Debat tentang liberalisasi dalam
perdagangan adalah sebuah bagian dari debat yang lebih besar lagi tentang dampak
pertumbuhan ekonomi akibat pergerakan barang, modal, bahkan sampai tenaga kerja
yang telah melintasi batas negara. Berbagai ahli setuju bahwa liberalisasi
perdagangan dapat memberi pengaruh yang positif bagi tata dunia yang lebih
baik, namun pertentangannya adalah pada level pengembangan liberalisasi seperti
apa negara berkembang dapat membuka pasarnya menjadi lebih bebas.[1] Dorongan
liberalisasi ini diakibatkan oleh globalisasi di segala bidang, di mana terjadi
peningkatan yang begitu besar dalam volume perdagangan internasional serta
pertumbuhan saling ketergantungan di bidang ekonomi antar negara.[2]
Globalisasi bukanlah sesuatu yang
baru dengan melihat semangat pencerahan Eropa di abad pertengahan yang
mendorong pencarian dunia baru bisa dikategorikan sebagai arus globalisasi. Revolusi
industri dan transportasi di abad XVIII juga merupakan pendorong tren
globalisasi, namun yang membedakannya dengan arus globalisasi pada saat ini
adalah kecepatan dan luas jangkauannya. Dengan kecepatan dan luas jangkauan
yang semakin besar, maka konsep globalisasi sering dihubungkan dengan kemampuan
dari negara berkembang unuk menyesuaikan diri dengan tantangan ini.
Joseph E. Stiglitz, pemenang Nobel
Ekonomi tahun 2002 mengelaborasikan secara sederhana bahwa globalisasi adalah “The closer integration of countries and
peoples of the world which has been brought about by enormous reduction of
costs of transportation and communication, and the breaking down of artificial
barriers to the flow of goods, services, capital, knowledge, and( to lesser
extent) people across the world.”[3]
Dengan pengertian ini, maka setidaknya ada empat kritik terhadap globalisasi
yang dapat diberikan yaitu :[4]
1.
tidak
semua negara mendapatkan keuntungan dari globalisasi;
2.
negara
berkembang sering dirugikan;
3.
gejolak
peredaran modal yang besar mengakibatkan perekonomian yang sedang berkembang
menjadi tidak stabil;
4.
pihak
yang kalah diciptakan sama besar dengan pihak yang menang.
Kritik
ini dapat kita pertentangkan dengan pendapat Stiglitz selanjutnya bahwa
globalisasi sendiri sebenarnya tidak begitu baik atau buruk, karena memiliki
kekuatan untuk melakukan kebaikan yang besar, dan bagi negara – negara di Asia
Timur yang telah menerima globalisasi dengan persyaratan dan kecepatan mereka
sendiri telah mendapatkan manfaat dari globalisasi yang besar, walaupun
menghadapi kemunduran akibat krisis terlebih dahulu.[5]
Beliau juga berpendapat bahwa “Globalization—the
closer integration of the countries of the world—has resulted in the need for more
collective action, for people and countries to act together to solve their
common problems.”[6]
Pendapat lain yang
layak untuk kita perhatikan adalah bagaimana Thomas L. Friedman melihat
globalisasi dengan menyebutkan bahwa “the
inexorable integration of markets, nation-states and technologies to a degree
never witnessed before - in a way that is enabling individuals, corporations,
and nation-states to reach around the world farther, faster, deeper and cheaper
than ever before…”[7]
Integrasi
pasar yang diakibatkan globalisasi seperti yang dijelaskan Friedman ini tidak
dapat ditolak namun dapat menciptakan tata dunia baru yang lebih baik lagi,
termasuk dinamika tata hukum dunia. Memahami dinamika globalisasi dengan segala
dimensinya, maka globalisasi hukum juga tidak dapat dihindari.
Globalisasi hukum yang positif
sesuai pandangan Stiglitz dan Friedman dalam pandangan penulis seharusnya
menghadirkan global society, yang
bukan dipandang sebagai sebuah global
state, namun merupakan konsep masyarakat yang terbebas dari ikatan – ikatan
hukum nasional. Global society dalam
lingkup perdagangan akan menghadirkan situasi global economy yang bekerja melampaui batas – batas negara yang
selama ini dirasakan sebagai hambatan, dengan berbagai metode pendekatan
administratifnya.[8]
Kerangka berpikir ini membawa pada kemunculan liberalisasi perdagangan
internasional sebagai isu yang mulai melampaui penelitian tentang globalisasi
itu sendiri.
Liberalisasi perdagangan secara
sederhana dapat dilihat sebagai proses yang mencoba untuk menambah nilai –
nilai dari perdagangan bebas dengan menyingkirkan hambatan – hambatan dalam
perdagangan (trade barriers) dan
menjadikan pergerakan barang dan jasa lebih bebas dalam melintasi perbatasan.[9]
Perdagangan bebas itu sendiri dapat diartikan sebagai sebuah sistem perdagangan
dimana produk, modal, bahkan sampai kepada tenaga kerja dapat bergerak secara
bebas melintasi batas tanpa adanya hambatan yang dapat menahan aliran dan
pergerakannya.[10]
Ide pokok dari perdagangan bebas adalah untuk menyediakan harga yang lebih
murah untuk berbagai barang dan jasa dengan memperketat kompetisinya.
Perusahaan yang memproduksi barang dan menawarkan jasa secara domestik tidak
dapat menggantungkan diri pada bantuan pemerintah seperti kebijakan kuota yang
memaksa penduduknya untuk membeli kebutuhannya dari produsen domestik. Keistimewaan
harga yang ditawarkan oleh perdagangan bebas dengan kompetisi sebagai bingkai
pelaksanaannya menimbulkan resiko sengketa yang tidak dapat dihindari, dan
cenderung menjadi penghambat stabilitas perdagangan itu sendiri yang mana
merupakan tujuan utama dari liberalisasi perdagangan dengan sistem perdagangan
bebas.
WTO dengan bingkai aturannya yang tersebar dalam berbagai WTO Agreements memang telah mencoba
mengatasi hal tersebut di atas, namun pada akhirnya argumen ini memerlukan
adanya pembuatan aturan secara desentralisasi dan, sesuai dampaknya, adanya
kompetisi regulasi lewat mekanisme harmonisasi.[11]
Namun yang menjadi perhatian adalah bukan kompetisi regulasi tersebut secara
konsisten menghasilkan hukum yang lebih superior, namun menghasilkan hukum yang
lebih relevan dan dimengerti secara domestik, dan inovasi serta adaptasi
terhadapnya akan dilakukan secara menyeluruh baik lewat proses sosio-ekonomi
maupun politik.[12]
Ketika tuntutan akan sebuah bingkai
aturan perdagangan bebas ini semakin banyak dibicarakan, Paul Schiff Berman
mengungkapkan bahwa “we need to realize
that normative conflict among multiple, overlapping legal systems is unavoidable
and might even sometimes be desirable, both as a source of alternative ideas
and as a site for discourse among multiple community affiliations.”[13]
Persoalan tentang hal ini bukan hanya sekedar pertempuran hukum domestik
yang diperhadapkan dengan globalisasi hukum sebagai akibat dari perdagangan
bebas, namun juga sekaligus dengan hukum global tentang bagaimana sistem hukum
global ini bekerja dan eksis untuk hidup berdampingan dengan hukum nasional.
Tekanan dari pergerakan sosial dan negara – negara
industri[14]
akan hal tersebut di atas sebagai bentuk aksi yang sama dengan negara
berkembang dalam negosiasi – negosiasi dalam WTO yang merupakan bingkai
peraturan hukum global tentang perdagangan dunia dalam menyikapi liberalisasi
perdagangan, pada akhirnya membawa dampak terhadap pemikiran dari negara –
negara yang kaya dan maju serta organisasi internasional yang lain yang
berkaitan dengan isu – isu perdagangan.[15]
Pemikiran tersebut adalah keperluan akan sebuah sistem yang lebih formal
tentang standardisasi yang lebih komprehensif dalam mencapai tujuan – tujuan
mereka.
[1] Vlad Spanu,
2003, Liberalization of The International
Trade And Economic Growth : Implications For Both Developed And Developing
Countries, Paper for the “One Way or Many” course by Prof. Dani Rodrik and
Prof.Roberto Unger (Professors of Harvard University), John F. Kennedy School
of Government, Harvard University, Cambridge, hlm.20, lihat di
http://www.cid.harvard.edu/cidtrade/Papers/Spanu.pdf, diakses pada 13 Februari
2013.
[2] Sigit
Riyanto, 2012, Introductory Lecture on
International Economic Law, materi yang disampaikan pada kuliah perdana
Hukum Ekonomi Internasional Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada Februari 2012.
[3] Joseph E.
Stiglitz, 2006, Making Globalization Work,
New York : W.W.Northon&Company Inc., hlm. 20, dengan mengutip pendapatnya
sendiri dalam Joseph E. Stiglitz, 2002, Globalization
and Its Discontents, London : Allen Lane. Stiglitz mengemukakan bahwa
globalisasi adalah bentuk integrasi yang semakin dekat antara negara – negara
dan penduduk di seluruh dunia sebagai dampak dari berkurangnya biaya
transportasi dan komunikasi secara besar – besaran, dan runtuhnya penghalang –
penghalang yang dibuat untuk membatasi arus barang, jasa, modal, pengetahuan,
dan manusia (dalam pengertian yang sempit) di seluruh dunia.
[4] Saul Eslake,
Globalization : Keeping The Gains, Presentationto
a series of workshopsarranged by Australian Department of Foreign Affairs And
Trade, Trade Advocacy And Outreach Section, ANZ Bank, lihat di
http://www.dfat.gov.au/publications/globalisation_gains/tao_globalization_workshops.pdf,
diakses pada 13 Februari 2013.
[5] Joseph E.
Stiglitz, 2002, op.cit, diterjemahkan
oleh Ahmad Lukman, 2002, Globalisasi dan
Kegagalan Lembaga – Lembaga Keuangan Internasional, Jakarta : Ina
Publikatama, hlm. 27
[6] Joseph E.
Stiglitz, 2006, op.cit., hlm. 21.
Stiglitz menjelaskan bahwa globalisasi yang merupakan bentuk semakin dekatnya
integrasi antara negara – negara di dunia telah menghasilkan kebutuhan yang
lebih besar lagi terhadap tindakan yang bersifat kolektif, bagi masyarakat
dunia maupun negara – negara untuk bertindak menyelesaikan masalah bersama -
sama.
[7] Thomas L.
Friedman, 2000, The Lexus and the
Olive Tree, sebagaimana dikutip oleh Padraic Rohan, 2002, Review of The Lexus
and the Olive Tree by Thomas L. Friedman, Media Monitors, lihat di
http://www.mediamonitors.net/padraicrohan1.html, diakses pada 13 Februari 2013.
[8] Kerangka
administratif dari global economy memiliki
banyak konsep, baik kelembagaan, penyelesaian sengketa, maupun institusi
pelengkapnya seperti institusi standardisasi, secara internasional maupun
regional. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, pendekatan administratif yang
dimaksud penulis adalah dalam kerangka WTO dengan institusi standardisasi
sebagai pelengkap.
[9] Nassima
Debab dan Saeed J. Radhi, 2011, Effects
of Trade Liberalization on Domestic Consumer Prices A Case Study of Gulf
Cooperation Council, European Journal of Economics, Finance and
Administrative Sciences Issue 37, hlm. 142, lihat di
http://www.eurojournals.com/EJEFAS_37_13.pdf, diakses pada 13 Februari 2013.
[11] Katharina
Pistor, 2000, The Standardization of Law
and Its Effect on Developing Economies, G24 Discussion Paper Series,
Research Papers for the Intergovernmental Group of Twenty-Four of International
Monetary Affairs, United Nations Center for Trade and Development and Center
For International Development Harvard University, UNCTAD/GDS/MDPB/G24/4,
New York and Geneva : United Nations Publications, lihat di
http://dspace.cigilibrary.org/jspui/bitstream/123456789/21529/1/The%20Standardization%20of%20Law%20and%20Its%20Effect%20on%20Developing%20Economies.pdf?1,
diakses pada 13 Februari 2013.
[13] Paul Schiff
Berman, 2007, Global Legal Pluralism,
University of Connecticut School of Law Articles
and Working Papers Paper 71, hlm. 1155, lihat di http://lsr.nellco.org/cgi/viewcontent.cgi?Article=1070&context=uconn_wps,
diakses pada 13 Februari 2013. Berman berpendapat bahwa konflik normatif dan
sistem hukum yang tumpang tindih tidak dapat dihindari, dan bahkan kadang –
kadang diperlukan, baik untuk mendapatkan alternatif ide maupun sebagai rujukan wacana ilmiah di
antara komunitas yang bergabung bersama – sama.
[14] perlu
dicatat dalam hal ini adalah negara industri tidak semuanya berasal dari negara
maju, namun juga beberapa negara berkembang dapat dikategorikan sebagai negara
industri dalam hal ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar