Rabu, 09 November 2011

Yurisdiksi Negara menurut D.J.Harris, LLM, Ph.D

YURISDIKSI NEGARA

Yurisdiksi negara adalah kewenangan negara menurut hukum internasional untuk mengatur orang dan benda dengan hukum nasionalnya. Itu termasuk kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan (yurisdiksi preskriptif) dan kewenangan untuk menegakkan suatu keputusan yang didasarkan kepada perundang-undangan yang dibuat tadi (penegakkan yurisdiksi). Yang merupakan kekuasaan dari badan eksekutif dan penegakkannya berasal dari badan yudikatif. Yurisdiksi negara dalam hal ini sama seperti negara-negara lain yang lebih diterapkan dalam aspek perdata maupun pidana. Aturan-aturan tentang yurisdiksi negara mengidentifikasi orang dan benda di dalam wilayah-wilayah yang memperbolehkan hukum suatu negara untuk mengaturnya sesuai dengan prosedur-prosedur hukum yang berlaku di negara tersebut. Mereka tidak sesuai dengan substansi hukum suatu negara kecuali dengan begitu jauhnya itu bertujuan untuk subyek seseorang atau untuk mencegah prosedur-prosedur pemberlakuannya secara mengikat. Organisasi internasionalpun mempunyai yurisdiksi seperti pengertian di atas dan tentunya untuk hal-hal yang terbatas.

Criminal Jurisdiction : Yurisdiksi Kriminal / Pidana

Dickinson, Introductory Comment to the Harvard Research Draft Convention on Jurisdiction with Respect to Crime

Dalam analisis nasional modern kode hukum pidana dan prosedur pidana diperiksa kesimpulannya oleh penulis resolusi dari konferensi internasional atau yang diajarkan pada masyarakat dan ditambahkan oleh dari hasil pengeksplorasian jurisprudensi pengadilan nasional, mengemukakan lima prinsip umum yang kurang lebih diakui oleh negara-negara pada saat ini. Lima prinsip tersebut adalah:

1. Prinsip Teritorial, yang kewenangannya ditentukan terhadap pelanggaran yang dilakukan dalam satu wilayah.

2. Prinsip Nasionalitas, yang mana negara mempunyai kewenangan terhadap warga negaranya yang melakukan pelanggaran.

3. Asas Protektif, kewenangan suatu negara dalam melindungi kepentingan nasionalnya dari suatu pelanggaran

4. Asas Universalitas, kewenangan suatu negara terhadap seseorang yang berada dalam kekuasaannya.

5. Asas Personalitas Pasif, kewenangan suatu negara berdasarkan pelanggaran terhadap warga negaranya.

THE LOTUS CASE

France v Turkey (1927)

Laporan PCIJ Series A No.10

Pada kasus ini,pada dasarnya Pengadilan harus memutuskan untuk menjawab dua pertanyaan yang muncul yaitu :

1. Apakah Turki telah mengakui prinsip – prinsip kedudukan dan yurisdiksi ketika memiliki konflik dengan pihak Perancis pada masalah kapal uap Lotus dan Boz Kourt yang terjadi pada tanggal 2 Agustus 1926 di Konstantinopel, ketika kasus ini diajukan ke Pengadilan Turki melawan M.Demons, salah satu petugas di kapal Lotus, karena mengakibatkan kematian delapan pelaut dan penumpang Turki ?

2. Apabila eksepsi diterima, apakah bentuk pembayaran yang harus dibayarkan oleh M.Demons sesuai dengan prinsip hukum internasional, apabila dikenakan pada kasus – kasus yang sama ?

Setelah melalui berbagai pemeriksaan dan pengajuan opini yang sangat panjang, maka para hakim memutuskan bahwa sebenarnya tidak ada aturan hukum internasional dalam kasus – kasus seperti ini yang membolehkan pengadilan kriminal sebuah negara tidak dapat mengadili sebuah yurisdiksi dimana dikibarkan sebuah bendera negara. Para hakim memiliki berbagai pendapat, dan keputusan diambil melalui voting yang pada dasarnya pendapat hakim memutuskan bahwa dalam kasus ini Turki tidak mengakui prinsip yurisdiksi Perancis.

Prinsip Teritorial. Untuk keputusan para hakim ini, Harris mengajukan pendapat Brierly bahwa alasan para hakim dalam mengambil keputusan ini datang dari pemikiran para positivis ekstrimis bahwa hukum datang dari kehendak bebas negara berdaulat dan dalam kasus ini para hakim saling berargumen apakah kehendak bebas bebas ini dapat diterapkan atau tidak. Harris kemudian mempertanyakan ada sebuah pendapat dari para hakim yaitu : wilayah hukum pidana / criminal law bukanlah prinsip absolut dalam hukum internasional dan tidak ada hubungannya dengan kedaulatan wilayah.

Harris pada dasarnya tidak setuju dengan keputusan pengadilan ini dengan alasan yang sama dengan Dissenting Opinion dari Judge Moore bahwa pada saat ini telah diterima secara internasional kasus apapun yang terjadi di dalam yurisdiksi sebuah negara pastilah harus memakai hukum negara itu sendiri. Harris mengemukakan sebuah penelitian dari Harvard Research Draft Convention yaitu sebuah Negara diberikan yurisdiksi wilayah ketika sebuah kejahatan terjadi baik di seluruh maupun sebagian wilayahnya.

Prinsip Personalitas Pasif. Untuk kasus ini, semua hakim yang memiliki Dissenting Opinion menolak memberlakukan asas ini, namun sangat berbeda dengan kasus – kasus yang terjadi di negara – negara Anglo – American yang mengakui adanya prinsip ini untuk kasus yang sama.

ATTORNEY-GENERAL OF THE GOVERNMENT OF ISRAEL v EICHMANN

Eichmann adalah seorang Jerman yang bertanggung jawab terhadap “the final solution”, sebuah kebijakan pemerintah Nazi untuk membantai jutaan warga Yahudi di Eropa. Eichmann ditemukan di Argentina tahun 1960 oleh orang – orang yang kemungkinan merupakan agen – agen Israel dan dibawa ke Israel tanpa sepengetahuan pemerintahan Argentina. Dia kemudian diadili di Israel dengan Pengadilan Israel khusus para Nazi dengan memakai hukum Israeli NAZI and NAZI Collaborators (Punishment) Law untuk kejahatan perang, kejahatan terhadap warga Yahudi, yang kemudian aturan – aturan ini menjadi dasar terbentuknya Konvensi Genosida 1949. Eichmann diputus bersalah dan dihukum mati, bandingnya kepada Mahkamah Agung Israel dikesampingkan. Abunya disebar di Laut Mediterania karena dianggap akan mengotori tanah Yahudi. Berikut merupakan beberapa putusan pengadilan yang menarik tentang kasus ini :

1. Hukuman terhadap tindakan – tindakan yang dilakukan diluar batas negara dan pemberlakuannya terhadap warga yang bukan israel, dan terhadap orang yang bertindak atas nama tugas negara lain, dianggap bertentangan dengan hukum internasional dan melampaui kekuasaan hukum Israel.

2. Namun demikian, hukum yang diterapkan untuk mengadili Eichmann dianggap dapat diterima dan dapat diterapkan di Pengadilan Inggris. (Israeli NAZI and NAZI Collaborators (Punishment) Law).

3. Kejahatan – kejahatan yang diadili dengan hukum Israel ini bukan hanya kejahatan untuk Israel saja, melainkan juga untuk semua umat manusia (Delicta Juris Gentium).

4. Tindakan pemerintahan Israel ini juga telah disebutkan dalam Corpus Juris Civilis (C.3,15, ubi de criminibus agi oported) dan tindakan kota – kota di utara Italia pada waktu Abad Pertengahan dalam mengadili kejahatan – kejahatan yang berbahaya, dan dalam hukum Inggris dalam mengadili para bajak laut.

5. Tindakan Pemerintahan Israel ini datang dari dua dasar : pertama, secara universal berkaitan dengan seluruh umat manusia, yang membenarkan hak untuk mengusut dan menghukum kejahatan seperti ini yang terjadi di setiap negara, dan kedua, sumber khusus nasional, yang memberikan hak kepada negara korban untuk mengadili siapapun yang menyerang keberadaannya. Dasar yang kedua ini kemudia mengerucut menjadi istilah Protective Principle (Prinsip Protektif/Perlindungan)

Catatan Harris :

1. Harris menyatakan sesuai dengan penelitian Harvard Research bhawa kebanyakan negara menggunakan Prinsip Protektif ini baik untuk jangkauan yang lebih sedikit maupun lebih luas.

2. Harris mempertanyakan “A Fair Trial” terhadap Eichmann. Meskipun Eichmann telah diberikan keluasan untuk mempertahankan pendapatnya, pertanyaan terbesarnya adalah apakah Eichmann berhak untuk diadili di Pengadilan Israel ?

Tidak ada komentar: