Meskipun daya berlakunya terhadap
hukum domestik suatu negara masih mendapatkan banyak perdebatan di kalangan
para ahli[1],
namun terminologi Agreements di dalam
WTO memiliki dasar kuat untuk mengikat negara di dalam Article 3 Vienna Convention on The Law of Treaties 1969 yang
berbunyi :
“The fact that the
present Convention does not apply to international agreements concluded between
States and other subjects of international law or between such other subjects
of international law, or to international agreements not in written form, shall
not affect:
(a) the legal force
of such agreements;
(b) the application
to them of any of the rules set forth in the present Convention to which they
would be subject under international law independently of the Convention;
(c) the application
of the Convention to the relations of States as between themselves under
international agreements to which other subjects of international law are also
parties.”[2]
serta Article 5 :
“The present Convention applies to any treaty which is
the constituent instrument of an international organization and to any treaty
adopted within an international organization without prejudice to any relevant rules
of the organization.”[3]
Beragamnya aturan yang dimuat dalam
WTO Agreements ini dapat memunculkan potensi konflik norma. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor, pertama, meningkatnya kompleksitas ukuran – ukuran perdagangan
yang dapat mengakibatkan munculnya sebuah ukuran tunggal yang secara bersamaan akan
mempengaruhi hak dan kewajiban di dalam GATT 1994, GATS, dan Trade Related Aspects of Intelectual
Property Rights (TRIPS).[4]
Dengan demikian, batas-batas antara aturan multilateral
yang mengatur perdagangan barang, perdagangan jasa dan perdagangan yang terkait
dengan aspek hak kekayaan intelektual menjadi kabur akibat pengaruh ini. Kedua,
sifat WTO Agreement sebagai single
undertaking menuntut kepatuhan kumulatif dengan semua perjanjian sebelumnya.[5]
Dengan adanya berbagai aturan di
dalam bingkai hak dan kewajiban yang tertuang dalam WTO Agreements dengan
jumlah yang sangat banyak yang menuntut adanya single undertaking dengan semua perjanjian sebelumnya, maka
keraguan tentang kekuatan mengikatnya menjadi cukup beralasan. Contracting parties di dalam WTO yang
datang dari berbagai sistem hukum yang berbeda – beda dengan membawa norma
masing – masing, serta kepentingan – kepentingan yang tentu saja berbeda pula,
menjadi pembenar keraguan ini. Potensi tumpang tindih dan konflik internal di
antara berbagai WTO Agreements yang tertutup pada akhirnya terjadi secara
signifikan.[6]
Hal ini disebabkan sebagian besar oleh karena struktur dasar hak WTO dan kewajiban
– kewajibannya.[7]
Secara struktural, puncak piramida
hak dan kewajiban WTO adalah pada WTO Agreements.[8]
Perjanjian ini sebagian besar bersifat kelembagaan dan berisi ketentuan yang
mengatur isu-isu seperti keanggotaan, perubahan – perubahannya, dan pengambilan
keputusan. Struktur dasar dari Perjanjian WTO seperti yang telah diuraikan di
atas menyediakan lahan subur dan suasana yang memungkinkan terjadinya potensi
konflik atau tumpang tindih dalam penerapan norma WTO.
Pendekatan yang dilakukan oleh
negosiator selama Uruguay Round adalah
dengan memilih satu paket perjanjian perdagangan multilateral yang dilampirkan pada WTO Agreements. Hasilnya adalah model
single undertaking, yaitu, satu paket
perjanjian yang sama mengikat semua anggota WTO. Aksesi ke WTO sendiri
mengandung pengertian penerimaan semua hak dan kewajiban yang terkandung dalam
semua perjanjian multilateral yang terlampir
pada WTO Agreements. Pendekatan single
undertaking yang ditandai dengan negosiasi perdagangan dalam Uruguay Round sudah cukup mewakili
pergeseran regulasi dalam peraturan perdagangan multilateral.
Dalam Tokyo Round, penerapan Autonomous
Codes yang berhubungan dengan topik – topik yang terkait dalam GATT dianggap
mengurangi koherensi dari GATT karena banyak anggota GATT bukan merupakan pihak
penyusun sehingga mengakibatkan tidak terikat oleh Codes.[9]
Dengan demikian, pendekatan single
undertaking, yang dijuluki “ingenious
device,[10]
menghindari apa yang dihadapi GATT sebagai masalah di dalam Tokyo Round dan dimaksudkan untuk
mendorong koherensi antara perjanjian yang saling terkait.
Dorongan dari pendekatan single undertaking dapat dilihat sebagai
pengakuan bahwa WTO Agreements sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, lebih
kuat daripada jumlah bagian-bagian penyusunnya. Di dalam sebuah laporan Appelate Body WTO menggaris-bawahi fakta
bahwa WTO Agreements adalah sistem multilateral
terpadu tentang peraturan perdagangan, yang berbeda dengan sistem GATT yang
mendahuluinya.[11]
Ketentuan perjanjian ini merupakan “an
inseparable package of rights and disciplines which have to be considered in
conjunction.”[12]
Secara khusus, single undertaking dapat diartikan bahwa negara tidak dapat memilih
untuk mengabaikan salah satu perjanjian walaupun negara tersebut tidak melihat
manfaat dari perjanjian tersebut. Dengan prinsip ini, negara anggota WTO harus
memiliki komitmen pada semua perjanjian yang telah disepakati dalam WTO. Jadi,
sifat dari setiap WTO Agreements berdasarkan prinsip single undertaking ini adalah kolektif dan berlaku menyeluruh
kepada seluruh anggotanya.
Namun demikian, hal ini
mengakibatkan konsekuensi yang berhubungan dengan potensi respon terhadap pelanggaran
kewajiban yang timbul dari WTO Agreements. Ketika didapati bahwa ketentuan
dalam WTO Agreements mengesampingkan kepentingan salah satu anggota WTO dan
ketentuan tersebut pada akhirnya tidak diadopsi oleh anggota yang kepentingannya
dikesampingkan, apakah pelanggaran ini hanya terjadi sebagai respon oleh satu
atau lebih anggota WTO lainnya dalam serangkaian hubungan bilateral (kewajiban WTO secara bilateral)
atau terhadap kolektivitas anggota WTO secara keseluruhan (kewajiban WTO secara
kolektif)? Sebagai bagian dari persoalan
hukum internasional publik (lex specialis
dalam WTO Agreements itu sendiri), jika kewajiban secara bilateral dibenarkan, hanya anggota WTO yang saling berhubungan bilateral tentang WTO Agreements itu
saja yang dapat dimasukkan dalam pola pikir menghadapi pelanggaran tersebut.[13]
Jika kewajiban kolektif berdasarkan prinsip single
undertaking dibenarkan, maka semua anggota WTO akan dimungkinkan memiliki
hak untuk menangguhkan kewajiban mereka dari WTO Agreements yang berhadapan
dengan pelanggaran tersebut.[14]
Persoalan yang dikemukakan di atas
sangat berkaitan dengan konsep kedaulatan negara. Pandangan tentang kedaulatan
negara sangat mendasari hak negara untuk mengikatkan diri pada sebuah
perjanjian internasional, terutama yang dibuat di dalam sebuah organisasi
internasional. Negara berdaulat memang berarti bahwa negara itu tidak mengakui
suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaanya sendiri.[15]
Jika pandangan ini benar, maka kedaulatan negara dapat dianggap bertentangan
dengan hukum internasional, bahkan boleh dikatakan bahwa paham kedaulatan
demikian pada hakekatnya merupakan penyangkalan terhadap hukum internasional
sebagai suatu sistem hukum yang mengikat bagi negara – negara dalam hubungannya
satu sama lain.
Pandangan tentang kedaulatan negara
ini kemudian memiliki perkembangannya dalam dunia internasional dengan adanya
doktrin “sovereignty as responsibility”.[16]
Menurut doktrin ini, kedaulatan yang dimiliki oleh negara harus diartikan juga
sebagai akuntabilitas kepada warganya dan masyarakat internasional.[17]
Menurut Francis M Deng, [18]
seharusnya kedaulatan tidak ditafsirkan secara negatif, dalam hal ini
kedaulatan merupakan sarana yang dimiliki oleh negara untuk mengelola wilayah
dan seluruh penduduknya untuk menetapkan hukum dan mewujudkan suatu tertib
hukum dan menjalin hubungan internasional.
Penafsiran kedaulatan secara positif
menurut pandangan penulis akan membawa pada konsep tentang realism dan liberalism
apabila ditinjau dari jalinan hubungan internasional antar negara. Konsep realism menurut G. Richard Shell,[19]
menampilkan negara sebagai aktor utama di dalam segala urusan internasional dan
memperlakukan semua negara secara otonom, sesuai dengan kepentingannya sendiri,
dan didasarkan oleh pemikiran tunggal tentang kekuasaan itu sendiri, sedangkan liberalism menampilkan bahwa negara
tidak dipahami sebagai sebuah entitas otonom yang memaksimalkan kekuasaannya sebagai
aktor utama di panggung internasional. Para pemegang pandangan realism melihat dan mengemukakan bahwa
negara adalah satu – satunya pelaku hukum internasional,sedangkan para pelaku liberalism, di sisi lain, percaya bahwa
hukum internasional harus melampaui negara dan yang pada akhirnya akan menyebabkan
pemerintahan dunia menjadi lebih legalistik.[20]
Pada akhirnya, teori hukum
internasional tidak lagi terbatas pada dua pilihan teori tersebut. David
Kennedy dan Chris Tennant mengidentifikasi bahwa peningkatan dramatis selama
dua dekade terakhir dalam volume karya ilmiah bertujuan untuk memikirkan
kembali dasar-dasar hukum internasional dan untuk menanggapi tren terbaru dalam
politik, sosial dan teori hukum.[21] Mirip
dengan teori hukum internasional, teori hubungan internasional tidak lagi
terbatas pada pilihan antara sinisme realism
atau utopianist
liberalism. Salah satu alternatifnya
adalah institusionalisme, sebuah studi tentang rezim. Rezim yang dimaksud adalah
prinsip-prinsip, norma, aturan, dan prosedur pengambilan keputusan dengan
mempertemukan ekspektasi para pelaku.[22]
Institusionalis sangat tertarik dalam pembentukan rezim, baik tentang faktor
yang menyebabkan kegigihan ataupun kematian rezim, kategorisasinya, dan
konsekuensi dari adanya pembentukan rezim.[23]
Dampak dari konsep institusionalisme
yang berakar dari perdebatan antara realism
dan liberalism tentang aktor utama
dalam hukum internasional adalah pada kekuatan mengikat dari pemberlakuan
sebuah hukum internasional itu sendiri. Secara umum, pandangan realism tidaklah mewakili jiwa dari
keteraturan dunia itu sendiri, karena pusat dari pengaturan dunia menurut
konsep realism adalah pada otonomi
negara. Sedangkan, keteraturan dunia tidaklah bisa ditemukan dengan
mengedepankan kepentingan satu negara saja, melainkan pada kepentingan bersama
semua negara, dan itu didapatkan pada konsep liberalism dengan modifikasi Institusionalisme. Namun demikian,
konsep liberalism juga memiliki porsi
defisiensi arti yang sama dengan realism tentang
keteraturan dunia. Defisiensi yang didapat dari konsep liberalisme adalah
semakin mencoloknya perbedaan antara negara maju, negara berkembang, dan negara
tertinggal. Jadi, kekuatan mengikat konsep institusionalisme itu sendiri lahir
dari ketidakmampuan konsep realisme dan liberalisme dalam memberikan jalan
keluar bagi keteraturan dunia.
Konsep institusionalisme semakin
jelas dan dapat diterima sebagai jalan keluar dengan mempertimbangkan Agency Theory dari Jan Wouters dan
Philip De Man yang diterapkan dalam organisasi internasional, menyiratkan bahwa
negara – negara tertentu membentuk organisasi internasional (agent) untuk menyelenggarakan beberapa
fungsi yang dapat memberikan keuntungan kepada setiap anggotanya.[24]
Dengan adanya Agency Theory ini, maka
legal personality sebuah organisasi
internasional sebagai bentuk nyata dari konsep institusionalisasi mendapatkan
keabsahannya secara teori, seperti yang dielaborasikan oleh Gerhard Hafner.[25]
Dalam menjalankan fungsinya sesuai Agency Theory dengan keabsahan lewat legal personality yang diberikan
kepadanya, maka organisasi internasional memerlukan sebuah bingkai konseptual
yang jelas dan komprehensif. Persoalan ini dapat dilihat dengan pendekatan Global Administrative Law seperti yang
dikemukakan oleh Benedict Kingsbury dan Lorenzo Casini, dengan mengemukakan
tiga alasan yaitu pertama, adanya permintaan yang begitu banyak akan
akuntabilitas dari organisasi internasional, yang jika diatur dengan baik maka
akan menimbulkan berbagai penyalahgunaan kewenangan di dalamnya seperti
dicontohkan Dewan Keamanan PBB dalam keterlibatannya di program perminyakan dan
makanan, kedua, adanya berbagai variasi pembedaan institusi organisasi
internasional dalam lingkungan pemerintahan dunia yang lebih luas yang secara
horizontal antara organisasi internasional dan aktor – aktor global lain, dan
secara vertikal antara organisasi internasional satu sama lain, negara, dan
administrasi nasional lain, yang dapat dianalisa dengan inter-public law yang diakomodasikan oleh Global Administrative Law, dan ketiga, aktivitas organisasi
internasional dapat memproduksi dan menerapkan berbagai aturan, prinsip,
keputusan, soft-law, dan non-legal norms yang baru, yang saling
tumpang tindih satu dengan yang lainnya.[26]
Konsep institusionalisasi sangat mungkin
memunculkan nascent global state (negara
global yang baru), yang memiliki sifat kapitalis, dan berkarakter imperialis
terhadap negara – negara dunia ketiga.[27]
Meskipun demikian, konsep ini dapat dibangun kembali dengan mengubah aturan
main, melembagakan kembali beberapa bentuk global
citizenship, menetapkan proses negosiasi dan pengambilan keputusan secara demokratis,
menjadikan lembaga internasional dan para pejabatnya bertanggung jawab terhadap
hukum internasional, menggerakkan organisasi
hak asasi manusia internasional untuk mengangkat penyebab adanya kaum marjinal dan tertindas, serta menjadikan perusahan – perusahan transnasional
lebih akuntabel.[28]
Pembangunan kembali konsep institusionalisme yang lebih bertanggung jawab
terhadap negara – negara dunia ketiga ini, maka proses untuk mencapai uniform global standards dapat tercapai
meskipun membutuhkan waktu yang tidak cepat.
WTO sebagai salah satu organisasi
internasional hasil dari konsep institusionalisasi dengan Agency Theory, menciptakan sebuah Global Administrative Law di bidang perdagangan yang tidak dapat
dipungkiri memunculkan kesan kapitalis serta berkarakter imperialis. Namun
demikian, dengan adanya berbagai special
provisions untuk negara – negara berkembang,[29]
maka beberapa aturan main baru yang diharapkan sebagai jalan keluar dari sifat
kapitalis dan karakter imperialis tersebut dapat tercapai. Meskipun WTO Agreements masih memiliki kelemahan
yang nyata tentang belum terakomodirnya seluruh kepentingan negara berkembang,
namun dengan adanya tendensi bahwa terbatasnya pengecualian – pengecualian yang
diajukan oleh berbagai negara terhadap WTO
Agreements menegaskan bahwa kekuatan mengikat dari WTO Agreements bersifat nyata dan tegas.[30]
Joost Pauwelyn dalam kesimpulan
jurnalnya[31]
berpendapat bahwa kekuatan mengikat dari kewajiban – kewajiban yang dibebankan
WTO Agreements kepada negara anggotanya hendaknya hanya bersifat bilateral saja dikarenakan secara teori
terdapat adanya contractual freedom
dalam setiap perjanjian sesuai dengan Vienna Convention on The Law of Treaties[32]
yang memberikan kebebasan kepada para pihak yang terlibat dalam perjanjian
untuk memodifikasi perjanjian sesuai dengan kebutuhannya apabila ada kewajiban
yang dibebankan oleh perjanjian melampaui kemampuan para pihak, dengan syarat
tidak bertentangan dengan isi perjanjian. Hal ini akan menimbulkan potensi
konflik norma seperti yang telah dipaparkan di atas.
Keseluruhan pandangan yang
dikemukakan di atas adalah mengenai daya mengikat WTO Agreements yang dapat
dilihat dari dua sisi yaitu mengikat bilateral
dan kolektif. Secara teoritis, WTO Agreements mengikat para pihak secara
kolektif dengan melihat sifat single
undertaking yang memberikan keterikatan bahwa negara tidak dapat memilih
untuk mengabaikan salah satu perjanjian walaupun negara tersebut tidak melihat
manfaat dari perjanjian tersebut. Dengan prinsip ini, negara anggota WTO harus
berkomitmen pada semua perjanjian yang telah disepakati di dalam WTO. Namun di
sisi lain, potensi konflik yang akan ditimbulkan oleh sifat kolektif ini
memberikan pandangan baru bahwa hendaknya daya mengikat WTO Agreements
dipandang secara bilateral saja.
Salah satu argumen yang dapat
diambil terkait perlunya pertimbangan konsep daya mengikat secara bilateral adalah dengan adanya Trade
Policy Review Mechanism.[33] Pengawasan
kebijakan perdagangan nasional merupakan kegiatan fundamental yang penting untuk
menjalankan seluruh kebijakan WTO. Semua kebijakan nasional dari negara anggota
WTO ditinjau oleh Trade Policy Review
Body, dan frekuensi peninjauan masing-masing negara berbeda-beda sesuai
dengan pangsa perdagangan dunia. Ketika didapati bahwa di dalam fase –fase
gradualnya ada negara yang tidak memasukkan kewajiban – kewajiban yang
dibebankan oleh WTO Agreements ke
dalam schedule of commitment nasionalnya
dan kemudian menimbulkan konflik untuk diselesaikan dalam Dispute Settlement Body WTO, maka kenyataan tentang pandangan sifat
mengikat secara bilateral ini semakin
diperlukan mengingat konsep kedaulatan negara yang sering dipandang secara
negatif seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
Pada akhirnya, kekuatan mengikat dari WTO Agreements
dapat dipandang secara kolektif dan bilateral.
Daya mengikat secara kolektif didapatkan secara teoritis, yaitu sifat single undertaking yang menyatakan bahwa
WTO Agreements berlaku secara menyeluruh bagi semua anggota WTO, dan daya
mengikat bilateral didapatkan secara
analitis berdasarkan perkembangan kebutuhan serta potensi – potensi konflik
norma yang ditimbulkan oleh bervariasinya aturan yang ditentukan oleh WTO
Agreements itu sendiri, yang menyatakan bahwa WTO Agreements hendaknya
diberlakukan kepada negara – negara yang kepentingannya dilindungi di dalam
salah satu atau lebih WTO Agreements.
[1] Mo, op.cit., hlm. 3, lihat juga pendapat
beberapa ahli seperiti Chris Carmody, WTO
Obligations as Collective, 2006, yang dimuat dalam The European Journal of
International Law Vol. 17 No.2 2006, Garzini, loc.cit., hlm. 724, Pauwelyn,
loc.cit., hlm. 909, yang memperbandingkan kekuatan mengikat dari aturan –
aturan WTO sebagai kolektif atau bilateral
semata,
[2] Article 3 Vienna Convention on The Law of Treaties 1969.
Berdasarkan ketentuan ini, maka segala perjanjian yang tidak terikat dengan
konvensi ini dinyatakan tetap memiliki kekuatan mengikatnya sendiri sesuai
dengan yang ditentukan oleh perjanjian itu sendiri.
[3] Article 5 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.
Artikel ini sejauh pendapat penulis, menentukan bahwa perjanjian yang dibentuk
dengan sebuah wadah semacam WTO memiliki kekuatan mengikat kepada seluruh contracting parties-nya meskipun tidak
dicantumkan secara spesifik di dalam perjanjian mengenai kekuatan mengikatnya.
[4] Hal ini
dapat dilihat dalam laporan WTO tentang trade
measures pada REPORT ON G-20 TRADE
MEASURES (MID-OCTOBER 2011 TO MID-MAY 2012), yang lihat di http://www.wto.org/english/news_e/news12_e/g20_wto_report_may12_e.doc
pada 26 Januari 2013
[5] Phillip I.
Levy, 2004, Do we
need an undertaker for the Single Undertaking? Considering the angles of variable geometry, Washington : US Department of State, lihat di
http://www.ycsg.yale.edu/focus/gta/do_we_need.pdf pada 26
Januari 2013
[6] Claude
Chase, 2012, Norm conflict between
WTO covered agreements - real, apparent or avoided?, I.C.L.Q.
2012, 61(4), Cambridge University Press 2013, hlm. 791-821
[7] WJ Davey,
2007, The Quest for Consistency:
Principles Governing the Interrelation of the WTO Agreements, dalam S
Griller (ed), At the Crossroads: The World Trading System and the Doha Round,
Springer, hlm. 105
[9] PJ
Kuijper, ‘WTO Institutional Aspects’ dalam
D Bethlehem et al (eds), 2009, Oxford Handbook of International Trade
Law, Oxford University Press, hlm. 91. Lihat juga G Marceau dan J Trachtman, 2002, ‘The
Technical Barriers to Trade Agreement, the Sanitary and Phytosanitary Measures
Agreement, and the General Agreement on Tariffs and Trade, A Map of the World Trade Organization
Law of Domestic Regulation of Goods’, hlm. 36(5), JWT 813. Autonomous Codes seperti yang
dijelaskan Kuijper adalah pasal – pasal yang berlaku secara otonom bagi negara
– negara tertentu saja, dan yang hanya memiliki kepentingannya bagi penerapan
pasal tersebut.
[10] M
Matsushita, T Schoenbaum dan P Mavroidis, 2006, The World Trade Organization, Law, Practice, and
Policy, Oxford University Press, hlm. 7
[11] Appellate
Body Report, Brazil -- Desiccated Coconut, hlm. 12. Lihat juga Appellate Body Report, Argentina --
Footwear (EC) para 81; Appellate Body Report, Korea -- Dairy para 74
yang setuju dengan pendapat Panel dalam kasus tersebut yang berpendapat bahwa “it is now well
established that the WTO Agreement is a “Single Undertaking” and
therefore all WTO obligations are generally cumulative and Members must comply
with all of them simultaneously”, lihat di
http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_e.htm, diakses pada
26 Januari 2013.
[12] Panel
Report, Brazil -- Desiccated Coconut para 227; Panel Report, Turkey -- Textiles para 9.92, lihat di http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_e.htm, diakses
pada 26 Januari 2013. Panel WTO
berpendapat bahwa WTO Agreements adalah
sebuah paket ketentuan yang tidak dapat dipisahkan yang harus dipertimbangkan
bersama – sama.
[16] Sigit
Riyanto, 2009, Kajian Hukum Internasional
Tentang Pengaruh Kedaulatan Negara Terhadap Perlindungan Pengungsi Internal
(Ringkasan Disertasi), Yogyakarta, hlm. 19.
[18] Francis M
Deng, Opening Remarks, published in Researching Internal Displacement, State of
the Art, (Conference Report:1-8 February 2008), Trondheim-Norway, hlm. 5-6,
sebagaimana dikutip oleh ibid.
[19] Lihat
G.Richard Shell, 1996, The Trade
Stakeholders Model and Participation by Nonstate Parties in the World Trade
Organization, 17 U. Pa. J. Int'l Econ. L, hlm. 359, yang dimuat dalam Philip M.Nichols, 2004, REALISM, LIBERALISM, VALUES, AND THE WORLD
TRADE ORGANIZATION, University of Pennsylvania Journal of International
Economic Law Summer 2004 Special Series “The Journal in Review: A Look Back at
Twenty-Five Years of the University of Pennsylvania Journal of International
Economic Law”, University of Pennsylvania, hlm. 8.
[21] David Kennedy dan Chris Tennant, 1994,
New
Approaches to International Law: A Bibliography, 35 Harvard International Law Journal. 417, hlm. 418, di dalam ibid.
[22] Stephen
D. Krasner, 1985 Structural Conflict: The Third World Against Global Liberalism 4.
Koneksi antara konsep Institusionalisme dan Hukum Internasional sangatlah erat,
dapat dilihat dalam Kenneth W. Abbott, 1989, Modern International Relations Theory: A Prospectus for International
Lawyers, 14 Yale J. Int'l L. 335, hlm. 406-41. Institusionalisme saat ini
berada di garis depan dalam bidang Hukum Internasional, dapat dilihat dalam W.
Michael Reisman, 1991, Book Review,
85 Am. J. Int'l L. 205, hlm. 206, yang mendeskripsikan teori rezim sebagai “the current rage in the United States”.
[23] Anne-Marie
Slaughter, 1995, Book Review (Volker
Rittberger ed. 1993), 89 Am. J. Int'l L. 454, hlm. 454-55 , yang dimuat
dalam ibid, yang mendiskusikan tentang kemampuan Teori
Rezim dalam hubungannya dengan teori Hubungan Internasional.
[24] Jan Wouters
dan Philip De Man,2009, International
Organizations As Law Makers, Working Papers No. 21 Leuven Centre For Global
Governance Studies, Leuven : Katholieke Universiteit Leuven, hlm. 4.
[25] Gerhard
Hafner, 2007, Legal Personality of
International Organizations, Eleven International Publishing, yang
mengemukakan bahwa legal personality dari
organisasi internasional bukan hanya muncul dari kepentingan hukum, namun juga
dari kepentingan politik dunia, yang mendapatkan pengesahannya dari instrumen –
instrumen internasional seperti Vienna
Convention on the Law of the Treaties dengan pendapat : “international organizations possess the
capacity to conclude treaties which is necessary for the exercise of their
functions and the fulfilment of their purposes.”(bagian conclusion dari jurnal dengan mengutip
kalimat dari The Work of International Law Commission 1996). Di sini organisasi
internasional mendapatkan kekuatan untuk membuat perjanjian internasional yang
mengikat (treaty making power).
[26] Benedict
Kingsbury dan Lorenzo Casini, 2009, Global
Administrative Law Dimensions of International Organizations Law,
International Organizations Law Review 6 (2009) 319 – 358, Martinus Nijhoff Publishers,
lihat di http://iilj.org/aboutus/documents/GALDimensionsofIOL.BK-LC.pdf,
diakses pada 20 November 2011.
[27] BS. Chimni,
2004, International Institutions Today :
An Imperial Global State In The Making, European Journal of International
Law 2004, hlm. 1, lihat di http://www.ejil.org, diakses pada 9 November 2011.
[29] khusus untuk
TBT Agreement, special provisions untuk
negara berkembang tercantum dalam Article
11 TBT Agreement tentang permintaan technical
asssistance dan Article 12.8 TBT
Agreement yang mengatur sebuah negara dapat mengesampingkan standar
internasional yang ditetapkan lewat TBT
Agreement apabila standar tersebut tidak sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan keuangan serta perdagangan negara mereka.
[30] Micahel J.
Trebilcock dan Robert Howse, 1995, The
Regulation of International Trade, New York : Routledge, hlm. 324.
[33] Keterangan
lengkap tentang Trade Policy Review Mechanism dapat dilihat dalam
http://www.wto.org/english/tratop_e/tpr_e/tpr_e.htm pada 26 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar