WTO
DISPUTE
SETTLEMENT SYSTEM
A.
The
Origins of the Disputes Setttlement
Sistem penyelesaian sengketa ini
diciptakan oleh para negara anggota WTO pada saat Putaran Uruguay dengan
harapan untuk menciptakan suatu sistem
yang kuat dan dapat mengikat semua pihak dalam rangka menyelesaikan
sengketa perdagangan dalam kerangka WTO. Dengan
sistem penyelesaian sengketa ini juga diharapkan agar negara anggota
dapat mematuhi peraturan-peraturan yang disepakati dalam WTO Agreement. Sistem
penyelesaian sengketa WTO juga dibentuk sebagai pembaruan dari sistem
penyelesaian sengketa General Agreement
on Tariff and Trade (GATT) yang sebelumnya ada.
Kesepakatan WTO mengenai
penyelesaian sengketa (Understanding on
Rules and Procedures Governing the Settlement of Dispute/ DSU) menandai
dimulainya proses yang lebih terstruktur dan tahap-tahap prosedur yang lebih
jelas. Dengan sistem penyelesaian sengketa WTO diharapkan akan diperoleh
kestabilan dan perkiraan peraturan perdagangan internasional yang berpihak pada
kegiatan bisnis, petani, pekerja dan konsumen dari seluruh dunia.
Penyelesaian sengketa adalah bagian
yang sangat penting dalam manajemen
negara anggota WTO dan kaitannya dengan hubungan ekonomi yang luas yang dewasa
ini menuntut semua pihak untuk memahami persetujuan perdagangan internasional
dengan segala implikasinya terhadap perkembangan ekonomi nasional secara
menyeluruh.
B.
Principles
of WTO Disputes Settlement
Negara-negara anggota WTO telah
sepakat bahwa jika ada negara anggota yang melanggar peraturan perdagangan WTO,
negara-negara anggota tersebut akan menggunakan sistem penyelesaian
multilateral daripada melakukan aksi sepihak. Ini berarti negara-negara
tersebut mematuhi prosedur yang telah disepakati dan menghormati putusan yang
diambil.
Meskipun banyak prosedur WTO yang
mirip dengan proses pengadilan, negara-negara anggota yang bersengketa tetap
diharapkan melakukan perundingan dan menyelesaikan masalah mereka sendiri. Oleh
karena itu, tahap pertama yang dilakukan adalah konsultasi antar pemerintah
yang terlibat dalam suatu kasus. Bahkan sekiranya kasus tersebut melangkah ke
tahap berikutnya, konsultasi dan mediasi tetap dimungkinkan.
Persetujuan Understanding on Rules
and Procedures Governing the Settlement of Dispute (DSU) juga menutup
kemungkinan suatu negara yang kalah dalam kasus tertentu menghalang-halangi
pengesahan keputusan. Di bawah ketentuan GATT, suatu putusan disahkan hanya
berdasarkan konsensus, yang berarti tidak ada keeputusan jika terdapat
keberatan dari suatu negara. Di bawah ketentuan WTO, putusan secara otomatis
disahkan kecuali ada konsensus untuk menolak hasil putusan-negara yang ingin
merintangi putusan harus mendekati seluruh anggota WTO lainnya (termasuk
lawannya dalam kasus tersebut) untuk membatalkan keputusan panel. Jadi
penyelesaian sengketa WTO mengandung prinsip-prinsip: adil, cepat, efektif, dan
saling menguntungkan.
Penyelesaaian sengketa menjadi
tanggung jawab Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) yang
merupakan penjelmaan dari Dewan Umum (General Council/GC). DSB adalah
satu-sataunya badan yang memiliki otoritas membentuk panel yang terdiri dari
para ahli yang bertugas menelaah kasus. DSB dapat juga menerima atau
menolak keputusan panel atau keputuan
pada tingkat banding. DSB tersebut memonitor pelaksanaan putusan-putusan dan
rekomendasi serta memiliki kekuasaan/wewenang untuk mengesahkan retalisasi jika
suatu negara tidak memantau suatu putusan.
C.
WTO
Disputes Settlement Proceding
Penyelesaian
sengketa menjadi tanggung jawab Badan
Penyelesaian Sengketa (DSB) yang juga merupakan penjelmaan dari dewan umum
(general Council). DSB adalah satu-satunya badan yang memiliki otoritas
membentuk panel yang bertugas menelaah kasus. DSB juga bisa menerima dan
menolak keputusan panel atau keputusan pada tingkat banding.
Panel berfungsi seperti pengadilan.
Tetapi tidak seperti peradilan normal, para panelis dipilih berdasarkan
konsultasi di antara negara yag bersengketa. Hanya jika tidak ada kesepakatan
di antara pihak yang bersengketa., direktur jenderal WTO dapat menunjuk panel.
Panel terdiri atas tiga atau lima orang ahli dari berbagai negara yang
meneliti bukti-bukti yag ada dan
memutuskan pihak yang kalah dan yang menang. Laporan panel disampaikan ke
dispute settlement body (DSB) yang hanya dapat menolak laporan tersebut jika
terdapat konsensus.
Tahap-tahap penyelesaian sengketa di
WTO adalah sebagai berikut:
1.
Tahap
Pertama: Konsultasi (maksimum 60 hari)
Sebelum mengambil tindakan-tindakan lebih jauh, negara-negara
yang bersengketa haruslah berunding (konsultasi) terlebih dahulu untuk mencari
jalan keluar atas perbedaan pendapat di antara mereka. Jika gagal, mereka juga
dapat meminta bantuan Direktur Jenderal WTO untuk menengahi atau membantu
dengan cara lain.
2.
Tahap
Kedua: Panel (maksimum 45 hari untuk pembentukan panel ditambah waktu 6 bulan
bagi panel untuk menghasilkan putusan)
Jika konsultasi mengalami kegagalan, negara yang mengajukan
gugatan dapat meminta dibentuknya suatu panel. Negara yang “tergugat” dapat
berupaya untuk merintangi pembentukan panel sebanyak satu kali, tetapi pada
sidang DSB yang kedua kalinya, pembentukan panel tersebut tidak dapat lagi
dihambat kecuali ada konsensus yang menentang panel tersebut.
Laporan akhir panel biasanya diberikan kepada pihak-pihak yang
bersengketa dalam waktu 6 bulan. Dalam kasus-kasus penting, termasuk kasus yag
menyangkut barang-barang yang mudah hancur (perishable
goods), tenggat waktunya dapat diperpendek menjadi 3 bulan.
Persetujuan WTO memaparkan lebih rinci bagaimana cara kerja
panel. Tahap-tahap pentingnya adalah sebagai berikut:
1. Sebelum
dengar pendapat yang pertama: masing-masing pihak yang bersengketa mengajukan
kasusnya kepada panel secara tertulis.
2. Dengar
pendapat yang pertama: kasus untuk negara “penggugat” dan negara yang
“digugat”: negara yang mengajukan gugatan (penggugat), negara yang digugat
(tergugat), dan negara yang menyatakan punya kepentingan dalam persengketaan
tersebut mengajukan kasus mereka pada dengar pendapat (hearing) yang pertama.
3. Bantahan
(rebuttal): negara-negara yang terlibat mengajukan bantahan tertulis dan
argumen lisan pada pertemuan panel yang kedua.
4. Peran
ahli (Experts): jika salah satu pihak mengajukan masalah-masalah yang bersifat
teknis atau ilmiah maka panel dapat meminta pendapat para pakar/ahli atau
menunjuk expert review group untuk
mempersiapkan saran/pendapatnya.
5. Draft
pertama (first draft): panel yang mengajukan gambaran latar belakang (berisi
fakta-fakta dan argumen) dalam rancangannya laporannya (first draft) untuk kedua
belah pihak, dan memberikan waktu dua minggu bagi kedua belah pihak tersebut untuk memberikan tanggapan.
6. Laporan
sementara (interim report): panel kemudian mengajukan suatu laporan sementara
yang memuat juga temuan-temuan dan kesimpulan akhir kepada kedua belah pihak
dan memberikan waktu satu minggu untuk memberikan tanggapan.
7. Peninjauan:
lamanya waktu untuk menanggapi tidak melebihi dua minggu.
8. Laporan
akhir: sebuah laporan akhir kemudian diajukan kepada kedua belah pihak. Setelah
tiga minggu, laporan tersebut disirkulasikan kepada seluruh anggota WTO.
9. Laporan
akhir menjadi keputusan: laporan tersebut otomatis menjadi putusan atau
rekomendasi DSB dalam jangka waktu 60 hari, kecuali ada konsensus untuk
menolaknya.
Banding
Tiap pihak yang bersengketa dapat
mengajukan banding atas keputusan panel. Kadang-kadang kedua belah pihak
sama-sama mengajukan banding. Namun banding harus didasarkan pada suatu
peraturan tertentu seperti interpretasi legal atas suatu ketentuan/pasal dalam
suatu persetujuan WTO. Banding tidak dapat dilakukan untuk menguji kembali
bukti-bukti yang ada atau bukti-bukti baru yang muncul.
Tiap upaya banding diteliti oleh tiga
dari tujuh orang anggota tetap badan banding yang ditetapkan oleh DSB dan
berasal dari anggota WTO yang mewakili kalangan luas. Anggota Appelate Body/AB
memiliki masa depan 4 tahun. Mereka harus berasal dari individu-individu yang
memiliki reputasi dalam bidang hukum dan perdagangan internasional, dan lepas
dari kepentingan negara manapun.
D.
WTO
Disputes Settlement Practices
Indonesia pernah menjadi “tergugat” menghadapi Uni Eropa,
Jepang, dan Amerika Serikat pada kasus “Mobil Nasional” (indonesia-certain
measures affecting the automobile industry). Kebijakan Indonesia dalam memberikan kemudahan untuk
industri mobil nasional dianggap melanggar ketentuan WTO yang terkait dengan
Persetujuan TRIMs dan dianggap telah melakukan diskriminasi. Panel memutuskan
agar Indonesia menyesuaikan peraturannya selaras dengan aturan WTO.
Indonesia pernah menjadi pihak ketiga (third party) bersama dengan beberapa anggota WTO dalam sengketa
antara Uni Eropa menghadapi Argentina sebagai “tergugat” yang melakukan diskriminasi dengan menetapkan tindakan safeguard berupa pembatalan impor alas
kaki (footwear) yang berasal dari
beberapa negara anggota WTO, termasuk Indonesia.
Indonesia yang merupakan eksportir utama alas kaki ke
Argentina merasa dirugikan karena dikenakan tambahan bea masuk (specific duty) sedangkan negara-negara
Mercosur (Brazil, Uruguay, Paraguay) tidak dikenakan tindakan safeguard. Argentina akhirnya melakukan
penyesuaian aturannya mengenai safeguard.
Di samping itu, Indonesia bersama-sama beberapa anggota WTO
(Canada, Mexico, jepang, Brazil, India, Thailand, Chile, Korea Selatan, dan EC)
menggugat Amerika Serikat dalam kasus
“US-Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000” (Byrd Amendent).
Kebijakan AS dianggap bertentangan dengan persetujuan anti-dumping Subsidy and
Countervailing Measures.
Byrd amendment merupakan peraturan AS yang membagikan bea
anti dumping dan countervailing yang dikumpulkan pemerintah AS kepada industri
domestiknya yang dirugikan oleh tindakan dumping atau subsidi oleh negara lain.
Kasus ini menarik untuk dikaji karena menunjukan keterkaitan yang erat antara
kebijakan dalam negeri suatu negara dengan peraturan yang disepakati di WTO. AS
berpendapat bahwa WTO tidak mengatur bagaimana suatu negara harus menggunakan
bea anti dumping dan countervailing, karenanya AS bebas untuk membagikannya
kepada industri domestiknya. Namun negara-negara penggugat di atas berpendapat
bahwa byrd amendment menyebabkan kerugian ganda bagi produk ekspornya, karena
AS di satu sisi telah memberlakukan bea anti dumping dan countervailing, dan
kemudian membagikannya kepada perusahaan saingannya di AS. Byrd Amendment
tersebut dianggap tindakan yag berlebihan dalam menangkal dumping atau subsidi
dari negara lain. Kasus ini juga sarat
dengan interpretasi legalistik berbagai perjanjian WTO khususnya
berkaitan dengan perjanjian Anti Dumping dan Subsidy and Countervailing
Measures.
Panel untuk kasus ini yang dibentuk pada tahun 2001 telah
menghasilkan keputusan untuk merekomndasikan kepada DSB untuk meminta AS agar
menyesuaikan peraturannya dengan persetujuan-persetujuan WTO dengan cara
mencabut CDSOA (Bird Amendment). Namun
AS mengajukan banding atas keputusan tersebut sehingga kemudian dibentuk Appellate Body yang pada bulan Januari
2003 memutuskan bahwa Byrd Amendment tidak
konsisten dengan persetujuan-persetujuan
WTO. Oleh karena itu AS diminta untuk
melakukan penyesuaian (perubahan) dalam Byrd
Amendment tersebut agar konsisten dengan ketentuan WTO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar