Selasa, 17 September 2013

TBT Agreement dan Regulasi Domestik Negara, Suatu Tinjauan Tentang Kekuatan Mengikat WTO Agreements



            Meskipun daya berlakunya terhadap hukum domestik suatu negara masih mendapatkan banyak perdebatan di kalangan para ahli[1], namun terminologi Agreements di dalam WTO memiliki dasar kuat untuk mengikat negara di dalam Article 3 Vienna Convention on The Law of Treaties 1969 yang berbunyi :
“The fact that the present Convention does not apply to international agreements concluded between States and other subjects of international law or between such other subjects of international law, or to international agreements not in written form, shall not affect:
(a) the legal force of such agreements;
(b) the application to them of any of the rules set forth in the present Convention to which they would be subject under international law independently of the Convention;
(c) the application of the Convention to the relations of States as between themselves under international agreements to which other subjects of international law are also parties.”[2]

serta Article 5 :
“The present Convention applies to any treaty which is the constituent instrument of an international organization and to any treaty adopted within an international organization without prejudice to any relevant rules of the organization.”[3]
            Beragamnya aturan yang dimuat dalam WTO Agreements ini dapat memunculkan potensi konflik norma. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, pertama, meningkatnya kompleksitas ukuran – ukuran perdagangan yang dapat mengakibatkan munculnya sebuah ukuran tunggal yang secara bersamaan akan mempengaruhi hak dan kewajiban di dalam GATT 1994, GATS, dan Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPS).[4] Dengan demikian, batas-batas antara aturan multilateral yang mengatur perdagangan barang, perdagangan jasa dan perdagangan yang terkait dengan aspek hak kekayaan intelektual menjadi kabur akibat pengaruh ini. Kedua, sifat WTO Agreement sebagai single undertaking menuntut kepatuhan kumulatif dengan semua perjanjian sebelumnya.[5]
            Dengan adanya berbagai aturan di dalam bingkai hak dan kewajiban yang tertuang dalam WTO Agreements dengan jumlah yang sangat banyak yang menuntut adanya single undertaking dengan semua perjanjian sebelumnya, maka keraguan tentang kekuatan mengikatnya menjadi cukup beralasan. Contracting parties di dalam WTO yang datang dari berbagai sistem hukum yang berbeda – beda dengan membawa norma masing – masing, serta kepentingan – kepentingan yang tentu saja berbeda pula, menjadi pembenar keraguan ini. Potensi tumpang tindih dan konflik internal di antara berbagai WTO Agreements yang tertutup pada akhirnya terjadi secara signifikan.[6] Hal ini disebabkan sebagian besar oleh karena struktur dasar hak WTO dan kewajiban – kewajibannya.[7]
            Secara struktural, puncak piramida hak dan kewajiban WTO adalah pada WTO Agreements.[8] Perjanjian ini sebagian besar bersifat kelembagaan dan berisi ketentuan yang mengatur isu-isu seperti keanggotaan, perubahan – perubahannya, dan pengambilan keputusan. Struktur dasar dari Perjanjian WTO seperti yang telah diuraikan di atas menyediakan lahan subur dan suasana yang memungkinkan terjadinya potensi konflik atau tumpang tindih dalam penerapan norma WTO.
            Pendekatan yang dilakukan oleh negosiator selama Uruguay Round adalah dengan memilih satu paket perjanjian perdagangan multilateral yang dilampirkan pada WTO Agreements. Hasilnya adalah model single undertaking, yaitu, satu paket perjanjian yang sama mengikat semua anggota WTO. Aksesi ke WTO sendiri mengandung pengertian penerimaan semua hak dan kewajiban yang terkandung dalam semua perjanjian multilateral yang terlampir pada WTO Agreements. Pendekatan single undertaking yang ditandai dengan negosiasi perdagangan dalam Uruguay Round sudah cukup mewakili pergeseran regulasi dalam peraturan perdagangan multilateral.
            Dalam Tokyo Round, penerapan Autonomous Codes yang berhubungan dengan topik – topik yang terkait dalam GATT dianggap mengurangi koherensi dari GATT karena banyak anggota GATT bukan merupakan pihak penyusun sehingga mengakibatkan tidak terikat oleh Codes.[9] Dengan demikian, pendekatan single undertaking, yang dijuluki “ingenious device,[10] menghindari apa yang dihadapi GATT sebagai masalah di dalam Tokyo Round dan dimaksudkan untuk mendorong koherensi antara perjanjian yang saling terkait.
            Dorongan dari pendekatan single undertaking dapat dilihat sebagai pengakuan bahwa WTO Agreements sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, lebih kuat daripada jumlah bagian-bagian penyusunnya. Di dalam sebuah laporan Appelate Body WTO menggaris-bawahi fakta bahwa WTO Agreements adalah sistem multilateral terpadu tentang peraturan perdagangan, yang berbeda dengan sistem GATT yang mendahuluinya.[11] Ketentuan perjanjian ini merupakan “an inseparable package of rights and disciplines which have to be considered in conjunction.”[12]
            Secara khusus, single undertaking dapat diartikan bahwa negara tidak dapat memilih untuk mengabaikan salah satu perjanjian walaupun negara tersebut tidak melihat manfaat dari perjanjian tersebut. Dengan prinsip ini, negara anggota WTO harus memiliki komitmen pada semua perjanjian yang telah disepakati dalam WTO. Jadi, sifat dari setiap WTO Agreements berdasarkan prinsip single undertaking ini adalah kolektif dan berlaku menyeluruh kepada seluruh anggotanya.
            Namun demikian, hal ini mengakibatkan konsekuensi yang berhubungan dengan potensi respon terhadap pelanggaran kewajiban yang timbul dari WTO Agreements. Ketika didapati bahwa ketentuan dalam WTO Agreements mengesampingkan kepentingan salah satu anggota WTO dan ketentuan tersebut pada akhirnya tidak diadopsi oleh anggota yang kepentingannya dikesampingkan, apakah pelanggaran ini hanya terjadi sebagai respon oleh satu atau lebih anggota WTO lainnya dalam serangkaian hubungan bilateral (kewajiban WTO secara bilateral) atau terhadap kolektivitas anggota WTO secara keseluruhan (kewajiban WTO secara kolektif)?  Sebagai bagian dari persoalan hukum internasional publik (lex specialis dalam WTO Agreements itu sendiri), jika kewajiban secara bilateral dibenarkan, hanya anggota WTO yang saling berhubungan bilateral tentang WTO Agreements itu saja yang dapat dimasukkan dalam pola pikir menghadapi pelanggaran tersebut.[13] Jika kewajiban kolektif berdasarkan prinsip single undertaking dibenarkan, maka semua anggota WTO akan dimungkinkan memiliki hak untuk menangguhkan kewajiban mereka dari WTO Agreements yang berhadapan dengan pelanggaran tersebut.[14]
            Persoalan yang dikemukakan di atas sangat berkaitan dengan konsep kedaulatan negara. Pandangan tentang kedaulatan negara sangat mendasari hak negara untuk mengikatkan diri pada sebuah perjanjian internasional, terutama yang dibuat di dalam sebuah organisasi internasional. Negara berdaulat memang berarti bahwa negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaanya sendiri.[15] Jika pandangan ini benar, maka kedaulatan negara dapat dianggap bertentangan dengan hukum internasional, bahkan boleh dikatakan bahwa paham kedaulatan demikian pada hakekatnya merupakan penyangkalan terhadap hukum internasional sebagai suatu sistem hukum yang mengikat bagi negara – negara dalam hubungannya satu sama lain.
            Pandangan tentang kedaulatan negara ini kemudian memiliki perkembangannya dalam dunia internasional dengan adanya doktrin “sovereignty as responsibility”.[16] Menurut doktrin ini, kedaulatan yang dimiliki oleh negara harus diartikan juga sebagai akuntabilitas kepada warganya dan masyarakat internasional.[17] Menurut Francis M Deng, [18] seharusnya kedaulatan tidak ditafsirkan secara negatif, dalam hal ini kedaulatan merupakan sarana yang dimiliki oleh negara untuk mengelola wilayah dan seluruh penduduknya untuk menetapkan hukum dan mewujudkan suatu tertib hukum dan menjalin hubungan internasional.
            Penafsiran kedaulatan secara positif menurut pandangan penulis akan membawa pada konsep tentang realism dan liberalism apabila ditinjau dari jalinan hubungan internasional antar negara. Konsep realism menurut G. Richard Shell,[19] menampilkan negara sebagai aktor utama di dalam segala urusan internasional dan memperlakukan semua negara secara otonom, sesuai dengan kepentingannya sendiri, dan didasarkan oleh pemikiran tunggal tentang kekuasaan itu sendiri, sedangkan liberalism menampilkan bahwa negara tidak dipahami sebagai sebuah entitas otonom yang memaksimalkan kekuasaannya sebagai aktor utama di panggung internasional. Para pemegang pandangan realism melihat dan mengemukakan bahwa negara adalah satu – satunya pelaku hukum internasional,sedangkan para pelaku liberalism, di sisi lain, percaya bahwa hukum internasional harus melampaui negara dan yang pada akhirnya akan menyebabkan pemerintahan dunia menjadi lebih legalistik.[20]
            Pada akhirnya, teori hukum internasional tidak lagi terbatas pada dua pilihan teori tersebut. David Kennedy dan Chris Tennant mengidentifikasi bahwa peningkatan dramatis selama dua dekade terakhir dalam volume karya ilmiah bertujuan untuk memikirkan kembali dasar-dasar hukum internasional dan untuk menanggapi tren terbaru dalam politik, sosial dan teori hukum.[21] Mirip dengan teori hukum internasional, teori hubungan internasional tidak lagi terbatas pada pilihan antara sinisme realism  atau utopianist liberalism. Salah satu alternatifnya adalah institusionalisme, sebuah studi tentang rezim. Rezim yang dimaksud adalah prinsip-prinsip, norma, aturan, dan prosedur pengambilan keputusan dengan mempertemukan ekspektasi para pelaku.[22] Institusionalis sangat tertarik dalam pembentukan rezim, baik tentang faktor yang menyebabkan kegigihan ataupun kematian rezim, kategorisasinya, dan konsekuensi dari adanya pembentukan rezim.[23]
            Dampak dari konsep institusionalisme yang berakar dari perdebatan antara realism dan liberalism tentang aktor utama dalam hukum internasional adalah pada kekuatan mengikat dari pemberlakuan sebuah hukum internasional itu sendiri. Secara umum, pandangan realism tidaklah mewakili jiwa dari keteraturan dunia itu sendiri, karena pusat dari pengaturan dunia menurut konsep realism adalah pada otonomi negara. Sedangkan, keteraturan dunia tidaklah bisa ditemukan dengan mengedepankan kepentingan satu negara saja, melainkan pada kepentingan bersama semua negara, dan itu didapatkan pada konsep liberalism dengan modifikasi Institusionalisme. Namun demikian, konsep liberalism juga memiliki porsi defisiensi arti yang sama dengan realism tentang keteraturan dunia. Defisiensi yang didapat dari konsep liberalisme adalah semakin mencoloknya perbedaan antara negara maju, negara berkembang, dan negara tertinggal. Jadi, kekuatan mengikat konsep institusionalisme itu sendiri lahir dari ketidakmampuan konsep realisme dan liberalisme dalam memberikan jalan keluar bagi keteraturan dunia.
            Konsep institusionalisme semakin jelas dan dapat diterima sebagai jalan keluar dengan mempertimbangkan Agency Theory dari Jan Wouters dan Philip De Man yang diterapkan dalam organisasi internasional, menyiratkan bahwa negara – negara tertentu membentuk organisasi internasional (agent) untuk menyelenggarakan beberapa fungsi yang dapat memberikan keuntungan kepada setiap anggotanya.[24] Dengan adanya Agency Theory ini, maka legal personality sebuah organisasi internasional sebagai bentuk nyata dari konsep institusionalisasi mendapatkan keabsahannya secara teori, seperti yang dielaborasikan oleh Gerhard Hafner.[25]
            Dalam menjalankan fungsinya sesuai Agency Theory dengan keabsahan lewat legal personality yang diberikan kepadanya, maka organisasi internasional memerlukan sebuah bingkai konseptual yang jelas dan komprehensif. Persoalan ini dapat dilihat dengan pendekatan Global Administrative Law seperti yang dikemukakan oleh Benedict Kingsbury dan Lorenzo Casini, dengan mengemukakan tiga alasan yaitu pertama, adanya permintaan yang begitu banyak akan akuntabilitas dari organisasi internasional, yang jika diatur dengan baik maka akan menimbulkan berbagai penyalahgunaan kewenangan di dalamnya seperti dicontohkan Dewan Keamanan PBB dalam keterlibatannya di program perminyakan dan makanan, kedua, adanya berbagai variasi pembedaan institusi organisasi internasional dalam lingkungan pemerintahan dunia yang lebih luas yang secara horizontal antara organisasi internasional dan aktor – aktor global lain, dan secara vertikal antara organisasi internasional satu sama lain, negara, dan administrasi nasional lain, yang dapat dianalisa dengan inter-public law yang diakomodasikan oleh Global Administrative Law, dan ketiga, aktivitas organisasi internasional dapat memproduksi dan menerapkan berbagai aturan, prinsip, keputusan, soft-law, dan non-legal norms yang baru, yang saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya.[26]
            Konsep institusionalisasi sangat mungkin memunculkan nascent global state (negara global yang baru), yang memiliki sifat kapitalis, dan berkarakter imperialis terhadap negara – negara dunia ketiga.[27] Meskipun demikian, konsep ini dapat dibangun kembali dengan mengubah aturan main, melembagakan kembali beberapa bentuk global citizenship, menetapkan proses negosiasi dan pengambilan keputusan secara demokratis, menjadikan lembaga internasional dan para pejabatnya bertanggung jawab terhadap hukum internasional, menggerakkan organisasi hak asasi manusia internasional untuk mengangkat penyebab adanya kaum marjinal dan tertindas, serta menjadikan perusahan – perusahan transnasional lebih akuntabel.[28] Pembangunan kembali konsep institusionalisme yang lebih bertanggung jawab terhadap negara – negara dunia ketiga ini, maka proses untuk mencapai uniform global standards dapat tercapai meskipun membutuhkan waktu yang tidak cepat.
            WTO sebagai salah satu organisasi internasional hasil dari konsep institusionalisasi dengan Agency Theory, menciptakan sebuah Global Administrative Law di bidang perdagangan yang tidak dapat dipungkiri memunculkan kesan kapitalis serta berkarakter imperialis. Namun demikian, dengan adanya berbagai special provisions untuk negara – negara berkembang,[29] maka beberapa aturan main baru yang diharapkan sebagai jalan keluar dari sifat kapitalis dan karakter imperialis tersebut dapat tercapai. Meskipun WTO Agreements masih memiliki kelemahan yang nyata tentang belum terakomodirnya seluruh kepentingan negara berkembang, namun dengan adanya tendensi bahwa terbatasnya pengecualian – pengecualian yang diajukan oleh berbagai negara terhadap WTO Agreements menegaskan bahwa kekuatan mengikat dari WTO Agreements bersifat nyata dan tegas.[30]
            Joost Pauwelyn dalam kesimpulan jurnalnya[31] berpendapat bahwa kekuatan mengikat dari kewajiban – kewajiban yang dibebankan WTO Agreements kepada negara anggotanya hendaknya hanya bersifat bilateral saja dikarenakan secara teori terdapat adanya contractual freedom dalam setiap perjanjian sesuai dengan Vienna Convention on The Law of Treaties[32] yang memberikan kebebasan kepada para pihak yang terlibat dalam perjanjian untuk memodifikasi perjanjian sesuai dengan kebutuhannya apabila ada kewajiban yang dibebankan oleh perjanjian melampaui kemampuan para pihak, dengan syarat tidak bertentangan dengan isi perjanjian. Hal ini akan menimbulkan potensi konflik norma seperti yang telah dipaparkan di atas.
            Keseluruhan pandangan yang dikemukakan di atas adalah mengenai daya mengikat WTO Agreements yang dapat dilihat dari dua sisi yaitu mengikat bilateral dan kolektif. Secara teoritis, WTO Agreements mengikat para pihak secara kolektif dengan melihat sifat single undertaking yang memberikan keterikatan bahwa negara tidak dapat memilih untuk mengabaikan salah satu perjanjian walaupun negara tersebut tidak melihat manfaat dari perjanjian tersebut. Dengan prinsip ini, negara anggota WTO harus berkomitmen pada semua perjanjian yang telah disepakati di dalam WTO. Namun di sisi lain, potensi konflik yang akan ditimbulkan oleh sifat kolektif ini memberikan pandangan baru bahwa hendaknya daya mengikat WTO Agreements dipandang secara bilateral saja.
            Salah satu argumen yang dapat diambil terkait perlunya pertimbangan konsep daya mengikat secara bilateral adalah dengan adanya Trade Policy Review Mechanism.[33] Pengawasan kebijakan perdagangan nasional merupakan kegiatan fundamental yang penting untuk menjalankan seluruh kebijakan WTO. Semua kebijakan nasional dari negara anggota WTO ditinjau oleh Trade Policy Review Body, dan frekuensi peninjauan masing-masing negara berbeda-beda sesuai dengan pangsa perdagangan dunia. Ketika didapati bahwa di dalam fase –fase gradualnya ada negara yang tidak memasukkan kewajiban – kewajiban yang dibebankan oleh WTO Agreements ke dalam schedule of commitment nasionalnya dan kemudian menimbulkan konflik untuk diselesaikan dalam Dispute Settlement Body WTO, maka kenyataan tentang pandangan sifat mengikat secara bilateral ini semakin diperlukan mengingat konsep kedaulatan negara yang sering dipandang secara negatif seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
            Pada akhirnya, kekuatan mengikat dari WTO Agreements dapat dipandang secara kolektif dan bilateral. Daya mengikat secara kolektif didapatkan secara teoritis, yaitu sifat single undertaking yang menyatakan bahwa WTO Agreements berlaku secara menyeluruh bagi semua anggota WTO, dan daya mengikat bilateral didapatkan secara analitis berdasarkan perkembangan kebutuhan serta potensi – potensi konflik norma yang ditimbulkan oleh bervariasinya aturan yang ditentukan oleh WTO Agreements itu sendiri, yang menyatakan bahwa WTO Agreements hendaknya diberlakukan kepada negara – negara yang kepentingannya dilindungi di dalam salah satu atau lebih WTO Agreements.


[1] Mo, op.cit., hlm. 3, lihat juga pendapat beberapa ahli seperiti Chris Carmody, WTO Obligations as Collective, 2006, yang dimuat dalam The European Journal of International Law Vol. 17 No.2 2006, Garzini, loc.cit., hlm. 724, Pauwelyn, loc.cit., hlm. 909, yang memperbandingkan kekuatan mengikat dari aturan – aturan WTO sebagai kolektif atau bilateral semata,
[2] Article 3 Vienna Convention on The Law of Treaties 1969. Berdasarkan ketentuan ini, maka segala perjanjian yang tidak terikat dengan konvensi ini dinyatakan tetap memiliki kekuatan mengikatnya sendiri sesuai dengan yang ditentukan oleh perjanjian itu sendiri.
[3] Article 5 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. Artikel ini sejauh pendapat penulis, menentukan bahwa perjanjian yang dibentuk dengan sebuah wadah semacam WTO memiliki kekuatan mengikat kepada seluruh contracting parties­-nya meskipun tidak dicantumkan secara spesifik di dalam perjanjian mengenai kekuatan mengikatnya.
[4] Hal ini dapat dilihat dalam laporan WTO tentang trade measures pada REPORT ON G-20 TRADE MEASURES (MID-OCTOBER 2011 TO MID-MAY 2012), yang lihat di http://www.wto.org/english/news_e/news12_e/g20_wto_report_may12_e.doc pada 26 Januari 2013
[5] Phillip I. Levy, 2004, Do we need an undertaker for the Single Undertaking? Considering the angles of variable geometry, Washington : US Department of State, lihat di http://www.ycsg.yale.edu/focus/gta/do_we_need.pdf pada 26 Januari 2013
[6] Claude Chase, 2012, Norm conflict between WTO covered agreements - real, apparent or avoided?, I.C.L.Q. 2012, 61(4), Cambridge University Press 2013, hlm. 791-821
[7] WJ Davey, 2007, The Quest for Consistency: Principles Governing the Interrelation of the WTO Agreements, dalam S Griller (ed), At the Crossroads: The World Trading System and the Doha Round, Springer, hlm. 105
[8] Claude Chase, loc.cit., hlm. 794.
[9] PJ Kuijper, ‘WTO Institutional Aspects’ dalam D Bethlehem et al (eds), 2009, Oxford Handbook of International Trade Law, Oxford University Press, hlm. 91. Lihat juga G Marceau dan J Trachtman, 2002, ‘The Technical Barriers to Trade Agreement, the Sanitary and Phytosanitary Measures Agreement, and the General Agreement on Tariffs and Trade, A Map of the World Trade Organization Law of Domestic Regulation of Goods’,  hlm. 36(5),  JWT 813. Autonomous Codes seperti yang dijelaskan Kuijper adalah pasal – pasal yang berlaku secara otonom bagi negara – negara tertentu saja, dan yang hanya memiliki kepentingannya bagi penerapan pasal tersebut.
[10] M Matsushita, T Schoenbaum dan P Mavroidis, 2006, The World Trade Organization, Law, Practice, and Policy, Oxford University Press, hlm. 7
[11] Appellate Body Report, Brazil -- Desiccated Coconut, hlm. 12. Lihat juga Appellate Body Report, Argentina -- Footwear (EC) para 81; Appellate Body Report, Korea -- Dairy para 74 yang setuju dengan pendapat Panel dalam kasus tersebut yang berpendapat bahwa “it is now well established that the WTO Agreement is a “Single Undertaking” and therefore all WTO obligations are generally cumulative and Members must comply with all of them simultaneously”, lihat di http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_e.htm, diakses pada 26 Januari 2013.
[12] Panel Report, Brazil -- Desiccated Coconut para 227; Panel Report, Turkey -- Textiles para 9.92, lihat di http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_e.htm, diakses pada 26 Januari 2013. Panel WTO berpendapat bahwa WTO Agreements adalah sebuah paket ketentuan yang tidak dapat dipisahkan yang harus dipertimbangkan bersama – sama.
[13] Article 60.2 (b) Vienna Convention on the Law of Treaties
[14] Article 48.1 ILC Draft Articles of State Responsibility
[15] Mochtar Kusumaatmadja, 1987, Pengantar Hukum Internasional, Bandung : Binacipta, hlm. 16 – 17.
[16] Sigit Riyanto, 2009, Kajian Hukum Internasional Tentang Pengaruh Kedaulatan Negara Terhadap Perlindungan Pengungsi Internal (Ringkasan Disertasi), Yogyakarta, hlm. 19.
[17] ibid
[18] Francis M Deng, Opening Remarks, published in Researching Internal Displacement, State of the Art, (Conference Report:1-8 February 2008), Trondheim-Norway, hlm. 5-6, sebagaimana dikutip oleh ibid.
[19] Lihat G.Richard Shell, 1996, The Trade Stakeholders Model and Participation by Nonstate Parties in the World Trade Organization, 17 U. Pa. J. Int'l Econ. L, hlm. 359, yang dimuat dalam Philip M.Nichols, 2004, REALISM, LIBERALISM, VALUES, AND THE WORLD TRADE ORGANIZATION, University of Pennsylvania Journal of International Economic Law Summer 2004 Special Series “The Journal in Review: A Look Back at Twenty-Five Years of the University of Pennsylvania Journal of International Economic Law”, University of Pennsylvania, hlm. 8.
[20] ibid
[21] David Kennedy dan Chris Tennant, 1994, New Approaches to International Law: A Bibliography, 35 Harvard International Law Journal. 417, hlm. 418, di dalam ibid.
[22] Stephen D. Krasner, 1985  Structural Conflict: The Third World Against Global Liberalism 4. Koneksi antara konsep Institusionalisme dan Hukum Internasional sangatlah erat, dapat dilihat dalam Kenneth W. Abbott, 1989, Modern International Relations Theory: A Prospectus for International Lawyers, 14 Yale J. Int'l L. 335, hlm. 406-41. Institusionalisme saat ini berada di garis depan dalam bidang Hukum Internasional, dapat dilihat dalam W. Michael Reisman, 1991, Book Review, 85 Am. J. Int'l L. 205, hlm. 206, yang mendeskripsikan teori rezim sebagai “the current rage in the United States”.
[23] Anne-Marie Slaughter, 1995, Book Review (Volker Rittberger ed. 1993), 89 Am. J. Int'l L. 454, hlm. 454-55 , yang dimuat dalam ibid,  yang mendiskusikan tentang kemampuan Teori Rezim dalam hubungannya dengan teori Hubungan Internasional.
[24] Jan Wouters dan Philip De Man,2009, International Organizations As Law Makers, Working Papers No. 21 Leuven Centre For Global Governance Studies, Leuven : Katholieke Universiteit Leuven, hlm. 4.
[25] Gerhard Hafner, 2007, Legal Personality of International Organizations, Eleven International Publishing, yang mengemukakan bahwa legal personality dari organisasi internasional bukan hanya muncul dari kepentingan hukum, namun juga dari kepentingan politik dunia, yang mendapatkan pengesahannya dari instrumen – instrumen internasional seperti Vienna Convention on the Law of the Treaties dengan pendapat : “international organizations possess the capacity to conclude treaties which is necessary for the exercise of their functions and the fulfilment of their purposes.”(bagian conclusion dari jurnal dengan mengutip kalimat dari The Work of International Law Commission 1996). Di sini organisasi internasional mendapatkan kekuatan untuk membuat perjanjian internasional yang mengikat (treaty making power).
[26] Benedict Kingsbury dan Lorenzo Casini, 2009, Global Administrative Law Dimensions of International Organizations Law, International Organizations Law Review 6 (2009) 319 – 358, Martinus Nijhoff Publishers, lihat di http://iilj.org/aboutus/documents/GALDimensionsofIOL.BK-LC.pdf, diakses pada 20 November 2011.
[27] BS. Chimni, 2004, International Institutions Today : An Imperial Global State In The Making, European Journal of International Law 2004, hlm. 1, lihat di http://www.ejil.org, diakses pada 9 November 2011.
[28] ibid.
[29] khusus untuk TBT Agreement, special provisions untuk negara berkembang tercantum dalam Article 11 TBT Agreement tentang permintaan technical asssistance dan Article 12.8 TBT Agreement yang mengatur sebuah negara dapat mengesampingkan standar internasional yang ditetapkan lewat TBT Agreement apabila standar tersebut tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan keuangan serta perdagangan negara mereka.
[30] Micahel J. Trebilcock dan Robert Howse, 1995, The Regulation of International Trade, New York : Routledge, hlm. 324.
[31] Joost Pauwelyn, loc.cit., hlm. 949
[32] Article (30) dan Article (41) Vienna Convention on the Law of Treaties
[33] Keterangan lengkap tentang Trade Policy Review Mechanism dapat dilihat dalam http://www.wto.org/english/tratop_e/tpr_e/tpr_e.htm pada 26 Januari 2013

Tidak ada komentar: