Penyelesaian Sengketa Di Dalam WTO
WTO Agreements
mengatur begitu banyak regulasi yang berkaitan dengan perdagangan internasional
di bidang barang, jasa, dan aspek – aspek kekayaan intelektual. Mengingat
pentingnya dampak dari aturan – aturan tersebut baik dalam bidang ekonomi
maupun bidang lainnya, maka tidak mengejutkan apabila anggota WTO tidak selalu
setuju dengan interpretasi aplikasi dari beragam aturan ini. Sengketa dapat
muncul ketika suatu negara menetapkan suatu kebijakan perdagangan tertentu yang
bertentangan dengan komitmennya di WTO atau mengambil kebijakan yang kemudian
merugikan kepentingan negara lain.[1]
Selain negara yang paling dirugikan atas kebijakan tersebut, negara ketiga yang
tertarik pada kasus tersebut dapat mengemukakan keinginannya untuk menjadi
pihak ketiga dan mendapat hak – hak tertentu selama berlangsungnya proses
penyelesaian sengketa.[2]
Penyelesaian sengketa WTO sendiri diatur dalam Understanding on Rules and Procedures
Governing the Settlement of Disputes atau lebih dikenal dengan nama Dispute Settlement Understanding (DSU). Pengaturan tentang DSU ini dipercayakan
kepada sebuah badan yang disebut Dispute
Settlement Body (DSB),[3]
dimana perwakilan dari seluruh anggota WTO berpartisipasi.[4]
Sistem dari DSU lewat DSB ini sangat bersifat desentralisasi, tidak dapat
dilakukan secara ex-officio atau
diluar keanggotaan, karena tidak adanya otoritas yang diberikan kepada entitas
supra-nasional untuk mengajukan komplain kepada anggota WTO, sehingga sengketa
hanya diajukan berdasarkan inisiatif anggota WTO saja.[5]
Objek dan tujuan utama dari penyelesaian sengketa dalam
WTO adalah untuk menyelesaikan sengketa antar anggota WTO yang terkait dengan
hak dan kewajiban dalam WTO Law.
Penyelesaian sengketa ini dilaksanakan dengan beberapa cara yang diatur dalam
DSU, yaitu konsultasi atau negosiasi,[6]
pemeriksaan oleh Panel dan Appelate Body,[7]
arbitrase,[8]
dan good offices, conciliation, dan
mediation,[9]
dengan yurisdiksi yang bersifat integrated,[10]
compulsory,[11]
dan contentious.[12]
Penyelesaian sengketa dalam WTO memiliki empat proses
utama, yaitu Consultations, Panel
Proceedings, Appellate Review Proceedings; dan Implementation and Enforcement. [13] DSU
telah memberikan keterangan yang jelas dan lengkap mengenai konsultasi di dalam
Article 3.7 DSU. Tiga proses utama
selanjutnya dijalankan oleh DSB berdasarkan Article
2.1 DSU.[14]
1. Panel Proceedings
Panel WTO bukan
sebuah badan tetap, namun hanya berupa badan ad hoc yang dibentuk untuk memutuskan sengketa tertentu dan
dibubarkan setelah selesai melaksanakan tugasnya. Ketika sebuah proses
konsultasi mengalami kegagalan, negara yang mengajukan gugatan dapat meminta
dibentuknya suatu Panel.[15]
Inisiatif untuk mengajukan anggota Panel
sangat tergantung pada Sekretariat WTO dan anggota WTO tidak dapat memaksakan
penolakannya.[16]
Panel memiliki komposisi tiga orang
yang diatur dalam Article 8.5 DSU,
dengan mendapatkan persetujuan para pihak yang bersengketa selama sepuluh hari
setelah Panel dibentuk, namun
prosedur ini belum pernah terjadi sampai saat ini,[17] dengan
keanggotaannya sesuai Article 8.1 DSU harus
berasal dari individu pemerintah atau non – pemerintah yang sangat berkualitas,[18] dengan
sifat keanggotaan yang tidak permanen.
Secara resmi, tugas Panel
adalah membantu DSB membuat keputusan atau rekomendasi. Namun karena laporan Panel hanya dapat ditolak melalui
konsensus dalam DSB, maka hasil putusannya sangat sulit untuk digugurkan.[19]
Segala temuan Panel didasarkan atas
kutipan – kutipan peraturan yang terdapat dalam berbagai WTO Agreements, dengan menerima gugatan yang diajukan oleh pihak complainant serta mendengarkan pembelaan
dari respondent sambil melihat dan
memperhatikan keterlibatan third parties.
Laporan akhir Panel
biasanya diberikan kepada pihak – pihak yang bersengketa dalam waktu enam
bulan. Pada prinsipnya, proses Panel
tidak boleh lewat dari sembilan bulan, namun pada prakteknya sering mencapai
dua belas bulan. Laporan akhir atau disebut dengan Panel Report berisi hal – hal sebagai berikut:[20]
a.
aspek prosedural
dari sengketa;
b.
aspek faktual dari
sengketa;
c.
klaim dari para pihak
(complainant, respondent, dan third
parties);
d.
rangkuman argumen
dari para pihak;
e.
tinjauan sementara;
f.
temuan Panel; dan
g.
kesimpulan Panel.
2. Appellate Review Proceedings
Article 17.1 DSU memberikan
pengaturan tentang pembentukan Appellate
Body untuk mendengar appeal atau
bantahan terhadap Panel Report. DSB
membentuk Appellate Body sejak
Februari 1995.[21]
Tidak seperti Panel, Appellate Body adalah international tribunal yang bersifat
permanen yang beranggotakan tujuh orang sesuai dengan Article 17.3 DSU.[22]
Sampai saat ini anggota Appellate Body
WTO adalah Mr. Ujal Singh Bhatia (India, ditunjuk pada tahun 2011); Professor
Peter van den Bossche (Belanda, ditunjuk pada tahun 2009); Professor Seung Wha
Chang (Korea, ditunjuk pada tahun 2012); Mr. Thomas R. Graham (AS, ditunjuk
pada tahun 2011); Mr. Ricardo Ramirez – Hernandez (Meksiko, ditunjuk pada tahun
2009); Professor David Unterhalter (Afrika Selatan, ditunjuk pada tahun 2006);
dan Professor Yuejiao Zhang (Cina, ditunjuk pada tahun 2006).[23]
Mandat dari Appellate
Body diatur dalam Article 17.13 DSU
yang menyatakan bahwa :
“The Appellate Body
may uphold, modify or reverse the legal findings and conclusions of the Panel.”
Kata Uphold mengandung makna bahwa Appellate
Body setuju baik dengan kesimpulan maupun reasoning yang dipakai Panel
untuk mengambil keputusan tersebut. Kata modify
mengandung makna bahwa Appellate Body
setuju dengan kesimpulan yang diberikan oleh Panel namun tidak setuju dengan reasoning
yang dipakainya. Kata reverse mengandung
makna bahwa Appellate Body tidak
setuju dengan kesimpulan yang diberikan oleh Panel.
Biasanya proses banding atau appeal ini membutuhkan waktu tidak lebih dari 60 hari, dan batas
maksimumnya 90 hari.[24]
DSB harus menerima atau menolak laporan banding tersebut dalam jangka waktu
tidak lebih dari 30 hari dimana penolakan hanya dimungkinkan melalui konsensus.
Penyelesaian sengketa dalam kerangka WTO lewat GATT
dianggap tidak efektif,[25]
yang disebabkan karena prosesnya yang bersifat diplomatik dan “power based”.[26] Lebih
lanjut, aturan GATT sendiri membuka kemungkinan bagi pihak – pihak yang kalah
dalam sengketa untuk menolak melaksanakan kewajiban hasil keputusan dari
sengketa tersebut tanpa adanya konsekuensi,[27]
sehingga pada akhirnya WTO menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa yang
lebih rule based system serta legalized.[28]
Namun demikian, perlu dikaji kembali sebaik apa penyelesaian sengketa WTO ini
memberikan peran yang penting terhadap negara berkembang.[29]
[1] Peter van
den Bossche, 2005, The
Law and Policy of the World Trade Organization, New York : Cambridge
University , hlm. 173
[3] Lihat Article IV:3 WTO Agreement yang
menyatakan : “The General Council shall
convene as appropriate to discharge the responsibilities of the Dispute
Settlement Body provided for in the Dispute Settlement Understanding. The
Dispute Settlement Body may have its own chairman and shall establish such
rules of procedure as it deems necessary for the fulfilment of those
responsibilities.”
[4] DSB
merupakan alter ego dari General Council WTO yang merupakan
perwakilan seluruh anggota WTO. Lihat dalam Peter van Den Bossche, op.cit., hlm. 126 dan 229.
[5] Petros
Mavroidis et.al., 2010, The Law of The
World Trade Organization (WTO) Documents, Cases & Analysis, US : West
Thomson Reuters, hlm. 880
[6] Lihat Article 3.7 Dispute Settlement Understanding
yang menyatakan : “the aim of dispute
settlement mechanism is to secure a positive solution to a dispute. A solution
mutually acceptable to the parties to a dispute and consistent with the covered
agreements is clearly to be preferred.” Pengaturan tentang mekanisme dan
prosedur konsultasi di WTO diatur dalam Article
4 Dispute Settlement Understanding.
[7] Aturan dan
prosedur tentang pemeriksaan oleh Panel dan
Appelate Body WTO diatur dalam Article 6-20 Dispute Settelement
Understanding.
[10] Article 1.1 Dispute Settlement Understanding menyatakan :
“the rules and procedures of this
Understanding shall apply to disputes brought pursuant to the consultation and
dispute settlement provisions of the agreements listed in Appendix 1 to this
Understanding (referred to in this Understanding as the “covered agreements”).”
Ketentuan ini secara implisit menyatakan adanya integrated dispute settlement system yang berlaku bagi seluruh agreement yang diatur dalam WTO, sesuai Appellate Body Report pada kasus Guatemala – Cement 1, paragraf 64.
[11] Lihat Article 23.1 Dispute Settlement
Understanding yang berbunyi : “When
members seek the redress of a violation of obligations or other nullification
or impairment of benefits under the covered agreements or an impediment to the
attainment of any objective of the covered agreements, the shall have recourse
to, and abide by, the rules and procedures of this Understanding.”
[12] Sifat contentious ini dapat dilihat pada Appellate Body Report US-Wool Shirts and
Blouses, paragraf 340, yang menyatakan : “given the explicit aim of dispute settlement that permeates the DSU,
we do not consider that Article 3.2 of the DSU is meant to encourage either Panels
or the Appellate Body to “make law” by clarifying existing provisions of the
WTO Agreement outside the context of resolving a particular dispute.”
[14] Article 2.1 DSU : “Accordingly, the DSB shall have the
authority to establish Panels, adopt Panel and Appelate Body reports, maintain
survellance of implementation of rulings and recommendations, and authorize
suspension of concessions and other obligations under the coverred agreements.”
[18] Article 8.1 DSU berbunyi : “persons
who have served on or presented a case to a Panel, served as a representative
of a Member or of a contracting party to GATT 1947 or as a representative of
Council or Committee of any covered agreement or its predecessor agreement, or
in the Secretariat, taught or published on international trade law or policy,
or served as a senior trade policy official of a Member.”
[21] Dispute
Settlement Body, Decision Establishing
the Appellate Body, 10 February 1995, WT/DSB/1, tertanggal 19 Juni 1995,
lihat di http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/disp_settlement_cbt_e/c3s4p1_e.htm,
diakses pada 4 Feburari 2013.
[22] Article 17.3 DSU berbunyi : “the Appellate Body shall comprise persons of recognized authority,
with demonstrated expertise in law, international trade and the subject matter
of the covered agreements generally. They shall be unaffiliated with any
government.”
[23] World Trade
Organization, Dispute Settlement :
Members, Appellate Body Members, lihat di http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/ab_members_descrp_e.htm,
diakses pada 4 Februari 2013.
[25] Andrew S.
Bishop, 2002, The Second Legal Revolution
in International Trade Law : Ecuador Goes Ape in Banana Trade War Wtih European
Union, 12 International Legal Perspective, hlm. 1.
[26] J. H. H.
Weiler, 2002, The Rule of Lawyers and the
Ethos of Diplomats: Reflections on the Internal and External Legitimacy of WTO
Dispute Settlement, 13 The American Review of International Arbitration,
hlm. 183.
[27] Kim van der
Borght, 1999, The Review of the WTO
Understanding on Dispute Settlement : Some Reflections on the Current Debate, 14
American University International Law Review, hlm. 1230.
[28] Joost
Pauwelyn, 2000, The Enforcement and
Countermeasures in the WTO: Rules Are Rules—Toward a More Collective Approach,
94 The American Journal International Law, hlm. 339.
[29] Herliana
Omara, 2007, Dispute Settlement Under the
World Trade Organization : Inequality Protection between Developed and
Developing Countries, Asia Law Review Vol. 4 No. 2, hlm. 55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar