Journal Review
THE
PLACE OF THE WTO AND ITS LAW
IN
THE INTERNATIONAL LEGAL ORDER
By
: Pascal Lamy
Di bagian awal tulisannya, Pascal Lamy
mengemukakan tentang asal mula perdagangan dimasukkan sebagai sebuah lapangan
hukum internasional publik bersumber dari apa yang disebut dengan treaty / perjanjian, yang digambarkan
dalam perjanjian dagang bilateral antara Amenophis IV dan Raja Alasia di siprus
Abad XIV SM. Sejak saat itu, perjanjian dagang secara bilateral terus ada,
namun sekarang harus dilaporkan kepada WTO.
Aturan
– aturan hukum internasional baginya telah berevolusi secara dramatis dengan
mengemukakan sejarah mengenai Perjanjian Westphalia, Kongres Wina 1815, serta
kemunculan organisasi internasional pada abad ke-19 lewat Liga Bangsa – Bangsa
yang diikuti Perserikatan Bangsa – Bangsa. Aturan – aturan hukum internasional
sekalipun mengalami berbagai perubahan, namun tetap meninggalkan jejak sejarah
di kalangan masyarakat internasional. Hal ini dijelaskannya dengan perumpamaan
masalah gas, cairan, dan benda – benda padat. Perjanjian Westphalia diumpamakan
sebagai gas, dimana adanya mekanisme desentralisasi, yang mencerminkan adanya
perbedaan secara hirarkis gas. Hal ini sebenarnya tidak terlalu tergambarkan
dengan jelas. Selanjutnya persoalan benda padat diasosiasikan dengan kemunculan
Uni Eropa yang merupakan contoh tentang sebuah organisasi internasional yang
diatur secara otonomi, dan mengatur segala persoalan internalnya secara sendiri
tanpa bantuan pihak luar. Di antara keduanya, ada yang diumpamakan sebagai
cairan, yaitu World Trade Organization, yang mengatur berbagai kerjasama, untuk
menyeimbangkan kepentingan antara kedua sifat yang disebutkan sebelumnya. WTO
dianggap sebagai organisasi internasional yang membawa secara bersama – sama
dua konsep hukum internasional, yaitu sistem negara independen dan organisasi
internasional lainnya bekerjasama lewat mekanisme konferensi internasional di
bawah hukum internasional yang telah menjadi tradisi.
Di
atas semuanya itu, Lamy berpendapat, WTO terdiri dari aturan – aturan hukum
yang benar, dengan mengutip pendapat Prof. Jean Salmon yang mengemukakan bahwa
sebuah badan yang di dalamnya berisi aturan – aturan hukum harus memiliki
sistem dan mengatur sebuah kelompok, semakin memperjelas kedudukan WTO sebagai
badan yang memiliki aturan hukum yang jelas lewat dua mekanismenya yaitu aturan
baku dan penegakan – penegakannya.
Ketika
memeriksa tentang apa yang membuat WTO menjadi sebuah sistem hukum yang unik
dalam aturan hukum internasional, Lamy memulainya dengan mengutarakan
kemunculan GATT. GATT lahir tidak memiliki anggota, namun hanya memiliki
peserta yang mengikatkan diri terhadapnya, sesuatu hal yang sangat unik. Baru
pada 50 tahun kemudian sejak diciptakan GATT, dengan Marakesh Agreement, maka
GATT memiliki organisasi resmi yang mengaturnya, yaitu WTO lewat Agreement
Establishing WTO dengan legal personality-nya diatur dalam Article VIII.
Implikasi dari status hukum WTO ini kemudian memberikan berbagai keistimewaan
bahkan kekebalan yang diperlukan untuk melaksanakan fungsinya, yang memberikan
segi berbeda bagi dunia hukum internasional yaitu dapat bertindak secara
internasional, juga dapat bertindak secara internal, misalnya mengadakan kerjasama
dengan berbagai pihak agar supaya kondisi internalnya dapat berjalan dengan
baik.
Sebagai
organisasi internasional, WTO terdiri dari aturan hukum yang terintegrasi dan
khusus : menghasilkan sebuah badan yang memiliki aturan hukum, membentuk sebuah
sistem, dan mengatur sebuah komunitas. Sebagai badan yang memiliki aturan
hukum, WTO memiliki GATT yang menghasilkan berbagai perundingan yang
dinegosiasikan secara berulang – ulang. Aturan hukum ini membentuk sebuah
sistem yang terintegrasi, dimana perjanjian – perjanjian yang dihasilkan dalam
WTO didapatkan bukan dari sekedar perundingan saja namun dari segala bentuk
keputusan yang didapatkan di dalamnya misalnya lewat Dispute Settlement Body. WTO
mengatur sebuah komunitas, yang disebut sebagai anggota.
Dengan
melihat fenomena yang ada, Lamy berpendapat bahwa WTO bukanlah sebuah sistem
hukum yang terisolasi dari hukum internasional, dengan melihat bahwa sistem
hukum WTO tetap menghormati adanya persamaan kedaulatan negara, asas itikad
baik, kerjasama internasional, dan kewajiban menyelesaikan sengketa secara
damai. Dari beberapa asas yang dikemukakannya, Lamyu hanya menjelaskan hal
mengenai persamaan kedaulatan negara dan penyelesaian sengketa secara damai.
Persamaan kedaulatan negara di dalam WTO direfleksikannya lewat sistem
konsensus dengan mekanisme one government
one vote yang dilaksanakan dalam berbagai perundingan dan konferensi dan
ditetapkan dalam Ministerial Conference untuk dijadikan aturan baku kemudian.
Prinsip ini juga tertuang dalam beberapa aturan WTO yang spesifik seperi adanya
prinsip non-diskriminasi dalam klausul Most Favoured Nation dan National
Treatment, juga di dalam prinsip resiprositas dalam setiap mekanisme negosiasi
di dalam WTO.
Ketika
menyebutkan pendapay Kofi Anan yang mengemukakan bahwa semua aturan – aturan
ini harus adil, Lamy merefleksikannya ke dalam perlakuan khusus WTO terhadap
negara – negara berkembang yang mendapatkan fleksibilitas dan pengembangan secara
khusus, sehingga negara – negara berkembang dapat menikmati keuntungan –
keuntungan non-resiprokal. Selain itu, Lamy juga menyebutkan adanya penghargaan
terhadap apa yang disebut dengan custom
territory seperti Cina Taipei, yang sebenarnya tidak tercantumkan sebagai
bentuk penjabaran prinsip kedaulatan negara. Kemudian, hal yang sama dengan itu
juga tercermin dalam keanggotaan Uni Eropa dalam WTO secara unik. Yang
membuatnya unik adalah Uni Eropa diperhitungkan sebagai anggota, namun anggota
– anggota dari Uni Eropa juga adalah anggota WTO. Juga perlu diperhitungkan
berkembangnya partisipasi keanggotaan NGO yang diatur secara luas lewat
berbagai perundingan dan pertemuan – pertemuan yang diadakan oleh Dewan Umum.
Namun demikian, mereka tidak dapat secara sembarangan masuk dalam forum – forum
negosiasi, karena WTO tetaplah merupakan bingkai antar negara.
Selanjutnya,
Lamy membahas mengenai prinsip penyelesaian sengketa secara damai dengan
memperhatikan apa yang disiratkan dalam Piagam PBB. Lamy mengawalinya dengan
menyampaikan pernyataan sebuah deklarasi Majelis Umum PBB (Declaration on
Principles of Inteernational Law Concerning Friendly Relations and Cooperation
among States in accordance with the Charte of The United Nations), yang
menyebutkan bahwa negara dalam sengketa internasional harus menyelesaikannya
secara damai dengan memperhatikan perdamaian, kemanan, dan keadilan dalam dunia
internasional. Hal ini kemudian diterjemahkan lewat adanya sistem penyelesaian
sengketa. Sistem penyelesaian sengketa ini diatur dalam badan – badan yang
dibentuk sebagai cara untuk menginstitusikan tanggung jawab sebuah organisasi
dalam kebiasaan internasional, yaitu desentralisasi. International Law
Commission mengakui bahwa Dispute Settlement Body dalam WTO adalah sebuah
sistem yang bersifat lex specialis.
DSB
dalam WTO ini menghasilkan rekomendasi dan aturan – aturan tertentu, sekaligus
menyediakan persyaratan fundamental bagi sebuah pengadilan yang adil. Lebih
lanjut, dengan adanya Appelate Body, prosedur kasasi menjadi sebuah aturan hukum
yang alami di dalam WTO. Di atas semuanya itu, yurisdiksi WTO berlaku bagi
semua anggota WTO, sehingga tidak ada satupun negara anggota WTO yang akan
menentang keputusan yang dikeluarkan oleh badan penyelesaian sengketa bentukan
WTO ini. Sistem penyelesaian sengketa WTO ini terintegrasikan hanya dalam satu
badan saja yaitu Dispute Settlement Body untuk menyediakan penyatuan sistem.
Implikasi
dari penyatuan ini adalah negara dapat menerapkan aturan yang diciptakan oleh
DSB meskipun mereka tidak memiliki kepentingan ataupun tidak mewakili
kepentingan di dalam aturan tersebut. Prinsip ini menyatakan bahwa negara dapat
saja mengajukan klaim suatu masalah terhadap sebuah negara anggota yang tidak
melaksanakan kewajiban – kewajibannya dalam aturan WTO. Hal ini menyiratkan
bahwa negara anggota WTO secara berkelanjutan memonitor perkembangan dan
mengimplementasikan aturan – aturan WTO secara ketat. Ini disimpulkan oleh Lamy
sebagai sebuah communization atau
dapat kita artikan sebagai bentuk adanya sebuah komunitas yang terintegrasikan
oleh sebuah sistem.
Hal
yang paling menarik tentang DSB ini adalah negara yang berdaulat mendapatkan
kontrol tertentu terhadap penyelesaian sengketa secara damai ini. Negara dalam
WTO mendapatkan hak untuk melakukan apa yang disebut dengan tindakan
countermeasures atau tindakan balasan. Hal ini merupakan refleksi kontrol
negara terhadap kedaulatannya sendiri, sehingga aturan – aturan WTO tidak serta
merta menguasai suatu sistem sebuah negara, karena dalam tradisi hukum
internasional dikenal adanya hak negara untuk menentukan hukumnya sendiri.
WTO
dalam aturan hukum internasional diakui oleh Lamy sebagai sebuah sui generis ketika sistemnya berlaku
secara menyatu dan memiliki berbagai pengkhususan. Hal ini secara nyata berlaku
ketika sistem WTO dapat mengatur seluruh anggotanya sebagai sebuah komunitas.
Pembicaraan
kedua yang dikemukakan Lamy adalah hubungan antara aturan WTO dengan aturan
organisasi internasional lainnya karena disangkut – pautkan dengan efektivitas
dan legitimasi dari aturan WTO itu sendiri. Lamy membicarakan aturan – aturan
WTO memperlakukan norma – norma hukum yang lain, termasuk hukum yang
dikeluarkan oleh organisasi internasional lain. Meskipun WTO adalah organisasi
yang hegemonik, namun juga mengakui kompetensi terbatas dan spesialisasi dari
organisasi internasional yang lain. Bagi Lamy, norma – norma dalam WTO bukanlah
merupakan pengganti ataupun pemegang kendali atas norma – norma organisasi
internasional yang lain, bahkan faktanya, WTO mengakui secara eksplisit bahwa
perdagangan bukanlah satu – satunya pertimbangan kebijakan yang dapat dibuat
oleh para anggotanya. Misalnya pada masalah barang, WTO mengenal pengecualian –
pengecualian yang dapat dibuat oleh para anggotanya yang telah terikat komitmen
pada organisasi internasional yang lain seperti komitmen tentang lingkungan
yang dapat menyebabkan adanya pengecualian – pengecualian dalam akses pasar.
Aturan
– aturan WTO mengembangkan revolusi interpretasi teleologi yang mengenal tempat
perdagangan dalam berbagai skema tindakan negara dan keseimbangan –
keseimbangan yang dibutuhkan lewat berbagai kebijakan yang dibuat. Cara pertama
yang dikemukakan Lamy adalah WTO mengembangkan revolusinya dengan
mempertimbangkan WTO Treaty sebagai sebuah bentuk perjanjian sebagaimana yang
dimaksud dengan Konvensi Wina Tentang Perjanjian Internasional ketika Appelate
Body menyelesaikan kasus US-Gasoline.
Appelate Body kemudian mengeluarkan statement yang sangat terkenal yaitu GATT
tidak dapat diinterpretasikan secara terisolasi dari berbagai aturan
internasional. Jadi, dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam
WTO, pemakaian dan penyesuaian dengan norma – norma internasional yang lain
selalu dilakukan.
Dengan
memperhatikan kesesuaian dengan norma internasional yang lainnya, maka WTO
mengenal adanya berbagai pengecualian dalam penerapan aturannya. Appelate Body
menjelaskan bahwa pengecualian – pengecualian yang akan dibuat oleh WTO, haruslah
dilakukan secara tepat sesuai dengan kebutuhan norma – norma diluar WTO, serta
melalui pemeriksaan keseimbangan terlebih dahulu. Pemeriksaan yang dimaksud
adalah terkait maasalah nilai – nilai yang dilindungi oleh pengecualian
tersebut, ketepatan pemilihan penerapan pengecualian tersebut, serta dampaknya
dalam dunia perdagangan. Ketika penentuan langkah – langkah tersebut sudah
dilakukan, kembali lagi harus diseimbangkan dengan hak – hak berbagai
pemerintahan untuk menentukan kebijakan mereka dalam dunia perdagangan. Dengan
kata lain, berbagai langkah ini memberikan pengakuan bahwa WTO mengenal adanya
kehadiran aturan – aturan non-WTO yang tetap dibatasi penerapannya, namun tetap
memberikan kesesuaian yang berkesinambungan dalam aturan – aturan hukum
internasional.
Cara
kedua yang dikemukakan adalah dengan menerapkan prinsip fundamental yang selalu
diusung oleh WTO yaitu negara anggota dapat menentukan standar nasionalnya
sendiri sesuai keinginannya, selama anggota tersebut konsisten dan sesuai dengan
aturan – aturan WTO. Seperti kasus Kanada-Uni Eropa tentang import material
baja, Perancis diberikan kekhususan untuk dapat melarang impor tersebut karena
disesuaikan dengan kondisi negaranya, meskipun panel WTO menentukan lain. Lamy
kemudian menambahkan tentang integrasi WTO dengan aturan internasional lainnya
dengan mengemukakan SPS Agreement yang disusun berdasarkan Codex Alimentarius.
Lamy
menyebutkan secara singkat poin dalam pembukaan Marrakesh Agreement
Establishing the WTO bahwa WTO didirikan untuk melakukan perkembangan secara
terus – menerus. Beliau menganggap bahwa hal ini secara eksplisit tersirat dari
bagaimana cara WTO mengembangkan aturan – aturannya secara internal secara
menyesuaikannya dengan aturan – aturan hukum internasional. Contoh yang
dikemukakannya terkait ini adalah pada kasus US-Shrimps yang mengadopsi berbagai aturan internasional
kontemporer untuk mendefinisikan sumber daya alam untuk dipakai sebagai hukum
yang disesuaikan dengan ketentuan yang ada di dalam WTO. Disimpulkannya terkait
hal ini, WTO selalu waspada dengan adanya kehadiran aturan dan sistem hukum
internasional yang lain dan tidak bertindak sendiri dalam hukum internasional.
Dengan adanya kesesuaian semacam ini, maka Lamy berpendapat bahwa WTO selalu
bertindak dengan memperhatikan dan menyesuaikan dengan kehadiran organisasi
internasional yang lainnya.
Interaksi
aktual antara WTO dengan organisasi internasional yang lain dapat dilihat
dengan adanya hubungan yang jelas antara WTO dengan IMF dan Bank Dunia.
Hubungan ini dapat ditunjukkan dengan berbagai kerjasama antar lembaga dalam
masalah bantuan teknis dan capacity-building lewat berbagai perundingan serta
program – program bantuan yang dilakukan oleh organisasi multilateral lainnya
serta pengembangan secara regional untuk membantu negara – negara berkembang.
Lamy juga menunjukkan kerjasama antara WTO, Bank Dunia, dan FAO dalam
menentukan mekanisme Standards and Trade Development. Kemudian ada juga
kerjasama dengan WHO dan World Organization for Animal Health. Lamy juga
menyebutkan ada sekitar 75 organisasi internasional yang bertindak sebagai
observer di lingkungan badan – badan bentukan WTO. Berbagai kerjasama ini
dibentuk untuk mendapatkan berbagai kesesuaian dalam hukum internasional,
sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 1 Piagam PBB, yang menjadi masalah
krusial dalam legitimasi WTO dan efektivitas aturan perdagangannya.
Kebijakan
– kebijakan yang ditempuh oleh WTO dibentuk untuk kemudian diikuti berbagai
kewajiban yang harus dilaksanakan anggota – anggotanya, dan perlu dicatat bahwa
kesesuaian dengan aturan hukum internasional lain sangat menentukan pelaksanaan
kebijakan ini. Namun, meskipun Lamy berpendapat bahwa dunia internasional
membutuhkan adanya global governance,
namun sebagai seorang pragmatic practicioner
beliau mengatakan bahwa akan sangat
sulit untuk mendapatkan aplikasi serta penerapan yang ketat terkait dengan hal
tersebut karena tidak dapat dipungkiri berbagai keputusan yang dikeluarkan oleh
DSB seringkali berujung pada sengketa yang berkelanjutan, sehingga aturan WTO
serta mekanisme penyelesaian sengketa yang ditetapkan oleh WTO disadari tidak
akan selalu menyelesaikan masalah. Contoh kasus yang dikemukakannya adalah
antara Chile dan European Communities pada masalah perdagangan perikanan. Kasus
ini menimbulkan kebingungan antara kewenangan WTO pada perdagangan dan
kewenangan ITLOS karena terkait masalah hukum laut internasional dengan memakai
UNCLOS sebagai sumber hukumnya. Namun Lamy berpendapat,seharusnya yang dipakai
adalah mekanisme WTO karena terkait dengan jangka waktu penyelesaiannya yang
lebih efisien. Proses yang dilakukan di dalam WTO dianggapnya lebih cepat
daripada proses badan penyelesaian sengketa manapun di dunia ini. Disinilah
hadir adanya ketidakseimbangan kebutuhan penyelesaian sengketa yang dihadapi
oleh WTO. Meskipun WTO memiliki badan penyelesaian sengketa, yurisdiksi
terhadap masalah – masalah tertentu tetap dipertanyakan karena keseimbangan
antara norma – norma WTO dan kebutuhan akan determinasi norma internasional
lainnya sangat diperlukan. Ketika sengketa dimasukkan ke dalam WTO, hakim yang
ada di dalam WTO sangat mungkin untuk menentukan hukum secara hirarkis, karena
mengutamakan kepentingan perdagangan, sehingga norma hukum internasional yang
lainnya seolah – olah dikesampingkan.
Lamy
berpendapat bahwa tidak ada alasan untuk menyediakan WTO berbagai kewenangan
aksklusif untuk menentukan kesesuaian norma yang diambil dari berbagai aturan
internasional. Hal ini disebabkan adanya kelemahan mendasar dalam sistem WTO
yaitu kekuasaannya yang realtif serta mekanisme penyelesaian sengketanya yang
juga relatif. Hal ini sangat menunjukkan adanya ketidaksesuaian antata WTO
sebagai sebuah mekanisme penegakan aturan yang sangat kuat dengan countermeasures atau tindakan balasan
sebagai sistem desentralisasi tradisional dalam beberapa aturan hukum. Ada
banyak aspek dalam WTO yang harus dikembangkan. Berbagai solusi yang
dikemukakan oleh Lamy tidak akan membawa pada penyelesaian masalah yang terkait
dengan kekuatan mengikatnya dalam aturan internasional, namun setidaknya Lamy
percaya hal tersebut dapat membawa WTO menjadi lebih efektif dalam menjalankan
misinya dalam dunia perdagangan.
Di
akhir tulisannya, Lamy menyimpulkan bahwa WTO memiliki tempat dan peran dalam
aturan hukum internasional sebagai katalis bagi penghormatan terhadap
kesesuaian aturan internasional yang saling menguntungkan dan bahkan bagi
peningkatan global governance yang
dapat mengatur dunia internasional lebih baik lagi dalam bidang sosial,
politik, ekonomi, dan lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar