Senin, 19 Maret 2012

KEDUDUKAN AGREEMENT WTO DI DALAM EUROPEAN UNION

Sejak didirikan pada tahun 1995, WTO telah menjadi sebuah lembaga paling dapat dipercaya dalam memperkuat sistem hukum perdagangan dunia. Sebagai satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara, WTO merupakan sebuah pintu gerbang bagi suatu negara untuk memperluas akses pasarnya. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya.[1]

Dalam prakteknya, WTO harus berhadapan dengan berbagai subjek hukum yang berkembang di dunia internasional. Secara umum, subjek hukum yang paling banyak berperan dalam segala perundingan di WTO adalah negara dan beberapa organisasi internasional lainnya. Namun perkembangan yang terjadi bahkan sebelum WTO dibentuk, telah menghadapkan WTO pada sebuah tantangan besar, yaitu ketika harus menerapkan ketentuan – ketentuan hukumnya kepada organisasi voting-blok semacam Uni Eropa, Liga Arab, ASEAN, dan lain – lain. Meskipun perjanjian – perjanjian internasional yang dibuat dalam WTO sering menjadi ketentuan hukum umum bagi pelaksanaan perdagangan dunia, atau paling tidak menjadi guideline dalam sistem pasar yang ada, kendala akan selalu muncul ketika hukum – hukum tersebut harus menembus sebuah sistem hukum yang memiliki pengaturannya sendiri dalam berbagai bidang termasuk bidang yang diatur oleh WTO itu sendiri.

Dalam prakteknya dalam dunia organisasi internasional, Uni Eropa memiliki ciri khas kemandiriannya sendiri. Dengan membawa ide penyatuan politik dan ekonomi, entitas supranasional ini tidak mengikuti tradisi hukum internasional seperti biasanya. Negara – negara anggota entitas supranasional ini telah memberikan berbagai kewenangan baik domestik maupun internasional kepadanya. Dewasa ini, kewenangan yang diberikan kepadanya mulai memunculkan berbagai masalah yang pelik di bidang hukum internasional, karena pada dasarnya meskipun telah ada atribusi kewenangan domestik dan luar negeri dari negara anggota kepada Uni Eropa, namun mereka tetap memiliki kedaulatannya sendiri ketika keputusan – keputusan yang dihasilkan olehnya bertentangan dengan kepentingan dan kedaulatan negara.[2]

Ketika WTO harus berhadapan dengan subjek hukum semacam Uni Eropa dalam implementasi peraturan – peraturan yang dihasilkan lewat perjanjian – perjanjian internasionalnya, maka perdebatan akan muncul mengenai berbagai persoalan terkait dengan kepentingan negara, organisasi voting blok itu sendiri, sistem yang dipakai, dan sebagainya. Bagi beberapa ahli, kedudukan Uni Eropa sebagai subjek hukum di dalam perjanjian – perjanjian internasional yang dibuat oleh WTO adalah tidak dapat diterima.[3] Namun demikian pada prakteknya ada beberapa keputusan WTO yang tetap diterima oleh Uni Eropa sebagai sistem perdagangan yang berlaku di wilayahnya, seperti kebijakan yang di ambil European Commission Regulation dalam hal kesehatan makanan pada Poultry Products Case, bidang tekstil pada Bed-Linen Case dan Iron Tube Case, dan lain – lain.[4]

Beberapa pandangan yang dikemukakan di atas semakin memperjelas ambiguitas kedudukan WTO dalam Uni Eropa, maupun sebaliknya. Hal ini perlu dipertegas karena hingga saat ini negara – negara anggota Uni Eropa terdiri dari beberapa negara maju yang juga sebagai anggota PBB, yang kebijakan – kebijakannya dapat mempengaruhi pasar dunia, bahkan dapat menyentuh bidang – bidang kritis bagi perdamaian dunia.

WORLD TRADE ORGANIZATION

A.Sejarah pembentukan WTO

Pasca Perang Dunia II, kondisi perekonomian dunia mengalami perlambatan yang cukup signifikan. Perbedaan pandangan politik di tengah terbentuknya dua blok baru antara kapitalisme dan komunisme, menyebabkan semakin menguatnya upaya proteksionisme perdagangan yang semakin menekan upaya perbaikan ekonomi pasca perang dunia. Kondisi ini mendorong beberapa negara yang memiliki tingkat perdagangan dunia yang besar untuk menyusun sebuah sistem perdagangan multilateral yang kemudian menghasilkan suatu kesepakatan yang dikenal sebagai General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1947.[5]

Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara anggota tidak berjalan lancar.[6] Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS memutuskan tidak meratifikasi Piagam Havana, sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrumen multilateral yang mengatur perdagangan internasional.

Bersama berjalannya waktu, GATT semakin membuka diri kepada negara-negara lain untuk menjadi anggota. Pada tahun 1947, anggota GATT tercatat sebanyak 23 negara dan akhirnya terus berkembang menjadi 123 negara yang terlibat dalam Putaran Uruguay pada tahun 1994. Dalam Putaran Uruguay itu pulalah, para negara anggota GATT sepakat untuk membentuk suatu lembaga baru yakni WTO. Setelah melewati masa transisi untuk memberikan kesempatan ratifikasi di tingkat nasional anggota, WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995. Walau telah terbentuk organisasi baru di bidang perjanjian perdagangan internasional, GATT masih tetap ada sebagai “payung perjanjian” di dalam WTO berdampingan dengan perjanjian lain seperti General Agreement on Trade in Service (GATS) dan Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs).

B. Sistem Organisasi dan Pembentukan Perjanjian Internasional dalam WTO

Pembentukan WTO sebagai organisasi di tingkat internasional yang mengatur mengenai kebijakan perdagangan di tingkat dunia, tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Beberapa tujuan tersebut antara lain:[7]

1. Mendorong arus perdagangan antara negara, dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan (baik dalam bentuk tarif maupun bukan tarif) yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa.

2. Menyediakan forum perundingan yang lebih permanen sehingga akses pasar dapat terbuka dan berkesinambungan.

3. Memfasilitasi penyelesaian sengketa akibat konflik-konflik kepentingan yang ditimbulkan dalam hubungan dagang.

Berbeda dengan beberapa organisasi internasional yang lain seperti IMF dan Bank Dunia, WTO merupakan organisasi yang sepenuhnya dijalankan oleh anggota. Di dalam WTO, setiap negara memiliki kedudukan yang sama dan saling bernegosiasi dalam mengambil kesepakatan bersama. Dengan demikian tidak terdapat susunan dewan direksi yang akan menjalankan kegiatan organisasi, namun seluruh kegiatan dilakukan secara bersama-sama oleh perwakilan negara anggota WTO.

Oleh karena itu, WTO dalam mengambil keputusan melalui berbagai jenis dewan (council) dan komite (committee). Sedangkan keputusan tertinggi WTO diambil melalui forum Konferensi Tingkat Menteri yang dilakukan secara periodik selama 2 tahun sekali. Konferensi Tingkat Menteri ini mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan atas semua hal-hal yang dirundingkan ditingkat bawah dan menetapkan masalah-masalah yang akan dirundingkan dimasa mendatang. Struktur di bawah Konferensi Tingkat Menteri adalah General Council (Dewan Umum) yang didukung oleh 2 badan pendukung yakni Dispute Settlement Body (Badan Penyelesaian Sengketa) dan Trade Policy Review Body (Badan Pengkajian Kebijakan Perdagangan). Untuk mendukung kinerjanya, General Council membawahi 3 badan yaitu:[8]

1. Council For Trade in Goods (CTG) yaitu badan yang menangani masalah perdagangan barang. Badan ini membawahi berbagai komite ditambah kelompok kerja (working group) serta badan yang khusus menangani masalah textil dan pakaian jadi yaitu Textiles Monitoring Body (TMB). Komite-komite yang berada di bawah CTG adalah Komite yang menyangkut masalah Market Access, Agriculture, Sanitary and Phytosanitary, Rules of Origin, Subsidies and Countervailing measures, Custom Valuation, Technical Barriers to Trade, Anti-dumping Practices, Import Licensing, dan Safeguard.

2. Council For Trade in Services (CTS) yaitu badan yang menangani masalah perdagangan jasa. CTS hanya membawahi satu komite yaitu Committee Trade in Financial Services ditambah dengan satu kelompok kerja (working party) di bidang jasa profesional (professional services).

3. Council For Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Council For TRIPs) yaitu badan yang menangani masalah perdagangan yang berkaitan dengan masalah penggunaan hak kekayaan intelektual.

Selain dewan dan komite tersebut, WTO mempunyai Komite Plurilateral yang mengatur kesepakatan khusus diantara beberapa anggota WTO saja. Keputusan dari Komite Plurilateral ini hanya mengikat kepada negara yang menandatangani kesepakatan tersebut saja. Adapun Komite Plurilateral diwajibkan untuk menginformasikan aktivitas dan keputusan mereka kepada General Council maupun badan di bawahnya.[9]

Untuk mendukung peran dari organisasi WTO tersebut, dibentuk sebuah sekretariat yang berlokasi di Jenewa, Swiss. Sekretariat WTO dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal yang diangkat oleh sidang tingkat menteri. Sekretariat tersebut tidak memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan. Tugas utama dari sekretariat WTO antara lain:[10]

1. Menyediakan bantuan teknis dan profesional kepada badan-badan yang berada di dalam struktur WTO.

2. Memberikan bantuan teknis untuk negara berkembang.

3. Mengawasi dan menganalisa perkembangan perdagangan dunia.

4. Menyediakan informasi kepada publik dan media.

5. Memberikan bantuan hukum dalam proses penyelesaian sengketa.

6. Memberikan saran kepada pemerintah yang ingin bergabung menjadi anggota WTO.

7. Menyelenggarakan Konferensi Tingkat Menteri.

Pengambilan keputusan dalam WTO dilakukan melalui konsensus yang diperoleh dari hasil perundingan seluruh negara anggota. Namun, apabila konsesus tersebut sulit untuk dicapai, pengambilan keputusan akan dilakukan dengan pengambilan suara terbanyak (voting) dengan sistem satu negara satu suara yang ditentukan oleh suara mayoritas. Adapun kondisi yang harus dipenuhi dalam pengambilan suara terbanyak antara lain:[11]

1. Mendapat persetujuan minimal 2/3 anggota WTO untuk memutuskan kesepakatan perdagangan multilateral.

2. Mendapat persetujuan minimal ¾ anggota WTO untuk melepaskan suatu negara dari suatu kewajiban dalam WTO.

3. Mendapat persetujuan minimal 2/3 anggota WTO untuk mengamandemen kesepakatan WTO.

4. Mendapat persetujuan minimal 2/3 anggota WTO untuk menetapkan anggota baru.

Sepanjang perjalanannya, WTO telah berhasil mencapai berbagai kesepakatan yang memiliki peranan penting dalam perkembangan perdagangan dunia. Kesepakatan-kesepakatan dalam WTO mencakup barang, jasa, dan kekayaaan intelektual yang mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi. Adapun secara umum struktur dasar kesepakatan dalam WTO meliputi:[12]

1. General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yakni kesepakatan di bidang perdagangan barang

2. General Agreement on Trade and Services (GATS) yakni kesepakatan di bidang perdagangan jasa

3. General Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Properties (TRIPs) yakni kesepakatan di bidang hak kekayaan intelektual.

4. Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements)

Dari keempat kesepakatan utama yang dihasilkan oleh WTO, GATT dinilai memiliki peranan terbesar bagi sistem perdagangan multilateral mengingat peranan perdagangan barang yang jauh lebih besar dibandingkan peranan perdagangan dari sektor jasa.[13]

Hasil kesepakatan GATT mengatur banyak hal guna mengurangi hambatan-hambatan yang terjadi dalam perdagangan multilateral dari mulai upaya penurunan hambatan tarif dan non tarif hingga upaya pengaturan penggunaan hambatan teknis/ technical barriers to trade (TBT) sehingga menjadi lebih transparan dan berkesinambungan.

C. Isu – Isu Kontroversial Perjanjian – Perjanjian Internasional WTO

1. Multilateral Agreement on Investment[14]

MAI (Multilateral Agreement on Investment atau Perjanjian Multilateral mengenai Investasi) bertujuan untuk membuat peraturan global yang membatasi hak dan kemampuan pemerintah untuk mengatur spekulasi mata uang, investasi pada tanah, pabrik, jasa, saham, dan banyak lagi lainnya. MAI dirundingkan secara diam-diam selama dua tahun dalam OECD (Organization for Economic Cooperation and Development atau Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan), sebuah klub beranggotakan 29 negara terkaya di dunia. Perundingan didesakkan oleh perusahaan-perusahaan transnasional dan lobi-lobi bisnis besar dunia.

Pada tahun 1997, kesepakatan itu mulai terungkap saat para aktivis memaparkan potensi cengkeraman kekuasaan perusahaan. Pada Desember 1998, OECD menyerah dan menghentikan perundingannya. Sekarang, banyak negara OECD, dipimpin oleh Uni Eropa, ingin menghidupkan kembali MAI, dengan memasukkannya ke dalam perundingan WTO.

2. Perjanjian Pembebasan Pengembangan Kayu Lokal / FREE LOGGING AGREEMENT / FLA[15]

Presiden Clinton semasa pemerintahannya telah memprioritaskan perjanjian ‘hasil hutan’ untuk ditandatangani di Seattle. Usulan mengenai ‘Perjanjian Pembebasan Penebangan Kayu Global’ ini akan memperluas pemakaian global atas kertas, bubur kayu, dan hasil olahan kayu lainnya sebesar 3-4%. Usulan itu juga akan membatasi kebijakan-kebijakan tertentu dari pemerintah yang mendukung kebijakan lingkungan hidup. Hal ini akan menimbulkan ancaman besar yang akan membahayakan hutan, ekosistem dan keanekaragaman hayati. Penghapusan pajak hasil hutan akan meningkatkan konsumsi dan penebangan kayu secara bersamaan, sementara hutan-hutan alami dunia akan terancam punah. Menurut World Resources Institute (WRI), hampir setengah dari hutan di dunia telah punah. Sisanya, sebagian besar menurun mutunya, dan hanya tersisa 22% area hutan yang relatif tidak terganggu.

Perundingan itu juga akan mengancam peraturan-peraturan penting mengenai lingkungan yang dianggap WTO sebagai rintangan non-tarif terhadap perdagangan. Misalnya, larangan pemerintah federal untuk mengekspor kayu gelondongan dari sebagian besar tanah publik yang diciptakan untuk melindungi hutan. Kebijakan sertifikasi atau ‘eco-labeling’ (seperti di Arizona, New York, dan Tennessee) yang mewajibkan penanaman berkelanjutan kayu-kayu dari hutan tropis yang dibeli pemerintah, juga dapat dianggap sebagai halangan non-tarif.

3. Kebijakan Mengenai Persaingan / COMPETITION POLICY[16]

Dengan dukungan Uni Eropa, perusahaan transnasional ingin agar usulan hak absolut untuk memasuki dan beroperasi di setiap negara dapat disetujui dalam Putaran Milenium WTO. Para pendukungnya secara sinis berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan lokal, terutama di negara-negara berkem-bang, akan diuntungkan karena menjadi lebih efisien bila bersaing dengan perusahaan pendatang. Kenyataannya, menghilangkan kekuasaan pemerintah untuk menghindari monopoli pasar oleh perusahaan transnasional raksasa hanya akan menambah banyaknya pengambilalihan, merger, dan bentuk penggabungan industri lainnya yang hanya akan mengurangi persaingan yang sebenarnya.

4. Belanja Pemerintah / GOVERNMENT PROCUREMENT[17]

Putaran Uruguay bahkan menghasilkan aturan yang mengatur cara pemerintah menggunakan pajak. Dalam aturan itu, pemerintah tidak boleh mempertimbangkan isu-isu politis, sosial, lingkungan dan keadilan saat memutuskan apa dan dari siapa pemerintah hendak membeli sesuatu. Pada dasarnya, aturan tersebut melarang semua bentuk pertimbangan non-ekonomis, seperti pilihan terhadap kertas daur ulang atau larangan terhadap produk dari negara tertentu. Namun, tidak seperti aturan-aturan WTO lainnya, aturan ini tidak wajib ditandatangani oleh semua negara, hanya 26 negara dan beberapa negara bagian Amerika Serikat.

Saat ini, beberapa negara ingin agar peraturan ini diwajibkan bagi semua negara anggota WTO (dan di semua negara bagian, propinsi dan daerah dalam negara itu) dalam usulan perundingan "Milenium Round". Pembelanjaan pemerintah mengecilkan arus dagang saat ini dalam nilai dollar.

5. Hak Asasi Manusia di Burma[18]

Pada tahun 1996, Massachusetts mengesahkan suatu undang-undang yang melarang pemerintah negara bagian untuk membeli dari perusahaan-perusahaan yang berbisnis di Burma sebagai protes atas kediktatoran militer Myanmar yang melanggar hak asasi manusia. Undang-undang tersebut sama dengan undang-undang yang disahkan pada tahun 1980-an untuk menyokong gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan.

Namun, kali ini perusahaan-perusahaan berpengaruh memakai WTO untuk melindungi kepentingan mereka. Atas desakan perusahaan transnasional, Uni Eropa dan Jepang menentang undang-undang tersebut di WTO sebagai pelanggaran atas pakta WTO mengenai Pembelanjaan Pemerintah.

UNI EROPA

A. Awal Dan Sejarah Pembentukan Uni Eropa

Percobaan untuk menyatukan negara Eropa telah dimulai sebelum terbentuknya negara-negara modern; mereka telah terjadi beberapa kali dalam sejarah Eropa. Tiga ribu tahun lalu, Eropa didominasi oleh bangsa Celt, dan kemudian ditaklukan dan diperintah Kekaisaran Roma yang berpusat di Mediterania. Awal penyatuan ini diciptakan dengan cara paksa. Kekaisaran Franks dari Charlemagne dan Kekaisaran Suci Roma menyatukan wilayah yang luas di bawah administrasi yang longgar selama beberapa ratus tahun. Belakangan pada 1800-an customs union di bawah Napoleon I Prancis dan penaklukan pada 1940-an oleh Nazi Jerman hanya terjadi sementara saja.[19]

Dikarenakan koleksi bahasa Eropa dan budayanya, percobaan penyatuan ini biasanya melibatkan pendudukan dari negara yang tidak bersedia, menciptakan ketidakstabilan. Salah satu percobaan penyatuan secara damai melalui kerjasama dan persamaan anggota dibuat oleh pasifis Victor Hugo pada 1851. Setelah Perang Dunia I dan Perang Dunia II, keinginan untuk mendirikan Uni Eropa semakin meningkat, didorong oleh keinginan untuk membangun kembali Eropa dan menghilangkan kemungkinan perang lainnya. Oleh karena itu dibentuklah European Coal and Steel Community oleh Jerman, Perancis, Italia, dan negara-negara Benelux. Hal ini terjadi oleh Perjanjian Paris (1951), ditandatangani pada April 1951 dan dimulai pada Juli 1952.[20]

Setelah itu terbentuk juga European Economic Community didirikan oleh Perjanjian Roma pada 1957 dan diimplementasikan pada 1 Januari 1958. Kemudian komunitas tersebut berubah menjadi Masyarakat Eropa yang merupakan 'pilar pertama' dari Uni Eropa. Uni Eropa telah ber-evolusi dari sebuah badan perdagangan menjadi sebuah kerja sama ekonomi dan politik.

Secara umum, proses perjanjian internasional yang membentuk Uni Eropa menjadi badan voting blok adalah melalui beberapa pertemuan yaitu :[21]

1. The Treaty of Paris (ECSC), 1952

2. The Treaty of Rome (Euratom dan EEC), 1957

3. Schengen Agreement, 1985

4. Single Act, Brussels, 1987

5. The Treaty of Maastricht (Treaty on European Union), 1992

6. Perluasan Keanggotaan

7. The Treaty of Amsterdam, 1997

8. The Treaty of Nice, 2000

B. Kebijakan – Kebijakan Utama Dalam Uni Eropa

Dari pergantian namanya dari "Masyarakat Ekonomi Eropa" ke "Masyarakat Eropa" hingga ke "Uni Eropa" menandakan bahwa organisasi ini telah berubah dari sebuah kesatuan ekonomi menjadi sebuah kesatuan politik.[22] Kecenderungan ini ditandai dengan meningkatnya jumlah kebijakan dalam UE. Gambaran peningkatan pemusatan ini diimbangi oleh dua faktor. Pertama, beberapa negara anggota memiliki beberapa tradisi domestik pemerintahan regional yang kuat. Hal ini menyebabkan peningkatan fokus tentang kebijakan regional dan wilayah Eropa. Sebuah Committee of the Regions didirikan sebagai bagian dari Perjanjian Maastricht. Kedua, kebijakan Uni EropA mencakup sejumlah kerja sama yang berbeda :

1. Pengambilan keputusan yang otonom: negara-negara anggota telah memberikan kepada Komisi Eropa kekuasaan untuk mengeluarkan keputusan-keputusan di wilayah-wilayah tertentu seperti misalnya undang-undang kompetisi, kontrol Bantuan Negara dan liberalisasi.[23]

2. Harmonisasi: hukum negara-negara anggota diharmonisasikan melalui proses legislatif Uni Eropa, yang melibatkan Komisi Eropa, Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa. Akibat dari hal ini hukum Uni Eropa semakin terasa hadir dalam sistem-sistem negara anggota.[24]

3. Ko-operasi: negara-negara anggota, yang bertemu sebagai Dewan Uni Eropa sepakat untuk bekerja sama dan mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan dalam negeri mereka.[25]

Ketegangan antara Uni Eropa dan kompetensi nasional (atau sub-nasional) bertahan lama dalam perkembangan Uni Eropa. Semua negara calon anggota harus memberlakukan undang-undang agar selaras dengan kerangka hukum Eropa bersama, yang dikenal sebagai Acquis Communautaire.

PERJANJIAN INTERNASIONAL WTO DI DALAM UNI EROPA

A. Konflik Sistem Hukum WTO dan Uni Eropa

Saat ini, pemahaman akan sistem kerja WTO dan Uni eropa dari segi perdagangan sering mendapatkan dua sudut pandang yang berbeda. Di satu sisi, kedua organisasi ini berusaha mengurangi penghalang – penghalang dalam meningkatkan perdagangan antara negara, namun di sisi lain masing – masing memiliki kepentingan yang sangat berbeda bahkan dapat dikatakan bertentangan. Di saat WTO berusaha mengurangi penghalang – penghalang perdagangan dunia dengan mengesampingkan bahkan menghilangkan peraturan – peraturan yang memberatkan pengusaha, pada saat yang sama Uni Eropa justru menerapkan berbagai peraturan yang berat dalam rangka melindungi kepentingan – kepentingan negara – negara anggotanya.

Gambaran tentang Uni Eropa menjadi keunggulan sekaligus kelemahannya. Hal ini menimbulkan kebingungan tentang peran Uni Eropa dalam cita – cita neo-liberal yang diusungnya untuk menciptakan kekuatan baru dalam ekonomi global, ataukah justru memberikan pengekangan terhadap anggota – anggotanya sendiri. Dengan menutup celah persaingan antar negara anggotanya, maka Uni Eropa mampu mencegah terjadinya dominasi negara yang kuat terhadap yang lemah dalam hal perdagangan lewat integrasi perdagangan. Namun demikian, menurut Joanne Scott, integrasi perdagangan semacam ini akan menghasilkan celah kelemahan peraturan, dan dan celah – celah dari kelemahan peraturan ini akan menghasilkan integrasi politik, yang secara terus – menerus menghasilkan permasalahan baru yang sangat sulit dihentikan.[26]

Ada dua persoalan mendasar untuk mengatakan bahwa konflik antara peraturan di WTO dan Uni Eropa selalu terjadi, ditinjau dari sudut pandang Uni Eropa. Yang pertama, meskipun koordinasi kebijakan dipertimbangkan sebagai kewenangan di dalam sistem hukum Uni Eropa (diartikan sebagai penyatuan tujuan), hal ini menimbulkan adanya kontestasi di antara negara – negara anggotanya. Ketika kontestasi terjadi, maka kemungkinan keberpihakan negara – negara anggota terhadap sistem hukum yang ditawarkan oleh WTO lewat perjanjian – perjanjian internasionalnya juga akan menjadi berbeda – beda. Penerimaan akan peraturan yang diterapkan WTO akan menyebabkan ketidakseimbangan sistem di dalam Uni Eropa, yang selalu memakai penyelesaian sengketa lewat European Court.

Yang kedua, sistem harmonisasi hukum yang mengakomodasi semua kepentingan dari negara – negara anggota Uni Eropa memungkinkan adanya kemunculan perbedaan – perbedaan mendasar dari hukum – hukum yang berlaku di masing – masing negara anggota. Perbedaan – perbedaan ini pada akhirnya akan mendorong negara – negara anggotanya untuk semakin memperkuat dasar – dasar hukumnya masing – masing dengan tujuan untuk melindungi kepentingan nasionalnya agar termuat di dalam peraturan umum yang akan diputuskan oleh Uni Eropa. Tingkah laku negara seperti ini sangat rentan terhadap konflik antar negara anggota, yang mengakibatkan adanya kesulitan pemasukan perjanjian internasional yang ditetapkan WTO untuk diterapkan kepada negara – negara anggotanya yang juga menjadi anggota Uni Eropa.

Dari sudut pandang WTO, tantangan yang dihadapi untuk menerapkan peraturan – peraturan yang termuat dalam perjanjian – perjanjian internasionalnya pun tidak sedikit. Negara berkembang saat ini yang berpartisipasi di WTO jauh lebih banyak daripada saat sebelum tahun 1995 ketika mereka terlibat dalam GATT. Di bawah perjanjian – perjanjian WTO, negara – negara berkembang telah mengambil peranan yang lebih jauh dalam hal liberalisasi perdagangan.[27] Namun demikian, WTO telah gagal untuk memberikan pembagian yang adil terkait keuntungan – keuntungan peningkatan perdagangan internasional kepada negara – negara berkembang tersebut.[28] Persoalannya, tidak dapat dipungkiri bahwa Uni Eropa dapat dikatakan sebagai pemegang peran penting dalam keberlangsungan WTO karena sebagai salah satu organisasi voting blok dengan penyumbang negara anggota terbanyak dalam keanggotaan WTO.[29]

Negara – negara berkembang juga memiliki beberapa persoalan yang harus dipertimbangkan untuk menerapkan beberapa perjanjian internasional yang dibuat di WTO. Persoalan ini paling banyak berkaitan dengan isu – isu tentang bagaimana cara mengimplementasikan perjanjian – perjanjian itu. Hal ini sudah sangat menonjol sejak tahun 1999. Ketika masalah ini mengemuka, maka berbagai pembedaan perlakuan pun mulai diberlakukan kepada negara – negara berkembang dan negara – negara maju.[30] Hal ini berakibat pada munculnya persoalan baru mengenai pengimplementasiannya kepada organisasi – organisasi voting blok seperti Uni Eropa yang banyak memiliki keanggotaan negara maju yang berbanding sama dengan negara berkembang bahkan sekaligus negara miskin. Penyatuan peraturan yang dianut oleh organisasi voting blok semacam Uni Eropa menyebabkan simpang siur pemberlakuan peraturan oleh WTO yang membedakan perlakuan antara negara berkembang dan negara maju.

WTO kemudian mencoba berbagai cara untuk mengatasi persoalan ini, salah satunya dengan memperluas pemberlakuan hukum yang diterapkan oleh WTO. Perluasan pemberlakuan hukum ini terkait dengan perdagangan dan investasi, serta pemberian insentif kepada negara – negara berkembang untuk memperluas jangkauan hukum yang diterapkan. Komisi Eropa dan beberapa negara berkembang lainnya mempertentangkan kebijakan oleh WTO seperti ini.[31]

B. Determinasi Kebijakan Oleh Uni Eropa Terhadap WTO Agreements

Meskipun sebagai organisasi yang memiliki kesetaraan dengan WTO, Uni Eropa tidak serta merta mempertentangkan sistem hukum yang ada di dalamnya terhadap perjanjian – perjanjian internasional yang dibuat di dalam WTO, dikarenakan keanggotaannya yang semakin hari semakin meluas.[32] Determinasi kebijakan secara umum di seluruh dunia saat ini selalu dekat dengan terminologi politik, dan semakin jelas tergambar di dalam Uni Eropa. Politik pada kasus ini merefleksikan kebutuhan utama dari pemerintahan negara anggota dan Parlemen Eropa untuk mengakomodasikan keinginan – keinginan konsumen (dalam hal hubungannya dengan WTO), terutama ketika disalurkan lewat isu – isu kelompok dan organisasi – organisasi non-pemerintah lain.

Dalam pandangan masyarakat Eropa, politik juga pada akhirnya menambah keseimbangan antara tujuan – tujuan nasional dari negara – negara anggota Uni eropa ketika perwakilan mereka terakomodir sebagai Dewan Eropa, juga sekaligus memberikan keseimbangan selanjutnya antara Dewan Eropa dan institusi – institusi lainnya di Uni Eropa. Determinasi dari Komisi Eropa untuk mempertahankan bahkan memperluas kontrol terhadap kebijakan umum di bidang perdagangan sangat memungkinkan adanya tensi di dalam institusi tersebut dan akibatnya kebijakan perdagangan ini akan berdampak secara langsung bagi penduduk.[33] Perluasan kebijakan ini hanya akan bisa dikontrol dengan ikut sertanya perluasan kebijakan di bidang politik institusi antara Uni Eropa dan WTO sebagai organisasi dengan kepentingan yang pada dasarnya sama yaitu harmonisasi hukum.

Pengambilan keputusan di dalam Uni Eropa adalah proses yang panjang dan kompleks. Hasil dari berbagai diskusi dan perundingan dalam setiap isu yang dikemukakan sangat sulit untuk diprediksi karena berbagai pembedaan perluasan kepentingan yang diberikan kepada institusi – institusi yang ada di Uni Eropa (Parlemen, Mahkamah, Komisi, Bank Sentral, Dewan Uni Eropa, Dewan Eropa, dan Mahkamah Audit).[34] Masing – masing memiliki kewenangannya ketika berhadapan dengan organisasi lain yang merepresentasikan tujuan yang sama dengannya seperti WTO. Namun demikian, proses harmonisasi perjanjian internasionalnya tidak akan pernah bisa dilakukan dengan kebiasaan umum yang dilakukan oleh negara – negara secara individual seperti ratifikasi, aksesi, modifikasi, akomodasi, dan lain – lain. Hal yang paling bisa dilakukan adalah dengan pembuatan kebijakan – kebijakan politik.

PENUTUP

A. Kesimpulan

WTO dan Uni Eropa adalah dua lembaga yang pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu harmonisasi hukum. Ketika berhadapan dengan kepentingan masing – masing institusi, maka konflik kepentingan tidak akan bisa dihindari, karena baik secara internal institusi maupun antar institusi masing – masing memiliki konfliknya masing – masing pula. Cara yang paling umum dilakukan oleh Uni Eropa dalam mengakomodir perjanjian – perjanjian yang dibuat di dalam WTO adalah bukan dengan cara – cara umum yang dilakukan secara individu oleh negara seperti ratifikasi, aksesi, akomodasi, modifikasi, dan lain – lain, melainkan dengan kebijakan – kebijakan di bidang politik dengan tujuan untuk berusaha mengakomodasikan kepentingan – kepentingan negara – negara anggotanya yang juga adalah anggota dari WTO itu sendiri. Kebijakan ini pada dasarnya merupakan kebiasaan umum yang dilakukan oleh masyarakat internasional ketika berhadapan dengan konflik kepentingan, karena cara – cara konvensional yang telah ada sangat sulit untuk menyelesaikan problem yang muncul.

B. Saran

Saran yang dapat diajukan penulis terkait dengan persoalan ini adalah perlu adanya penentuan model kebijakan politik yang tepat untuk dilakukan oleh Uni Eropa dalam menghadapi kemungkinan – kemungkinan konflik di masa depan terkait pembuatan perjanjian – perjanjian internasional yang baru oleh WTO, lewat berbagai penelitian dan penulisan oleh berbagai ahli.

DAFTAR PUSTAKA

Buku – buku :

Moens, Gabriel, dan Gillies Peter, International Trade And Bussiness : Law, Policy, and Ethics, Cavendish Publishing Pty Limited, London, 2000

Narlikar, Amrita, The World Trade Organization : A Very Short Introduction, OXFORD University Press, Clarendon Street, 2005

Rugman, Allan. M., dan Boyd, Gavin, The World Trade Organization in the New Global Economy, Edward Elgar Publishing Limited, Massachusetts, 2000

van den Bossche, Peter, The Law and Policy of the World Trade Organization, Cambridge University Press, Cambridge, 2006

Sumber – sumber lain :

1. Tulisan – tulisan ahli hukum di Eropa lewat http://www.ejil.org :

· Magdalena Li č ková, European Exceptionalism in International Law

· Antonello Tancredi, EC Practice in the WTO: How Wide is the ‘Scope for Manoeuvre’?

· Joanne Scott, International Trade and Environmental Governance : Relating Rules (And Standards) In The EU and The WTO

· Sebastiaan Princen, EU Compliance With WTO Law : The Interplay Of Law And Politics

2. http://andriakbar.blogspot.com/2010/01/sebagai-satu-satunya-badan.html

3. http://www.globalissues.org/article/48/multilateral-agreement-on-investment

4. http://www.daviesand.com/Connections/Big_Picture/Mooresolini/Free_Logging/index.html

5. http://www.wto.org/english/tratop_e/comp_e/comp_e.htm

6. http://www.fortunecity.com/millennium/oldemill/498/wto/WTO.html

7. http://id.wikipedia.org

8. http://www.indonesianmission-eu.org/website/page943418664200310095958555.asp

9. http://www.wto.org/english/forums_e/ngo_e/pospap38_actionaid_e.doc

10. http://nasional.kompas.com/read/2008/08/14/23570524/daud.pun.mengalahkan.goliat



[1] Andi Akbar, Apa Itu WTO?, diakses melalui http://andriakbar.blogspot.com/2010/01/sebagai-satu-satunya-badan.html tanggal 17 Desember 2011.

[2] Magdalena Li č ková, European Exceptionalism in International Law, The European Journal of International Law Vol. 19 no. 3 © EJIL 2008, diakses melalui http://www.ejil.org

[3] Antonello Tancredi, EC Practice in the WTO: How Wide is the ‘Scope for Manoeuvre’?, The European Journal of International Law Vol. 15 no.5 © EJIL 2004, diakses melalui http://www.ejil.org

[4] ibid

[5] Ammrita Narlikar, The World Trade Organization : A Very Short Introduction, OXFORD University Press, Clarendon Street, 2005, hal. 15

[6] op.cit, hal. 17

[7] Alan M. Rugman, The World Trade Organization And The Internatonal Political Economy, dikutip dari buku The World Trade Organization in the New Global Economy diedit oleh Alan M. Rugman dan Gavin Boyd, hal. 4

[8] Peter van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization, Cambridge University Press, United Kingdom, 2006, hal. 121

[9] ibid

[10] Andi Akbar, loc.cit

[11] ibid

[12] Peter van den Bossche, op.cit, hal. 597

[13] ibid

[14] diakses melalui http://www.globalissues.org/article/48/multilateral-agreement-on-investment dengan beberapa tambahan pendapat penulis

[15] diakses melalui http://www.daviesand.com/Connections/Big_Picture/Mooresolini/Free_Logging/index.html

[16] diakses melalui http://www.wto.org/english/tratop_e/comp_e/comp_e.htm

[17] ibid

[18] Eddy Cahyono, Panduan Masyarakat Untuk Memahami WTO, diakses melalui http://www.fortunecity.com/millennium/oldemill/498/wto/WTO.html

[19] Sejarah Uni Eropa, diakses melalui http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sejarah_Uni_Eropa&action=edit&redlink=1

[20] ibid

[21] Sejarah Pembentukan Uni Eropa, diakses melalui http://www.indonesianmission-eu.org/website/page943418664200310095958555.asp

[22] Gabriel Moens dan Peter Gillies, International Trade And Bussiness : Law, Policy and Ethics, Cavendish Publishing Pty Limited, Sydney, 2000, hal. 705

[23] Gabriel Moens dan Peter Gillies, op.cit, hal. 706

[24] loc.cit, hal. 709

[25] loc.cit, hal. 711

[26] Joanne Scott, International Trade and Environmental Governance : Relating Rules (And Standards) In The EU and The WTO, European Journal of International Law 2004, diakses melalui http://www.ejil.org

[27] Peter van den Bossche, op cit, hal. 694

[28] Action Aid International, Beyond Cancun : Key Issues Facing The Multilateral Tradeing System, Desember 2003, hal. 8, diakses melalui http://www.wto.org/english/forums_e/ngo_e/pospap38_actionaid_e.doc

[29] Daud Pun Mengalahkan Goliat di WTO, KOMPAS 30 Maret 2011, diakses melalui http://nasional.kompas.com/read/2008/08/14/23570524/daud.pun.mengalahkan.goliat

[30] Peter van den Bossche, opt.cit, hal. 697

[31] Peter van den Bossche, op.cit, hal. 699

[32] Sebastiaan Princen, EU Compliance With WTO Law : The Interplay Of Law And Politics, European Journal Of International Law 2004, diakses melalui http://www.ejil.org

[33] Robin H. Pedler, The EU in WTO, dikutip dari buku The World Trade Organization in the New Global Economy diedit oleh Alan M. Rugman dan Gavin Boyd, hal. 188.

[34] ibid

Tidak ada komentar: