Selasa, 17 September 2013

Technical Barriers To Trade Agreement Sebagai Suatu Konsep Standardisasi Dinamis dan Prosedural



            Keperluan akan sebuah sistem standardisasi sebagai bingkai peraturan perdagangan bebas yang mengakomodasi kepentingan setiap hukum domestik untuk mendapatkan hukum global yang diakui mengadaptasi proses sosio ekonomi dan politik, bukan saja memerlukan konsep dasar dengan sumber formal lewat pendekatan prosedural sebagai perwujudan dari formalisme aturan, namun juga proses yang dinamis. Pendekatan dinamis dan prosedural ini dilakukan dengan melihat adanya interaksi antara organisasi internasional dan bingkai – bingkai hukum konvensional yang tertuang dalam berbagai international agreement yang mengelaborasikan berbagai prosedur yang mengatur penggunaan fungsi normatif dari badan – badan yang menciptakan dan mengaplikasikan hukum mereka.[1] Proses interaksi ini merupakan perwujudan dari sifat dinamis akan pembuatan dari hukum itu sendiri sedangkan prosedur yang membentuk interaksi ini dapat memberikan garansi adanya bentuk formalisme.
            Secara kasat mata, kita dapat melihat bahwa berbagai bentuk prosedural dan dinamis akan sebuah international legal order tersusun dalam konteks institusional. TBT Agreement yang disusun oleh WTO, yang saat ini diakui sebagai satu – satunya institusi internasional yang mampu berperan secara menyeluruh dalam dunia perdagangan internasional, dapat diteliti sebagai sebuah international legal order yang dinamis dan prosedural lewat pemeriksaan terhadap setidaknya tiga pertanyaan yaitu dimana konsep dinamis dan prosedural ini mendapatkan tempatnya, dengan melihat kredibilitas dari TBT Agreement; bingkai apa yang ditawarkan oleh TBT Agreement sehingga dianggap sebagai sebuah konsep yang dinamis dan prosedural, dengan menjelaskan konsep standardisasi itu sendiri; dan apa konsekuensi dari standardisasi yang ditawarkan oleh TBT Agreement itu sendiri, dengan melihat kemajuan – kemajuan yang telah dan berpotensi akan ditemukan olehnya.

1.      Kredibilitas TBT Agreement.
            Masyarakat dan hukum (legal order) hadir secara bersama – sama dalam kehidupan ini, dimana hukum yang menyediakan bingkai pengaturan tanpa adanya masyarakat tidak akan pernah ada.[2] Dengan pengertian sosial tentang sifat dari hukum ini, yang dinamakan kesatuan peraturan secara sekunder, yang mengatur fungsinya, ditandai dengan ciri khas dari masyarakat itu sendiri, yaitu saling bergantung.[3] Untuk masyarakat internasional, masing – masing berhadapan dengan apa yang disebut dengan Yannick Radi sebagai “contemporary schizophrenia”[4] dan dengan demikian berhadapan pula dengan pluralitas metode pembuatan hukumnya yang saling bertentangan.[5] Oleh Yannick Radi, konsep coexistence dari “contemporary schizophrenia” menggambarkan masyarakat dan hukum muncul bersama – sama merupakan produk sebelum perang dunia ke – 2, dan sesudahnya memunculkan konsep co-operation sebagai bentuk dari saling bergantungnya masyarakat dan hukum.[6] Konsep co-operation inilah yang kemudian mengkontekstualisasikan prosedur yang dinamis itu.
            TBT Agreement sebagai salah satu dari sekian banyak WTO Agreements yang tertuang dalam Annex IA pada Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization, merupakan bentuk akomodasi dari berbagai hubungan rezim perdagangan internasional dan kebijakan – kebijakan di bidang sosial, lingkungan, dan kesehatan,[7] yang merupakan elaborasi secara implisit dari adanya hubungan co-operative masyarakat internasional lewat mekanisme peraturan lewat bingkai institusionalisasi. Appellate Body WTO sendiri telah menyetujui bahwa rezim WTO memiliki kapasitas untuk mengakomodasikan hubungan – hubungan tersebut, namun demikian hal ini masih terus diperdebatkan.[8]
            Prosedur dan substantif hukum memiliki hubungan yang spesial karena prosedur hukum membantu untuk memutuskan sesuatu sebagai manfaat dari sebuah tindakan, sehingga membuat hukum menjadi nyata,[9] oleh karena itu dapat dikatakan di mana ada kesalahan, disitulah akan muncul penyelesaian terhadapnya.[10] TBT Agreement muncul sebagai tuntutan masyarakat internasional yang menginginkan perdagangan bebas yang lebih adil, dengan menerapkan standardisasi yang lebih prosedural dan dapat dipercaya. Meskipun diskusi tentang hubungan TBT Agreement dengan standar internasional yang lain masih dapat terelaborasikan dengan luas,[11] namun prosedur yang ditawarkan TBT Agreement setidaknya telah mewakili kepentingan sebagian besar harapan masyarakat dunia yang dimaknai dengan tersusunnya agreement ini dalam bingkai WTO yang diwakili oleh sebagian besar negara di dunia yang memiliki kepentingan yang sama dalam dunia perdagangan internasional.
2.      Konsep Standardisasi oleh TBT Agreement.
            Prosedur yang dinamis adalah karakteristik dari bingkai internasional yang mewujudkan perilaku cooperative dari masyarakat internasional.[12] Metode pembentukan hukum yang prosedural dan dinamis ini merupakan hal yang sangat khas bagi semua masyarakat baik domestik maupun internasional, yang dikarakterisasikan baik oleh tingkat kerjasama tertentu antara para anggota maupun oleh keberagaman nilai dan kepentingan mereka. Akibat dari ciri khas dan karakterisasi tersebut, hukum dihadapkan pada ketidakpastian bukan hanya pada tingkat masyarakat, namun juga secara normatif. Hal ini sangat besar disebabkan adanya keberagaman hukum, penerapannya, serta bingkai yang mengaturnya pun berbeda – beda dari masyarakat internasional itu sendiri.
            Pada tingkatan WTO, masing – masing negara membawa kepentingannya dalam dunia perdagangan internasional untuk kemudian secara rutin didiskusikan dalam Ministerial Conference untuk mendapatkan sebuah pengaturan yang mampu menyatukan berbagai kepentingan tersebut. Hal ini sangat sulit untuk dilaksanakan tanpa adanya bingkai – bingkai peraturan yang lebih bersifat khusus sebagai bentuk elaborasi yang lebih mendalam dalam mencapai kata sepakat di antara mereka. TBT Agreement sebagai sebuah bingkai khusus dalam pengaturan perdagangan internasional dalam hal trade barriers dapat diasosiasikan sebagai hasil pembuatan hukum dengan konsep dialectic logic oleh Aristoteles,[13] khususnya dalam bingkai cooperative masyarakat internasional. Metode pembuatan hukum dengan dialectic logic ini terwujud dalam bentuk standardisasi yang dikarakterisasikan secara dinamis karena dibuat dari bentuk dialog antar otoritas pembuat aturan (dalam hal ini Dispute Settlement Body WTO) yang tujuannya adalah untuk membuat sebuah bentuk komposisi aturan yang berisikan berbagai kepentingan.[14] Selain itu, komposisi aturan yang dikonsepkan oleh standardisasi ini bentuknya formal dan dapat diproses secara prosedural.[15]
3.      Konsekuensi Standardisasi oleh TBT Agreement.
            Standardisasi oleh TBT Agreement memiliki berbagai konsekuensi mengenai cara bagaimana hukum internasional itu dibuat secara dinamis. Hal pertama yang dapat ditinjau adalah konseptualisasi secara dinamis dan prosedural dari sumber – sumber formal hukum internasional. Konsep standardisasi yang ditawarkan oleh TBT Agreement secara dinamis dan prosedural dalam bingkai cooperative mengkonsepkan prosedur yang berasal dari berbagai sumber, seperti pada laporan Appellate Body dalam kasus ­US-Clove Cigarettes .[16] Prosedur dari berbagai sumber ini menyatakan bahwa instrumen – instrumen dapat muncul oleh karena TBT Agreement juga sama dengan teori tradisional tentang sumber hukum internasional.[17]
            Namun demikian, sumber yang dihasilkan oleh standardisasi dalam TBT Agreement tidaklah memiliki karakter yang monopolitik serta tidak menciptakan kevakuman hukum, namun sering memunculkan karakter supra-norm dengan melampaui aturan – aturan yang sudah ada. Hal ini dapat dilihat pada kasus US-Clove Cigarettes yang menurut penulis dapat saja melampaui regulasi di bidang kesehatan. Karakterisasi Paragraph 5.2 Doha Ministerial Decision sebagai subsequent agreement untuk keperluan menginterpretasikan Article 2.12 TBT Agreement berpotensi memiliki konsekuensi terhadap berbagai keputusan dan deklarasi yang dibuat oleh WTO Ministerial Conference dan General Council. Pemikiran Appellate Body ini dapat memberikan efek terhadap interpretatif yang cukup signifikan terhadap keputusan dari General Council WTO dengan tidak mengindahkan syarat yang ditetapkan oleh WTO Agreement on Trade Related Aspects of intelectual Property Rights.[18] Dengan demikian TBT Agreement dapat saja dijadikan sebagai pola pikir utama yang dapat mempengaruhi kedudukan agreement yang lain berdasarkan bukti – bukti yang diajukan para pihak.
            Ketiga alasan yang dikemukakan di atas bukan menjadi sebuah tolak ukur bahwa TBT Agreement merupakan sebuah konsep aturan yang dinamis dan prosedural sehingga menciptakan sebuah sistem hukum yang benar – benar efektif untuk diterapkan dalam bidang standardisasi internasional. Penelitian di atas masih dapat diperdebatkan dengan semakin maraknya partisipasi berbagai non-governmental organizations yang aktif terlibat dalam berbagai agenda internasional. WTO mengakomodir kehadiran mereka dengan dimasukkannya pengaturan tentang non-governmental organizations dalam Article V Agreement Establishing the World Trade Organization.[19] Peran non-governmental organizations yang semakin besar belakangan ini[20] membawa pada pemikiran bahwa keterlibatan itu bukanlah sesuatu yang negatif namun membawa dampak yang cukup positif dalam dunia perdagangan internasional.[21]


[1] Yannick Radi, 2012, Standardization : a Dynamic and Procedural Conceptualization of International Law Making, Leiden Journal of International Law 2012, 25(2), 283 – 307, hlm. 2, lihat di http://international.westlaw.com, diakses pada 23 Januari 2013.
[2] Pietro Costa, The Rule of Law : A Historical Introduction, dalam Pietro Costa dan Danilo Zolo, ed., 2007, The Rule of Law, History, Theory and Criticism, Dordrecht : Springer, hlm.86, dengan menjelaskan pendapat Immanuel Kant bahwa hukum bukanlah ekspresi dari keinginan akan sebuah kedaulatan, namun memerlukan adanya master control terhadap keinginan individu akan kedaulatan tersebut, yaitu masyarakat.
[3] H.L.A. Hart, 1997, The Concept of Law, New York : Clarendon Press-Oxford, hlm. 94
[4] Yannick Radi, loc.cit., hlm. 3, menjelaskan bahwa contemporary schizophrenia adalah produk yang berasal dari evolusi sejarah, yang diseimbangkan secara progresif selama abad ke – 20 antara apa yang disebut dengan coexistence dan cooperation.
[5] ibid. Yannick Radi mempertentangkan pendapat P. Weil dalam P.Weil, 1983, Towards Relative Normativity in International Law, 77 AJIL 413, hlm. 419, yang mengemukakan bahwa meskipun telah terjadi transformasi masyarakat internasional setelah perang dunia ke – 2, fungsi dari hukum internasional tetaplah sama sejak awal, dan tidak akan ada kesalahan yang lebih fatal yang dapat dibuat oleh era modern dengan apa yang telah dilakukan pada zaman klasik.
[6] ibid.
[7] Jan McDonald, 2005, loc.cit., hlm. 249
[8] Lihat Robert Howse, 2002, loc.cit., dan Gabriel Marceau dan J. Trachtman, 2002, loc.cit..
[9] Gernot Biehler, 2008, Procedures in International Law, Verlag Berlin Heidelbergh : Springer, hlm. 1.
[10] Hillary Delany, 2007, Equity and the Law of Trusts in Ireland, 4th ed., Thomson Round Hall, hlm. 13 dengan mengungkapkan “equity will not suffer a wrong to be without a remedy”, “that equity will intervene to protect a recognized right which for some reason is not enforceable at common law.”
[11] lihat pada pembahasan BAB V dengan memperhatikan hubungan TBT Agreement dan badan standardisasi internasional yang lain seperti ISO dan Codex Alimentarius Commission.
[12] Yannick Radi, 2012, loc.cit., hlm. 6
[13] Robin Hirsch, 2004, Logic and Dialectics, Cultural Logic, lihat di http://clogic.eserver.org/2004/hirsch.html, diakses pada 13 Februari 2013. Dialectic Logic yang dipaparkan Aristoteles oleh Hirsch sejauh pandangan penulis adalah metode berpikir dengan pola yang berasal dari premis – premis yang dikembangkan berdasarkan pemikiran dua atau lebih arah, dan terjadi percakapan di dalamnya, untuk memutuskan sesuatu hal.
[14] hal ini tergambar jelas dalam berbagai putusan Panel dan Appellate Body WTO yang setiap putusannya selalu mempertimbangkan putusan – putusan dari kasus – kasus yang telah ada oleh Panel dan Appellate Body WTO sebelumnya dalam setiap legal reasoning-nya. Terkait standardisasi telah dibahas pada BAB V pada kasus EC-Asbestos, EC-Sardines, dan US-Clove Cigarettes.
[15] Bentuk prosedural dari standardisasi dapat direfleksikan pada badan – badan standardisasi seperti ISO dan Codex Alimentarius. Sebagai referensi untuk ISO, lihat International Organization for Standardization, 2012, ISO Standards : What’s The Bottom Line?, Switzerland : ISO Central Secretariat, loc.cit., dan referensi untuk Codex Alimentarius Commission lihat Codex Alimentarius Commission, 2011, Procedural Manual, 20th ed., Rules of Procedures of the Codex Alimentarius Commission, Rome : World Health Organization and Food And Agricultural Organization of the United Nations, Rule III,2, loc.cit.
[16] Lihat pada putusan Panel dan Appellate Body pada US-Clove Cigarettes yang memakai WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sebagai salah satu legal resoning-nya pada Appellate Body Report, US-Clove Cigarettes, kalimat terakhir pada paragraf 235 : “Moreover, we recognize the importance of Members' efforts in the World Health Organization on tobacco control.
[17] Lihat Article 38 the 1945 Statute of the International Court of Justice : “1. The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply:a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states;b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law;c. the general principles of law recognized by civilized nations;d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.2. This provision shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree thereto.”

[18] WTO General Council, Implementation of Paragraph 6 of the Doha Declaration on the TRIPS Agreement and Public Health:Decision of 30 August 2003 WT/L/540, yang lihat di http://www.wto.org/english/tratop_e/trips_e/implem_para6_e.htm, diakses pada 13 Februari 2013.
[19] Article V Agreement Establishing the World Trade Organization berbunyi : Relations with Other Organizations : 1. The General Council shall make appropriate arrangements for effective cooperation with other intergovernmental organizations that have responsibilities related to those of the WTO; 2. The General Council may make appropriate arrangements for consultation and cooperation with non-governmental organizations concerned with matters related to those of the WTO.
[20] Peter van den Bossche, 2006, NGO Involvement in the WTO : A lawyer’s perspective on a glass half-full or half empty?, Maastricht Working Papers, Maastricht : Faculty of Law Maastricht Universiteit Maastricht, hlm. 2, lihat di http://arno.unimaas.nl/show.cgi?fid=7321, diakses pada 13 Februari 2013.
[21] Daniel C. Esty, 1998, Non-Governmental Organization At The World Trade Organization : Cooperation, Competition, or Exclusion, Journal of International Economic Law 1, hlm. 123, lihat di http://digitalcommons.law.yale.edu/cgi/viewcontent.cgi?Article=1446&context=fss_papers, diakses pada 14 Februari 2013.

Tidak ada komentar: