Senin, 19 Maret 2012

INTERNAL WATERS - Hukum Laut Internasional

INTERNAL WATERS

Internal Waters dan Hukum Laut

Sampai saat ini, komunitas internasional tidak begitu banyak membicarakan mengenai pengertian secara sistematis dari internal waters, yang dalam Bahasa Indonesia dapat kita terjemahkan sebagai Perairan Pedalaman. John Colombos bahkan menggunakan istilah interior, inland, dan national waters untuk membahas mengenai Perairan Pedalaman ini. Hal ini berarti perairan pedalaman juga sudah termasuk sungai, terusan, dan kadang – kadang perairan di pantai – pantai kecil. Relasi antara hukum internasional dan perairan pedalaman seperti yang dikemukakan oleh Profesor Vladimir Ibler pada tahun 1965 adalah bahwa perairan pedalaman pada umumnya hanya ditentukan oleh aturan – aturan nasional, dan sangat sedikit yang ditentukan oleh hukum internasional, bahkan tidak ada kodifikasi terhadapnya di konvensi Jenewa 1958.

R.R. Churcill dan A.V. Lowe dalam buku The Law of The Sea setuju bahwa pandangan tentang perairan pedalaman sebagai bagian tak terpisahkan dari negara pantai adalah tidak dapat dibantah, sehingga atas alasan ini perairan pedalaman bukan merupakan subjek dari aturan – aturan detail pada konvensi – konvensi hukum laut. Dalam Konvensi Jenewa 1958 dan dan Konvensi Hukum Laut 1982 menuliskan bahwa perairan pedalaman disebutkan hanya untuk mengklarifikasikan beberapa isu yang terkait dengan laut teritorial, tidak membahas secara terperinci mengenai batasan – batasannya. Selanjutnya, dalam mendefinisikan laut teritorial, UNCLOS III berkewajiban untuk mengakui kedaulatan dari negara pantai diperluas bukan saja pada laut teritorial namun juga sampai pada perairan pedalaman, dan dalam kasus negara kepulauan sampai pada perairan kepulauannya (Pasal 2 ay.1).

Sebagai perbandingan, Kamus Departemen Pertahanan Amerika Serikat menyebutkan bahwa perairan pedalaman adalah “all waters, other than lawfully claimed archipelagic waters, landward of the baseline from which the territorial sea is measured. Archipelagic states may also delimit internal waters consistent with the 1982 convention on the law of the sea. All states have complete sovereignty over their internal waters.” Pengertian ini secara tersirat menyebutkan bahwa perairan pedalaman diukur berdasarkan pengurukuran terhadap laut teritorial, dan tidak diukur secara tersendiri, namun demikian Amerika Serikat menyatakan dengan tegas bahwa semua negara memiliki yurisdiksi penuh terhadap wilayah perairan pedalaman.

Dalam hubungannya dengan lokasi dari perairan pedalaman, UNCLOS III menyatakan bbahwa perairan pedalaman adalah “seluruh air dan jalur perairan pada sisi daratan dari garis pangkal dimana laut teritorial ditentukan” (Pasal 8 ay.1). Secara tidak langung, beberapa artikel terkait dengan garis pangkal dimana keluasan laut teritorial diukur, adalah diperuntukkan untuk perairan pedalaman. Salah satu hal yang terkait dengan perairan pedalaman yang diatur dalam UNCLOS adalah mengenai hak lintas damai. Hak lintas damai dalam perairan pedalaman muncul apabila penarikan garis pangkal memiliki efek untuk memagari area perairan pedalaman (pasal 8 ay. 2).

UNESCO juga turut memberikan penelitiannya tentang perairan pedalaman lewat Legal Provision For integrated Coastal Zone Management, yang pada dasarnya memiliki kesamaan dengan UNCLOS, namun menambahkan beberapa pemahaman terkait dengan hal – hal yang termasuk di dalam perairan pedalaman yaitu pelabuhan – pelabuhan, perairan di antara garis pangkal dan pantai yang digunakan untuk mengukur lebar wilayah teritorial, laut pedalaman termasuk laut yang dikelilingi oleh daratan sebuah negara atau beberapa negara, pantai – pantai yang tidak lebih dari 24 mil laut, dan apa yang disebut dengan historic waters.

Selain adanya kelangkaan aturan tentang perairan pedalaman dalam UNCLOS, satu – satunya instrumen internasional yang terkait dengan perairan pedalaman adalah Convention on the International Regime of Maritime Ports yang diadopsi di Jenewa, 9 Desember 1923, namun karena sangat sedikit negara yang meratifikasi konvensi ini, maka instrumen ini diragukan untuk dapat diterapkan sebagai hukum kebiasaan internasional. Terhadap konvensi ini, konferensi Codification of International Law yang diselenggarakan di Den Haag 1930 merekomendasikan agar memasukkan beberapa pasal tentyang perairan pedalaman.

Institute of International Law (Institut de Droit International) juga tidak menunjukkan adanya pengaturan yang sistematis terkait dengan lokasi dan sistem yang tepat tentang perairan pedalaman, yang ada hanyalah pembicaraan tentang laut teritorial yang secara tidak langsung menyinggung tentang perairan pedalaman. hanya pada tahun 1957 di Amsterdam beberapa bulan sebelum diadakannya UNCLOS I, Institute of International law mengadopsi resolusi yang mencoba untuk mengkodifikasikan perbedaan antara perairan pedalaman dan laut teritorial. Namun demikian, resolusi ini hanyalah terkait dengan perlakuan terhadap kapal asing di wilayah maritim dimana sebuah negara memberlakukan kompetensi teritorialnya.

Pada kasus Nicaragua Case antara Nicaragua dan Amerika Serikat tahun 1986, ICJ menetapkan bahwa prinsip kedaulatan negara diperluas sampai kepada perairan pedalaman dan laut teritorial dari setiap negara, sampai pada hak untuk mengatur pelabuhan – pelabuhan bagi negara pantai, dan untuk mengakses pelabuhan – pelabuhan tersebut, kapal – kapal asing dalam hukum kebiasaan internasional diberikan hak lintas damai untuk memasuki dan meninggalkan perairan pedalaman.

Perairan Pedalaman dan Hukum Nasional Indonesia

Perundang – undangan nasional Indonesia juga tidak ada yang secara spesifik mengenai perairan pedalaman tentang lokasi dan pembatasan – pembatasannya. Dalam Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939 Stb.1939 No.442 menyebutkan dalam pasal 1 ayat 1 bahwa perairan pedalaman Indonesia adalah seluruh perairan yang terletak pada bagian sisi darat dari laut teritorial Indonesia, termasuk sungai – sungai, terusan – terusan dan danau – danau dan rawa – rawa di Indonesia. Juga dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (LN No. 22 / 1960) secara tersirat dalam pasal 1 tentang perairan pedalaman bahwa perairan Indonesia ialah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia (ay.1) dan semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar (ay. 3). Pada penjelasan tentang undang – undang ini, perairan pedalaman Indonesia adalah segala perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal dan terdiri dari laut, teluk, selat dan anak laut. Indonesia berdaulat penuh di perairan pedalaman, berlainan dengan di laut wilayah. Kedaulatan ini pada dasarnya tidak dibatasi oleh hak lintas damai, namun demikian Indonesia memberikan kelonggaran – kelonggaran tertentu. Hak lintas damai di dalam perairan pedalaman pada dasarnya merupakan hak penuh dari Indonesia, dibedakan dengan hak lintas damai di laut teritorial yang merupakan pemberian dari hukum internasional. Hal ini menyebabkan bahwa hak lintas damai dalam perairan pedalaman dapat sewaktu – waktu dicabut oleh Indonesia, yang berbeda penerapannya di dalam laut teritorial tidak dapat diganggu oleh Indonesia.

UNCLOS III dan Penetapan Batas Wilayah Laut Perairan Pedalaman

UNCLOS III secara jelas tidak mengatur tentang perairan pedalaman terkait dengan masalah penetapan batasnya. Dalam UNCLOS, masalah – masalah penetapan batas wilayah laut hanyalah terkait antara negara dan wilayah – wilayah yang berdekatan dengan pantai, tidak disebutkan secara spesifik dan menyeluruh tentang perairan pedalaman. Begitu juga dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan, tidak menyebutkan secara rinci tentang penetapan batas perairan pedalaman. Lucius Caflisch dalam tulisannya “Les Zones Maritimes Sous Juridiction Nationale, Leurs Limites et Leur Delimitation” lewat buku “Le Nouveau Droit International De La Mer oleh D. Bardonnet, Paris, 1983, menyebutkan bahwa penetapan batas perairan pedalaman dari sebuah negara dengan pantai yang berlawanan haruslah diselesaikan dengan menerapkan aturan – aturan penetapan batas dalam laut teritorial. Hal ini terlihat masuk akal karena persoalan mengenai perairan pedalaman hanya akan muncul apabila ada persoalan perbatasan dengan negara tetangga yang juga adalah negara pantai.

Selanjutnya, perairan pedalaman dalam hal pasal 5 menyebutkan “long-water line along the coasts” yang berarti bahwa perairan pedalaman merupakan bagian dari wilayah pantai. Namun demikian, meskipun di pasal 7 terkait hal cara penarikan garis pangkal lurus memperbolehkan beberapa wilayah pantai dipertimbangkan sebagai perairan pedalaman, pasal – pasal ini hanyalah ditujukan kepada single coastal state, sesuai laporan dari International Law Commission tahun 1956 bahwa penarikan garis pangkal lurus hanya dapat ditarik dari titik ke titik dalam situasi wilayah single state. Hal – hal ini menyiratkan secara jelas bahwa penetapan batas perairan pedalaman merupakan masalah dari negara – negara yang bertetangga.

Contoh – Contoh Kasus Perairan Pedalaman Di Dunia

Ekuador dan Kolombia pada 27 Agustus 1975 pernah menandatangani Agreement on the Delimitation of Marine and Submarine Areas and Maritime Co-operation dimana mereka setuju untuk menentukan batas tentang laut dan wilayah – wilayah laut lainnya karena wilayah – wilayah laut yang disebutkan di dalam perjanjian tersebut terkait dengan perairan pedalaman yang di dalamnya memiliki potensi – potensi sumber daya alam yang apabila tidak ditentukan pembatasannya akan mengakibatkan persoalan – persoalan internal perbatasan.

Pada 23 November 1970, United Mexican States dan Amerika Serikat juga menyepakati Treaty to Resolve Pending Boundary Differences and Maintain Rio Grande and Colorado River as the International Boundary, yang isinya tentang penetapan batas – batas wilayah laut antara Amerika Serikat dengan negara – negara bagian di Meksiko, dan sudah termasuk dengan perairan pedalaman.

Kasus – kasus mengenai perairan pedalaman juga sangat banyak didapati di Laut Adriatik. Laut Adriatik adalah laut yang memisahkan Semenanjung Italia dengan Semenanjung Balkan, serta sistem Pegunungan Apenina dari Alpen Dinarik dan pegunungan sekitarnya. Laut Adriatik merupakan bagian dari Laut Tengah. Pesisir barat Adriatik adalah wilayah Italia, sedangkan pesisir timur meliputi negara Kroasia, Montenegro, Albania, Slovenia, serta Bosnia dan Herzegovina. Sungai-sungai utama yang bermuara di Adriatik adalah Sungai Reno, Sungai Po, Sungai Adige, Sungai Brenta, Sungai Piave, Sungai Soča, Sungai Zrmanja, Sungai Krka, Sungai Cetina, Sungai Neretva, serta Sungai Drin (Drini). Dengan begitu banyaknya negara yang berada di Laut Adriatik ini, maka persoalan mengenai perairan pedalaman pun seringkali diselesaikan dengan cara Agreement.

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara pantai dengan banyak tetangga yang juga merupakan negara pantai, cukup terikat dengan masalah perairan pedalaman, namun sampai saat ini lebih banyak memiliki masalah dalam laut teritorial dibandingkan dengan perairan pedalamannya.

Sumber – sumber :

1. Budislas Vukas, Sea Boundary Delimitation And Internal Waters, dikutip dari T.M. Ndiaye, R. Wolfrum, Law of The Sea, Environmental Law, And Settlement of Disputes, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden/Boston, 2007

2. N.Siahaan, SH., H. suhendi, SH., Hukum Laut Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989.

3. R. Churchill, V. Lowe, The Law of The Sea, 2nd edn, Manchester University Press, 1978

4. V. Ibler, Sloboda Mora (Freedom of The Seas)i, Narodne Novine, Zagreb, 1965.

5. www.unesco.org

Tidak ada komentar: