Rabu, 09 November 2011

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSITUSI REPUBLIK INDONESIA DALAM MENGUJI UNDANG – UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSITUSI REPUBLIK INDONESIA DALAM MENGUJI UNDANG – UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL

Kajian Menurut Hukum Nasional di Indonesia

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yaitu :

1. Menguji undang – undang terhadap Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

3. Memutus pembubaran partai politik, dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Menurut Undang Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pada Pasal 10 dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian sekilas mata maka perjanjian internasional yang disahkan dengan undang-undang, sesuai dengan Undang-Undang No. 24 tahun 2000, dapat diajukan ke hadapan Mahkamah Konstitusi untuk di uji apakah sesuai dengan UUD 1945. Maka dapat dimungkinkan undang-undang yang mengesahkan perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan ini,maka setiap undang – undang yang dihasilkan oleh kekuasaan legislatif, memiliki kemungkinan untuk diuji secara materil oleh Mahkamah Konstitusi hanya berdasarkan gugatan yang diajukan masyarakat. Luas bidang dari undang – undang ini tidak akan membawa masalah apabila hanya menyangkut undang – undang yang berasal dari kepentingan nasional. Namun apabila dikaitkan dengan sebuah Perjanjian Internasional yang membawa kepentingan masyarakat internasional yang di dalamnya terkandung makna kepentingan negara lain, maka secara implisit sebuah undang – undang yang meratifikasi perjanjian internasional dapat dikatakan bukanlah undang – undang yang membawa kepentingan nasional saja.

UU No. 24 tentang Perjanjian Internasional tidak secara tegas menjelaskan kedudukan perjanjian internasional dalam sistem perundang-undangan namun hanya menyatakan bahwa perjanjian internasional disahkan dengan undang-undang/Peraturan Presiden tanpa lebih lanjut menjelaskan apa arti dan konsekuensinya bagi perundang-undangan Indonesia. Sedangkan dalam sistem hukum Indonesia, suatu undang – undang berlaku sejak tanggal di tetapkannya undang – undang tersebut. I Wayan Parthiana menyebutkan salah satu cara menentukan saat berlakunya suatu Perjanjian Internasional yaitu pada saat perjanjian itu diratifikasi secara serentak oleh organ yang berwenang dari masing – masing pihak. Hal ini membuktikan, berlakunya sebuah Perjanjian Internasional juga tidak terlepas dari peran negara sebagai organ yang berwenang untuk menjadikan perjanjian internasional tersebut berlaku terhadap masyarakatnya. Dengan penjelasan ini, maka secara teoritis, mengutip pendapat salah satu mantan Hakim Konstitusi periode 2003-2008, I Gede Palguna, maka Mahkamah Konstitusi seharusnya dapat menguji secara materil undang – undang hasil ratifikasi sebuah perjanjian internasional, mengingat undang – undang ratifikasi juga menjadi bagian sebuah proses berlakunya perjanjian internasional, dan dibuat oleh negara itu sendiri.

Kajian Menurut Hukum Internasional

Perkembangan dunia hukum internasional di Indonesia memiliki berbagai kontroversi dengan adanya simpang siur pemikiran antara berbagai kelompok akademisi yang mengkategorikan Indonesia masuk sebagai penganut aliran Monisme, Dualisme, bahkan keduanya. Aliran Monisme menangkap Indonesia menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat internasional, dan sangat bergantung pada berbagai keputusan dari organisasi – organisasi internasional untuk menjadi hukum yang berlaku secara lurus di Indonesia. Sedangkan aliran dualisme seolah – olah membebaskan Indonesia dari cengkeraman dunia luar untuk mengendalikan tatanan masyarakat Indonesia, dimana setiap peraturan yang dihasilkan lewat perjanjian internasional tidak serta merta dijadikan sebagai sumber hukum di Indonesia.

Pada akhirnya, opini masyarakat membawa pemikiran saya kepada alam dualisme, dimana hukum nasional sama sekali berbeda dengan hukum internasional. Hal ini disebabkan adanya pengaruh aliran realisme yang sangat cocok diterapkan pada negara berkembang. Kemandirian sebuah negara dalam mengelola sumber dayanya harus diutamakan ketimbang menerima mentah – mentah peraturan – peraturan internasional untuk diberlakukan dalam pengembangan sumber daya di negara tersebut. Sehingga berdasarkan pemikiran ini, sebuah perjanjian internasional yang ingin masuk menjadi bagian dari sebuah hukum negara, mengutip pernyataan Herry Purwanto, SH., M.Hum., haruslah melalui sebuah proses transformasi bentuk dari hukum internasional ke hukum nasional terlebih dahulu.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Untuk Menguji Undang – Undang Hasil Ratifikasi

Dalam meneliti kewenangan Mahkamah Kontitusi ini, saya mengambil kasus gugatan terhadap Undang – Undang Ratifikasi Piagam ASEAN. Secara substantif menurut Faajrul Faalakh, secara substantif ASEAN Charter yang disahkan dengan UU Nomor 38/2008 bukanlah wet in formele zjin, sehingga bukan merupakan UU yang dapat dimohonkan pengujian di MK. secara substantif suatu peraturan presiden yang mengesahkan perjanjian internasional juga bukanlah hal yang dapat diuji oleh Mahkamah Agung (MA). Prosedur internal di Indonesia, sebagaimana diatur UU No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi perjanjian internasional tidak memerlukan pengujian ke MK, dan apabila MK dan MA berwenang menguji perjanjian internasional, banyak ratifikasi konvensi atau perjanjian internasional berpotensi dibatalkan di forum pengadilan yang tidak tunggal.

Secara prosedur, setelah Undang – Undang No. 38 / 2008 tersebut diundangkan, Menteri Luar Negeri mengeluarkan sebuah dokumen formal yang disebut sebagai instrumen ratifikasi untuk disampaikan kepada Sekjen ASEAN. Dengan diterimanya instrumen ratifikasi ini maka sejak itulah Piagam ASEAN mulai berlaku terhadap Indonesia. Tanggal berlakunya UU No 38/2008 dengan tanggal berlakunya Piagam ASEAN berbeda. Hal ini sudah memperlihatkan bahwa kedua dokumen ini tidak pernah identik. Jika dua pasal pada UU No 38/2008 yang akan di-judicial review maka tidak akan ditemukan masalah konsitutionalitas. Namun jika Piagam ASEAN yang akan di-judicial review, pertanyaannya adalah dapatkah MK menguji perjanjian internasional sebagai produk hukum internasional?

Secara teoritis, persoalan ini berakar pada ketidakjelasan tentang aliran/doktrin yang dianut oleh hukum Indonesia tentang hubungan perjanjian internasional dan hukum nasional. Pada negara-negara maju, aliran ini telah dicerminkan dalam UUD yang secara tegas memuat kaidah tentang apa status perjanjian internasional dalam hukum nasionalnya.

Jika MK memutuskan bahwa Piagam ASEAN bertentangan dengan UUD 1945, maka dilema hukum akan muncul bagi Indonesia (sebagai Negara), yaitu menghormati UUD 1945 dengan cara melanggar hukum internasional, atau menghormati hukum internasional dengan cara melanggar UUD 1945.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat terhadap hukum nasional, namun dengan mempertimbangkan keikutsertaan Indonesia sebagai masyarakat internasional, dan betapa dalamnya Indonesia terlibat dalam saling ketergantungan antar negara, maka saya berpendapat maka Indonesia haruslah tunduk pada hukum internasional itu sendiri, dimana Indonesia tidak boleh menolak melaksanakan perjanjian yang disetujuinya dengan alasan bertentangan dengan hukum nasional. Dan menurut analisa saya, secara teoritis memang Mahkamah Konstitusi dapat menguji undang – undang hasil ratifikasi jika ditilik dari original intent perumusan pasal 11 UUD 1945 yang menggambarkan perjanjian internasional sebenarnya diserahkan tidak secara eksklusif pada cabang kekuasaan tertentu saja melainkan kepada eksekutif (presiden) dan legislatif (DPR) karena berkaitan dengan hak – hak warga negara yang harus dilindungi yang oleh karena itu perjanjian internasional yang diratifikasi haruslah dapat melindungi kedaulatan dan menjamin hak – hak warga negara, dan tugas pengawasannya diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, pada praktik sebagai masyarakat internasional, Mahkamah Konstitusi tidak bisa menguji undang – undang hasil ratifikasi dengan melihat bagaimana Indonesia menjadi bagian yang utuh dalam perkembangan masyarakat internasional itu sendiri dengan keanggotaannya secara penuh pada PBB, yang pada akhirnya menjadikan Indonesia harus tunduk pada hukum internasional.

1 komentar:

pria berkacamata mengatakan...

Selamat siang pak. Saya mahasiswa hukum internasional semester akhir. Saat ini saya sedang mencari refetensi untuk penulisan skripsi. Kira2 bapak ada saran utk judul skripsi saya? Saya tertarik pada hukum organisasi internasional pak