benar sukarela. Salah satu pihak dapat menarik diri dari konsiliasi setiap saat.



D. Arbitrase
    Hampir semua kontrak bisnis internasional saat ini membawa setiap sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari antara para pihak untuk diselesaikan melalui arbitrase komersial internasional. Para pihak memilih pilihan ini dengan berbagai alasan: untuk menghindari pengadilan nasional yang sering memberikan putusan yang tidak memuaskan, untuk mencari sebuah forum netral dan ahli dalam bidang perselisihan mereka, untuk melakukan penyelesaian sengketa secara pribadi, dan mendapatkan kepastian hukum putusan arbitrase tersebut yang pasti akan dilaksanakan oleh kedua belah pihak.  Arbitrase International memiliki dua jenis: ad hoc yang pada dasarnya dikelola oleh para pihak menurut sebuah seperangkat aturan yang disepakati, atau kelembagaan, yang dikelola oleh sebuah institusi mapan seperti International Chamber of Commerce, London Court of Arbitration, American Arbitration Association, Stockholm Chamber of Commerce, atau International Centre for Settlement of Investment Disputes, sebuah afiliasi dari World Bank.
    Para pihak dengan kesepakatan bebas untuk membentuk proses arbitrase yang mereka inginkan. Biasanya, mereka memilih tiga orang untuk panel arbitrase yang terdiri dari seorang arbiter yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa, dan ketua yang dipilih oleh dua arbiter. Berdasarkan Convention on the Recognition and Enforcement of Arbitral Awards, yang ditandatangani oleh lebih dari seratus negara, baik perjanjian arbitrase dan putusan arbitrase dinyatakan berlaku di seluruh dunia.  Dalam perkembangannya, para pelaku ekonomi yang memilih jalur non-litigasi dalam penyelesaian sengketanya, meminati lembaga arbitrase sebagai sarana penyelesaian sengketa dagang internasional dikarenakan beberapa hal antara lain;
1.    Proses beracara melalui litigasi biasanya memakan waktu yang relatif cukup lama, karena proses peradilan mengenal tingkat pertama hingga tingkat kasasi dan bahkan peninjauan kembali.
2.    Hukum acara peradilan yang bertele-tele, rumit dan birokratis menimbulkan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi ini memakan biaya yang mahal dan waktu yang cukup lama.
3.    Prinsip penyelesaian sengketa yang dianut oleh lembaga arbitrase yaitu, baik pemeriksaan maupun putusannya tertutup untuk umum (disclousure).
4.    Putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat, prinsip ini memberikan pengertian bahwa suatu putusan arbitrase akan dapat langsung dilaksanakan segera setelah putusan tersebut dijatuhkan, walau dalam prakteknya prinsip tidak selamanya benar.
5.    Hakim pengadilan sering tidak menguasai substansi persoalan yang terkait dengan perkara-perkara khusus. Hal ini dapat dihindari oleh para pihak, karena kepada mereka diberikan kebebesan untuk memilih arbiternya yang dianggap cakap oleh mereka.
6.    Sifat putusan yang diberikan arbiter dalam arbitrase biasanya lebih bersifat win-win solution bukan menang-kalah (win-lose) seperti putusan hakim dalam pengadilan.
7.    Prinsip dasar pengambilan keputusan dalam arbitrase yang didasarkan pada kepatutan (ex aequo et bono), keadilan serta kepentingan para pihak yang bersengketa.
8.    Citra dunia peradilan yang tidak baik. Hal terakhir ini merupakan salah satu alasan utama bagi para pelaku ekonomi dalam menghindari lembaga pengadilan. Penyalahgunaan kewenangan, profesionalisme dan sikaf berat sebelah adalah irama yang sering kita temui di dunia peradilan khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, investor asing merasa alergi terhadap hukum dan pengadilan lokal (terutama Indonesia).
    Erman Rajagukguk, dalam bukunya Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan menyebutkan beberapa alasan para kalangan usahawan memilih lembaga arbitrase sebagai sarana penyelesaian sengketa mereka adalah sebagai berikut;
Pertama, karena pengusaha asing menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka. Kedua, pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan hakim-hakim dari negara berkembang tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan niaga dan keuangan internasional yang rumit. Ketiga, pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan memakan waktu yang lama dan ongkos yang besar, karena proses pengadilan yang panjang dari tingkat pertama sampai dengan tingkat Mahkamah Agung. Keempat, Adanya anggapan bahwa pengadilan kan bersikap subyektif kepada pengusaha lokal karena hakim yang memeriksa dan memutus sengketa bukan dari negara mereka. Kelima, penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan hasilnya akan merenggangkan hubungan dagang diantara mereka. Keenam, penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase dianggap dapat melahirkan putusan yang kompromistis, yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
    Hal pertama yang perlu ditekankan adalah bahwa arbitrase yang memiliki kesamaan dengan mediasi adalah bukan mediasi. Arbitrase komersial internasional adalah proses legalistik yang tujuannya adalah untuk menentukan hak masing-masing dan kewajiban para pihak yang bersengketa, bukan untuk membantu mereka mengubah sikap dan perilaku mereka untuk menyelesaikan konflik mereka.  Pada dasarnya arbitrase adalah sebuah litigasi swasta.
    Dengan demikian di latar belakang hampir semua sengketa bisnis internasional dengan penggunaan arbitrase yang mengikat adalah jika para pihak secara sendiri atau dengan bantuan orang ketiga, tidak dapat menyelesaikan konflik sendiri. Faktor ini mempengaruhi cara dimana pihak-pihak menangani perselisihan mereka dan juga mempengaruhi strategi setiap penengah yang diundang untuk membantu mereka yang bersengketa menyelesaikan konflik. Dalam hal ini, sengketa bisnis internasional tidak seperti perselisihan politik internasional antar negara-negara di mana tidak ada proses ajudikatif yang menunggu untuk mendapatkan keputusan mengikat. Akibatnya, ketika pihak sebuah transaksi bisnis internasional menemukan diri mereka terlibat dalam sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan, mereka selalu akan memulai proses arbitrase untuk menyelesaikan masalah tersebut.
    Arbitrase bagaimanapun juga bukanlah sebuah proses yang tidak ada kekurangan, tidak mahal, dan selalu menawarkan solusi yang cepat  seperti litigasi di pengadilan yang mahal dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyimpulkan, serta selalu menghasilkan keretakan hubungan bisnis dari para pihak. Bahkan ketika pengadilan arbitrase membuat keputusan yang mendukung salah satu pihak, pihak yang kalah pada akhirnya melanjutkan di pengadilan, sehingga menunda atau bahkan mencegah penyelesaian akhir sengketa. Misalnya, arbitrase pada kasus antara Mesir dan investor asing yang membutuhkan waktu lima tahun pada fase pertama dan mengakibatkan biaya hukum dan administrasi hampir $ 1,5 juta dolar.  Tapi setelah itu, putusan arbitrase ini diajukan ke pengadilan dan kasus itu diarbitrasekan kembali di forum lain. Para pihak akhirnya menyudahi masalah melalui negosiasi empat belas tahun setelah sengketa dimulai.
    Prospek suatu proses yang mahal, panjang dan berpotensi merusak pada akhirnya mendorong kedua belah pihak untuk menegosiasikan penyelesaian sengketa mereka. Sebagai contoh, sekitar dua pertiga dari semua kasus arbitrase diajukan ke International Chamber of Commerce Court of Arbitration diselesaikan melalui negosiasi sebelum putusan arbitrase dibuat.  Orang ketiga, apakah yang disebut mediator atau sebaliknya, secara teori dalam sengketa bisnis internasional dapat menyelesaikan konflik mereka tanpa adanya pengaruh dari keputusan seorang arbiter dalam arbitrase yang sudah dilakukan sebelumnya.
    Awalnya, kita bisa bertanya apakah arbiter sendiri dapat dan harus berusaha untuk memfasilitasi penyelesaian negosiasi sengketa. Pada pertanyaan ini, praktek tampaknya sangat bervariasi di setiap negara. Umumnya, orang Amerika dan orang Eropa menganggapnya tidak pantas bagi seorang wasit untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa. Dalam pandangan mereka, seorang wasit harus melakukan tidak lebih dari sekedar memberikan petunjuk kemungkinan penyelesaian tetapi tidak harus secara aktif terlibat dalam upaya mediasi, dan dalam budaya lain, misalnya Cina dan Jerman, arbiter sering mengambil peran yang lebih aktif dengan mengusulkan perumusan atas permintaan para pihak sebuah formulasi penyelesaian, dengan berpartisipasi dalam negosiasi penyelesaian sengketa, dan bahkan aktif secara terpisah berhubungan pihak-pihak tersebut dengan persetujuan mereka. Dalam budaya Asia, yang memiliki keengganan khusus untuk berkonfrontasi, arbiter bahkan lebih energik daripada rekan-rekan mereka di Eropa dan Amerika dalam upaya memfasilitasi kesepakatan antara pihak yang berselisih, bukan hanya memaksakan keputusan.
    Secara umum, sebagai upaya penengah, seminimal apapun untuk memfasilitasi penyelesaian, arbitrase cenderung memiliki efek “membujuk” para pihak bahwa jika mereka membiarkan sengketa yang akan ditengahi, mereka tidak akan mencapai semua yang mereka harapkan. Upaya tersebut oleh arbiter memiliki efek prediktif. Ketika arbiter sangat mendorong sebuah penyelesaian, mereka benar-benar mengatakan kepada perusahaan penggugat sesuatu yang mungkin tidak akan diterima, dan mereka juga mengatakan kepada para responden bahwa jika kasus tersebut diputuskan, maka mereka harus membayar sesuatu ganti rugi. Strategi arbiter yang berusaha untuk memainkan peran mediasi adalah untuk memberikan para pihak sebuah evaluasi realistis dari apa yang mereka akan terima atau diminta untuk membayar dalam setiap putusan arbitrase akhir.















Bab 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
    Globalisasi telah membuat dunia seolah tanpa batas (borderless). Era ini ditandai dengan maraknya aktivitas di bidang ekonomi. Salah satu ciri bisnis atau perekonomian yang paling menonjol pada era globalisasi : moving quickly, sangat cepat mengalami perubahan. Perubahan yang cepat ini menuntut para pelaku usaha di bidang perdagangan untuk dapat mencari jalan keluar secepatnya ketika mereka menghadapi sengketa dibidangnya. Pemilihan mekanisme penyelesaian sengketa akan sangat menentukan keberlangsungan bidang usahanya.
    Penyelesaian sengketa perdagangan internasional tidak dapat dilepaskan dari kaidah – kaidah hukum internasional yang telah berlaku secara umum. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB memberikan pedoman yang cukup lengkap bagi para pihak yang bersengketa dalam lingkup hukum internasional. Umumnya, sengketa – sengketa perdagangan internasional sering didahului oleh penyelesaian dengan negosiasi. Jika penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara – cara lainnya seperti penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi atau arbitrase.  Penyerahan sengketa, baik jalur litigasi maupun ke alternatif yang lain seringkali didasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak. Langkah biasa yang ditempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau memasukkan suatu klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat.
    Dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut diletakkan, baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul. Mekanisme penyelesaian sengketa yang dipakai dalam dunia transaksi perdagangan internasional adalah negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
    Dalam  dunia perdagangan internasional, negosiasi dapat dijabarkan dalam pertemuan – pertemuan kedua belah pihak yang bersengketa untuk mencoba mencari jalan keluar ketika ditemukan adanya persoalan terkait masalah perdagangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pertemuan – pertemuan tersebut sering gagal menemukan solusi terhadap permasalahan yang muncul, namun demikian praktek negosiasi sudah merupakan kebiasaan yang umum sebagai langkah awal proses penyelesaian sengketa di dunia, termasuk dalam dunia perdagangan internasional. Berbagai kelemahan dalam proses negosiasi dalam dunia perdagangan internasional hampir sama dengan kelemahan negosiasi dalam kasus lainnya, seperti proses berlangsung yang lambat dan memakan waktu yang lama tanpa ada batas waktu , dan pendirian salah satu pihak yang keras sehingga proses negosiasi tidak produktif .
    Dengan meningkatnya pengakuan akan kelemahan arbitrase dan tidak efektifnya proses negosiasi, beberapa perusahaan mulai beralih ke bentuk yang lebih eksplisit dengan mediasi untuk menyelesaikan sengketa bisnis, yang sebenarnya merupakan sebuah proses negosiasi dengan menggunakan jasa orang ketiga. Semakin sengketa bisa diukur, misalnya tingkat kerusakan aset oleh tindakan rekanannya atau jumlah biaya royalti yang terhutang kepada pemberi lisensi, maka para pihak akan melibatkan pihak ketiga yang independen seperti ahli akuntansi internasional atau perusahaan konsultan untuk memeriksa masalah ini untuk memberikan pendapat.  Pendapat ini tidak mengikat para pihak tetapi memiliki efek yang memungkinkan mereka untuk membuat prediksi yang lebih realistis dari apa yang mungkin terjadi dalam proses arbitrase.
    Di bidang ekonomi internasional, bentuk penyelesaian sengketa sebagai perluasan dari mediasi adalah konsiliasi, yang baik disusun berdasarkan format tradisionalnya atau aspek-aspek tertentu dari konsep tersebut tetap digunakan sebagai salah satu penyelesaian sengketa. Selain itu, konsiliasi jarang dipakai bila perselisihan tidak timbul.  Dengan beberapa pengecualian yang ditemukan dalam bidang perdagangan internasional, para pihak yang bersengketa tampaknya lebih suka untuk menentukan metode penyelesaian sengketanya sendiri. Namun, ada beberapa dukungan kontemporer untuk penggunaan yang lebih besar tentang konsiliasi dan lainnya yang tidak mengikat bentuk penyelesaian. Mereka tidak berusaha untuk memberikan survei menyeluruh tentang penggunaan konsiliasi, melainkan akan melacak paradigma konsiliasi di seluruh spektrum hukum transnasional untuk menggambarkan keragaman penerapannya. Beberapa lembaga arbitrase internasional seperti ICSID juga menawarkan jasa konsiliasi dalam penyelesaian sengketa bisnis internasional.
    Hampir semua kontrak bisnis internasional saat ini membawa setiap sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari antara para pihak untuk diselesaikan melalui arbitrase komersial internasional. Para pihak memilih pilihan ini dengan berbagai alasan: untuk menghindari pengadilan nasional yang sering memberikan putusan yang tidak memuaskan, untuk mencari sebuah forum netral dan ahli dalam bidang perselisihan mereka, untuk melakukan penyelesaian sengketa secara pribadi, dan mendapatkan kepastian hukum putusan arbitrase tersebut yang pasti akan dilaksanakan oleh kedua belah pihak.  Arbitrase International memiliki dua jenis: ad hoc yang pada dasarnya dikelola oleh para pihak menurut sebuah seperangkat aturan yang disepakati, atau kelembagaan, yang dikelola oleh sebuah institusi mapan seperti International Chamber of Commerce, London Court of Arbitration, American Arbitration Association, Stockholm Chamber of Commerce, atau International Centre for Settlement of Investment Disputes, sebuah afiliasi dari World Bank.
B. Saran
    Sengketa perdagangan internasional adalah sengketa yang kompleks namun membutuhkan mekanisme penyelesaian yang cepat dan tepat. Pemilihan forum penyelesaian sengketa hendaknya dilakukan secara tepat sehingga efektivitas dan efisiensi keberlangsungan transaksi perdagangan internasional lainnya dapat terus terjaga. Proses penyelesaian sengketa yang paling pertama dipilih hendaknya adalah negosiasi. Bagaimanapun mengikatnya sebuah mekanisme penyelesaian sengketa melalui forum non – litigasi melalui sebuah badan resmi (konsiliasi dan arbitrase), tidak akan mampu menjamin efektivitas dan efisiensi keberhasilan penyelesaian sebuah sengketa. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri juga negosiasi seringkali menemui jalan buntu apabila ada salah satu pihak yang mempertahankan pendapatnya.
    Forum penyelesaian sengketa dengan mekanisme mediasi harus memperhatikan kemampuan mediator sebagai orang ketiga dalam sengketa. Peran mediator yang sangat krusial dalam penyelesaian sengketa harus diperhatikan dengan memperhatikan kemampuannya dalam menjaga kepentingan kedua belah pihak yang bersengketa. Saat ini, mekanisme konsiliasi sebagai bentuk lain dari mediasi memiliki badan – badan non – litigasi yang resmi, yang diterima oleh masyarakat dunia sebagai badan penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Pengetahuan akan mekanisme beracara dalam badan tersebut akan sangat membantu dalam mendapatkan penyelesaian sengketa secara efektif dan efisien. Forum – forum penyelesaian sengketa secara konsiliasi ini juga menyediakan mekanisme penyelesaian arbitrase. Arbitrase merupakan cara yang diterima secara umum sebagai cara yang paling efektif dalam menyelesaikan sengketa dibanding dengan cara lain.
    Proses penyelesaian sebuah sengketa transaksi perdagangan internasional harus selalu berakar dari itikad baik para pihak. Dengan adanya itikad baik untuk menyelesaikan sebuah sengketa, maka forum penyelesaian sengketa apapun yang akan dipakai pasti akan berjalan dengan lancar dan menemukan keputusan yang memuaskan kedua belah pihak.

Tidak ada komentar: