Selasa, 17 September 2013

Globalisasi Ekonomi, Kemunculan Liberalisasi Perdagangan Internasional



            Debat tentang liberalisasi dalam perdagangan adalah sebuah bagian dari debat yang lebih besar lagi tentang dampak pertumbuhan ekonomi akibat pergerakan barang, modal, bahkan sampai tenaga kerja yang telah melintasi batas negara. Berbagai ahli setuju bahwa liberalisasi perdagangan dapat memberi pengaruh yang positif bagi tata dunia yang lebih baik, namun pertentangannya adalah pada level pengembangan liberalisasi seperti apa negara berkembang dapat membuka pasarnya menjadi lebih bebas.[1] Dorongan liberalisasi ini diakibatkan oleh globalisasi di segala bidang, di mana terjadi peningkatan yang begitu besar dalam volume perdagangan internasional serta pertumbuhan saling ketergantungan di bidang ekonomi antar negara.[2]
            Globalisasi bukanlah sesuatu yang baru dengan melihat semangat pencerahan Eropa di abad pertengahan yang mendorong pencarian dunia baru bisa dikategorikan sebagai arus globalisasi. Revolusi industri dan transportasi di abad XVIII juga merupakan pendorong tren globalisasi, namun yang membedakannya dengan arus globalisasi pada saat ini adalah kecepatan dan luas jangkauannya. Dengan kecepatan dan luas jangkauan yang semakin besar, maka konsep globalisasi sering dihubungkan dengan kemampuan dari negara berkembang unuk menyesuaikan diri dengan tantangan ini.
            Joseph E. Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi tahun 2002 mengelaborasikan secara sederhana bahwa globalisasi adalah “The closer integration of countries and peoples of the world which has been brought about by enormous reduction of costs of transportation and communication, and the breaking down of artificial barriers to the flow of goods, services, capital, knowledge, and( to lesser extent) people across the world.”[3] Dengan pengertian ini, maka setidaknya ada empat kritik terhadap globalisasi yang dapat diberikan yaitu :[4]
1.      tidak semua negara mendapatkan keuntungan dari globalisasi;
2.      negara berkembang sering dirugikan;
3.      gejolak peredaran modal yang besar mengakibatkan perekonomian yang sedang berkembang menjadi tidak stabil;
4.      pihak yang kalah diciptakan sama besar dengan pihak yang menang.
Kritik ini dapat kita pertentangkan dengan pendapat Stiglitz selanjutnya bahwa globalisasi sendiri sebenarnya tidak begitu baik atau buruk, karena memiliki kekuatan untuk melakukan kebaikan yang besar, dan bagi negara – negara di Asia Timur yang telah menerima globalisasi dengan persyaratan dan kecepatan mereka sendiri telah mendapatkan manfaat dari globalisasi yang besar, walaupun menghadapi kemunduran akibat krisis terlebih dahulu.[5] Beliau juga berpendapat bahwa “Globalization—the closer integration of the countries of the world—has resulted in the need for more collective action, for people and countries to act together to solve their common problems.”[6]
            Pendapat lain  yang layak untuk kita perhatikan adalah bagaimana Thomas L. Friedman melihat globalisasi dengan menyebutkan  bahwa “the inexorable integration of markets, nation-states and technologies to a degree never witnessed before - in a way that is enabling individuals, corporations, and nation-states to reach around the world farther, faster, deeper and cheaper than ever before…”[7]
Integrasi pasar yang diakibatkan globalisasi seperti yang dijelaskan Friedman ini tidak dapat ditolak namun dapat menciptakan tata dunia baru yang lebih baik lagi, termasuk dinamika tata hukum dunia. Memahami dinamika globalisasi dengan segala dimensinya, maka globalisasi hukum juga tidak dapat dihindari.
            Globalisasi hukum yang positif sesuai pandangan Stiglitz dan Friedman dalam pandangan penulis seharusnya menghadirkan global society, yang bukan dipandang sebagai sebuah global state, namun merupakan konsep masyarakat yang terbebas dari ikatan – ikatan hukum nasional. Global society dalam lingkup perdagangan akan menghadirkan situasi global economy yang bekerja melampaui batas – batas negara yang selama ini dirasakan sebagai hambatan, dengan berbagai metode pendekatan administratifnya.[8] Kerangka berpikir ini membawa pada kemunculan liberalisasi perdagangan internasional sebagai isu yang mulai melampaui penelitian tentang globalisasi itu sendiri.
            Liberalisasi perdagangan secara sederhana dapat dilihat sebagai proses yang mencoba untuk menambah nilai – nilai dari perdagangan bebas dengan menyingkirkan hambatan – hambatan dalam perdagangan (trade barriers) dan menjadikan pergerakan barang dan jasa lebih bebas dalam melintasi perbatasan.[9] Perdagangan bebas itu sendiri dapat diartikan sebagai sebuah sistem perdagangan dimana produk, modal, bahkan sampai kepada tenaga kerja dapat bergerak secara bebas melintasi batas tanpa adanya hambatan yang dapat menahan aliran dan pergerakannya.[10] Ide pokok dari perdagangan bebas adalah untuk menyediakan harga yang lebih murah untuk berbagai barang dan jasa dengan memperketat kompetisinya. Perusahaan yang memproduksi barang dan menawarkan jasa secara domestik tidak dapat menggantungkan diri pada bantuan pemerintah seperti kebijakan kuota yang memaksa penduduknya untuk membeli kebutuhannya dari produsen domestik. Keistimewaan harga yang ditawarkan oleh perdagangan bebas dengan kompetisi sebagai bingkai pelaksanaannya menimbulkan resiko sengketa yang tidak dapat dihindari, dan cenderung menjadi penghambat stabilitas perdagangan itu sendiri yang mana merupakan tujuan utama dari liberalisasi perdagangan dengan sistem perdagangan bebas.
            WTO dengan bingkai aturannya yang tersebar dalam berbagai WTO Agreements memang telah mencoba mengatasi hal tersebut di atas, namun pada akhirnya argumen ini memerlukan adanya pembuatan aturan secara desentralisasi dan, sesuai dampaknya, adanya kompetisi regulasi lewat mekanisme harmonisasi.[11] Namun yang menjadi perhatian adalah bukan kompetisi regulasi tersebut secara konsisten menghasilkan hukum yang lebih superior, namun menghasilkan hukum yang lebih relevan dan dimengerti secara domestik, dan inovasi serta adaptasi terhadapnya akan dilakukan secara menyeluruh baik lewat proses sosio-ekonomi maupun politik.[12]
            Ketika tuntutan akan sebuah bingkai aturan perdagangan bebas ini semakin banyak dibicarakan, Paul Schiff Berman mengungkapkan bahwa “we need to realize that normative conflict among multiple, overlapping legal systems is unavoidable and might even sometimes be desirable, both as a source of alternative ideas and as a site for discourse among multiple community affiliations.”[13] Persoalan tentang hal ini bukan hanya sekedar pertempuran hukum domestik yang diperhadapkan dengan globalisasi hukum sebagai akibat dari perdagangan bebas, namun juga sekaligus dengan hukum global tentang bagaimana sistem hukum global ini bekerja dan eksis untuk hidup berdampingan dengan hukum nasional.
            Tekanan dari pergerakan sosial dan negara – negara industri[14] akan hal tersebut di atas sebagai bentuk aksi yang sama dengan negara berkembang dalam negosiasi – negosiasi dalam WTO yang merupakan bingkai peraturan hukum global tentang perdagangan dunia dalam menyikapi liberalisasi perdagangan, pada akhirnya membawa dampak terhadap pemikiran dari negara – negara yang kaya dan maju serta organisasi internasional yang lain yang berkaitan dengan isu – isu perdagangan.[15] Pemikiran tersebut adalah keperluan akan sebuah sistem yang lebih formal tentang standardisasi yang lebih komprehensif dalam mencapai tujuan – tujuan mereka.


[1] Vlad Spanu, 2003, Liberalization of The International Trade And Economic Growth : Implications For Both Developed And Developing Countries, Paper for the “One Way or Many” course by Prof. Dani Rodrik and Prof.Roberto Unger (Professors of Harvard University), John F. Kennedy School of Government, Harvard University, Cambridge, hlm.20, lihat di http://www.cid.harvard.edu/cidtrade/Papers/Spanu.pdf, diakses pada 13 Februari 2013.
[2] Sigit Riyanto, 2012, Introductory Lecture on International Economic Law, materi yang disampaikan pada kuliah perdana Hukum Ekonomi Internasional Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Februari 2012.
[3] Joseph E. Stiglitz, 2006, Making Globalization Work, New York : W.W.Northon&Company Inc., hlm. 20, dengan mengutip pendapatnya sendiri dalam Joseph E. Stiglitz, 2002, Globalization and Its Discontents, London : Allen Lane. Stiglitz mengemukakan bahwa globalisasi adalah bentuk integrasi yang semakin dekat antara negara – negara dan penduduk di seluruh dunia sebagai dampak dari berkurangnya biaya transportasi dan komunikasi secara besar – besaran, dan runtuhnya penghalang – penghalang yang dibuat untuk membatasi arus barang, jasa, modal, pengetahuan, dan manusia (dalam pengertian yang sempit) di seluruh dunia.
[4] Saul Eslake, Globalization : Keeping The Gains, Presentationto a series of workshopsarranged by Australian Department of Foreign Affairs And Trade, Trade Advocacy And Outreach Section, ANZ Bank, lihat di http://www.dfat.gov.au/publications/globalisation_gains/tao_globalization_workshops.pdf, diakses pada 13 Februari 2013.
[5] Joseph E. Stiglitz, 2002, op.cit, diterjemahkan oleh Ahmad Lukman, 2002, Globalisasi dan Kegagalan Lembaga – Lembaga Keuangan Internasional, Jakarta : Ina Publikatama, hlm. 27
[6] Joseph E. Stiglitz, 2006, op.cit., hlm. 21. Stiglitz menjelaskan bahwa globalisasi yang merupakan bentuk semakin dekatnya integrasi antara negara – negara di dunia telah menghasilkan kebutuhan yang lebih besar lagi terhadap tindakan yang bersifat kolektif, bagi masyarakat dunia maupun negara – negara untuk bertindak menyelesaikan masalah bersama - sama.
[7] Thomas L. Friedman, 2000, The Lexus and the Olive Tree, sebagaimana dikutip oleh Padraic Rohan, 2002, Review of The Lexus and the Olive Tree by Thomas L. Friedman, Media Monitors, lihat di http://www.mediamonitors.net/padraicrohan1.html, diakses pada 13 Februari 2013.
[8] Kerangka administratif dari global economy memiliki banyak konsep, baik kelembagaan, penyelesaian sengketa, maupun institusi pelengkapnya seperti institusi standardisasi, secara internasional maupun regional. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, pendekatan administratif yang dimaksud penulis adalah dalam kerangka WTO dengan institusi standardisasi sebagai pelengkap.
[9] Nassima Debab dan Saeed J. Radhi, 2011, Effects of Trade Liberalization on Domestic Consumer Prices A Case Study of Gulf Cooperation Council, European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences Issue 37, hlm. 142, lihat di http://www.eurojournals.com/EJEFAS_37_13.pdf, diakses pada 13 Februari 2013.
[10] ibid.
[11] Katharina Pistor, 2000, The Standardization of Law and Its Effect on Developing Economies, G24 Discussion Paper Series, Research Papers for the Intergovernmental Group of Twenty-Four of International Monetary Affairs, United Nations Center for Trade and Development and Center For International Development Harvard University, UNCTAD/GDS/MDPB/G24/4, New York and Geneva : United Nations Publications, lihat di http://dspace.cigilibrary.org/jspui/bitstream/123456789/21529/1/The%20Standardization%20of%20Law%20and%20Its%20Effect%20on%20Developing%20Economies.pdf?1, diakses pada 13 Februari 2013.
[12] ibid.
[13] Paul Schiff Berman, 2007, Global Legal Pluralism, University of Connecticut School of Law Articles and Working Papers Paper 71, hlm. 1155, lihat di http://lsr.nellco.org/cgi/viewcontent.cgi?Article=1070&context=uconn_wps, diakses pada 13 Februari 2013. Berman berpendapat bahwa konflik normatif dan sistem hukum yang tumpang tindih tidak dapat dihindari, dan bahkan kadang – kadang diperlukan, baik untuk mendapatkan alternatif ide  maupun sebagai rujukan wacana ilmiah di antara komunitas yang bergabung bersama – sama.
[14] perlu dicatat dalam hal ini adalah negara industri tidak semuanya berasal dari negara maju, namun juga beberapa negara berkembang dapat dikategorikan sebagai negara industri dalam hal ini.
[15] Vlad Spanu, loc.cit., hlm. 20.

Tidak ada komentar: