Senin, 01 April 2013

Negosiasi dan Mediasi, Menurut J.G.Merrills



NEGOSIASI, MEDIASI, DAN INQUIRY
(J. G. Merrills)
1.  NEGOSIASI
            Negosiasi adalah cara yang paling pertama dipilih untuk menyelesaikan sebuah sengketa internasional yang melibatkan subjek – subjek hukum internasional. Hal ini telah diatur di dalam Piagam PBB pasal 33 ay. 1 yang menuliskan cara penyelesaian sengketa yang paling pertama adalah negosiasi. Cara ini paling sering mendapatkan kesuksesan dalam menyelesaikan masalah, dan lebih lanjut, lewat negosiasi, negara mampu menghindari metode penyelesaian sengketa lain, sekalipun tingkat keberhasilannya diperkirakan sangat kecil. Lebih lanjut, meskipun negosiasi tidak berhasil untuk menyelesaikan sebuah masalah, proses yang telah terjadi dalam negosiasi sering sekali menentukan langkah – langkah yang lebih lanjut apabila kedua belah pihak tidak mendapatkan titik temu. Tonggak dasar metode penyelesaian sengketa yang berikutnya sering sekali telah ditentukan terlebih dahulu lewat sebuah negosiasi. Negosiasi juga bukan hanya sekedar bentuk penyelesaian sengketa semata, namun dalam pengertian yang lebih luas, juga merupakan cara pencegahan terjadinya sebuah sengketa internasional. Salah satu bentuk pengertian ini adalah Konsultasi.
Konsultasi
            Konsultasi merupakan salah satu bentuk negosiasi yang dilakukan ketika negara merencanakan ataupun mengambil tindakan yang dianggap berpotensi untuk melanggar kepentingan – kepentingan negara lain terlebih dahulu mengajak pihak negara lain tersebut untuk berdiskusi bersama – sama untuk mencari solusi agar terhindar dari potensi sengketa yang akan terjadi. Nilai paling berharga dari sebuah konsultasi adalah cara ini dapat menyediakan segala informasi – informasi berharga tentang kepentingan pihak lain, sebelum segala sesuatunya dilaksanakan, karena jauh lebih mudah untuk mengantisipasi hal – hal yang tidak diinginkan terjadi daripada menyelesaikan ataupun mengubah isi keputusan yang sudah terlanjur diambil. Pemakaian cara konsultasi biasanya dilakukan dengan cara saling mengirim notifikasi kepada negara lain ketika ada tindakan yang akan dilakukan dapat menimbulkan bahaya terganggunya kepentingan mereka. Contoh kasus adalah Lake Lanoux Case dan Land Reclamation Case. Pada kasus pertama, terjadi sengketa antara Perancis dan Spanyol, dimana Spanyol membawa ke pengadilan bahwa Perancis berada di bawah semacam kewajiban untuk mendapatkan persetujuan terlebih dahulu terhadap sebuah proyek yang dilaksanakan pihak Perancis di Pyrennes tentang pengelolaan air untuk skema hydroelektrik yang memiliki akibat dapat saja mengganggu kepentingan Spanyol. Pengadilan kemudian menolak argumen dari Spanyol, namun terkandung makna bahwa Perancis terlebih dahulu harus melakukan sebuah konsultasi kepada Spanyol terkait dengan masalah ini. Secara eksekutif, konsultasi jauh lebih mudah dilakukan daripada secara legislatif, karena dapat ,menyediakan jalan keluar yang lebih cepat.
            Konsultasi memang merupakan sebuah jalan keluar yang terbaik untuk mencegah terjadinya sengketa internasional, dan sebagai langkah awal yang dalam praktek semakin berkembang di dunia internasional. namun demikian, ketika konsultasi telah masuk pada ranah pemilihan wilayah kewajiban atau pelengkap saja, maka kita akan mendapatkan kesulitan dalam pengambilan keputusannya. Ingat, negara bukan hanyalah sebuah entitas, namun merupakan kumpulan dari sebuah grup yang berisi berbagai kepentingan nasional, sehingga sebuah konsultasi yang dilakukan tidak serta merta membawa kepentingan nasional seluruh negara. Ketika berhadapa dengan ranah legislatif, maka konsultasi pun akan menemui banyak kesulitan untuk mencapai titik temu.
            Salah satu bentuk pelaksanaan negosiasi juga adalah dengan mengadakan pertemuan awal dari berbagai negara untuk menegosiasikan beberapa kepentingan yang memiliki keterkaitan antar negara. Cara ini sangat positif, karena dapat menampung berbagai kepentingan terlebih dahulu, dan dapat menghasilkan berbagai tindakan – tindakan pencegahan di kemudian hari terhadap sebuah kemungkinan masalah yang akan terjadi. kekurangannya, cara ini dapat saja menghasilkan terlalu banyak keputusan, yang pada akhirnya sangat sulit untuk dilaksanakan satu per satu, negosiasi yang dilaksanakan pun dapat berlangsung sangat alot dan lambat, karena harus menampung aspirasi dari seluruh negara peserta pertemuan, meskipun urgensi akan keputusan tersebut bisa saja hanya melibatkan keputusan antar dua negara saja namun harus memperhatikan pendapat dari negara – negara lain yang tidak memiliki keterkaitan dalam kemungkinan perjanjian yang dibuat.
            Negosiasi tidak mungkin dapat dilakukan ketiak dua negara menolak untuk bertemua (AS dan Iran), ataupun ketika ada asas non-recognition yang diterapkan satu negara terhadap negara lain.Hal ini menegaskan bahwa negosiasi memiliki kelemahan yang sangat mendasar, yaitu kepentingan politik setiap negara di dunia tidak pernah sama, yang ada adalah penyesuaian – penyesuaian kebijakan yang telah diambil dari kebijakan politik di ssebuah negara.




2. MEDIASI
            Ketika proses negosiasi antara dua negara tidak menemukan jalan keluar, maka intervensi dari pihak ketiga dapat saja memberikan penyelesaian terhadap masalah yang dihadapi ataupun kemungkinan dihadapi oleh dua negara terkait sebuah keputusan.
            Di dalam bukunya, Merrills mengemukakan bahwa Mediasi berada di antara pengertian Good Offices dan Conciliation. Mediasi merupakan perwujudan dari Good Offices yang dilakukan dengan cara – cara Conciliation, tapi bukan merupakan suatu sistem yang tetap seperti pada Conciliation. Namun demikian, menurutnya pada kasus tertentu hal ini sangat sulit untuk dibedakan.
            Pada mediasi, negara – negara yang bersengketa dapat bersepakat untuk memasukkan pihak luar di dalam sengketanya untuk mencoba memberikan penyelesaian tanpa ada keterikatan untuk memenuhi kewajiban keputusan yang diberikan oleh pihak ketiga tersebut. Pihak ketiga berhak untuk memberikan berbagai solusi yang diperlukan untuk mendapatkan penyelesaian atas sengketa yang ada. Bahkan pihak ketiga yang dimaksudkan dapat saja tidak terdiri dari satu pihak saja, namun dapat memiliki jumlah yang banyak, ataupun dengan metode simultan. Ketika negosiasi menghasilkan deadlock, maka mediasi dapat menyediakan keuntungan – keuntungan untuk mengontrol kembali sengketa yang sedang berjalan, bahkan memberikan persyaratan – persyaratan baru untuk menyelesaikan sengketa yang sedang berlangsung. Secara politis, mediasi juga lebih menguntungkan daripada sekedar negosiasi secara langsung pada kasus tertentu.
            Contoh kasus antara Inggris dan Argentina pada tahun 1982 saat invasi Falkland Island 1982, Amerika Serikat menawarkan mediasi antara kedua belah pihak, kemudian diikuti oleh penawaran Good Offices oleh Sekretaris Jenderal PBB Javier Perez De Cuellar. Amerika memberikan pandangan bahwa perang antara sekutu NATO dan OAS, yang notabene memiliki beberapa anggota sekutu yang sama, dapat saja memberikan pilihan bahwa mereka tidak menginginkan adanya perpecahan, sehingga sengketa ini perlu mendapatkan pertimbangan yang lebih lanjut lagi untuk dikonfrontir. Sekretaris Jenderal PBB juga terlibat di dalam mediasi ini sebagai konsekuensi untuk mencegah diambilnya keputusan Dewan Keamanan, yang berusaha untuk mencegah adanya korban yang lebih banyak lagi.
            Mediasi juga dapat memberikan dampak positif bagi negara kecil maupun negara – negara berkembang untuk dapat menjalin hubungan kerjasama baik secara baru maupun yang lebih besar lagi dengan negara – negara maju di dunia. Seperti misalnya Algeria yang berusaha memberikan bantuan mediasi antara AS dan Iran. Algeria secara politis membuka kerjasama yang baru dalam membina hubungan dengan Amerika Serikat, dan lebih besar lagi, mereka menawarkan sebuah jalan keluar untuk mencegah adanya sengketa yang lebih besar lagi antara negara – negara muslim dengan negara superpower.
            Kelemahan terbesar dari proses mediasi adalah apabila negara – negara yang bersengketa tidak memiliki kehendak untuk mengikuti keputusan yang diberikan oleh mediator. Mediasi yang dilakukan memang tidak memiliki kewajiban keterikatan bagi negara – negara yang bersengketa untuk mengikuti kehendak ataupun keputusan jalan keluar yang diberikan oleh mediator, namun demikian, apabila sebuah pemerintahan menerima sebuah proses mediasi, maka mereka memiliki dasar – dasar yang kuat bahwa persoalan sengketa yang dihadapi diakui sebagai sebuah masalah internasional.
            Di dalam sebuah mediasi, pendapat – pendapat dari luar tidak terlalu memegang peranan yang penting, karena hal yang paling memegang peranan adalah sebuah indusemen atau bujukan, karena di dalam sebuah mediasi, para pihak harus menerima bahwa mediasi adalah lebih dari sekedar ide bagus semata, namun sebagai sebuah jalan keluar penyelesaian masalah. Dalam kasus antara Argentina dan Inggris, pihak Chille masuk sebagai pihak indusemen untuk membujuk Argentina lewat utusan Paus, Kardilnal Samore, agar dapat mengikuti proses mediasi lebih lanjut lagi.
            Di dalam proses negosiasi, netralitas dari pihak mediator sangat dijunjung tinggi dan sangat sering dipertanyakan oleh pihak – pihak yang bersengketa. Pada kasus antara Iran dan AS, kedudukan Algeria sebagai mediator sangat dipertanyakan oleh AS mengingat Algeria merupakan negara muslim yang sama dengan Iran yang juga adalah negara muslim, karena pada fungsinya, mediator adalah penyedia informasi – informasi penting antara kedua negara, yang harus membawa keseimbangan informasi yang sangat ketat terkait permasalahan yang dihadapi. Tidak boleh ada ruang informasi yang memberatkan ataupun meringankan salah satu pihak saja.
            Dalam mediasi, informasi – informasi yang disajikan oleh mediator tidak selalu memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, bahkan lebih lanjut justru dapat menimbulkan kecurigaan – kecurigaan tertentu oleh pihak – pihak yang bersengketa, apalagi ketika mediator di dalam mediasinya mengkritik kebijakan yang diambil oleh salah satu pihak, maka netralitas dari mediator pada saat itu juga dapat langsung dipertanyakan.
            Keterbatasan dari sebuah proses mediasi sudah sangat jelas, bahwa mediasi pada dasarnya hanyalah sebuah proses. Keputusan penyelesaian sengketa yang dimediasi kemudian dikembalikan kepada negara – negara yang bersengketa apakah akan mengikuti saran dan informasi – informasi serta jalan keluar yang diberikan lewat proses mediasi atau tidak. Meskipun mediasi dilakukan oleh mediator yang sangat handal dengan mengemukakan informasi akurat dan jalan keluar yang dipandang dunia sangat baik, keberhasilan sebuah mediasi sangat tergantung timing yang tepat pada saat para pihak yang bersengketa memiliki keinginan untuk menyelesaikan masalah atau tidak. Salah satu teknik mediasi yang paling sering dilakukan adalah dengan mempertimbangkan resiko eskalasi perkembangan sengketa apakah telah berlangsung secara lama dan menimbulkan kelelahan politik attau tidak.
            Mediasi sangat sering gagal pada kasus dimana salah satu negara harus menyerahkan kepentingannnya berada di bawah kepentingan negara lain. Negara – negara tertentu lebih mengajukan kepentingan – kepentingan politiknya dalam sebuah sengketa daripada aspek – aspek lain yang akan ditimbulkan akibat adanya sengketa, sedangkan jalan keluar dari sebuah mediasi sangat umum dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek politik, karena aspek politik merupakan aspek yang tidak memiliki netralitas dalam penyelesaian sengketa.

3. INQUIRY
            Model inquiry adalah salah satu penyelesaian sengketa ketika negosiasi mengalami jalan buntu dan tidak dimungkinkannnya ada mediator untuk menangani sebuah masalah. Inquiry pada dasarnya adalah sebuah model penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak lain di dalam sebuah sengketa, yang tidak memiliki interest atau tujuan pada sengketa yang sedang terjadi. pihak ketiga tersebut tidak sedang mengejar kepentingan lain pada sengketa yang sedang berjalan, dan benar – benar ditunjuk dan disepakati oleh kedua belah pihak yang sedang bersengketa untuk dapat memberikan penyelesaian. Pada akhirnya, inquiry memberikan dampak hukum yang lebih mengikat kepada kedua belah pihak yang bersengketa. Pada bukunya, Merrills membahas inquiry dari segi aspek organisasi internasional sebagai peluang arbitrase, karena pengadilan internasional akan dibahas di bab lain.
            Pada kasus Antara Amerika Serikat dan Spanyol 15 Februari 1898, adanya periwtiwa hancurnya Havana Harbour milik Amerika Serikat yang menelan korban 259 petugasnya, Amerika Serikat menuduh Spanyol sebagai representasi kekuaran Eropa untuk menghancurkan Amerika Serikat pada saat itu. Spanyol menolak untuk bertanggung jawab dalam insiden tersebut, karena Spanyol yang mengadakan komisi penyelidikan menemukan bahwa penyebab hancurnya pelabuhan tersebut disebabkan kerusakan internal. Amerika Serikat kemudian mengadakan sebuah komisi penyelidikan tandingan, yang dianggotai US Naval, dan menemukan fakta bahwa hancurnya pelabuhan tersebut diakibatkan adanya serangan laut oleh pihak lain, dan karena situasi peperangan pada saat itu adalah antara AS dan Spanyol, maka Spanyol merupakan tertuduh utama. Situasi ini kemudian memanas di dunia internasional, dan dibahas dalam Hague Peace Conference 1899, dimana tawaran Rusia untuk memberikan komisi penyelidikan pengganti terhadap komisi penyelidikan setiap negara yang bersengketa kemudian dipertimbangkan di dalam konferensi.
            Namun kemudian hal ini banyak ditentang oleh negara – negara lain, karena apabila pihak lain diundang untuk menempatkan komisi inquiry-nya di sebuah negara, maka akan ada asas – asas kedaulatan yang kemungkinan besar akan dilanggar oleh negara tersebut. Maka pembahasan yang berlanjut tentang batas – batas penyelidikan dilanjutkan dengan menentukan bahwa komisi penyelidikan haruslah merepresentasikan netralitas, dan tidak melibatkan tujuan – tujuan tertentu di dalam melaksanakan tugasnya.
            Pada kasus Dogger Bank, ketika kapal Rusia melaksanakan perjalanan dari Baltik ke Timur jauh, kapten kapan mengklaim di perjalanan dekat Dogger Bank mereka diserang oleh torpedo – torpedo Jepang, yang mengakibatkan adanya salah satu kapal tenggelam. Untuk mengatasi masalah ini, aktivitas diplomatik yang intens dari Perancis menghasilkan komisi Inquiry yang beranggotakan Perancis, Austro-Hungary, dan Amerika Serikat untuk menyelidiki sengketa ini.
            Konvensi Hague 1907 menghasilkan pedoman – pedoman baru bagi inquiry, bahwa inquiry dapat dijadikan dasar lebih lanjut apabila para pihak yang bersengketa menginginkan tindakan yang lebih lanjut ke pengadilan arbitrase. Kasus Turco-Italian 1911 mengemuka dengan adanya kecurigaan dari Italia terhadap keterlibatan Perancis. Berdasarkan konvensi Hague, maka komisi inquiry pun dibentuk antara Italia, Perancis, dan Inggris. Keputusan yang dihasilkan komisi kemudian disepakati oleh para pihak sebagai aspek hukum yang dapat diajukan apabila ingin membawa sengketa ini ke pengadilan arbitrase ataupun pengadilan yang lebih lanjut.
            Berdasarkan beberapa kasus di atas, dapat ditarik pendapat bahwa inquiry merupakan salah satu cara pengambilan kesimpulan terhadap sebuah masalah yang lebih komprehensif daripada kedua cara terdahulu, dimana melibatkan pihak lain yang tidak memiliki tujuan tertentu, ataupun keterkaitan apapun dengan mengambil berbagai sudut pandang dan kepentingan yang sama sekali berbeda dari pihak – pihak yang bersengketa. Tidak ada muatan apapun di dalam proses inquiry karena pihak ketiga hanya berfungsi sebagai penyelidik untuk menjamin keamanan dunia semata. Namun demikian, ketika bertemu dengan masalah kedaulatan terkait dengan diperlukan adanya campur tangan pihak lain terhadap kedaulatan negara tertentu untuk kepentingan inquiry, maka dapat diambil pendapat bahwa bentuk inquiry adalah subordinat daripada fungsinya. Hal yang lebih perlu ditekankan adalah fungsi penyelesaian masalah dari inquiry daripada sekedar bentuk penyelesaiannya, karena bentuk penyelesaian dengan metode inquiry dapat dilaksanakan dan didiskusikan dengan berbagai cara sesuai dengan kepentingan dari negara yang bersengketa.
            Inquiry merupakan proses yang sangat fleksibel dan baik, namun tidak serta merta digunakan sebagai metode yang sangat umum dan sering digunakan dalam dunia internasional. Hal ini disebabkan adanya berbagai perbedaan interpretasi dari berbagai pihak atas fakta – fakta yang ditemukan di lapangan. Setiap pihak tidak memiliki interpretasi yang sama atas setiap persoalan serta fakta yang ada, sehingga secara jelas dapat mungkin dilakukan dengan sekedar negosiasi semata ataupun harus mendapatkan penanganan yang lebih lanjut. pada kasus kesalahan penyerangan Amerika Serikat atas daerah Yugoslavia saat kampanye serangan udara NATO, perhatian akan masalah ini sangat erat di dunia internasional harus dibentuk komisi penyelidikan. Pada akhirnya, Amerika Serikat mengakui kesalahannya di dalam sebuah diskusi dan membayar kompensasi berdasarkan hasil negosiasi dengan pihak – pihak terkait.

1 komentar:

@turbanisrw mengatakan...

trimaksih sudah sangat membantu