Rabu, 09 November 2011

Organisasi Internasional Saat Ini : Negara Global Imperialis

Review Journal

International Institutions Today : An Imperial Global State in the Making

Organisasi Internasional Saat Ini : Pembentukan Negara Global yang Imperialis

(B. S. Chimni)

Jurnal Chimni ini diawali dengan pemaparan abstraksi tulisannya yang menjelaskan bagaimana Chimni menganggap bahwa perkembangan jaringan lembaga internasional telah berubah menjadi sebuah negara global yang baru lahir,yang sifatnya kapitalis, dan berkarakter imperialis kepada negara-negara dunia ketiga. Di dalam tulisan ini juga dia mengemukakan delapan pendapat yang diperdebatkan tentang anggapan negara global ini memiliki karakter imperialis. Pada akhirnya, dia akan menyimpulkan apakah lembaga internasional dapat dibentuk kembali, visinya dalam memberikan perubahan, dan beberapa usulan konkrit lainnya. Dia menegaskan perlu adanya reformasi dari setiap negara baik dalam jangka pendek maupun menengah dan hanya bisa dilakukan dengan sebuah gerakan sosial yang menyeluruh.

1. Perkenalan : Argumen

Chimni mengemukakan bahwa lembaga – lembaga internasional saat ini telah memberikan dampak yg signifikan yang tidak pernah dialami oleh negara – negara di dunia sebelumnya. Bagi dia, berbagai jaringan ekonomi, sosial, politik, telah terbentuk baru atau bahkan mengalami perubahan posisi atas inisiatif negara – negara maju, dan secara bersama mereka disebut negara global baru yang berfungsi untuk mewujudkan tujuan – tujuan dari kapital transnasional dan negara – negara adikuasa dalam sistem internasional yang pada akhirnya merugikan negara – negara dunia ketiga. Perkembangan pembentukan negara global ini dianggap Chimni sebagai penciptaan terhadap sebuah karakter imperialis yang baru.

Ada delapan ciri – ciri yang dikemukakan Chimni untuk menggambarkan karakter perkembangan terkini dari organisasi – organisasi antarpemerintah tersebut. Pertama, lembaga-lembaga internasional tersebut harus aktif di semua area hubungan – hubungan internasional baik ekonomi, sosial, dan politik, yang sangat membatasi otonomi dari negara – negara berdaulat. Perihal kehilangan otonomi ini, benar – benar memiliki dampak serius bagi negara – negara dunia ketiga. Kedua, kedaulatan untuk mengambil keputusan di bidang ekonomi telah dialihkan dari negara ke lembaga ekonomi internasional seperti WTO, IMF dan Bank Dunia, yang memiliki kekuatan hukum yang efektif. Ketiga, PBB telah menganut sistem neo-liberal yaitu meningkatkan peran perusahaan swasta dalam organisasi internasional. Keempat, hubungan antara negara dan PBB sedang dibentuk kembali lewat pengaturan kembali prinsip – prinsip kedaulatan dan hubungannya dengan prinsip – prinsip pelarangan pengancaman atau penggunaan kekerasan. Contoh terkini pengaturan kembali itu adalah adanya humanitarian intervention dan doktrin kekerasan sebagai tindakann pencegahan. Kelima, beberapa lembaga internasional yang memiliki persoalan – persoalan kritis di masa lalu, kini posisinya telah dikembalikan seperti semula. Chimni memberikan contoh bagaimana Amerika Serikat yang pada 1984 keluar dari UNESCO yang pada waktu itu banyak memiliki masalah internal kini telah kembali bergabung setelah persoalan – persoaLlan tersebut diselesaikan. Keenam, berbagai macam organisasi non-pemerintah (NGO/LSM) telah mulai berpartisipasi dan memberikan dampak dengan berbagai cara dalam penciptaan aturan dan proses pembuatan keputusan dalam lembaga – lembaga internasional. Ketujuh, jaringan otoritas sub-nasional dan bahkan kota-kota telah mendasari lembaga – lembaga internasional ataupun kemunculan negara global, dan, bersama-sama dengan LSM, adalah instrumen desentralisasi dari pemerintahan dunia. Jaringan ini membantu mengatasi masalah kedaulatan negara dari dalam sama seperti lembaga-lembaga internasional mengatasinya dari luar. Kedelapan, pengurangan legitimasi / demokrasi merupakan karakter dari lembaga-lembaga internasional yang penting dan ditemani oleh resistensi yang kuat dari negara-negara adikuasa untuk menempatkan proses pengambilan keputusan yang transparan dan demokratis. Namun pada akhirnya, Chimni menegaskan adanya kesan bahwa negara-negara adikuasa mengontrol produksi pengetahuan dan penyebaran fungsi dari lembaga-lembaga internasional,yang mana merupakan hal yang sangat berbanding terbalik.

Chimni berpendapat, karakter-karakter lembaga internasional ini tidak dapat dipahami tanpa memposisikan mereka di dalam tatanan sosial dunia yang lebih besar, khususnya darimana sejarah dan konteks politik berasal, berkembang, dan berfungsi. Pendekatan ini memungkinkan sebuah pemahaman yang lebih mendalam yaitu koalisi antara kelas sosial yang kuat dan negara memutuskan kapan sebuah lembaga internasional itu merupakan bentuk yang tepat untuk mencapai tujuan mereka, sesuai dengan pekerjaan utama mereka. Pemahaman ini melampaui pendapat tentang lembaga internasional dari para neo-realis yang berpendapat lembaga internasional tidak lebih dari “gambaran atau cerminan sederhana dari negara adikuasa dan kepentingannya”, dan neo-liberal yang berpendapat lembaga internasional memiliki peran independen dalam “mengatasi masalah bersama”.

Kelas yang memiliki pengaruh terbesar dalam lembaga-lembaga internasional sekarang, dan secara konsekuen memunculkan negara global, adalah pecahan – pecahan transnasional dari kelas kapitalis nasional dalam negara kapitalis maju bersama dengan pecahan – pecahan transnasional dari negara – negara dunia ketiga yang perannya semakin hari semakin penting. Secara bersama, Chimni berpendapat mereka menciptakan sebuah kelas yang diistilahkannya sebagai Kelas Kapitalis Transnasional/ Transnasional Capitalist Class (TCC), yang sedang dalam proses untuk menghadirkan sebuah negara global yang terdiri dari beragam lembaga internasional yang membantu mengaktualisasikan dan melegitimasikan berbagai pandangan dunia. Selanjutnya, Chimni memaparkan berbagai ciri dari TCC seperti terdiri dari para pemilik wilayah transnasional, memiliki cerminan yang sama dalam hal tradisi, sistem nilai, ide, dan bentuk-bentuk institusi, hidup dan diciptakan dari negara – negara maju oleh jaringan corporate executive, bankir, pialang saham, ahli manajemen keuangan, manajer media, akademisi dan birokrat, menggunakan peralatan komunikasi yang paling modern untuk menciptakan dunia ide yang memiliki kekuatan material. Negara dunia ketiga dianggap sebagai sabuk transmisi dan alat penyaring untuk pengenaan agenda transnasional, meskipun diakui juga ada perusahaan global dunia ketiga yang berkontribusi terhadap pennciptaan dunia ide ini.

Pada akhirnya, Chimni berpendapat, kultur TCC dan basis dukungan vokalnya juga diaspirasikan oleh perkembangan dari kelas menengah dunia. Singkatnya, permintaan dari TCC dikemukakan oleh antara lain, negara-negara, organisasi bisnis, jaringan fungsional TCC, dan kelas menengah dunia. Chimni juga mengakui peran negara – negara utara dalam proses memberikan pengakuan pada tuntutan TCC dengan kultur budaya berkomunikasinya. Namun yang paling signifikan bagi Chimni pada akhirnya adalah kesepakatan dalam bentuk dan komposisi dari negara global yang muncul.

Penelitian bahwa sebuah negara global baru telah muncul, memunculkan berbagai asumsi tertentu tentang pengertian negara. Pertama, ini tidak mengartikan tentang penggantian dalam level struktur sistem kedaulatan negara, namun lebih kepada transformasi dalam memfasilitasi konstruksi sebuah negara global. Kedua, telah diakui bahwa negara global sedang dibentuk dalam level fungsional oleh kombinasi dari hukum, politik, sosiologi dan elemen budaya tertentu. Chimni menegaskan bahwa negara global bukanlah sebuah entitas yang tunggal dan terintegrasi dalam setiap elemen tersebut.

Tidak diragukan lagi, lembaga-lembaga internasional mengeluarkan berbagai norma-norma umum lewat berbagai perjanjian internasional yang menciptakannya dan penerapan norma – norma yang relevan dari hukum kebiasaan internasional. Hal ini menurut Chimni sangat tercermin dalam diri PBB ataupun koalisi negara-negara yang bertindak atas namanya, yang pada akhirnya memiliki monopoli untuk mengesahkan penggunaan kekuatannya dalam hubungan internasional, walapun hanya dalam keadaan tertentu saja. Bagi Chimni, peran negara dunia ketiga sangatlah penting, meskipun perlu digarisbawahi juga bagaimana pentingnya peran negara – negara neo-kolonial dunia ketiga. Namun pada akhirnya Chimni mengemukakan, eksistensi negara – negara neo-kolonial dunia ketiga akan tetap berlanjut namun pada dasarnya tetap bergantung pada jasa TCC dan negara global. Negara – negara utara dan selatan di sisi lain, akan terus ambil bagian dalam perkembangan negara global untuk mencapai tujuan TCC.

2. Kemunculan Sebuah Negara Global Yang Baru : Perkembangan

A. Lembaga Ekonomi Internasional : Pemisahan Terhadap Ruang Kedaulatan Ekonomi

1. Keputusan Penyeragaman Standar Global

Bagi Chimni, karakteristik prinsipil dari proses globalisasi saat ini adalah ruang kedaulatan ekonomi negara dunia ketiga mulai dipisahkan ke lembaga-lembaga internasional.Globalisasi memerlukan adanya penggantian berbagai peraturan dan yurisdiksi nasional ke penyeragaman standar global, dan pada akhirnya, era kapitalisme yang dahulu sebagai penghancur tatanan dunia ekonomi masuk dengan cara meletakkan landasan hukum globalisasi yaitu penyeragaman standar global itu sendiri. Organisasi – organisasi seperti WTO, IMF, dan Bank dunia, memaksa negara- negara berdaulat untuk mengadopsi hukum yang sama tanpa mengindahkan hukum nasional mereka. Menurut Chimni, penegakan hukum terhadap aturan – aturan ini sangatlah ketat, bukan sekedar di kulitnya saja, tapi sangat menggigit.

2. WTO dan Pengikisan Kedaulatan

Bagi Chimni, WTO adalah lembaga kunci pemisah ruang kedaulatan ekonomi dalam berbagai bidang krusial seperti agrikultur, hak kekayaan intelektual, dan regulasi investasi dan jasa luar negeri dari negara – negara dunia ketiga dan perorangan lewat adopsi penyeragaman standar global. Liberalisasi yang terus menerus akan membuat berbagai sektor mulai dari perbankan dan asuransi sampai sektor sosial yang kritis seperti pendidikan dan kesehatan dalam dunia ketiga diinvasi oleh kapital transnasional. Sekali kewajiban – kewajiban diambil dalam dunia jasa maka sangat sulit untuk menarik kembali mereka dari bidang tersebut yang akhirnya pada kondisi tertentu harus membuat penyesuaian kondisi. Perjanjian – perjanjian dalam WTO memiliki ketentuan yang sangat memaksa lewat mekanisme penyelesaian sengketa yang dibantu oleh sistem sanksi yang efektif.

Penerapan dari standar global yang seragam pada dasarnya dimaksudkan untuk mengakomodasikan kepentingan – kepentingan dari perusahaan – perusahaan yang adalah para pemodal di bidang ekspor, pemimpin teknologi, dan penyedia jasa di dunia ekonomi, untuk mengorganisasikan produksi dan perdagangan dalam skala dunia tanpa adanya halangan. Begitu juga dengan WTO yang berharap dapat membawa aspek lain dalam hubungan antara perdagangan dan investasi, pembentukan kebijakan pemerintah, kebijakan kompetisi, dan seterusnya, lewat peraturan – peraturannya. Meskipun pada beberapa kasus negara dunia ketiga diberikan waktu yang lebih untuk membawa pengaruh domestik mereka menjadi sesuai dengan aturan – aturan WTO, pada kenyataannya tidak ada perlakuan yang khusus dan berbeda bagi mereka.

3. Persyaratan Lembaga Keuangan Internasional dan Kedaulatan Negara Dunia Ketiga

Selain hilangnya kedaulatan ekonominya kepada WTO, negara dunia ketiga juga harus berhadapan dengan lembaga keuangan internasional lewat pemberlakuan persyaratan yang harus dipenuhi apabila negara akan menerima pinjaman. Persyaratan – persyaratan ini kurang lebihnya memaksakan tujuan dari liberalisasi, privatisasi dan deregulasi kepada negara – negara dunia ketiga dalam upaya untuk membongkar pasar terbuka , membantu para pengusaha transnasional mengambil alih sektor – sektor publik dengan harga murah, dan menghindari peraturan – peraturan terhadap aktivitasnya terhadap kepentingan publik. Lembaga keuangan internasional juga mengatur kedaulatan moneter untuk keseimbangan makro-ekonomi. Namun hilangnya kedaulatan ekonomi, seperti pada Asia Timur, juga memiliki dampak buruk yang serius bagi rakyat biasa pada negara dunia ketiga. Mimpi buruk pengangguran dapat datang tiba – tiba dan standar hidup mereka dapat tiba – tiba berubah hanya dalam satu malam saja.

Bagi Chimni, kemampuan untuk menerapkan persyaratan yang ketat tidaklah cukup. Lembaga keuangan internasional ini, khususnya Bank Dunia, juga berusaha untuk menjamin pengusaha transnasional dengan prasyarat teknis umum untuk proses produksi. Dengan ketidakmampuan negara – negara dunia ketiga untuk menyediakan syarat – syarat material dimana perusahaan – perusahaan transnasional dapat memasuki tahap produksi, maka lembaga keuangan internasional pun turut campur untuk menyediakan infrastruktur yang diperlukan agar dapat dipakai nantinya. Pada akhirnya, lembaga keuangan internasional juga secara aktif memberikan bantuan kepada para pengusaha transnasional lewat lembaga-lembaga internasional apabila diperlukan.

B. Lembaga Sosial Internasional : Menciptakan Kondisi Sosial Untuk Kapitalisme Global

Pada bagian ini, Chimni mengemukakan lagi satu bidang dari kapitalisme global lembaga internasional, yaitu pada bidang hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Bidang ini juga dibentuk untuk membatasi otonomi negara – negara dunia ketiga dan individu – individunya untuk mengadopsi kebijakan – kebijakan sosial yang sesuai dengan budaya individu dan tahap – tahap perkembangannya, dan pada akhirnya, lembaga keuangan internasional memainkan peranan yang penting dalam menciptakan kondisi sosial yang membantu fungsi dari kapital transnasional.

1. Lembaga Keuangan Internasional dan Prinsip Good Governance

Chimni menguraikan bagaimana prinsip Good Governance dewasa ini diterjemahkan secara lugu hanya sebagai pengaturan terhadao sumber daya alam dari suatu negara lewat peraturan dan lembaga – lembaga, bukan pada penerapan kekuatan politik untuk mengelola segala urusan secara umum. Melalui kelemahan pengertian inilah, lembaga keuangan internasional masuk dengan berbagai cara sebagai penengah dengan menciptakan aturan – aturan hukum yang pada intinya untuk menciptakan kondisi – kondisi dimana kapital-kapital transnasional dapat mengoperasikan kegiatannya. Hal yang paling nyata yang dapat dilihat Chimni adalah menyebarnya ratusan perwakilan bank dunia di berbagai negara.

2. Perkembangan Organisasi Hak Asasi manusia : Implikasi

Pada bagian ini, Chimni menguraikan dengan keterangan lengkap berbagai organisasi hak asasi manusia yang sesudah tahun 1945 muncul dan berkembang dengan luar biasa pesatnya, dan sekali lagi, paling banyak di antaranya adalah yang dikembangkan oleh PBB seperti UNESCO, ECOSOC, UNDP, ILO, INHCR, UNHRC, dan dengan memasukkan perjanjian – perjanjian internasional yang membentuk berbagai komite – komite hak asasi manusia di berbagai bidang, dan pada akhirnya mengerucut menjadi satu badan utama yaitu United Nations High Commissioner for Human Rights (UNHCHR).

Untuk eksistensinya bagi kedaulatan negara dunia ketiga, Chimni sangat berhati – hati dalam memberikan tanggapan terhadap aktivitas organisasi hak asasi manusia. Dengan hati – hati dia mengemukakan bahwa bagaimanapun juga, organisasi hak asasi manusia lewat instrumen seperti hukum hak asasi manusia internasional dalam berbagai cara telah memberikan dampak sosial yang nyata bagi negara – negara dunia ketiga, meskipun memiliki pemerintahan yang otoriter. Dengan mengutip pernyataan Marx dan Engels yang mengemukakan “hak asasi tidak boleh lebih tinggi daripada struktur ekonomi sebuah masyarakat dan perkembangan budaya di dalamnya”, Chimni pun menguraikan bagaimana ketidakmampuan organisasi hak asasi manusia internasional yang seharusnya memiliki fokus tujuan dalam hak – hak di bidang sipil dan politik untuk memberikan dampak bagi kesejahteraan penduduk – penduduk pribumi negara dunia ketiga, yang pada kenyataannya, tujuan tersebut malah mengakibatkan pencapaian agenda – agenda neo – liberal dengan memberikan keistimewaan bagi hak – hak privat di atas kepentingan sosial dan ekonomi. Tugas – tugas dari organisasi hak asasi manusia internasional pada akhirnya bukanlah pada penciptaan negara yang sejahtera, namun lebih kepada kontrol terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh berbagai pihak. Pada akhirnya, Chimni mengemukakan United Nations High Commissioner for Refugees-lah yang pada dasarnya merupakan organisasi penangkal kapitalisme global.

3. Lembaga Lingkungan Hidup Internasional : Distribusi Kembali Terhadap Kekayaan Intelektual Dunia.

Pada awal bagian ini, Chimni memaparkan perkembangan lembaga lingkungan hidup internasional saat ini ada pada lembaga – lembaga PBB maupun lembaga – lembaga umum yang memiliki badan – badan khusus yang menspesialisasikan diri di bidang lingkungan hidup di antaranya UNEP, WTO, CSD, IMO, World Bank tetapi pada bagian Global Environment Facility, FAO, IAEA, UNESCO, dan 5 komisi PBB, dan kesemuanya dikendalikan oleh mekanisme perjanjian internasional.

Sekali lagi, Chimni pada bagian ini sangat berhati – hati dalam memberikan tanggapan yang miring terhadap keberadaan Lembaga lingkungan hidup internasional ini dengan melihat tindakan – tindakan nyata yang ada di lapangan. Namun demikian, ada sebuah ketegasan yang diberikan Chimni, yaitu kebenaran tindakan – tindakan tersebut sangat seimbang dengan tidak adanya implementasi yang efektif terhadap prinsip – prinsip umum dengan tanggung jawab yang berbeda – beda berdasarkan sejarah bahwa kerusakan lingkungan adalah tanggung jawab dari negara – negara bagian Utara, dan dengan dasar ini, pengoperasian lembaga lingkungan hidup internasional beserta hukum-hukumnya melibatkan pendistribusian kembali kekayaan intelektual dengan tujuan untuk mendukung negara – negara kapitalis yang sudah maju. Ketika negara – negara ini sudah berkembang, hak – hak privat secara global telah diberikan kepada para pencemar lingkungan, dan sekarang, negara – negara berkembang pada akhirnya dimintakan untuk mendistribusikan kembali hak kekayaan intelektual tersebut tanpa kompensasi terhadap sumber daya yang memang telah habis terlebih dahulu. Di sisi lain, beberapa hukum lingkungan yang dianggap tidak cocok dengan para pengusaha transnasional pun diabaikan.

Chimni pun menganggap semuanya kembali kepada akar semulanya, yaitu sejarahlah yang harus disalahkan.

4. Pengadilan Pidana Internasional : Elemen Yang Diperlukan Untuk Sebuah Negara Global Imperialis.

Dalam bagian ini, Chimni sangat gamblang mengemukakan bagaimana sebuah Pengadilan Pidana Internasional menjadi senjata yang sangat ampuh untuk membuat negara – negara dunia ketiga seperti menyerah terhadap keadaan apabila mereka berani mempertanyakan dan menentang negara – negara adikuasa, sedangkan sebaliknya, perlakuan istimewa diberikan kepada negara – negara bagian Utara yang tidak akan pernah mungkin mendapatkan hukuman dari ICC, serta bagaimana usaha Amerika Serikat menggunakan pengaruhnya dalam diplomasi lewat perjanjian – perjanjian bilateral untuk menentang bahkan membubarkan pengadilan pidana internasional ini agar terhindar dari hukuman terhadap para tentaranya yang melakukan pelanggaran dan kejahatan perang dan hak asasi manusia.

C. Lembaga Politik Internasional : PBB dan Legitimatisasi Neo-Liberal dan Penggunaan Kekerasan.

Bagi Chimni, hubungan antara PBB yang merupakan lembaga politik internasional kunci di dunia, dengan negara dunia ketiga sedang dibentuk kembali dengan membatasi kedaulatan negara – negara tersebut dan mempengaruhi kemampuannya untuk membentuk masa depan dunia. Secara tegas Chimni menganggap, PBB tidak ubahnya sebagai kapitalis imperialis yang mengakibatkan tidak berkembangnya negara – negara dunia ketiga di dunia ini. Lebih lanjut lagi, ada 3 penjelasan tentang pembentukan kembali hubungan PBB dengan negara dunia ketiga tersebut.

1. Peran Yang Semakin Besar Dari Pelaku Perusahaan Swasta.

Pada bagian ini, Chimni memaparkan bagaimana para pelaku perusahaan swasta mendapatkan peranan yang sangat krusial dalam sistem yang berlaku di PBB, dan secara gamblang beliau menyatakan hubungan seperti ini mengakibatkan bahaya pada suatu saat nanti PBB akan kalah terhadap para pelaku tersebut dalam pengaruh terhadap keuangan dan politik dunia. Perkembangan keterlibatan para pelaku swasta di sistem PBB sudah terjadi sejak tahun 1970 dan 1980, kemudian berkembang lagi saat ini lewat bagaimana PBB memiliki ketergantungan terhadap para pelaku tersebut untuk mendanai aktivitas – aktivitasnya. Akibat – akibat yang sudah terjadi cukup nyata diantaranya : pengabaian peraturan – peraturan tertentu bagi perusahaan transnasional, pengaturan posisi kembali UNCTAD, penutupan UN Center for Transnational Corporations, dan marjinalisasi isu – isu perkembangan dalam sistem PBB.

2. Penerapan Model Neo-Liberal : Kasus Pada Masyarakat Post-Konflik

Pada bagian ini, Chimni benar – benar mengkritik PBB sebagai pihak yang berpura – pura seolah – olah menjadi negara pengganti dalam usaha setiap negara untuk menciptakan perdamaian dunia. Khususnya untuk negara – negara yang baru saja selesai mengalami konflik, PBB masuk sebagai negara penengah dengan embel – embel pembawa perdamaian, yang pada akhirnya memberikan legitimasi baginya untuk melakukan proses pengintegrasian konsep neo-liberal dengan alasan untuk keterlibatan yang lebih besar lagi dalam dunia ekonomi. Pada akhirnya, negara – negara tersebut dipaksa untuk mengikuti segala aturan untuk masuk sebagai anggora Bank Dunia dan IMF, sementara sumber dayanya semakin hari semakin diprivatisasi, namun tidak memiliki agenda perbaikan yang nyata terhadap sosial dan politik negara tersebut.

3. Kedaulatan dan Penggunaan Kekerasan : Monopoli dari Kekuatan Blok Barat

Di bagian ini, Chimni beranggapan bahwa PBB adalah media bagi blok Barat untuk menjalankan monopoli globalnya lewat legitimasi penggunaan kekerasan. Dia mengistilahkan Blok Barat sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Malcolm Shaw yaitu “Organisasi Kekerasan Otoritatif Yang Terintegrasi”, yang terdiri dari Amerika utara, Eropa Barat, Jepang, dan Australasia.

Ketika blok ini tidak mampu bertindak lewat PBB, maka mereka mempergunakan berbagai instrumen lainnya untuk mendukung pergerakan mereka dalam legitimasi penggunaan kekerasan seperti pada NATO, yang digunakan sebagai salah satu badan perdamaian dunia. Bahkan Chimni mengamati, meskipun Amerika Serikat pada kasus Irak ditentang oleh Perancis dan Jerman, adu argumen tetap terjadi anatar keduanya tentang bagaimana caranya menghindari perang yang diterapkan oleh Amerika Serikat maupun Inggris.

Chimni mengemukakan pendapatnya, bahwa pembangunan kembali pengertian antara kedaulatan dan penggunaan kekerasan terkandung dalam (a) upaya untuk menyatakan prinsip – prinsip kedaulatan yang diletakkan ke dalam pelanggaran hak asasi manusia, dan dengan demikian membenarkan gagasan armed humanitarian intervention, dan (b) menafsirkan kembali pasal 2(4) dan 51 piagam PBB untuk menggunakan penggunaan kekerasan untuk pencegahan. Meskipun negara – negara dunia ketiga berharap bahwa perbedaan pendapat di antara negara – negara blok Barat soal penggunaan kekerasan sebagai tindakan pencehagan dapat memberikan pencegahan perubahan peraturan tentang penggunaan kekerasan itu sendiri, namun Chimni sangat pesimis bahwa hal tersebut dapat terwujud karena dia melihat kenyataan yang terjadi saat ini tidak ada negara barat yang ingin menentang Amerika Serikat.

D. Jaringan Global Ruang dan Lembaga Sub-Nasional : Mengikis Kedaulatan Dari Bawah

1. Jaringan Otoritas Sub-Nasional

Di bagian ini, Chimni menuliskan pendapatnya bahwa yang mendasari perkembangan dari negara global adalah otoritas sub-nasional dan ruang-ruang yang mewakilinya, bersama – sama dengan organisasi non-pemerintah yang merupakan wajah desentralisasinya. Pertumbuhan otoritas sub-nasional ini pada akhirnya menggantikan kedaulatan negara dengan seperangkat pemerintahan terpisah yang bisa dipengaruhi dan dikendalikan oleh negara global yang sedang berkembang itu.

2. Decentred Law-Making Processes

Pada bagian ini, dengan jelas Chimni mengambil kesimpulan dari pendapat berbagai ahli bahwa negara saat ini sudah tidak lagi mendapat tempat yang khusus sebagai partisipan dalam proses hukum internasional meskipun masih menjadi aktor utama dalam pembuatannya. Contoh yang paling besar dari hal ini adalah berlakunya Lex Mercatoria atau hukum antar negara di bidang transaksi ekonomi. Hukum – hukum yang terbentuk ini benar-benar menumbangkan hukum negara terutama di negara dunia ketiga.

3. Pertumbuhan Jaringan Perkotaan.

Pendapat terakhir Chimni mengenai Lembaga sub-nasional ada pada pertumbuhan jaringan perkotaan, yang menurut dia memainkan peranan penting dalam proses globalisasi. Alasannya, berbagai perusahaan, kendali pasar, dan bahkan negara itu sendiri, menjadi global karena peran jaringan perkotaan itu sendiri, karena saat ini mereka merupakan sentral keuangan dan jasa internasional. Namun perlu dicatat, Chimni berpendapat, kendali jaringan perkotaan tetap dipegang oleh perkotaan di negara bagian utara dunia yaitu : New York, London, Tokyo, Frankfurt, Genewa, dan lainnya.

3. Kelahiran Negara Global : Refleksi Lebih Lanjut Tentang Proses dan Implikasinya

Pada bagian ini, Chimni mengemukakan dua implikasi besar dari hadirnya negara global yaitu pertama, kedaulatan ekonomi, sosial, dan keputusan – keputusan politik dipindahkan dari negara – negara dunia ketiga kepada lembaga – lembaga internasional yang ditandai dengan tidak adanya transparansi dan partisipasi yang efektif kepada negara – negara tersebut, dan kedua, lembaga – lembaga internasional ini tetap dianggapnya tidak akuntabel bagi hukum internasional bagi mereka yang dikenakan keuntungan maupun kerugiannya. Konsekuensi dari implikasi ini adalah transformasi dari pengertian substantif demokrasi itu sendiri yang menimbulkan penerapan poliarki bagi negara – negara dunia ketiga lewat pengembangan pengetahuan dan fungsi – fungsi diseminasinya untuk mengabaikan cara – cara pengembangan yang lain.

A. Tidak Adanya Partisipasi Efektif Dalam Lembaga Internasional.

1. Negosiasi-Negosiasi WTO : Tidak Adanya Demokrasi Deliberatif.

Chimni berpendapat pada bagian tulisan ini bahwa saat ini negara – negara dunia ketiga didorong untuk melepaskan kedaulatan ekonomi, sosial dan ruang politiknya kepada lembaga internasional tanpa diikutsertakan berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan. Dia menerangkan bagaimana negara – negara Afrika dipinggirkan dalam berbagai pembicaraan – pembicaraan WTO mulai dari Uruguay Round, Third Ministrial Conference di Seattle 1999, sampai pada Doha Ministrial Declaration. Chimni meneliti, ketika delegasi negara dunia ketiga mulai kritis dan bahkan menjadi oposisi dalam pengambilan keputusan pada pertemuan – pertemuan tersebut, maka negara – negara Utara menggunakan kekuatan bilateralnya untuk meredam perlawanan tersebut.

2. Pengambilan Keputusan dalam Lembaga Keuangan Internasional : Dominasi Suara Negara-Negara Utara

Sama halnya dengan negosiasi dalam WTO, Chimni juga berpendapat pada lembaga keuangan internasional pada dasarnya memiliki sifat yang sama yaitu dominasi suara – suara dari negara bagian utara dunia tetap mendapatkan tempat yang utama. Negara – negara dunia ketiga tidak bisa memberikan dampak dalam bentuk apapun sesuai dengan persyaratan yang diberikan kepada mereka. Beberapa analisa para ahli dikemukakan oleh Chimni untuk mendukung analisanya ini, dimana ada yang menganalisa kegiatan IMF banyak yang kabur dan tidak transparan, mengakibatkan berbagai program gagal yang tidak terhitung lagi jumlahnya tidak diinformasikan kepada publik bahkan keputusan – keputusan yang diambil untuk mengatasinya pun tidak diketahui negara – negara dunia ketiga. Chimni mengutip pendapat Stiglitz yang mengemukakan bahwa persyaratan yang diajukan oleh IMF kepada negara – negara dunia ketiga memiliki dampak yang sangat kecil bagi mereka namun justru lebih memberikan dampak besar bagi negara – negara adikuasa dan TCC.

2. Dewan Keamanan PBB Yang Tidak Demokratis

Pada bagian ini Chimni menyinggung keberadaan PBB dengan sistem hak veto yang tidak adil, dan secara tegas menyampaikan bagaimana Amerika Serikat mengendalikan PBB.

B. Lembaga-Lembaga Internasional Tidak Akuntabel

1. Tidak Adanya Tanggung Jawab Kelembagaan

Pada bagian ini Chimni mengemukakan alasan pertama dia mengatakan lembaga internasional tidak akuntabel yaitu lembaga internasional tidak dapat bertanggung jawab dalam hukum internasional atas dampak dari kebijakan dan putusan – putusannya. Dikatakan bahwa negaralah yang menetapkan keberadaan lembaga internasional di dalam sistemnya, dan negara itu sendirilah yang tetap bertanggung jawab terhadap untung dan ruginya. Chimni mengemukakan tiga pendapat Nye kenapa lembaga internasional tidak dapat dikatakan akuntabel. Pertama, tidak semua negara anggota memiliki sistem demokratis. Kedua, garis panjang delegasi dari berbagai pemerintahan dan kuragnya transparansi sering mengurangi akuntabilitas. Ketiga, meskipun organisasi adalah wakil dari sebuah negara, namun sering mereka hanya mewakili sebagian kecil dari negara itu sendiri.

2. Tidak Adanya Tanggung Jawab Perorangan

Pada bagian ini Chimni menjelaskan bahwa lembaga internasional adalah sebuah birokrat modern yang tidak memiliki tanggung jawab individu atas tindakan – tindakan baik untung maupun ruginya. Seperti halnya pada PBB, ketika keputusannya menimbulkan kerugian, kita tidak dapat menyalahkan Sekjen, Dewan Keamanan, ataupun lembaga – lembaga kecilnya. PBB digambarkan sebagai sebuah “the rule of nobody”. Hal ini membuat lembaga internasiona adalah kendaraan yang paling sempurna untuk eksploitasi dan mendominasi negara – negara kecil.

C. Penekanan Terhadap Demokrasi Negara – Negara Dunia Ketiga

1. Penerapan Poliarkhi.

Pada bagian ini, Chimni memaparkan bagaimana kedaulatan telah dipindahkan dari hak negara menjadi sebuah demokrasi dalam negara – negara dunia ketiga. Saat ini, hukum internasional dan organisasi – organisasi telah melembagakan poliarki ke dalam negara – negara dunia ketiga. Tidak ada lagi elemen memilih bagi negara dunia ketiga, karena segalanya ditentukan oleh pilihan bersama semua negara peserta.

2. Memburuknya Kondisi Para Kelas Pekerja

Yang paling kena dampak atas hilangnya kedaulatan pada negara – negara dunia ketiga adalah pada kelas pekerja. Chimni mengambil contoh pendapat yang berkembang di lembaga – lembaga keuangan internasional yaitu intervensi pemerintah yang berlebihan dalam dunia perburuhan adalah masalah yang serius yang harus ditiadakan atau diredakan. Ini disebabkan oleh persaingan usaha yang semakin besar di antara negara – negara dunia ketiga untuk membawa investasi dari luar masuk ke dalamnya, sehingga menurunkan standar buruh sampai titik paling bawah, dan buruh wanitalah yang paling kena dampak ini. Hal paling parah yang disampaikan Chimni, pergolakan yang terjadi di kalangan buruh sering dianggap sebagai potensi gangguan bagi strategi industri, dan karenanya harus dihilangkan, tidak dilihat dari fenomena kemanusiaan yang ada di dalamnya.

3. Bergesernya Bentuk – Bentuk Tradisional dari Perlawanan

Pada bagian ini, Chimni mengemukakan dampak pengalihan kedaulatan kepada lembaga internasional yaitu semakin bergesernya bentuk – bentuk tradisional dari sebuah perlawanan. Contohnya di India yang tidak memiliki perwakilan WTO, apabila mereka tidak setuju dengan keputusan WTO, maka seolah – olah mereka tidak bisa mengajukan tuntutan ataupun protes karena tidak adanya tempat untuk mengadu .

D. Pelemahan Terhadap Alternatif : Mensahkan Hegemoni

Lembaga internasional selanjutnya diteliti Chimni bukan hanya menghasilkan peraturan saja, melainkan berbagai sumber daya untuk dapat melegalkan seluruh kegiatan mereka. Lewat lembaga – lembaga internasional, kepentingan – kepentingan dari TCC dianggap mewakili seluruh kepentingan umat manusia, dengan secara aktif mempromosikan kebiasaan internasional untuk memfasilitasi tujuannya lewat pengadaan dan penyebarluasan penelitian – penelitian yang dibuat. Chimni mengambil contoh bagaimana Bank Dunia lewat instrumen World Development Report yang menyebarkan 120.000 eksemplar salinan kepada dunia, sangat jauh lebih besar daripada salinan – salinan jurnal ekonomi maupun monografi-monografi yang normalnya hanya berjumlah 1000-2000 eksemplar salinan.

4. Melihat Kritik

Pada bagian ini, Chimni mencoba mengemukakan kritik terhadap penelitiannya sendiri tentang keberadaan Imperial Global State. Pertama, dia mengemukakan bagaimana TCC berhasil mewujudkan tujuan – tujuannya lewat hukum internasional publik yang terjelma ke dalam lembaga internasional. Kedua, dapat diperdebatkan bahwa tidak selamanya hanya negara dunia ketiga yang kedaulatannya hilang, tapi semua negara. Ketiga, sudah sering diperdebatkan bahwa negara – negara dunia ketiga sendiri yang secara sukarela menyerahkan ruang kedaulatan ekonomi, politik, dan sosialnya kepada lembaga internasional, karena pada dasarnya tidak ada satupun negara dunia ketiga yang dipaksakan untuk masuk ke berbagai organisasi tersebut. Keempat, ketika tindakan – tindakan sepihak dari Amerika Serikat semakin merajalela dan cibiran – cibiran mereka terhadap PBB semakin mengemuka, maka sangat tidak masuk akal apabila kita menganggap bahwa TCC memiliki kepentingan yang menyatu yang diwujudkan melalui lembaga internasional, karena pada dasarnya antar TCC dan TCC dengan pengusaha nasional pun sering bertentangan mengenai tujuan dan kepentingannya. Kelima, dapat diperdebatkan bahwa sejak “global civil society” berkembang, dan semakin mendapatkan bagian yang lebih dalam lembaga – lembaga internasional, sangat sulit untuk melihat bahwa lembaga internasional itu mewakili kepentingan dari TCC saja, karena gerakan – gerakan sosial yang ada saat ini semakin berkembang untuk bukan saja sekedar mewakili kepentingan orang – orang yang tertindas, namun ikut campur untuk mengatur sistem yang ada di dalam TCC untuk mendukung pergerakannya. Keenam, peningkatan organisasi – organisasi dan asosiasi – asosiasi regional dikatakan sebagai dasar pendirian sebuah negara regional daripada negara global, namun dikatakan selanjutnya bahwa lembaga regional ini lebih kepada sebuah pelengkap yang mewakili proses dan struktur dari dalam dan pada akhirnya akan berkoalisi dengan lembaga internasional. Bukti nyata dari fakta ini adalah bagaimana Uni-Eropa mengkoordinasikan aktivitasnya dengan lembaga – lembaga internasional kunci. Ketujuh, kini dapat diperdebatkan anggapan bahwa TCC memiliki dampak yang paling besar dalam memfungsikan lembaga internasional melihat bahwa pada kenyataannya negara dunia ketiga ternyata juga adalah faktor keuntungan bagi perkembangan lembaga internasional dan perluasan ambisi – ambisinya. Sudah dibahas Chimni sebelumnya bahwa ada lembaga – lembaga internasional yang memberikan manfaat bessar bagi negara – negara dunia ketiga, karena memang demikian adanyalah tujuannya didirikan, bahkan lebihnya, lembaga internasional juga sering melindungi negara – negara dunia ketiga dari tindakan – tindakan sepihak negara – negara adikuasa, sehingga negara – negara kecil tersebut mendapatkan peran yang lebih besar pada sektor internasional. Kedelapan, Chimni mengakui bahwa masih terlalu dini untuk menganggap kelahiran sebuah negara global telah ada. Anggapan kemunculan negara global ini ada karena ada beberapa negara telah memonopoli sistem – sistem tertentu dengan mensahkan penggunaan kekerasan. Namun demikian, ke depannya nanti memang akan terbentuk beberapa kumpulan negara dengan struktur yang terpisah – pisah, seperti blok Barat, yang mendominasi penggunaan kekerasan secara global. Negara – negara non-Barat bersama – sama dengan otoritas sub-nasional, perlahan – lahan akan berubah bentuk menjadi unit – unit administratif yang memberikan jasa kepada negara global.

Pada akhir bagian ini, Chimni mengakui bahwa akan ada banyak permintaan penjelasan lebih jauh tentang negara global lebih mendalam, namun mengingat kompleksitasnya, maka hal ini akan sangat sulit diwujudkan.

5. Men-Demokrasi-kan Negara Global : Cara Untuk Maju

A. Empat Gelombang “Perubahan” Lembaga Internasional Pada Sejarah : De Ja Vu ?

Pada bagian ini sangat menarik bahwa Chimni memakai istilah momen – momen “perubahan” bagi lembaga internasional pada abad ke-20. Yang dimaksudkan adalah Perang Dunia Pertama saat Liga Bangsa – Bangsa terbentuk, Perang Dunia Kedua saat pendirian PBB, Perang Vietnam dan proses dekolonialisasi lewat konvensi – konvensi internasional, dan pada saat berakhirnya Perang Dingin pada saat munculnya gerakan – gerakan LSM, WTO, dan berbagai jenis lembaga internasional di bidang sosial. Bagi Chimni, ke – empat usaha pengembangan lembaga internasional ini diistilahkannya sebagai sebuah de ja vu saja oleh karena hal – hal yang terjadi di dalamnya tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap negara – negara dunia ketiga sebagaimana yang sudah dilakukan sejak jaman dahulu. Meskipun demikian, Chimni mengemukakan perlu adanya pengetahuan yang lebih dalam tentang perbedaan historis dan konteks sosial dalam setiap perubahan tersebut sebelum menganggap hal ini hanya sebuah dejavu saja.

B. Kemungkinan Adanya Sebuah Negara Homogeneous dan Universal

Pada bagian ini, Chimni mencoba mencari solusi bagaimana bentuk reformasi yang cocok untuk mengatasi pertentangan tentang berdirinya negara global yang tidak dapat dihindari ini. Salah satu usulan yang dia kemukakan adalah pendapat dari Alexandre Kojeve seorang penganut Hegelian tentang “negara universal dan homogenis”, dimana tidak ada lagi perluasan wilayah kekuasaan dan pertentangan antar negara. Usulan ini dapat dicapai tidak melalui sebuah tirani atau kerajaan, namun lewat integrasi hukum di antara negara – negara yang menghasilkan tata peraturan supranasional yang dikeluarkan dan disatukan oleh konsep keadilan yang pasti dan tunggal. Negara demikian pasti menerima keberagaman, dan tidak akan ada penekanan tirani serta perbedaan-perbedaan non-yuridis. Namun kemudian Chimni mengakui adanya kelemahan dari usulan yang dikemukakan Kojeve ini, yaitu konsep yang ditawarkan memberikan kadar pemahaman yang cukup bervariasi sehingga menimbulkan pertanyaan apa sebenarnya pengaturan utama untuk mewujudkan konsep ini. Kekosongan ide untuk melaksanakan konsep ini memiliki celah yang sangat berbahaya bagi perjalanan TCC dan negara – negara bagian Utara untuk menyatukannya dengan tujuan dan cita – citanya untuk mengakhiri dominasi global. Chimni kemudian meneiliti bahwa konsep Kojeve ini lebih mengarahkan kita untuk melihat Uni-Eropa yang berhasil menjadi model terdekat dengan konsep yang ditawarkannya.

C. Reformasi Yang Terus – Menerus Sangat Diperlukan Dalam Jangka Pendek dan Menengah

Alasan perlunya hal ini dikemukakan oleh Chimni adalah, pertama, sangat tidak mungkin membayangkan adanya perubahan yang radikal dalam dunia lembaga internasional karena berbagai pertentangan yang ada pada masyarakat dunia tentang keberadaannya. Kedua, negara neo-kolonial, meskipun banyak berkolaborasi dengan TCC, adalah merupakan subjek dari tekanan yang rumit dan dijadikan pertentangan. Hal ini berhubungan dengan bagaimana masyarakat pribumi memaksanya untuk menentang negara hegemonik dari waktu ke waktu. Ketiga, secara paradoks, negara global demokratis ke depannya nanti justru bergantung pada bagaimana mendapatkan kembali otonomi bagi negara sehingga mendapatkan ruang untuk menata kembali arsitektur negara global tersebut. Bagi Chimni, mengutip pendapat Nye, inti dari perubahan yang terus – menerus tersebut harus lebih jelas pada demokrasi, pemahaman yang kaya tentang akuntabilitas dan kemauan untuk bereksperimen. Chimni merekomendasikan bahwa mengubah isi substantif dari kewajiban – kewajiban pada berbagai bidang yang berbeda dan mendemokrasikan proses pembuatan keputusan dalam lembaga – lembaga internasional ke arah yang lebih inovatif dan kreatif dapat mengubah tujuan dari sekedar “kemauan” menjadi “eksperimen”. Tujuan akhir dari rekomendasi perubahan ini adalah penciptaan negara global yang demokratis, lewat otonomi, dekorasi yang deliberatif, desentralisasi, transparansi, akuntabilitas dan tanggung jawab. Selanjutnya dia menjelaskan lebih terperinci sebagai berikut :

1. Ubah Aturan Main

Cara pertama yang dikemukakan oleh Chimni untuk perubahan ini adalah dengan melepas anggapan bahwa lembaga – lembaga internasional adalah aktor netral dalam pencarian kesejahteraan bersama, namun menjadikannya sebagai organisasi yang merealisasikan kepentingan – kepentingan sektoral. Chimni dengan tegas mengatakan, keabsahan aturan dan kebijakan dalam lembaga – lembaga internasional adalah dinilai dari bagaimana mereka memberikan dampak kepada beberapa kelompok masyarakat dunia ketiga yaitu kelas pekerja, tunawisma dan kaum miskin, wanita, dan kelompok marjinal lainnya.

2. Melembagakan Beberapa Bentuk Global Citizenship

Bagi Chimni, pelembagaan terhadap beberapa bentuk Global Citizenship ini untuk memenuhi kebutuhan akan perluasan demokrasi bagi negara untuk membawa mereka pada pengertian yang benar tentang kekuatan global dan transnasional. Chimni mengutip pendapat Falk dan Strauss tentang model Global Parliamentary Assembly (GPA) seperti pada European Parliament, yang tujuannya adalah badan dunia dengan kekuasaan legislatif yang terbatas namun penting yang dapat mengontrol semua penduduk dewasa dimanapun mereka berada, kekuatannya dapat hanya bersifat nasehat untuk menghindari terjadinya intimidasi terhadap pemimpin nasional, dan dilakukan secara bertahap.

3. Menetapkan Proses Negosiasi dan Pengambilan Keputusan Secara Demokratis.

Pada bagian ini, Chimni kembali menegaskan perlu partisipasi secara aktif dari negara – negara dunia ketiga dalam proses negosiasi dan pengambilan keputusan secara internasional dalam lembaga – lembaga internasional sebagai bentuk dari demokrasi itu sendiri, seperti pada WTO, IMF, dan Bank Dunia. Selanjutnya, Chimni mengarahkan pandangannya kepada bagaimana menjalankan demokratisasi dalam tubuh Dewan Keamanan PBB lewat penambahan jumlah anggota permanen serta transparansi dalam pengambilan keputusannya. Chimni berpendapat bahwa sudah saatnya tindakan – tindakan dari Dewan Keamanan PBB dapat diuji-materikan oleh ICJ untuk memastikan adanya kesesuaian tindakannya dengan Piagam PBB.

4. Menjadikan Lembaga Internasional dan Para Pejabatnya Bertanggung Jawab Terhadap Hukum Internasional.

Cara keempat ini dikemukakan Chimni untuk mengembangkan tanggung jawab hukum internasional terhadap lembaga internasional terhadap kemungkinan adanya konsekuensi yang negatif dari tindakan - tindakannya, serta menjadikan seorang individu yang bertindak atas nama lembaga internasional menjadi akuntabel bagi mereka yang menerima tindakan – tindakannya.

5. Menggerakkan Organisasi Hak Asasi Manusia Internasional Untuk Mengangkat Penyebab Adanya Kaum Marjinal dan Tertindas.

Bagi Chimni, cara ini harus diterapkan kepada organisasi – organisasi hak asasi manusia internasional secara konsisten dan berkelanjutan mengevaluasi penegakan hukum ekonomi internasional pada kebijakan dan tindakan – tindakan dari lembaga internasional seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia, agar supaya pengawasan terhadap kesesuaian dengan instrumen hak asasi manusia khususnya ekonomi, sosial, dan budaya dapat terus dilakukan.

6. Menjadikan Akuntabel Perusahaan Transnasional.

Selanjutnya, Chimni menegaskan perlu adanya langkah – langkah untuk menjadikan para pelaku perusahaan transnasional lebih akuntabel pada sebuah negara, mengingat bagaimana pengaruh dari perusahaan transnasional yang semakin besar pada dan di dalam sebuah lembaga internasional, bahkan dalam menetapkan peraturan dan standar – standar dalam berbagai bidang, dengan harapan mereka lebih sadar akan keberadaan masyarakat dunia ketiga, khususnya kelas pekerja, agar supaya perubahan dunia hukum organisasi internasional dapat lebih mudah dijalankan. Cara – cara yang dikemukakan Chimni terkait dengan hal ini adalah : memasukkan kode etik yang mengikat dalam perusahaan transnasional, monitor yang seksama terhadap pelaksanaan kode etik tersebut, penggunaan hak dari para pemegang saham kepada persamaan dan keadilan dalam tindakan – tindakan perusahaan transnasional, penerapan secara imajinatif hukum lokal untuk menyingkap tindakan – tindakan yang bersifat penindasan oleh perusahaan transnasional, penggunaan hak konsumen dalam memboikot penggunaan produk perusahaan transnasional yang bertentangan dengan standar hak asasi manusia, dan memberikan kritik lewat badan – badan seperti ICC kepada perusahaan transnasional.

D. Kebutuhan Akan Adanya Paham Internasional Yang Baru dan Lebih Kompleks.

Pada bagian ini Chimni menegaskan bagaimana saran – saran yang dia kemukakan sebelumnya tidak akan bisa dilaksanakan apabila tidak ada sebuah gerakan sosial global yang kuat untuk mengubah aturan main dan struktur dari lembaga internasional. Hanya sebuah tekad dan pergulatan yang tiada hentinya dari negara – negara dunia ketiga dibantu oleh aliansinya dari negara – negara utara yang mampu membuat negara – negara adikuasa dan TCC dapat memperhatikan kebutuhan – kebutuhan mereka. Selain itu, Chimni juga menaruh perhatian kepada LSM – LSM yang memainkan peranan penting dalam kebijakan – kebijakan yang diambil oleh negara – negara adikuasa. Dengan adanya tekanan globalisasi dan rezim praktek perburuhan yang fleksibel yang melemahkan berbagai aliansi – aliansi perdagangan dan politisi sayap kiri, maka sangat diperlukan adanya gerakan – gerakan sosial yang baru, gerakan konsumen, inisiatif secara berkelompok dan bahkan perlawanan secara spontan terhadap rezim – rezim tersebut.

Chimni berpendapat bahwa gerakan perlawanan secara global mungkin dapat mengusahakan sebuah pembentukan jaringan – jaringan pada level otoritas sub nasional dan dalam perkotaan dengan tujuan untuk melawan nilai – nilai dan ruang – ruang hegemoni.Secara nyata budaya TCC diciptakan di dalam perkotaan, oleh karena itu, gerakan pencarian globalisasi yang adil harus memberikan perhatian yang khusus kepada pembentukan kesadaran kritis kepada masyarakat yang mendiaminya.

Chimni menyimpulkan, pada dasarnya, ketaatan pada praktek tanpa kekerasan sangat penting untuk memastikan bahwa gerakan sosial secara global tidak akan digerogoti baik dari dalam dan luar.

Tidak ada komentar: