Senin, 01 April 2013

PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KERANGKA WORLD TRADE ORGANIZATION (Menurut Buku Peter Van den Bossche : The Law of World Trade Organization)

WTO DISPUTE SETTLEMENT SYSTEM

A.    The Origins of the Disputes Setttlement
            Sistem penyelesaian sengketa ini diciptakan oleh para negara anggota WTO pada saat Putaran Uruguay dengan harapan untuk menciptakan suatu sistem  yang kuat dan dapat mengikat semua pihak dalam rangka menyelesaikan sengketa perdagangan dalam kerangka WTO. Dengan  sistem penyelesaian sengketa ini juga diharapkan agar negara anggota dapat mematuhi peraturan-peraturan yang disepakati dalam WTO Agreement. Sistem penyelesaian sengketa WTO juga dibentuk sebagai pembaruan dari sistem penyelesaian sengketa General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang sebelumnya ada.
            Kesepakatan WTO mengenai penyelesaian sengketa (Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Dispute/ DSU) menandai dimulainya proses yang lebih terstruktur dan tahap-tahap prosedur yang lebih jelas. Dengan sistem penyelesaian sengketa WTO diharapkan akan diperoleh kestabilan dan perkiraan peraturan perdagangan internasional yang berpihak pada kegiatan bisnis, petani, pekerja dan konsumen dari seluruh dunia.
            Penyelesaian sengketa adalah bagian yang sangat  penting dalam manajemen negara anggota WTO dan kaitannya dengan hubungan ekonomi yang luas yang dewasa ini menuntut semua pihak untuk memahami persetujuan perdagangan internasional dengan segala implikasinya terhadap perkembangan ekonomi nasional secara menyeluruh.

B.     Principles of WTO Disputes Settlement
            Negara-negara anggota WTO telah sepakat bahwa jika ada negara anggota yang melanggar peraturan perdagangan WTO, negara-negara anggota tersebut akan menggunakan sistem penyelesaian multilateral daripada melakukan aksi sepihak. Ini berarti negara-negara tersebut mematuhi prosedur yang telah disepakati dan menghormati putusan yang diambil.
            Meskipun banyak prosedur WTO yang mirip dengan proses pengadilan, negara-negara anggota yang bersengketa tetap diharapkan melakukan perundingan dan menyelesaikan masalah mereka sendiri. Oleh karena itu, tahap pertama yang dilakukan adalah konsultasi antar pemerintah yang terlibat dalam suatu kasus. Bahkan sekiranya kasus tersebut melangkah ke tahap berikutnya, konsultasi dan mediasi tetap dimungkinkan.
            Persetujuan Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Dispute (DSU) juga menutup kemungkinan suatu negara yang kalah dalam kasus tertentu menghalang-halangi pengesahan keputusan. Di bawah ketentuan GATT, suatu putusan disahkan hanya berdasarkan konsensus, yang berarti tidak ada keeputusan jika terdapat keberatan dari suatu negara. Di bawah ketentuan WTO, putusan secara otomatis disahkan kecuali ada konsensus untuk menolak hasil putusan-negara yang ingin merintangi putusan harus mendekati seluruh anggota WTO lainnya (termasuk lawannya dalam kasus tersebut) untuk membatalkan keputusan panel. Jadi penyelesaian sengketa WTO mengandung prinsip-prinsip: adil, cepat, efektif, dan saling menguntungkan.
            Penyelesaaian sengketa menjadi tanggung jawab Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) yang merupakan penjelmaan dari Dewan Umum (General Council/GC). DSB adalah satu-sataunya badan yang memiliki otoritas membentuk panel yang terdiri dari para ahli yang bertugas menelaah kasus. DSB dapat juga menerima atau menolak  keputusan panel atau keputuan pada tingkat banding. DSB tersebut memonitor pelaksanaan putusan-putusan dan rekomendasi serta memiliki kekuasaan/wewenang untuk mengesahkan retalisasi jika suatu negara tidak memantau suatu putusan.
           
C.    WTO Disputes Settlement Proceding
            Penyelesaian sengketa menjadi tanggung jawab  Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) yang juga merupakan penjelmaan dari dewan umum (general Council). DSB adalah satu-satunya badan yang memiliki otoritas membentuk panel yang bertugas menelaah kasus. DSB juga bisa menerima dan menolak keputusan panel atau keputusan pada tingkat banding.
            Panel berfungsi seperti pengadilan. Tetapi tidak seperti peradilan normal, para panelis dipilih berdasarkan konsultasi di antara negara yag bersengketa. Hanya jika tidak ada kesepakatan di antara pihak yang bersengketa., direktur jenderal WTO dapat menunjuk panel. Panel terdiri atas tiga atau lima orang ahli dari berbagai negara yang meneliti  bukti-bukti yag ada dan memutuskan pihak yang kalah dan yang menang. Laporan panel disampaikan ke dispute settlement body (DSB) yang hanya dapat menolak laporan tersebut jika terdapat konsensus.
            Tahap-tahap penyelesaian sengketa di WTO adalah sebagai berikut:
1.      Tahap Pertama: Konsultasi (maksimum 60 hari)
      Sebelum mengambil tindakan-tindakan lebih jauh, negara-negara yang bersengketa haruslah berunding (konsultasi) terlebih dahulu untuk mencari jalan keluar atas perbedaan pendapat di antara mereka. Jika gagal, mereka juga dapat meminta bantuan Direktur Jenderal WTO untuk menengahi atau membantu dengan cara lain.
2.      Tahap Kedua: Panel (maksimum 45 hari untuk pembentukan panel ditambah waktu 6 bulan bagi panel untuk menghasilkan putusan)
      Jika konsultasi mengalami kegagalan, negara yang mengajukan gugatan dapat meminta dibentuknya suatu panel. Negara yang “tergugat” dapat berupaya untuk merintangi pembentukan panel sebanyak satu kali, tetapi pada sidang DSB yang kedua kalinya, pembentukan panel tersebut tidak dapat lagi dihambat kecuali ada konsensus yang menentang panel tersebut.
      Laporan akhir panel biasanya diberikan kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam waktu 6 bulan. Dalam kasus-kasus penting, termasuk kasus yag menyangkut barang-barang yang mudah hancur (perishable goods), tenggat waktunya dapat diperpendek menjadi 3 bulan.
      Persetujuan WTO memaparkan lebih rinci bagaimana cara kerja panel. Tahap-tahap pentingnya adalah sebagai berikut:
1.      Sebelum dengar pendapat yang pertama: masing-masing pihak yang bersengketa mengajukan kasusnya  kepada panel secara tertulis.
2.      Dengar pendapat yang pertama: kasus untuk negara “penggugat” dan negara yang “digugat”: negara yang mengajukan gugatan (penggugat), negara yang digugat (tergugat), dan negara yang menyatakan punya kepentingan dalam persengketaan tersebut mengajukan kasus mereka pada dengar pendapat (hearing) yang pertama.
3.      Bantahan (rebuttal): negara-negara yang terlibat mengajukan bantahan tertulis dan argumen lisan pada pertemuan panel yang kedua.
4.      Peran ahli (Experts): jika salah satu pihak mengajukan masalah-masalah yang bersifat teknis atau ilmiah maka panel dapat meminta pendapat para pakar/ahli atau menunjuk expert review group untuk mempersiapkan saran/pendapatnya.
5.      Draft pertama (first draft): panel yang mengajukan gambaran latar belakang (berisi fakta-fakta dan argumen) dalam rancangannya laporannya (first draft) untuk  kedua belah pihak, dan memberikan waktu dua minggu bagi kedua belah pihak  tersebut untuk memberikan tanggapan.
6.      Laporan sementara (interim report): panel kemudian mengajukan suatu laporan sementara yang memuat juga temuan-temuan dan kesimpulan akhir kepada kedua belah pihak dan memberikan waktu satu minggu untuk memberikan tanggapan.
7.      Peninjauan: lamanya waktu untuk menanggapi tidak melebihi dua minggu.
8.      Laporan akhir: sebuah laporan akhir kemudian diajukan kepada kedua belah pihak. Setelah tiga minggu, laporan tersebut disirkulasikan kepada seluruh anggota WTO.
9.      Laporan akhir menjadi keputusan: laporan tersebut otomatis menjadi putusan atau rekomendasi DSB dalam jangka waktu 60 hari, kecuali ada konsensus untuk menolaknya.
          Banding
          Tiap pihak yang bersengketa dapat mengajukan banding atas keputusan panel. Kadang-kadang kedua belah pihak sama-sama mengajukan banding. Namun banding harus didasarkan pada suatu peraturan tertentu seperti interpretasi legal atas suatu ketentuan/pasal dalam suatu persetujuan WTO. Banding tidak dapat dilakukan untuk menguji kembali bukti-bukti yang ada atau bukti-bukti baru yang muncul.
          Tiap upaya banding diteliti oleh tiga dari tujuh orang anggota tetap badan banding yang ditetapkan oleh DSB dan berasal dari anggota WTO yang mewakili kalangan luas. Anggota Appelate Body/AB memiliki masa depan 4 tahun. Mereka harus berasal dari individu-individu yang memiliki reputasi dalam bidang hukum dan perdagangan internasional, dan lepas dari kepentingan negara manapun.

D.    WTO Disputes Settlement Practices
          Indonesia pernah menjadi “tergugat” menghadapi Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat pada kasus “Mobil Nasional” (indonesia-certain measures affecting the automobile industry). Kebijakan  Indonesia dalam memberikan kemudahan untuk industri mobil nasional dianggap melanggar ketentuan WTO yang terkait dengan Persetujuan TRIMs dan dianggap telah melakukan diskriminasi. Panel memutuskan agar Indonesia menyesuaikan peraturannya selaras dengan aturan WTO.
          Indonesia pernah menjadi pihak ketiga (third party) bersama dengan beberapa anggota WTO dalam sengketa antara Uni Eropa menghadapi Argentina sebagai “tergugat” yang melakukan  diskriminasi dengan menetapkan tindakan safeguard berupa pembatalan impor alas kaki (footwear) yang berasal dari beberapa negara anggota WTO, termasuk Indonesia.
          Indonesia yang merupakan eksportir utama alas kaki ke Argentina merasa dirugikan karena dikenakan tambahan bea masuk (specific duty) sedangkan negara-negara Mercosur (Brazil, Uruguay, Paraguay) tidak dikenakan tindakan safeguard. Argentina akhirnya melakukan penyesuaian aturannya mengenai safeguard.
          Di samping itu, Indonesia bersama-sama beberapa anggota WTO (Canada, Mexico, jepang, Brazil, India, Thailand, Chile, Korea Selatan, dan EC) menggugat  Amerika Serikat dalam kasus “US-Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000” (Byrd Amendent). Kebijakan AS dianggap bertentangan dengan persetujuan anti-dumping Subsidy and Countervailing Measures.
          Byrd amendment merupakan peraturan AS yang membagikan bea anti dumping dan countervailing yang dikumpulkan pemerintah AS kepada industri domestiknya yang dirugikan oleh tindakan dumping atau subsidi oleh negara lain. Kasus ini menarik untuk dikaji karena menunjukan keterkaitan yang erat antara kebijakan dalam negeri suatu negara dengan peraturan yang disepakati di WTO. AS berpendapat bahwa WTO tidak mengatur bagaimana suatu negara harus menggunakan bea anti dumping dan countervailing, karenanya AS bebas untuk membagikannya kepada industri domestiknya. Namun negara-negara penggugat di atas berpendapat bahwa byrd amendment menyebabkan kerugian ganda bagi produk ekspornya, karena AS di satu sisi telah memberlakukan bea anti dumping dan countervailing, dan kemudian membagikannya kepada perusahaan saingannya di AS. Byrd Amendment tersebut dianggap tindakan yag berlebihan dalam menangkal dumping atau subsidi dari negara lain. Kasus ini juga sarat  dengan interpretasi legalistik berbagai perjanjian WTO khususnya berkaitan dengan perjanjian Anti Dumping dan Subsidy and Countervailing Measures.
            Panel untuk kasus ini yang dibentuk pada tahun 2001 telah menghasilkan keputusan untuk merekomndasikan kepada DSB untuk meminta AS agar menyesuaikan peraturannya dengan persetujuan-persetujuan WTO dengan cara mencabut CDSOA (Bird Amendment). Namun AS mengajukan banding atas keputusan tersebut sehingga kemudian dibentuk Appellate Body yang pada bulan Januari 2003 memutuskan bahwa Byrd Amendment tidak konsisten  dengan persetujuan-persetujuan WTO. Oleh karena itu AS diminta  untuk melakukan penyesuaian (perubahan) dalam Byrd Amendment tersebut agar konsisten dengan ketentuan WTO.

Tidak ada komentar: