Keperluan akan sebuah sistem standardisasi sebagai
bingkai peraturan perdagangan bebas yang mengakomodasi kepentingan setiap hukum
domestik untuk mendapatkan hukum global yang diakui mengadaptasi proses sosio
ekonomi dan politik, bukan saja memerlukan konsep dasar dengan sumber formal lewat
pendekatan prosedural sebagai perwujudan dari formalisme aturan, namun juga
proses yang dinamis. Pendekatan dinamis dan prosedural ini dilakukan dengan
melihat adanya interaksi antara organisasi internasional dan bingkai – bingkai
hukum konvensional yang tertuang dalam berbagai international agreement yang mengelaborasikan berbagai prosedur
yang mengatur penggunaan fungsi normatif dari badan – badan yang menciptakan
dan mengaplikasikan hukum mereka.[1]
Proses interaksi ini merupakan perwujudan dari sifat dinamis akan pembuatan
dari hukum itu sendiri sedangkan prosedur yang membentuk interaksi ini dapat
memberikan garansi adanya bentuk formalisme.
Secara kasat mata, kita dapat
melihat bahwa berbagai bentuk prosedural dan dinamis akan sebuah international legal order tersusun dalam
konteks institusional. TBT Agreement
yang disusun oleh WTO, yang saat ini diakui sebagai satu – satunya institusi
internasional yang mampu berperan secara menyeluruh dalam dunia perdagangan
internasional, dapat diteliti sebagai sebuah international legal order yang dinamis dan prosedural lewat
pemeriksaan terhadap setidaknya tiga pertanyaan yaitu dimana konsep dinamis dan
prosedural ini mendapatkan tempatnya, dengan melihat kredibilitas dari TBT Agreement; bingkai apa yang
ditawarkan oleh TBT Agreement sehingga
dianggap sebagai sebuah konsep yang dinamis dan prosedural, dengan menjelaskan
konsep standardisasi itu sendiri; dan apa konsekuensi dari standardisasi yang
ditawarkan oleh TBT Agreement itu
sendiri, dengan melihat kemajuan – kemajuan yang telah dan berpotensi akan
ditemukan olehnya.
1.
Kredibilitas
TBT Agreement.
Masyarakat dan hukum (legal order) hadir secara bersama –
sama dalam kehidupan ini, dimana hukum yang menyediakan bingkai pengaturan
tanpa adanya masyarakat tidak akan pernah ada.[2]
Dengan pengertian sosial tentang sifat dari hukum ini, yang dinamakan kesatuan
peraturan secara sekunder, yang mengatur fungsinya, ditandai dengan ciri khas
dari masyarakat itu sendiri, yaitu saling bergantung.[3]
Untuk masyarakat internasional, masing – masing berhadapan dengan apa yang
disebut dengan Yannick Radi sebagai “contemporary
schizophrenia”[4]
dan dengan demikian berhadapan pula dengan pluralitas metode pembuatan
hukumnya yang saling bertentangan.[5]
Oleh Yannick Radi, konsep coexistence dari
“contemporary schizophrenia” menggambarkan
masyarakat dan hukum muncul bersama – sama merupakan produk sebelum perang
dunia ke – 2, dan sesudahnya memunculkan konsep co-operation sebagai bentuk dari saling bergantungnya masyarakat
dan hukum.[6]
Konsep co-operation inilah yang
kemudian mengkontekstualisasikan prosedur yang dinamis itu.
TBT
Agreement sebagai salah satu dari sekian banyak WTO Agreements yang tertuang dalam Annex IA pada Marrakesh
Agreement Establishing the World Trade Organization, merupakan bentuk
akomodasi dari berbagai hubungan rezim perdagangan internasional dan kebijakan
– kebijakan di bidang sosial, lingkungan, dan kesehatan,[7]
yang merupakan elaborasi secara implisit dari adanya hubungan co-operative masyarakat internasional lewat
mekanisme peraturan lewat bingkai institusionalisasi. Appellate Body WTO sendiri telah menyetujui bahwa rezim WTO
memiliki kapasitas untuk mengakomodasikan hubungan – hubungan tersebut, namun
demikian hal ini masih terus diperdebatkan.[8]
Prosedur dan substantif hukum
memiliki hubungan yang spesial karena prosedur hukum membantu untuk memutuskan
sesuatu sebagai manfaat dari sebuah tindakan, sehingga membuat hukum menjadi
nyata,[9] oleh
karena itu dapat dikatakan di mana ada kesalahan, disitulah akan muncul
penyelesaian terhadapnya.[10] TBT Agreement muncul sebagai tuntutan
masyarakat internasional yang menginginkan perdagangan bebas yang lebih adil,
dengan menerapkan standardisasi yang lebih prosedural dan dapat dipercaya.
Meskipun diskusi tentang hubungan TBT
Agreement dengan standar internasional yang lain masih dapat
terelaborasikan dengan luas,[11]
namun prosedur yang ditawarkan TBT
Agreement setidaknya telah mewakili kepentingan sebagian besar harapan
masyarakat dunia yang dimaknai dengan tersusunnya agreement ini dalam bingkai WTO yang diwakili oleh sebagian besar
negara di dunia yang memiliki kepentingan yang sama dalam dunia perdagangan
internasional.
2. Konsep Standardisasi oleh TBT Agreement.
Prosedur yang dinamis adalah
karakteristik dari bingkai internasional yang mewujudkan perilaku cooperative dari masyarakat
internasional.[12]
Metode pembentukan hukum yang prosedural dan dinamis ini merupakan hal yang
sangat khas bagi semua masyarakat baik domestik maupun internasional, yang
dikarakterisasikan baik oleh tingkat kerjasama tertentu antara para anggota maupun
oleh keberagaman nilai dan kepentingan mereka. Akibat dari ciri khas dan
karakterisasi tersebut, hukum dihadapkan pada ketidakpastian bukan hanya pada
tingkat masyarakat, namun juga secara normatif. Hal ini sangat besar disebabkan
adanya keberagaman hukum, penerapannya, serta bingkai yang mengaturnya pun
berbeda – beda dari masyarakat internasional itu sendiri.
Pada tingkatan WTO, masing – masing
negara membawa kepentingannya dalam dunia perdagangan internasional untuk
kemudian secara rutin didiskusikan dalam Ministerial
Conference untuk mendapatkan sebuah pengaturan yang mampu menyatukan
berbagai kepentingan tersebut. Hal ini sangat sulit untuk dilaksanakan tanpa
adanya bingkai – bingkai peraturan yang lebih bersifat khusus sebagai bentuk
elaborasi yang lebih mendalam dalam mencapai kata sepakat di antara mereka. TBT Agreement
sebagai sebuah bingkai khusus dalam pengaturan perdagangan internasional
dalam hal trade barriers dapat
diasosiasikan sebagai hasil pembuatan hukum dengan konsep dialectic logic oleh Aristoteles,[13]
khususnya dalam bingkai cooperative masyarakat
internasional. Metode pembuatan hukum dengan dialectic logic ini terwujud dalam bentuk standardisasi yang
dikarakterisasikan secara dinamis karena dibuat dari bentuk dialog antar
otoritas pembuat aturan (dalam hal ini Dispute
Settlement Body WTO) yang tujuannya adalah untuk membuat sebuah bentuk
komposisi aturan yang berisikan berbagai kepentingan.[14]
Selain itu, komposisi aturan yang dikonsepkan oleh standardisasi ini bentuknya
formal dan dapat diproses secara prosedural.[15]
3.
Konsekuensi
Standardisasi oleh TBT Agreement.
Standardisasi oleh TBT Agreement memiliki berbagai konsekuensi
mengenai cara bagaimana hukum internasional itu dibuat secara dinamis. Hal
pertama yang dapat ditinjau adalah konseptualisasi secara dinamis dan
prosedural dari sumber – sumber formal hukum internasional. Konsep
standardisasi yang ditawarkan oleh TBT
Agreement secara dinamis dan prosedural dalam bingkai cooperative mengkonsepkan prosedur yang berasal dari berbagai
sumber, seperti pada laporan Appellate
Body dalam kasus US-Clove Cigarettes
.[16]
Prosedur dari berbagai sumber ini menyatakan bahwa instrumen – instrumen dapat
muncul oleh karena TBT Agreement juga
sama dengan teori tradisional tentang sumber hukum internasional.[17]
Namun demikian, sumber yang
dihasilkan oleh standardisasi dalam TBT
Agreement tidaklah memiliki karakter yang monopolitik serta tidak
menciptakan kevakuman hukum, namun sering memunculkan karakter supra-norm dengan melampaui aturan –
aturan yang sudah ada. Hal ini dapat dilihat pada kasus US-Clove Cigarettes yang menurut penulis dapat saja melampaui
regulasi di bidang kesehatan. Karakterisasi Paragraph
5.2 Doha Ministerial Decision sebagai
subsequent agreement untuk keperluan
menginterpretasikan Article 2.12 TBT
Agreement berpotensi memiliki konsekuensi terhadap berbagai keputusan dan
deklarasi yang dibuat oleh WTO
Ministerial Conference dan General
Council. Pemikiran Appellate Body ini
dapat memberikan efek terhadap interpretatif yang cukup signifikan terhadap
keputusan dari General Council WTO
dengan tidak mengindahkan syarat yang ditetapkan oleh WTO Agreement on Trade Related Aspects of intelectual Property Rights.[18]
Dengan demikian TBT Agreement dapat
saja dijadikan sebagai pola pikir utama yang dapat mempengaruhi kedudukan agreement yang lain berdasarkan bukti –
bukti yang diajukan para pihak.
Ketiga alasan yang dikemukakan di atas bukan menjadi
sebuah tolak ukur bahwa TBT Agreement merupakan
sebuah konsep aturan yang dinamis dan prosedural sehingga menciptakan sebuah sistem
hukum yang benar – benar efektif untuk diterapkan dalam bidang standardisasi
internasional. Penelitian di atas masih dapat diperdebatkan dengan semakin
maraknya partisipasi berbagai non-governmental
organizations yang aktif terlibat dalam berbagai agenda internasional. WTO
mengakomodir kehadiran mereka dengan dimasukkannya pengaturan tentang non-governmental organizations dalam Article V Agreement Establishing the World Trade Organization.[19]
Peran non-governmental organizations yang
semakin besar belakangan ini[20]
membawa pada pemikiran bahwa keterlibatan itu bukanlah sesuatu yang negatif
namun membawa dampak yang cukup positif dalam dunia perdagangan internasional.[21]
[1] Yannick
Radi, 2012, Standardization : a Dynamic
and Procedural Conceptualization of International Law Making, Leiden
Journal of International Law 2012, 25(2), 283 – 307, hlm. 2, lihat di
http://international.westlaw.com, diakses pada 23 Januari 2013.
[2] Pietro
Costa, The Rule of Law : A Historical
Introduction, dalam Pietro Costa dan Danilo Zolo, ed., 2007, The Rule of Law, History, Theory and
Criticism, Dordrecht : Springer, hlm.86, dengan menjelaskan pendapat
Immanuel Kant bahwa hukum bukanlah ekspresi dari keinginan akan sebuah
kedaulatan, namun memerlukan adanya master
control terhadap keinginan individu akan kedaulatan tersebut, yaitu
masyarakat.
[4] Yannick
Radi, loc.cit., hlm. 3, menjelaskan
bahwa contemporary schizophrenia adalah
produk yang berasal dari evolusi sejarah, yang diseimbangkan secara progresif
selama abad ke – 20 antara apa yang disebut dengan coexistence dan cooperation.
[5] ibid. Yannick Radi mempertentangkan pendapat P. Weil dalam
P.Weil, 1983, Towards Relative
Normativity in International Law, 77 AJIL 413, hlm. 419, yang mengemukakan
bahwa meskipun telah terjadi transformasi masyarakat internasional setelah
perang dunia ke – 2, fungsi dari hukum internasional tetaplah sama sejak awal,
dan tidak akan ada kesalahan yang lebih fatal yang dapat dibuat oleh era modern
dengan apa yang telah dilakukan pada zaman klasik.
[9] Gernot Biehler,
2008, Procedures in International Law,
Verlag Berlin Heidelbergh : Springer, hlm. 1.
[10] Hillary
Delany, 2007, Equity and the Law of
Trusts in Ireland, 4th ed., Thomson Round Hall, hlm. 13 dengan
mengungkapkan “equity will not suffer a
wrong to be without a remedy”, “that equity will intervene to protect a
recognized right which for some reason is not enforceable at common law.”
[11] lihat pada
pembahasan BAB V dengan memperhatikan hubungan TBT Agreement dan badan standardisasi internasional yang lain seperti
ISO dan Codex Alimentarius Commission.
[13] Robin
Hirsch, 2004, Logic and Dialectics,
Cultural Logic, lihat di http://clogic.eserver.org/2004/hirsch.html, diakses
pada 13 Februari 2013. Dialectic Logic yang
dipaparkan Aristoteles oleh Hirsch sejauh pandangan penulis adalah metode
berpikir dengan pola yang berasal dari premis – premis yang dikembangkan
berdasarkan pemikiran dua atau lebih arah, dan terjadi percakapan di dalamnya,
untuk memutuskan sesuatu hal.
[14] hal ini
tergambar jelas dalam berbagai putusan Panel
dan Appellate Body WTO yang
setiap putusannya selalu mempertimbangkan putusan – putusan dari kasus – kasus
yang telah ada oleh Panel dan Appellate Body WTO sebelumnya dalam
setiap legal reasoning-nya. Terkait
standardisasi telah dibahas pada BAB V pada kasus EC-Asbestos, EC-Sardines, dan US-Clove
Cigarettes.
[15] Bentuk
prosedural dari standardisasi dapat direfleksikan pada badan – badan
standardisasi seperti ISO dan Codex
Alimentarius. Sebagai referensi untuk ISO, lihat International Organization
for Standardization, 2012,
ISO Standards : What’s The
Bottom Line?, Switzerland : ISO Central Secretariat, loc.cit., dan referensi untuk Codex Alimentarius Commission lihat Codex Alimentarius Commission, 2011, Procedural Manual, 20th ed., Rules of
Procedures of the Codex Alimentarius
Commission, Rome : World Health Organization and Food And Agricultural
Organization of the United Nations, Rule III,2, loc.cit.
[16] Lihat pada
putusan Panel dan Appellate Body pada US-Clove Cigarettes yang memakai WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sebagai salah
satu legal resoning-nya pada
Appellate Body Report, US-Clove
Cigarettes, kalimat terakhir pada paragraf 235 : “Moreover,
we recognize the importance of Members' efforts in the World Health
Organization on tobacco control.”
[17] Lihat Article 38 the 1945 Statute of the
International Court of Justice : “1.
The Court, whose function is to decide in accordance with international law
such disputes as are submitted to it, shall apply:a. international conventions,
whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the
contesting states;b. international custom, as evidence of a general practice
accepted as law;c. the general principles of law recognized by civilized
nations;d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the
teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as
subsidiary means for the determination of rules of law.2. This provision shall
not prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree thereto.”
[18] WTO General
Council, Implementation of Paragraph 6 of
the Doha Declaration on the TRIPS Agreement and Public Health:Decision of 30
August 2003 WT/L/540, yang lihat di
http://www.wto.org/english/tratop_e/trips_e/implem_para6_e.htm, diakses pada 13
Februari 2013.
[19] Article V Agreement Establishing the World Trade Organization berbunyi
: Relations with
Other Organizations : 1. The General Council shall make
appropriate arrangements for effective cooperation
with other intergovernmental organizations that have responsibilities related
to those of the
WTO; 2. The General Council may make
appropriate arrangements for consultation and
cooperation with non-governmental organizations concerned with matters related
to those of the WTO.
[20] Peter van
den Bossche, 2006, NGO Involvement in the
WTO : A lawyer’s perspective on a glass half-full or half empty?,
Maastricht Working Papers, Maastricht : Faculty of Law Maastricht Universiteit
Maastricht, hlm. 2, lihat di http://arno.unimaas.nl/show.cgi?fid=7321, diakses
pada 13 Februari 2013.
[21] Daniel C.
Esty, 1998, Non-Governmental Organization
At The World Trade Organization : Cooperation, Competition, or Exclusion,
Journal of International Economic Law 1, hlm. 123, lihat di
http://digitalcommons.law.yale.edu/cgi/viewcontent.cgi?Article=1446&context=fss_papers, diakses pada 14 Februari 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar