Senin, 01 April 2013

Journal Review : THE PLACE OF THE WTO AND ITS LAW IN THE INTERNATIONAL LEGAL ORDER

Journal Review
THE PLACE OF THE WTO AND ITS LAW
IN THE INTERNATIONAL LEGAL ORDER
By : Pascal Lamy

            Di bagian awal tulisannya, Pascal Lamy mengemukakan tentang asal mula perdagangan dimasukkan sebagai sebuah lapangan hukum internasional publik bersumber dari apa yang disebut dengan treaty / perjanjian, yang digambarkan dalam perjanjian dagang bilateral antara Amenophis IV dan Raja Alasia di siprus Abad XIV SM. Sejak saat itu, perjanjian dagang secara bilateral terus ada, namun sekarang harus dilaporkan kepada WTO.
            Aturan – aturan hukum internasional baginya telah berevolusi secara dramatis dengan mengemukakan sejarah mengenai Perjanjian Westphalia, Kongres Wina 1815, serta kemunculan organisasi internasional pada abad ke-19 lewat Liga Bangsa – Bangsa yang diikuti Perserikatan Bangsa – Bangsa. Aturan – aturan hukum internasional sekalipun mengalami berbagai perubahan, namun tetap meninggalkan jejak sejarah di kalangan masyarakat internasional. Hal ini dijelaskannya dengan perumpamaan masalah gas, cairan, dan benda – benda padat. Perjanjian Westphalia diumpamakan sebagai gas, dimana adanya mekanisme desentralisasi, yang mencerminkan adanya perbedaan secara hirarkis gas. Hal ini sebenarnya tidak terlalu tergambarkan dengan jelas. Selanjutnya persoalan benda padat diasosiasikan dengan kemunculan Uni Eropa yang merupakan contoh tentang sebuah organisasi internasional yang diatur secara otonomi, dan mengatur segala persoalan internalnya secara sendiri tanpa bantuan pihak luar. Di antara keduanya, ada yang diumpamakan sebagai cairan, yaitu World Trade Organization, yang mengatur berbagai kerjasama, untuk menyeimbangkan kepentingan antara kedua sifat yang disebutkan sebelumnya. WTO dianggap sebagai organisasi internasional yang membawa secara bersama – sama dua konsep hukum internasional, yaitu sistem negara independen dan organisasi internasional lainnya bekerjasama lewat mekanisme konferensi internasional di bawah hukum internasional yang telah menjadi tradisi.
            Di atas semuanya itu, Lamy berpendapat, WTO terdiri dari aturan – aturan hukum yang benar, dengan mengutip pendapat Prof. Jean Salmon yang mengemukakan bahwa sebuah badan yang di dalamnya berisi aturan – aturan hukum harus memiliki sistem dan mengatur sebuah kelompok, semakin memperjelas kedudukan WTO sebagai badan yang memiliki aturan hukum yang jelas lewat dua mekanismenya yaitu aturan baku dan penegakan – penegakannya.
            Ketika memeriksa tentang apa yang membuat WTO menjadi sebuah sistem hukum yang unik dalam aturan hukum internasional, Lamy memulainya dengan mengutarakan kemunculan GATT. GATT lahir tidak memiliki anggota, namun hanya memiliki peserta yang mengikatkan diri terhadapnya, sesuatu hal yang sangat unik. Baru pada 50 tahun kemudian sejak diciptakan GATT, dengan Marakesh Agreement, maka GATT memiliki organisasi resmi yang mengaturnya, yaitu WTO lewat Agreement Establishing WTO dengan legal personality-nya diatur dalam Article VIII. Implikasi dari status hukum WTO ini kemudian memberikan berbagai keistimewaan bahkan kekebalan yang diperlukan untuk melaksanakan fungsinya, yang memberikan segi berbeda bagi dunia hukum internasional yaitu dapat bertindak secara internasional, juga dapat bertindak secara internal, misalnya mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak agar supaya kondisi internalnya dapat berjalan dengan baik.
            Sebagai organisasi internasional, WTO terdiri dari aturan hukum yang terintegrasi dan khusus : menghasilkan sebuah badan yang memiliki aturan hukum, membentuk sebuah sistem, dan mengatur sebuah komunitas. Sebagai badan yang memiliki aturan hukum, WTO memiliki GATT yang menghasilkan berbagai perundingan yang dinegosiasikan secara berulang – ulang. Aturan hukum ini membentuk sebuah sistem yang terintegrasi, dimana perjanjian – perjanjian yang dihasilkan dalam WTO didapatkan bukan dari sekedar perundingan saja namun dari segala bentuk keputusan yang didapatkan di dalamnya misalnya lewat Dispute Settlement Body. WTO mengatur sebuah komunitas, yang disebut sebagai anggota.
            Dengan melihat fenomena yang ada, Lamy berpendapat bahwa WTO bukanlah sebuah sistem hukum yang terisolasi dari hukum internasional, dengan melihat bahwa sistem hukum WTO tetap menghormati adanya persamaan kedaulatan negara, asas itikad baik, kerjasama internasional, dan kewajiban menyelesaikan sengketa secara damai. Dari beberapa asas yang dikemukakannya, Lamyu hanya menjelaskan hal mengenai persamaan kedaulatan negara dan penyelesaian sengketa secara damai. Persamaan kedaulatan negara di dalam WTO direfleksikannya lewat sistem konsensus dengan mekanisme one government one vote yang dilaksanakan dalam berbagai perundingan dan konferensi dan ditetapkan dalam Ministerial Conference untuk dijadikan aturan baku kemudian. Prinsip ini juga tertuang dalam beberapa aturan WTO yang spesifik seperi adanya prinsip non-diskriminasi dalam klausul Most Favoured Nation dan National Treatment, juga di dalam prinsip resiprositas dalam setiap mekanisme negosiasi di dalam WTO.
            Ketika menyebutkan pendapay Kofi Anan yang mengemukakan bahwa semua aturan – aturan ini harus adil, Lamy merefleksikannya ke dalam perlakuan khusus WTO terhadap negara – negara berkembang yang mendapatkan fleksibilitas dan pengembangan secara khusus, sehingga negara – negara berkembang dapat menikmati keuntungan – keuntungan non-resiprokal. Selain itu, Lamy juga menyebutkan adanya penghargaan terhadap apa yang disebut dengan custom territory seperti Cina Taipei, yang sebenarnya tidak tercantumkan sebagai bentuk penjabaran prinsip kedaulatan negara. Kemudian, hal yang sama dengan itu juga tercermin dalam keanggotaan Uni Eropa dalam WTO secara unik. Yang membuatnya unik adalah Uni Eropa diperhitungkan sebagai anggota, namun anggota – anggota dari Uni Eropa juga adalah anggota WTO. Juga perlu diperhitungkan berkembangnya partisipasi keanggotaan NGO yang diatur secara luas lewat berbagai perundingan dan pertemuan – pertemuan yang diadakan oleh Dewan Umum. Namun demikian, mereka tidak dapat secara sembarangan masuk dalam forum – forum negosiasi, karena WTO tetaplah merupakan bingkai antar negara.
            Selanjutnya, Lamy membahas mengenai prinsip penyelesaian sengketa secara damai dengan memperhatikan apa yang disiratkan dalam Piagam PBB. Lamy mengawalinya dengan menyampaikan pernyataan sebuah deklarasi Majelis Umum PBB (Declaration on Principles of Inteernational Law Concerning Friendly Relations and Cooperation among States in accordance with the Charte of The United Nations), yang menyebutkan bahwa negara dalam sengketa internasional harus menyelesaikannya secara damai dengan memperhatikan perdamaian, kemanan, dan keadilan dalam dunia internasional. Hal ini kemudian diterjemahkan lewat adanya sistem penyelesaian sengketa. Sistem penyelesaian sengketa ini diatur dalam badan – badan yang dibentuk sebagai cara untuk menginstitusikan tanggung jawab sebuah organisasi dalam kebiasaan internasional, yaitu desentralisasi. International Law Commission mengakui bahwa Dispute Settlement Body dalam WTO adalah sebuah sistem yang bersifat lex specialis.
            DSB dalam WTO ini menghasilkan rekomendasi dan aturan – aturan tertentu, sekaligus menyediakan persyaratan fundamental bagi sebuah pengadilan yang adil. Lebih lanjut, dengan adanya Appelate Body, prosedur kasasi menjadi sebuah aturan hukum yang alami di dalam WTO. Di atas semuanya itu, yurisdiksi WTO berlaku bagi semua anggota WTO, sehingga tidak ada satupun negara anggota WTO yang akan menentang keputusan yang dikeluarkan oleh badan penyelesaian sengketa bentukan WTO ini. Sistem penyelesaian sengketa WTO ini terintegrasikan hanya dalam satu badan saja yaitu Dispute Settlement Body untuk menyediakan penyatuan sistem.
            Implikasi dari penyatuan ini adalah negara dapat menerapkan aturan yang diciptakan oleh DSB meskipun mereka tidak memiliki kepentingan ataupun tidak mewakili kepentingan di dalam aturan tersebut. Prinsip ini menyatakan bahwa negara dapat saja mengajukan klaim suatu masalah terhadap sebuah negara anggota yang tidak melaksanakan kewajiban – kewajibannya dalam aturan WTO. Hal ini menyiratkan bahwa negara anggota WTO secara berkelanjutan memonitor perkembangan dan mengimplementasikan aturan – aturan WTO secara ketat. Ini disimpulkan oleh Lamy sebagai sebuah communization atau dapat kita artikan sebagai bentuk adanya sebuah komunitas yang terintegrasikan oleh sebuah sistem.
            Hal yang paling menarik tentang DSB ini adalah negara yang berdaulat mendapatkan kontrol tertentu terhadap penyelesaian sengketa secara damai ini. Negara dalam WTO mendapatkan hak untuk melakukan apa yang disebut dengan tindakan countermeasures atau tindakan balasan. Hal ini merupakan refleksi kontrol negara terhadap kedaulatannya sendiri, sehingga aturan – aturan WTO tidak serta merta menguasai suatu sistem sebuah negara, karena dalam tradisi hukum internasional dikenal adanya hak negara untuk menentukan hukumnya sendiri.
            WTO dalam aturan hukum internasional diakui oleh Lamy sebagai sebuah sui generis ketika sistemnya berlaku secara menyatu dan memiliki berbagai pengkhususan. Hal ini secara nyata berlaku ketika sistem WTO dapat mengatur seluruh anggotanya sebagai sebuah komunitas.
            Pembicaraan kedua yang dikemukakan Lamy adalah hubungan antara aturan WTO dengan aturan organisasi internasional lainnya karena disangkut – pautkan dengan efektivitas dan legitimasi dari aturan WTO itu sendiri. Lamy membicarakan aturan – aturan WTO memperlakukan norma – norma hukum yang lain, termasuk hukum yang dikeluarkan oleh organisasi internasional lain. Meskipun WTO adalah organisasi yang hegemonik, namun juga mengakui kompetensi terbatas dan spesialisasi dari organisasi internasional yang lain. Bagi Lamy, norma – norma dalam WTO bukanlah merupakan pengganti ataupun pemegang kendali atas norma – norma organisasi internasional yang lain, bahkan faktanya, WTO mengakui secara eksplisit bahwa perdagangan bukanlah satu – satunya pertimbangan kebijakan yang dapat dibuat oleh para anggotanya. Misalnya pada masalah barang, WTO mengenal pengecualian – pengecualian yang dapat dibuat oleh para anggotanya yang telah terikat komitmen pada organisasi internasional yang lain seperti komitmen tentang lingkungan yang dapat menyebabkan adanya pengecualian – pengecualian dalam akses pasar.
            Aturan – aturan WTO mengembangkan revolusi interpretasi teleologi yang mengenal tempat perdagangan dalam berbagai skema tindakan negara dan keseimbangan – keseimbangan yang dibutuhkan lewat berbagai kebijakan yang dibuat. Cara pertama yang dikemukakan Lamy adalah WTO mengembangkan revolusinya dengan mempertimbangkan WTO Treaty sebagai sebuah bentuk perjanjian sebagaimana yang dimaksud dengan Konvensi Wina Tentang Perjanjian Internasional ketika Appelate Body menyelesaikan kasus US-Gasoline. Appelate Body kemudian mengeluarkan statement yang sangat terkenal yaitu GATT tidak dapat diinterpretasikan secara terisolasi dari berbagai aturan internasional. Jadi, dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam WTO, pemakaian dan penyesuaian dengan norma – norma internasional yang lain selalu dilakukan.
            Dengan memperhatikan kesesuaian dengan norma internasional yang lainnya, maka WTO mengenal adanya berbagai pengecualian dalam penerapan aturannya. Appelate Body menjelaskan bahwa pengecualian – pengecualian yang akan dibuat oleh WTO, haruslah dilakukan secara tepat sesuai dengan kebutuhan norma – norma diluar WTO, serta melalui pemeriksaan keseimbangan terlebih dahulu. Pemeriksaan yang dimaksud adalah terkait maasalah nilai – nilai yang dilindungi oleh pengecualian tersebut, ketepatan pemilihan penerapan pengecualian tersebut, serta dampaknya dalam dunia perdagangan. Ketika penentuan langkah – langkah tersebut sudah dilakukan, kembali lagi harus diseimbangkan dengan hak – hak berbagai pemerintahan untuk menentukan kebijakan mereka dalam dunia perdagangan. Dengan kata lain, berbagai langkah ini memberikan pengakuan bahwa WTO mengenal adanya kehadiran aturan – aturan non-WTO yang tetap dibatasi penerapannya, namun tetap memberikan kesesuaian yang berkesinambungan dalam aturan – aturan hukum internasional.
            Cara kedua yang dikemukakan adalah dengan menerapkan prinsip fundamental yang selalu diusung oleh WTO yaitu negara anggota dapat menentukan standar nasionalnya sendiri sesuai keinginannya, selama anggota tersebut konsisten dan sesuai dengan aturan – aturan WTO. Seperti kasus Kanada-Uni Eropa tentang import material baja, Perancis diberikan kekhususan untuk dapat melarang impor tersebut karena disesuaikan dengan kondisi negaranya, meskipun panel WTO menentukan lain. Lamy kemudian menambahkan tentang integrasi WTO dengan aturan internasional lainnya dengan mengemukakan SPS Agreement yang disusun berdasarkan Codex Alimentarius.
            Lamy menyebutkan secara singkat poin dalam pembukaan Marrakesh Agreement Establishing the WTO bahwa WTO didirikan untuk melakukan perkembangan secara terus – menerus. Beliau menganggap bahwa hal ini secara eksplisit tersirat dari bagaimana cara WTO mengembangkan aturan – aturannya secara internal secara menyesuaikannya dengan aturan – aturan hukum internasional. Contoh yang dikemukakannya terkait ini adalah pada kasus US-Shrimps yang mengadopsi berbagai aturan internasional kontemporer untuk mendefinisikan sumber daya alam untuk dipakai sebagai hukum yang disesuaikan dengan ketentuan yang ada di dalam WTO. Disimpulkannya terkait hal ini, WTO selalu waspada dengan adanya kehadiran aturan dan sistem hukum internasional yang lain dan tidak bertindak sendiri dalam hukum internasional. Dengan adanya kesesuaian semacam ini, maka Lamy berpendapat bahwa WTO selalu bertindak dengan memperhatikan dan menyesuaikan dengan kehadiran organisasi internasional yang lainnya.
            Interaksi aktual antara WTO dengan organisasi internasional yang lain dapat dilihat dengan adanya hubungan yang jelas antara WTO dengan IMF dan Bank Dunia. Hubungan ini dapat ditunjukkan dengan berbagai kerjasama antar lembaga dalam masalah bantuan teknis dan capacity-building lewat berbagai perundingan serta program – program bantuan yang dilakukan oleh organisasi multilateral lainnya serta pengembangan secara regional untuk membantu negara – negara berkembang. Lamy juga menunjukkan kerjasama antara WTO, Bank Dunia, dan FAO dalam menentukan mekanisme Standards and Trade Development. Kemudian ada juga kerjasama dengan WHO dan World Organization for Animal Health. Lamy juga menyebutkan ada sekitar 75 organisasi internasional yang bertindak sebagai observer di lingkungan badan – badan bentukan WTO. Berbagai kerjasama ini dibentuk untuk mendapatkan berbagai kesesuaian dalam hukum internasional, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 1 Piagam PBB, yang menjadi masalah krusial dalam legitimasi WTO dan efektivitas aturan perdagangannya.
            Kebijakan – kebijakan yang ditempuh oleh WTO dibentuk untuk kemudian diikuti berbagai kewajiban yang harus dilaksanakan anggota – anggotanya, dan perlu dicatat bahwa kesesuaian dengan aturan hukum internasional lain sangat menentukan pelaksanaan kebijakan ini. Namun, meskipun Lamy berpendapat bahwa dunia internasional membutuhkan adanya global governance, namun sebagai seorang pragmatic practicioner  beliau mengatakan bahwa akan sangat sulit untuk mendapatkan aplikasi serta penerapan yang ketat terkait dengan hal tersebut karena tidak dapat dipungkiri berbagai keputusan yang dikeluarkan oleh DSB seringkali berujung pada sengketa yang berkelanjutan, sehingga aturan WTO serta mekanisme penyelesaian sengketa yang ditetapkan oleh WTO disadari tidak akan selalu menyelesaikan masalah. Contoh kasus yang dikemukakannya adalah antara Chile dan European Communities pada masalah perdagangan perikanan. Kasus ini menimbulkan kebingungan antara kewenangan WTO pada perdagangan dan kewenangan ITLOS karena terkait masalah hukum laut internasional dengan memakai UNCLOS sebagai sumber hukumnya. Namun Lamy berpendapat,seharusnya yang dipakai adalah mekanisme WTO karena terkait dengan jangka waktu penyelesaiannya yang lebih efisien. Proses yang dilakukan di dalam WTO dianggapnya lebih cepat daripada proses badan penyelesaian sengketa manapun di dunia ini. Disinilah hadir adanya ketidakseimbangan kebutuhan penyelesaian sengketa yang dihadapi oleh WTO. Meskipun WTO memiliki badan penyelesaian sengketa, yurisdiksi terhadap masalah – masalah tertentu tetap dipertanyakan karena keseimbangan antara norma – norma WTO dan kebutuhan akan determinasi norma internasional lainnya sangat diperlukan. Ketika sengketa dimasukkan ke dalam WTO, hakim yang ada di dalam WTO sangat mungkin untuk menentukan hukum secara hirarkis, karena mengutamakan kepentingan perdagangan, sehingga norma hukum internasional yang lainnya seolah – olah dikesampingkan.
            Lamy berpendapat bahwa tidak ada alasan untuk menyediakan WTO berbagai kewenangan aksklusif untuk menentukan kesesuaian norma yang diambil dari berbagai aturan internasional. Hal ini disebabkan adanya kelemahan mendasar dalam sistem WTO yaitu kekuasaannya yang realtif serta mekanisme penyelesaian sengketanya yang juga relatif. Hal ini sangat menunjukkan adanya ketidaksesuaian antata WTO sebagai sebuah mekanisme penegakan aturan yang sangat kuat dengan countermeasures atau tindakan balasan sebagai sistem desentralisasi tradisional dalam beberapa aturan hukum. Ada banyak aspek dalam WTO yang harus dikembangkan. Berbagai solusi yang dikemukakan oleh Lamy tidak akan membawa pada penyelesaian masalah yang terkait dengan kekuatan mengikatnya dalam aturan internasional, namun setidaknya Lamy percaya hal tersebut dapat membawa WTO menjadi lebih efektif dalam menjalankan misinya dalam dunia perdagangan.
            Di akhir tulisannya, Lamy menyimpulkan bahwa WTO memiliki tempat dan peran dalam aturan hukum internasional sebagai katalis bagi penghormatan terhadap kesesuaian aturan internasional yang saling menguntungkan dan bahkan bagi peningkatan global governance yang dapat mengatur dunia internasional lebih baik lagi dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan.

Tidak ada komentar: