Selasa, 17 September 2013

International Organization for Standardization (ISO), Codex Alimentarius Comission, dan Technical Barriers To Trade.

TBT Agreement Dan Standar Internasional
            Daya mengikat dari TBT Agreement yang didapatkan lewat WTO Agreements mendapatkan tantangan ketika berhadapan dengan standar – standar internasional yang tidak diatur di dalam TBT Agreement. Pengujian terhadap kesesuaian TBT Agreement dengan standar internasional yang berlaku saat ini dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas untuk meneliti karakteristik dari TBT Agreement itu sendiri.
            Standar internasional merupakan salah satu sasaran dari TBT Agreement, yang secara eksplisit dicantumkan di bagian Preamble, [1] merupakan  standar yang diatur melalui penetapan sebuah regulasi standar untuk diaplikasikan oleh seluruh pihak dalam agreement khususnya dalam sistem perdagangan bebas. Hal ini dikarenakan harmonisasi technical regulations dan standar nasional di sekitaran standar internasional memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perilaku perdagangan internasional.[2] Harmonisasi standar internasional dapat mengurangi efek dari trade restrictive dari technical barriers to trade dengan meminimalisir berbagai variasi persyaratan yang harus dipenuhi oleh eksportir untuk memasuki berbagai pasar ekspor, sehingga membuat mereka dapat mengambil keuntungan ekonomi yang lebih besar.
            TBT Agreement mewajibkan negara anggotanya untuk membuat technical regulations mereka berdasarkan standar internasional. Article 2.4 TBT Agreement menyebutkan :
“where technical regulations are required and relevant international standards exist or their completion is imminent, Members shall use them, or the relevant parts of them, as a basis for their technical regulations except when such international standards or relevant parts would be and ineffective or inappropriate means for the fulfillment of the legitimate objectives pursued, for instance because of fundamental climatic or geagraphical factors or fundamental technological problems.”[3]

Dalam Article ini terminologi international standard tidak didefinisikan sama sekali, namun ada pengertian tentang hal ini yang tersirat dalam Annex 1 TBT Agreement yaitu :
“standards prepared by the international standardization community are based on concensus. This Agreement covers also documents that are not based on concensus.”[4]
            Kepastian tentang apa yang disebut dengan “standar internasional” baik sebelum dan sesudah TBT Agreement diterapkan belum dapat diberikan baik oleh aturan – aturan dalam TBT Agreement itu sendiri maupun oleh putusan – putusan yang dikeluarkan oleh Panel dan Appellate Body WTO. Di sisi lain, hal yang menjadi jelas adalah dengan menerima beberapa institusi yang mengadopsi standar internasional, maka WTO menyerahkan status “badan standardisasi internasional” kepada mereka, meskipun output dari badan – badan tersebut tidak selalu dikualifikasikan sebagai standar internasional karena harus melalui pemeriksaan yang ketat disesuaikan dengan kebutuhan kasus terlebih dahulu. ISO dan Codex Alimentarius Commission sejauh ini merupakan dua institusi yang output­-nya telah diterima sebagai standar internasional dalam kasus – kasus hukum di WTO.
1.      International Organization for Standardization (ISO)
            ISO adalah organisasi internasional di bidang standardisasi. ISO memiliki keanggotaan 164  (sampai Mei 2012) badan standar nasional dari negara-negara besar dan kecil, industri, baik yang berkembang maupun yang dalam masa transisi di semua wilayah di dunia. Portofolio ISO berjumlah lebih dari 19 200 standar (sampai Mei 2012), yang menyediakan kepada pelaku bisnis, pemerintah dan masyarakat, berbagai panduan praktis untuk tiga dimensi pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial. [5]
            Standar ISO memberikan kontribusi positif bagi dunia. Mereka memfasilitasi perdagangan, penyebaran pengetahuan, menyebarluaskan kemajuan inovatif dalam teknologi, dan memberikan panduan manajemen yang baik dan conformity assessment procedures. Standar ISO memberikan solusi dan mencapai manfaat untuk hampir semua sektor, termasuk pertanian, rekayasa konstruksi, mesin, manufaktur, distribusi, transportasi, kesehatan, informasi dan komunikasi teknologi, lingkungan, energi, keselamatan dan keamanan, manajemen mutu, dan
layanan.[6]
            ISO hanya mengembangkan standar apabila dibutuhkan oleh pasar. Pekerjaan dilakukan oleh para ahli yang dipekerjakan langsung dari industri, teknis dan sektor usaha yang telah mengidentifikasi kebutuhan standar, dan yang kemudian menempatkan standar tersebut untuk digunakan. Para ahli ini dapat bekerjasama dengan orang lain yang memiliki pengetahuan yang relevan, seperti wakil dari instansi pemerintah, laboratorium pengujian, konsumen asosiasi dan akademisi, dan oleh organisasi internasional dan non-governmental organization.[7]
            Kritik kepada WTO bahwa pendekatan – pendekatan yang dilakukan tentang trade barriers dapat merusak berbagai regulasi domestik terkait penerapan standar, mampu diselesaikan dengan baik oleh ISO. [8] ISO juga diakui sebagai salah satu dari delapan elemen penting yang merupakan kunci sukses Amerika Serikat dalam pengawasan terhadap pasar.[9] Di level internasional, ISO telah memberikan kontribusi dalam mengkonsepkan desain dan mekanisme perawatan lewat prosedur tes yang memadai dengan membuat beberapa kebijakan, seperti pengembangan bingkai internasional untuk mengukur emisi gas rumah kaca dan pengembangan standar yang relevan untuk topik – topik sosial dan kebijakan lingkungan yang menantang agenda tersebut.[10]
            Namun demikian, keterwakilan dalam Technical Committees ISO selama enam puluh tahun terakhir menunjukkan bahwa standar – standar ISO saat ini, dan akan terus berlanjut, didominasi oleh negara – negara industri, terutama negara Eropa Barat, dan meskipun indikasi tidak terwakilinya negara – negara berkembang dan least developed countries sudah diketahui, tidak ada pengembangan yang dilakukan untuk mengatasi hal ini.[11] Hal ini cukup mengurangi kredibilitas ISO di mata dunia untuk menciptakan standar internasional yang benar – benar baku dan lebih kredibel serta berarti bagi pengembangan yang berkelanjutan.
2.      Codex Alimentarius Commission
            Secara sederhana, Codex Alimentarius adalah koleksi standar, kode praktek, pedoman dan rekomendasi lainnya. Beberapa teks terlihat sangat umum, namun ada beberapa hal disebutkan dengan sangat spesifik. Ada hal yang berurusan dengan persyaratan rinci terkait dengan makanan atau kelompok makanan, sedangkan yang lainnya berurusan dengan operasi dan manajemen proses produksi atau pengelolaan sistem dari pemerintahan yang berwenang dalam hal keamanan pangan dan perlindungan konsumen.[12]
            Codex Alimetarius Commission adalah komisi yang dibentuk untuk mengatur berbagai prosedur kerja terkait Codex Alimentarius. Codex Alimetarius Commission lahir dari sebuah keharusan, dengan Statuta dan Rules of Procedures yang disusun dengan hati – hati untuk memastikan bahwa komisi ini benar – benar mampu mendefinisikan tujuan mereka dengan disiplin, tidak memihak, dan dengan cara yang ilmiah. The Eleventh Session of the FAO Conference pada 1961 dan The Sixteenth World Health Assembly pada 1963 menghasilkan resolusi untuk mendirikan Codex Alimentarius Commission. Kedua badan tersebut juga mengadopsi Statuta dan Rules of Procedure untuk komisi tersebut,[13] yang tujuannya adalah :
“on all matters pertaining to the implementation of the Joint FAO/WHO Food Standards Progtamme, the purpose of which is :
(a) Protecting the health of the consumers and ensuring fair practices in the food trade;
(b) Promoting coordination of all food standards work undertaken by international governmental and non-governmental organizations;
(c) Determining priorities and intiating and guiding the prepartion of draft standards through and with the aid of appropriate organizations;
(d) Finalizing standards elaborated under (c) above and publishing them in a Codex Alimentarius either as regional or worldwide standards, together with international standards already finalized by other bodies under (b) above, wherever this is practicable;
(e) Amending published standards, as appropriate, in the light of developments.”[14]
                                  
            Keanggotaan Codex Alimentarius Commission terbuka untuk semua anggota dan rekanan FAO dan WHO yang tertarik dalam standar pangan internasional. Anggotanya adalah negara – negara, sementara rekanannya adalah “territories or groups of territories which are not responsible for the conduct of their international relations.”[15] Komisi ini dipimpin oleh seorang Chairperson dan tiga Vice – Chairperson, dipilih oleh anggota komisi di antara delegasi para anggota yang sudah dijelaskan di atas. Mereka membentuk Executive Committee yang dipilih anggota berdasarkan basis geografis, yang merupakan organ eksekutif dari komisi, yang berfungsi untuk membuat proposal kepada komisi terkait dengan orientasi serta program umum atau kerja dari komisi, mempelajari masalah – masalah khusus dan membantu mengembangkan program yang disetujui oleh komisi.[16] Selain itu komisi juga membentuk Subsidiary Bodies yang terdiri dari para ahli dari bidang – bidang yang relevan untuk menyiapkan bentuk – bentuk standar yang akan dimasukkan kepada komisi baik untuk keperluan secara luas maupun diperuntukkan secara khusus kepada wilayah atau kelompok negara tertentu yang ditentukan oleh komisi.[17] Sekretariat dari komisi ini berada bersama – sama dengan sekretariat FAO di Roma.
            Pengambilan keputusan dari komisi dan Subsidiary Bodies secara normal diambil dengan absolute majority, dengan setiap anggota mendapatkan satu suara.[18] Namun demikian, komisi dan Subsidiary Bodies akan mengusahakan berbagai cara untuk mendapatkan kesepakatan adopsi ataupun amandemen sebuah standar dengan cara konsensus, yang apabila tidak mampu dilakukan dengan konsensus maka cara yang ditempuh adalah voting.[19]
            Komisi mengadopsi tiga tipe dokumen standar yang berkaitan dengan makanan, yang kesemuanya bersifat voluntary, yaitu Codex Standards yang berkaitan dengan karakteristik produk, Codex Codes of Practice yang berkaitan dengan pembuatan, proses, produksi, transportasi dan praktek – praktek penyimpanan untuk makanan baik secara individu ataupun kelompok, dan Codex Guidelines yang mengatur tentang pembentukan kebijakan di bidang – bidang penting atau yang ditujukan untuk masalah interpretatif (yang lazim disebut Codex Standards).[20]
            Codex Alimentarius telah menjadi referensi yang semakin global bagi konsumen, produsen makanan, lembaga kontrol pangan nasional dan lembaga perdagangan pangan internasional. Standar ini telah memberikan dampak yang besar pada pemikiran produsen makanan sama seperti ketika memberikan kesadaran tentang masalah produk yang higienis bagi konsumen. Pengaruhnya meluas ke setiap benua, dan kontribusinya terhadap perlindungan kesehatan masyarakat dan praktek yang adil dalam perdagangan makanan semakin tidak terukur.
            Sistem Codex Alimentarius menyajikan kesempatan unik bagi semua negara untuk bergabung dengan masyarakat internasional dalam merumuskan dan mengharmonisasikan standar makanan serta memastikan pelaksanaan global dari perumusan tersebut. Hal ini juga memungkinkan mereka berperan dalam pengembangan standar – standar yang mengatur proses yang higienis, dan rekomendasi yang berkaitan dengan kepatuhan terhadap standar – standar tersebut.
            Pentingnya Codex Alimentarius untuk perlindungan kesehatan konsumen ditegaskan pada tahun 1985 oleh Resolusi PBB No. 39 / 248, dimana pedoman tersebut diadopsi untuk digunakan dalam perluasan dan penguatan kebijakan perlindungan konsumen. Pedoman ini menyarankan bahwa “When formulating national policies and plans with regard to food, Governments should take into account the need of all consumers for food security and should support and, as far as possible, adopt standards from the … Codex Alimentarius or, in their absence, other generally accepted international food standards.”[21]
            Codex Alimentarius memiliki relevansi dengan perdagangan pangan internasional. Dengan memperhatikan pasar global yang terus meningkat pada khususnya, keuntungan memiliki standar makanan universal yang seragam untuk perlindungan konsumen merupakan hal yang tidak dapat dihindari, oleh karena itu SPS Agreement dan TBT Agreement mendorong harmonisasi internasional standar makanan.[22] Produk – produk agreement dari Uruguay Round tentang perdagangan multinasional banyak mengutip standar internasional, pedoman dan rekomendasi sebagai langkah-langkah yang dipilih untuk memfasilitasi perdagangan internasional khususnya di bidang makanan. Dengan demikian, Codex Alimentarius telah menjadi tolak ukur terhadap langkah-langkah kebijakan makanan nasional dan peraturan yang dievaluasi dalam parameter hukum WTO Agreement.
            Efektivitas dan legitimasi dari kedua standar yang dikemukakan di atas sebagai standar internasional yang diakui dalam TBT Agreement masih dipertanyakan terkait masalah dinamisme dan efektivitas, desain secara institusional, serta orientasinya dalam memberikan perhatian kepada masyarakat.[23] Dengan menunjuk badan yang berkompeten dalam bidang standar untuk memberikan mengatur segala sesuatu yang harus dipertimbangkan sebagai standar internasional di bawah TBT Agreement (baik ISO maupun Codex Alimentarius Commission), maka WTO mengambil resiko untuk mempatenkan proses dinamis di antara aktor – aktor pengatur standar tersebut untuk saling memberikan peninjauan dan pengembangan kepada standar yang lebih efektif, dengan tidak mempertimbangkan semangat kompetitif.[24]
            Evolusi standar keamanan dan kualitas pangan pada akhirnya memberikan tantangan terkait peran dari WTO khususnya TBT Agreement dan standar – standar pangan yang diatur dalam hubungan pemerintahan lewat jalur diplomasi.[25] Oleh karena itu, dalam menunjuk ISO dan Codex Alimentarius Commission sebagai referensi dalam bidang standardisasi, WTO yang belum mampu bersaing dengan skema regulasi privat yang diterapkan kedua badan standar tersebut cenderung memiliki tendensi untuk memperlakukan relevansi standar yang ada di dalam peraturan – peraturannya sebagai hal yang lebih utama daripada standar – standar yang diberikan, dengan melihat peran Panel dan Appellate Body yang begitu besar dalam menentukan keabsahan kedua badan tersebut untuk dipakai sebagai petunjuk yang diakui.
            Tidak seperti SPS Agreement, TBT Agreement tidak menyebut secara eksplisit institusi penentu standar yang diakui, karena dalam Article 2.4 TBT Agreement hanya menyebutkan supaya negara – negara menggunakan standar internasional apabila ada, atau apabila pemenuhannya bersifat sangat diperlukan (imminent). Konsekuen dengan hal ini, badan penyelesaian sengketa WTO memiliki kebijakan yang ketat terkait dengan penentuan standar internasional, terutama dalam menentukan badan internasional yang diakui dalam bidang standarisasi. Dokumen – dokumen yang dikeluarkan oleh badan – badan internasional bidang standarisasi harus diperiksa secara seksama terlebih dahulu sebelum ditetapkan menjadi standar yang diakui oleh WTO, sekalipun dokumen tersebut berasal dari ISO  dan Codex Alimentarius Commission.[26]
            Berdasarkan peninjauan relasi antara TBT Agreement dan standar internasional, maka kita dapat menentukan bahwa karakteristik TBT Agreemtn sangat ditentukan oleh peran Panel dan Appellate Body dalam menentukan standar – standar internasional yang akan dipakai dalam mengambil keputusan untuk kasus – kasus yang memakai skema TBT Agreement dalam proceedings­-nya. Meskipun Codex Alimentarius Commission menyalahi aturan yang diberikan oleh TBT Committee on the Principles for the Development of International Standards bahwa sebuah standar internasional harus ditetapkan dengan cara konsensus, namun Panel dan Appellate Body WTO memiliki hak untuk mengeksaminasi penentuan standar internasional dalam konsep TBT Agreement ini berdasarkan Annex 1 TBT Agreement karena mandat untuk mengadopsi standar internasional tidak dimiliki oleh TBT Agreement.


[1] Lihat Paragraf 3 kalimat pembuka dari TBT Agreement yang berbunyi : “Recognizing the important contribution that international standards and conformity assessment systems can make in this regard by improving efficiency of production and facilitating the conduct of international trade.”
[2] juga harmonisasi conformity assessment procedures nasional di sekitaran petunjuk dan rekomendasi internasional untuk conformity assessment procedures memberikan kontribusi bagi perdagangan internasional.
[3] Article 2.4 TBT Agreement ini bersifat compulsory menurut Petros Mavroidis dalam Petros Mavroidis et.al., op.cit., hlm. 266.
[4] terkait dengan hal ini, penulis berpendapat bahwa “standar internasional” yang dimaksudkan dalam Annex 1 TBT Agreement yang kemudian dipertimbangkan untuk berlaku dalam TBT Agreement itu sendiri adalah standar yang dikeluarkan oleh badan standaridisasi internasional yang mengeluarkan standar – standarnya baik secara konsensus maupun tidak.
[5]International Organization for Standardization, 2012, ISO Standards : What’s The Bottom Line?, Switzerland : ISO Central Secretariat, hlm. 2., lihat di http://www.iso.org/iso/bottom_line.pdf, diakses pada 8 Februari 2013.
[6] International Organization for Standardization, 2012, ISO & Energy : Working For A Cleaner, Sustainable Future, Switzerland : ISO Central Secretariat, hlm. 2., lihat di http://www.iso.org/iso/iso_and_energy.pdf, diakses pada 8 Februari 2013.
[7] International Organization for Standardization, 2012, op.cit., hlm. 3
[8] Herman Daly, 1993, The Perils of Free Trade, Scientific American 269(5):51–55, dalam Aseem Prakash dan Matthew Potoski, 2006, Racing To The Bottom? Trade, Environmental Governance, and ISO 14001, American Journal of Political Science, Vol. 50, No. 2, April 2006, Pp. 350–364, lihat di http://home.cerge-ei.cz/richmanova/UPCES%5CPotoski%20Prakash%20Racing%20iso-ajps.pdf, diakses pada 8 Februari 2013.
[9] Organization for Economic Co-Operation And Development (OECD), 2009, Proceedings And Summary Report, Workshop And Policy Dialogue On Technical Barriers To Trade : Promoting Good Practices In Support of Open Markets, Paris:OECD Conference Centre, hlm. 17 (Summary of Discussions), lihat di http://www.oecd.org/tad/non-tariffmeasures/45450207.pdf, diakses pada 8 Februari 2013.
[10] Organization for Economic Co-Operation And Development (OECD), loc.cit., hlm. 19
[11] Mari Morikawa dan Jason Morrison, 2004, Who Develops ISO Standards? A Survey of Participation in ISO’s International Standards Development Processes, Pacific Institute for Studies in Development, Environment, and Security, Oakland, California, hlm. 25, lihat di http://www.pacinst.org/reports/iso_participation/iso_participation_study.pdf, diakses pada 8 Februari 2013.
[12] Codex Alimentarius Commission, 2006, Understanding The Codex Alimentarius, Third Edition, World Health Organization, Food And Agriculture Organization of the United Nations, hlm. 17, lihat di ftp://193.43.36.93/codex/Publications/understanding/Understanding_EN.pdf, diakses pada 9 Februari 2013.
[13] ibid, hlm. 13
[14] Article 1 Statute of the Codex Alimentarius Commission.
[15] Article II FAO Constitution; dan Article 6 WHO Constitution.
[16] Codex Alimentarius Commission, 2011, Procedural Manual, 20th ed., Rules of Procedures of the Codex Alimentarius Commission, Rome : World Health Organization and Food And Agricultural Organization of the United Nations, Rule III,2, lihat di ftp://193.43.36.93/codex/Publications/ProcManuals/UPD_PM20e.pdf, diakses pada 9 Februari 2013.
[17] ibid, Rule IX,1(b)(i).                                      
[18] ibid, Rule VI.
[19] ibid, Rule X,2
[20] Codex Alimentarius Commission, 2006, op.cit., hlm. 10 – 11.
[21] Annex Section G No. 39 Resolutions adopted on the Second Committee No. 39/248, lihat di http://daccess-dds-ny.un.org/doc/RESOLUTION/GEN/NR0/462/25/IMG/NR046225.pdf?OpenElement, diakses pada 10 Februari 2013. Pedoman ini pada intinya menyatakan bahwa Codex Alimentarius sebagai salah satu standar yang diakui untuk bidang food securities.
[22] Jan Wouters, Axel Marx, dan Nicolas Hachez, 2009, In Search Of A Balanced Relationship : Public And Private Food Safety Standards And International Law, Working Paper No.29-June2009, Leuven : Leuven Centre for Global Governance Studies, hlm. 3 – 5, lihat di http://ghum.kuleuven.be/ggs/publications/working_papers/new_series/wp21-30/wp29.pdf, diakses pada 10 Februari 2013.
[23] ibid, hlm. 12
[24] J.F. Handler, 1996, Down from Bureaucracy:The Ambiguity of Privatization and Empowerment, Princeton : Princeton University Press, hlm. 168, di dalam O.Lobel, 2004, The Renew Deal : the Fall of Regulation and the Rise of Governance in Contemporary in Contemporary Legal Thought, 89 Minnesota Law Review, hlm. 342., dan S. Henson, 2006, The Role of Public and Private Standards in Regulating International Food Markets, Paper prepared for the IATRC Summer symposium "Food Regulation and Trade: Institutional framework, Concepts of Analysis and Empirical Evidence" Bonn, Germany, May 28-30, 2006, lihat di http://www.ilr.uni-bonn.de/iatrc2006/iatrc_program/Session%204/Henson.pdf, diakses pada 10 Februari 2013.
[25] S. Henson, op.cit., hlm. 3 – 4.
[26] Perdebatan tentang ISO sebagai badan standardisasi internasional yang diakui oleh WTO dapat dilihat dalam Petros Mavroidis et.al., op.cit., hlm. 266.. Juga dapat dipelajari dalam Panel Report, EC-Sardines, paragraf 7.68, yang menetapkan bahwa Codex Alimentarius Commission merupakan badan standar yang paling tepat untuk digunakan dalam kasus ini, mengalahkan standar yang ditetapkan oleh ISO/IEC(International Electro-technical Commission) dengan pendapat menolak argumen EC tentang standar yang digunakan haruslah standar yang bersifat unanimity (diterima secara bulat tanpa syarat), dan mengemukakan bahwa standar yang bersifat voluntary tanpa unanimity sesuai Annex 1 TBT Agreement yaitu Codex Stan 94 (standar dari Codex Alimentarius Commission) adalah standar yang sesuai untuk menentukan jenis sardine dalam kasus ini.