TBT Agreement Dan
Standar Internasional
Daya mengikat dari TBT
Agreement yang didapatkan lewat WTO
Agreements mendapatkan tantangan ketika berhadapan dengan standar – standar
internasional yang tidak diatur di dalam TBT
Agreement. Pengujian terhadap kesesuaian TBT Agreement dengan standar internasional yang berlaku saat ini
dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas untuk meneliti karakteristik dari TBT Agreement itu sendiri.
Standar internasional merupakan
salah satu sasaran dari TBT Agreement,
yang secara eksplisit dicantumkan di bagian Preamble,
[1]
merupakan standar yang diatur melalui
penetapan sebuah regulasi standar untuk diaplikasikan oleh seluruh pihak dalam agreement khususnya dalam sistem
perdagangan bebas. Hal ini dikarenakan harmonisasi technical regulations dan standar nasional di sekitaran standar
internasional memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perilaku
perdagangan internasional.[2]
Harmonisasi standar internasional dapat mengurangi efek dari trade restrictive dari technical barriers to trade dengan
meminimalisir berbagai variasi persyaratan yang harus dipenuhi oleh eksportir
untuk memasuki berbagai pasar ekspor, sehingga membuat mereka dapat mengambil
keuntungan ekonomi yang lebih besar.
TBT
Agreement mewajibkan negara anggotanya untuk membuat technical regulations mereka berdasarkan standar internasional. Article 2.4 TBT Agreement menyebutkan :
“where technical
regulations are required and relevant international standards exist or their
completion is imminent, Members shall use them, or the relevant parts of them,
as a basis for their technical regulations except when such international
standards or relevant parts would be and ineffective or inappropriate means for
the fulfillment of the legitimate objectives pursued, for instance because of
fundamental climatic or geagraphical factors or fundamental technological
problems.”[3]
Dalam Article ini terminologi international standard tidak
didefinisikan sama sekali, namun ada pengertian tentang hal ini yang tersirat
dalam Annex 1 TBT Agreement yaitu :
“standards prepared by the international standardization
community are based on concensus. This Agreement covers also documents that are
not based on concensus.”[4]
Kepastian tentang apa yang disebut
dengan “standar internasional” baik sebelum dan sesudah TBT Agreement diterapkan belum dapat diberikan baik oleh aturan –
aturan dalam TBT Agreement itu
sendiri maupun oleh putusan – putusan yang dikeluarkan oleh Panel dan Appellate Body WTO. Di sisi lain, hal yang menjadi jelas adalah
dengan menerima beberapa institusi yang mengadopsi standar internasional, maka
WTO menyerahkan status “badan standardisasi internasional” kepada mereka,
meskipun output dari badan – badan
tersebut tidak selalu dikualifikasikan sebagai standar internasional karena
harus melalui pemeriksaan yang ketat disesuaikan dengan kebutuhan kasus
terlebih dahulu. ISO dan Codex
Alimentarius Commission sejauh ini merupakan dua institusi yang output-nya telah diterima sebagai
standar internasional dalam kasus – kasus hukum di WTO.
1.
International Organization for Standardization (ISO)
ISO adalah organisasi internasional di bidang standardisasi. ISO memiliki keanggotaan
164 (sampai Mei 2012) badan standar
nasional dari negara-negara besar dan kecil, industri, baik yang berkembang
maupun yang dalam masa transisi di semua wilayah di dunia. Portofolio ISO berjumlah lebih dari 19 200 standar
(sampai Mei 2012),
yang menyediakan kepada pelaku bisnis,
pemerintah dan masyarakat, berbagai panduan praktis untuk tiga dimensi
pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial. [5]
Standar ISO memberikan
kontribusi positif bagi dunia. Mereka memfasilitasi perdagangan, penyebaran
pengetahuan, menyebarluaskan kemajuan inovatif dalam teknologi, dan memberikan
panduan manajemen yang baik dan conformity
assessment procedures. Standar ISO memberikan solusi dan mencapai manfaat
untuk hampir semua sektor, termasuk pertanian, rekayasa konstruksi, mesin,
manufaktur, distribusi, transportasi, kesehatan, informasi dan komunikasi
teknologi, lingkungan, energi, keselamatan dan keamanan, manajemen mutu, dan
layanan.[6]
layanan.[6]
ISO hanya mengembangkan
standar apabila dibutuhkan oleh pasar. Pekerjaan dilakukan oleh para ahli yang
dipekerjakan langsung dari industri, teknis dan sektor usaha yang telah
mengidentifikasi kebutuhan standar, dan yang kemudian menempatkan standar tersebut untuk digunakan. Para
ahli ini dapat bekerjasama
dengan orang lain yang
memiliki pengetahuan yang relevan, seperti wakil dari instansi pemerintah,
laboratorium pengujian, konsumen asosiasi dan akademisi, dan oleh organisasi
internasional dan non-governmental
organization.[7]
Kritik kepada WTO bahwa pendekatan –
pendekatan yang dilakukan tentang trade
barriers dapat merusak berbagai regulasi domestik terkait penerapan
standar, mampu diselesaikan dengan baik oleh ISO. [8]
ISO juga diakui sebagai salah satu dari delapan elemen penting yang merupakan kunci
sukses Amerika Serikat dalam pengawasan terhadap pasar.[9] Di
level internasional, ISO telah memberikan kontribusi dalam mengkonsepkan desain
dan mekanisme perawatan lewat prosedur tes yang memadai dengan membuat beberapa
kebijakan, seperti pengembangan bingkai internasional untuk mengukur emisi gas
rumah kaca dan pengembangan standar yang relevan untuk topik – topik sosial dan
kebijakan lingkungan yang menantang agenda tersebut.[10]
Namun demikian, keterwakilan dalam Technical Committees ISO selama enam
puluh tahun terakhir menunjukkan bahwa standar – standar ISO saat ini, dan akan
terus berlanjut, didominasi oleh negara – negara industri, terutama negara
Eropa Barat, dan meskipun indikasi tidak terwakilinya negara – negara
berkembang dan least developed countries sudah
diketahui, tidak ada pengembangan yang dilakukan untuk mengatasi hal ini.[11]
Hal ini cukup mengurangi kredibilitas ISO di mata dunia untuk menciptakan
standar internasional yang benar – benar baku dan lebih kredibel serta berarti
bagi pengembangan yang berkelanjutan.
2.
Codex Alimentarius Commission
Secara sederhana, Codex
Alimentarius adalah koleksi standar, kode praktek, pedoman dan rekomendasi
lainnya. Beberapa teks terlihat sangat umum, namun ada beberapa hal disebutkan dengan
sangat spesifik. Ada hal yang berurusan dengan persyaratan rinci terkait dengan
makanan atau kelompok makanan, sedangkan yang lainnya berurusan dengan operasi
dan manajemen proses produksi atau pengelolaan sistem dari pemerintahan yang
berwenang dalam hal keamanan pangan dan perlindungan konsumen.[12]
Codex
Alimetarius Commission adalah komisi yang dibentuk untuk mengatur berbagai
prosedur kerja terkait Codex Alimentarius.
Codex Alimetarius Commission lahir dari sebuah keharusan, dengan Statuta
dan Rules of Procedures yang disusun dengan
hati – hati untuk memastikan bahwa komisi ini benar – benar mampu
mendefinisikan tujuan mereka dengan disiplin, tidak memihak, dan dengan cara
yang ilmiah. The Eleventh Session of the FAO Conference pada 1961 dan The Sixteenth
World Health Assembly pada 1963 menghasilkan resolusi untuk mendirikan Codex Alimentarius Commission. Kedua
badan tersebut juga mengadopsi Statuta dan Rules
of Procedure untuk komisi tersebut,[13]
yang tujuannya adalah :
“on all matters
pertaining to the implementation of the Joint FAO/WHO Food Standards Progtamme,
the purpose of which is :
(a) Protecting the
health of the consumers and ensuring fair practices in the food trade;
(b) Promoting
coordination of all food standards work undertaken by international
governmental and non-governmental organizations;
(c) Determining
priorities and intiating and guiding the prepartion of draft standards through
and with the aid of appropriate organizations;
(d) Finalizing
standards elaborated under (c) above and publishing them in a Codex
Alimentarius either as regional or worldwide standards, together with
international standards already finalized by other bodies under (b) above,
wherever this is practicable;
(e) Amending
published standards, as appropriate, in the light of developments.”[14]
Keanggotaan Codex Alimentarius Commission terbuka untuk semua anggota dan
rekanan FAO dan WHO yang tertarik dalam standar pangan internasional.
Anggotanya adalah negara – negara, sementara rekanannya adalah “territories or groups of territories which
are not responsible for the conduct of their international relations.”[15]
Komisi ini dipimpin oleh seorang Chairperson
dan tiga Vice – Chairperson, dipilih
oleh anggota komisi di antara delegasi para anggota yang sudah dijelaskan di
atas. Mereka membentuk Executive
Committee yang dipilih anggota berdasarkan basis geografis, yang merupakan
organ eksekutif dari komisi, yang berfungsi untuk membuat proposal kepada
komisi terkait dengan orientasi serta program umum atau kerja dari komisi,
mempelajari masalah – masalah khusus dan membantu mengembangkan program yang
disetujui oleh komisi.[16]
Selain itu komisi juga membentuk Subsidiary
Bodies yang terdiri dari para ahli dari bidang – bidang yang relevan untuk
menyiapkan bentuk – bentuk standar yang akan dimasukkan kepada komisi baik
untuk keperluan secara luas maupun diperuntukkan secara khusus kepada wilayah
atau kelompok negara tertentu yang ditentukan oleh komisi.[17]
Sekretariat dari komisi ini berada bersama – sama dengan sekretariat FAO di
Roma.
Pengambilan keputusan dari komisi
dan Subsidiary Bodies secara normal
diambil dengan absolute majority,
dengan setiap anggota mendapatkan satu suara.[18]
Namun demikian, komisi dan Subsidiary
Bodies akan mengusahakan berbagai cara untuk mendapatkan kesepakatan adopsi
ataupun amandemen sebuah standar dengan cara konsensus, yang apabila tidak
mampu dilakukan dengan konsensus maka cara yang ditempuh adalah voting.[19]
Komisi mengadopsi tiga tipe dokumen
standar yang berkaitan dengan makanan, yang kesemuanya bersifat voluntary, yaitu Codex Standards yang berkaitan dengan karakteristik produk, Codex Codes of Practice yang berkaitan
dengan pembuatan, proses, produksi, transportasi dan praktek – praktek
penyimpanan untuk makanan baik secara individu ataupun kelompok, dan Codex Guidelines yang mengatur tentang
pembentukan kebijakan di bidang – bidang penting atau yang ditujukan untuk
masalah interpretatif (yang lazim disebut Codex
Standards).[20]
Codex
Alimentarius telah menjadi referensi yang semakin
global bagi konsumen, produsen makanan, lembaga kontrol pangan nasional dan
lembaga perdagangan pangan internasional. Standar ini telah
memberikan dampak yang besar pada pemikiran produsen makanan sama seperti
ketika memberikan kesadaran tentang masalah
produk yang higienis bagi konsumen. Pengaruhnya meluas ke
setiap benua, dan kontribusinya terhadap perlindungan kesehatan masyarakat dan
praktek yang adil dalam perdagangan makanan semakin tidak terukur.
Sistem Codex Alimentarius menyajikan kesempatan
unik bagi semua negara untuk bergabung dengan masyarakat internasional dalam
merumuskan dan mengharmonisasikan standar makanan serta memastikan pelaksanaan
global dari perumusan tersebut. Hal ini juga memungkinkan mereka berperan dalam
pengembangan standar – standar yang mengatur proses yang higienis, dan
rekomendasi yang berkaitan dengan kepatuhan terhadap standar – standar
tersebut.
Pentingnya Codex Alimentarius untuk perlindungan
kesehatan konsumen ditegaskan pada tahun 1985 oleh Resolusi PBB No. 39 / 248, dimana pedoman
tersebut diadopsi untuk digunakan dalam perluasan dan penguatan kebijakan
perlindungan konsumen. Pedoman ini menyarankan bahwa “When formulating national policies and plans with regard to food,
Governments should take into account the need of all consumers for food
security and should support and, as far as possible, adopt standards from the …
Codex Alimentarius or, in their absence, other generally accepted international
food standards.”[21]
Codex
Alimentarius memiliki relevansi dengan perdagangan
pangan internasional. Dengan memperhatikan pasar global yang terus meningkat
pada khususnya, keuntungan memiliki standar makanan universal yang seragam
untuk perlindungan konsumen merupakan hal yang tidak dapat dihindari, oleh karena itu SPS Agreement dan TBT
Agreement mendorong harmonisasi internasional standar makanan.[22]
Produk – produk agreement dari Uruguay Round tentang perdagangan
multinasional banyak mengutip standar internasional, pedoman dan rekomendasi
sebagai langkah-langkah yang dipilih untuk memfasilitasi perdagangan
internasional khususnya di bidang makanan. Dengan demikian, Codex Alimentarius telah menjadi tolak ukur terhadap langkah-langkah
kebijakan makanan nasional dan peraturan yang dievaluasi dalam parameter hukum
WTO Agreement.
Efektivitas dan legitimasi dari
kedua standar yang dikemukakan di atas sebagai standar internasional yang
diakui dalam TBT Agreement masih
dipertanyakan terkait masalah dinamisme dan efektivitas, desain secara
institusional, serta orientasinya dalam memberikan perhatian kepada masyarakat.[23]
Dengan menunjuk badan yang berkompeten dalam bidang standar untuk memberikan
mengatur segala sesuatu yang harus dipertimbangkan sebagai standar
internasional di bawah TBT Agreement (baik
ISO maupun Codex Alimentarius Commission), maka WTO mengambil resiko untuk
mempatenkan proses dinamis di antara aktor – aktor pengatur standar tersebut untuk
saling memberikan peninjauan dan pengembangan kepada standar yang lebih
efektif, dengan tidak mempertimbangkan semangat kompetitif.[24]
Evolusi standar keamanan dan
kualitas pangan pada akhirnya memberikan tantangan terkait peran dari WTO
khususnya TBT Agreement dan standar –
standar pangan yang diatur dalam hubungan pemerintahan lewat jalur diplomasi.[25]
Oleh karena itu, dalam menunjuk ISO dan
Codex Alimentarius Commission sebagai
referensi dalam bidang standardisasi, WTO yang belum mampu bersaing dengan
skema regulasi privat yang diterapkan kedua badan standar tersebut cenderung memiliki
tendensi untuk memperlakukan relevansi standar yang ada di dalam peraturan –
peraturannya sebagai hal yang lebih utama daripada standar – standar yang
diberikan, dengan melihat peran Panel dan
Appellate Body yang begitu besar
dalam menentukan keabsahan kedua badan tersebut untuk dipakai sebagai petunjuk
yang diakui.
Tidak seperti SPS Agreement, TBT Agreement tidak
menyebut secara eksplisit institusi penentu standar yang diakui, karena dalam Article 2.4 TBT Agreement hanya
menyebutkan supaya negara – negara menggunakan standar internasional apabila
ada, atau apabila pemenuhannya bersifat sangat diperlukan (imminent). Konsekuen dengan hal ini, badan penyelesaian sengketa
WTO memiliki kebijakan yang ketat terkait dengan penentuan standar
internasional, terutama dalam menentukan badan internasional yang diakui dalam
bidang standarisasi. Dokumen – dokumen yang dikeluarkan oleh badan – badan
internasional bidang standarisasi harus diperiksa secara seksama terlebih
dahulu sebelum ditetapkan menjadi standar yang diakui oleh WTO, sekalipun
dokumen tersebut berasal dari ISO dan Codex Alimentarius Commission.[26]
Berdasarkan peninjauan relasi antara
TBT Agreement dan standar
internasional, maka kita dapat menentukan bahwa karakteristik TBT Agreemtn sangat ditentukan oleh
peran Panel dan Appellate Body dalam menentukan standar – standar internasional
yang akan dipakai dalam mengambil keputusan untuk kasus – kasus yang memakai
skema TBT Agreement dalam proceedings-nya. Meskipun Codex Alimentarius Commission menyalahi
aturan yang diberikan oleh TBT Committee
on the Principles for the Development of International Standards bahwa
sebuah standar internasional harus ditetapkan dengan cara konsensus, namun Panel dan Appellate Body WTO memiliki hak untuk mengeksaminasi penentuan
standar internasional dalam konsep TBT
Agreement ini berdasarkan Annex 1 TBT
Agreement karena mandat untuk mengadopsi standar internasional tidak
dimiliki oleh TBT Agreement.
[1] Lihat
Paragraf 3 kalimat pembuka dari TBT
Agreement yang berbunyi : “Recognizing
the important contribution that
international standards and conformity assessment systems can make in this regard by improving
efficiency of production and facilitating the conduct of international trade.”
[2] juga
harmonisasi conformity assessment
procedures nasional di sekitaran petunjuk dan rekomendasi internasional
untuk conformity assessment procedures memberikan
kontribusi bagi perdagangan internasional.
[3] Article 2.4 TBT Agreement ini bersifat compulsory
menurut Petros Mavroidis dalam Petros Mavroidis et.al., op.cit., hlm. 266.
[4] terkait
dengan hal ini, penulis berpendapat bahwa “standar internasional” yang
dimaksudkan dalam Annex 1 TBT Agreement yang
kemudian dipertimbangkan untuk berlaku dalam TBT Agreement itu sendiri adalah standar yang dikeluarkan oleh
badan standaridisasi internasional yang mengeluarkan standar – standarnya baik
secara konsensus maupun tidak.
[5]International
Organization for Standardization, 2012, ISO
Standards : What’s The Bottom Line?, Switzerland : ISO Central
Secretariat, hlm. 2., lihat di http://www.iso.org/iso/bottom_line.pdf, diakses
pada 8 Februari 2013.
[6] International
Organization for Standardization, 2012, ISO
& Energy : Working For A Cleaner, Sustainable Future, Switzerland : ISO
Central Secretariat, hlm. 2., lihat di http://www.iso.org/iso/iso_and_energy.pdf,
diakses pada 8 Februari 2013.
[8] Herman Daly,
1993, The Perils of Free Trade, Scientific American 269(5):51–55,
dalam Aseem Prakash dan Matthew Potoski, 2006, Racing To The Bottom? Trade, Environmental Governance, and ISO 14001,
American Journal of Political Science, Vol. 50, No. 2, April 2006, Pp.
350–364, lihat di
http://home.cerge-ei.cz/richmanova/UPCES%5CPotoski%20Prakash%20Racing%20iso-ajps.pdf,
diakses pada 8 Februari 2013.
[9] Organization
for Economic Co-Operation And Development (OECD), 2009, Proceedings And Summary Report, Workshop And Policy Dialogue On
Technical Barriers To Trade : Promoting Good Practices In Support of Open
Markets, Paris:OECD Conference Centre, hlm. 17 (Summary of Discussions), lihat di
http://www.oecd.org/tad/non-tariffmeasures/45450207.pdf, diakses pada 8
Februari 2013.
[11] Mari
Morikawa dan Jason Morrison, 2004, Who Develops
ISO Standards? A Survey of Participation in ISO’s International Standards
Development Processes, Pacific Institute for Studies in Development,
Environment, and Security, Oakland, California, hlm. 25, lihat di
http://www.pacinst.org/reports/iso_participation/iso_participation_study.pdf,
diakses pada 8 Februari 2013.
[12] Codex Alimentarius Commission, 2006, Understanding
The Codex Alimentarius, Third Edition, World Health Organization, Food And
Agriculture Organization of the United Nations, hlm. 17, lihat di
ftp://193.43.36.93/codex/Publications/understanding/Understanding_EN.pdf,
diakses pada 9 Februari 2013.
[16] Codex Alimentarius Commission, 2011, Procedural
Manual, 20th ed., Rules of Procedures of the Codex Alimentarius Commission, Rome : World Health Organization and
Food And Agricultural Organization of the United Nations, Rule III,2, lihat di
ftp://193.43.36.93/codex/Publications/ProcManuals/UPD_PM20e.pdf, diakses pada 9
Februari 2013.
[21] Annex Section G No. 39 Resolutions adopted on the Second Committee No.
39/248, lihat di
http://daccess-dds-ny.un.org/doc/RESOLUTION/GEN/NR0/462/25/IMG/NR046225.pdf?OpenElement,
diakses pada 10 Februari 2013. Pedoman ini pada intinya menyatakan bahwa Codex Alimentarius sebagai salah satu
standar yang diakui untuk bidang food
securities.
[22] Jan Wouters,
Axel Marx, dan Nicolas Hachez, 2009, In
Search Of A Balanced Relationship : Public And Private Food Safety Standards
And International Law, Working Paper No.29-June2009, Leuven : Leuven Centre
for Global Governance Studies, hlm. 3 – 5, lihat di
http://ghum.kuleuven.be/ggs/publications/working_papers/new_series/wp21-30/wp29.pdf,
diakses pada 10 Februari 2013.
[24] J.F.
Handler, 1996, Down from Bureaucracy:The
Ambiguity of Privatization and Empowerment, Princeton : Princeton
University Press, hlm. 168, di dalam O.Lobel, 2004, The Renew Deal : the Fall of Regulation and the Rise of Governance in
Contemporary in Contemporary Legal Thought, 89 Minnesota Law Review, hlm.
342., dan S. Henson, 2006, The Role of Public
and Private Standards in Regulating International Food Markets, Paper prepared for the IATRC
Summer symposium "Food Regulation and Trade: Institutional framework, Concepts of Analysis and Empirical
Evidence" Bonn, Germany, May 28-30, 2006, lihat di http://www.ilr.uni-bonn.de/iatrc2006/iatrc_program/Session%204/Henson.pdf,
diakses pada 10 Februari 2013.
[26] Perdebatan
tentang ISO sebagai badan standardisasi internasional yang diakui oleh WTO
dapat dilihat dalam Petros Mavroidis et.al., op.cit., hlm. 266.. Juga dapat dipelajari dalam Panel Report, EC-Sardines, paragraf 7.68, yang menetapkan bahwa Codex Alimentarius Commission merupakan
badan standar yang paling tepat untuk digunakan dalam kasus ini, mengalahkan
standar yang ditetapkan oleh ISO/IEC(International
Electro-technical Commission) dengan pendapat menolak argumen EC tentang
standar yang digunakan haruslah standar yang bersifat unanimity (diterima secara bulat tanpa syarat), dan mengemukakan
bahwa standar yang bersifat voluntary tanpa
unanimity sesuai Annex 1 TBT Agreement yaitu Codex
Stan 94 (standar dari Codex
Alimentarius Commission) adalah standar yang sesuai untuk menentukan jenis sardine dalam kasus ini.