NEGOSIASI, MEDIASI, DAN INQUIRY
(J. G. Merrills)
1. NEGOSIASI
Negosiasi adalah cara yang paling pertama dipilih untuk
menyelesaikan sebuah sengketa internasional yang melibatkan subjek – subjek
hukum internasional. Hal ini telah diatur di dalam Piagam PBB pasal 33 ay. 1
yang menuliskan cara penyelesaian sengketa yang paling pertama adalah
negosiasi. Cara ini paling sering mendapatkan kesuksesan dalam menyelesaikan
masalah, dan lebih lanjut, lewat negosiasi, negara mampu menghindari metode
penyelesaian sengketa lain, sekalipun tingkat keberhasilannya diperkirakan sangat
kecil. Lebih lanjut, meskipun negosiasi tidak berhasil untuk menyelesaikan
sebuah masalah, proses yang telah terjadi dalam negosiasi sering sekali
menentukan langkah – langkah yang lebih lanjut apabila kedua belah pihak tidak
mendapatkan titik temu. Tonggak dasar metode penyelesaian sengketa yang
berikutnya sering sekali telah ditentukan terlebih dahulu lewat sebuah
negosiasi. Negosiasi juga bukan hanya sekedar bentuk penyelesaian sengketa
semata, namun dalam pengertian yang lebih luas, juga merupakan cara pencegahan
terjadinya sebuah sengketa internasional. Salah satu bentuk pengertian ini
adalah Konsultasi.
Konsultasi
Konsultasi merupakan salah satu bentuk negosiasi yang
dilakukan ketika negara merencanakan ataupun mengambil tindakan yang dianggap
berpotensi untuk melanggar kepentingan – kepentingan negara lain terlebih
dahulu mengajak pihak negara lain tersebut untuk berdiskusi bersama – sama
untuk mencari solusi agar terhindar dari potensi sengketa yang akan terjadi.
Nilai paling berharga dari sebuah konsultasi adalah cara ini dapat menyediakan
segala informasi – informasi berharga tentang kepentingan pihak lain, sebelum
segala sesuatunya dilaksanakan, karena jauh lebih mudah untuk mengantisipasi
hal – hal yang tidak diinginkan terjadi daripada menyelesaikan ataupun mengubah
isi keputusan yang sudah terlanjur diambil. Pemakaian cara konsultasi biasanya
dilakukan dengan cara saling mengirim notifikasi kepada negara lain ketika ada
tindakan yang akan dilakukan dapat menimbulkan bahaya terganggunya kepentingan
mereka. Contoh kasus adalah Lake Lanoux Case dan Land Reclamation Case. Pada
kasus pertama, terjadi sengketa antara Perancis dan Spanyol, dimana Spanyol
membawa ke pengadilan bahwa Perancis berada di bawah semacam kewajiban untuk
mendapatkan persetujuan terlebih dahulu terhadap sebuah proyek yang
dilaksanakan pihak Perancis di Pyrennes tentang pengelolaan air untuk skema
hydroelektrik yang memiliki akibat dapat saja mengganggu kepentingan Spanyol.
Pengadilan kemudian menolak argumen dari Spanyol, namun terkandung makna bahwa
Perancis terlebih dahulu harus melakukan sebuah konsultasi kepada Spanyol
terkait dengan masalah ini. Secara eksekutif, konsultasi jauh lebih mudah
dilakukan daripada secara legislatif, karena dapat ,menyediakan jalan keluar
yang lebih cepat.
Konsultasi memang merupakan sebuah jalan keluar yang terbaik
untuk mencegah terjadinya sengketa internasional, dan sebagai langkah awal yang
dalam praktek semakin berkembang di dunia internasional. namun demikian, ketika
konsultasi telah masuk pada ranah pemilihan wilayah kewajiban atau pelengkap
saja, maka kita akan mendapatkan kesulitan dalam pengambilan keputusannya.
Ingat, negara bukan hanyalah sebuah entitas, namun merupakan kumpulan dari
sebuah grup yang berisi berbagai kepentingan nasional, sehingga sebuah
konsultasi yang dilakukan tidak serta merta membawa kepentingan nasional
seluruh negara. Ketika berhadapa dengan ranah legislatif, maka konsultasi pun
akan menemui banyak kesulitan untuk mencapai titik temu.
Salah satu bentuk pelaksanaan negosiasi juga adalah
dengan mengadakan pertemuan awal dari berbagai negara untuk menegosiasikan
beberapa kepentingan yang memiliki keterkaitan antar negara. Cara ini sangat
positif, karena dapat menampung berbagai kepentingan terlebih dahulu, dan dapat
menghasilkan berbagai tindakan – tindakan pencegahan di kemudian hari terhadap
sebuah kemungkinan masalah yang akan terjadi. kekurangannya, cara ini dapat
saja menghasilkan terlalu banyak keputusan, yang pada akhirnya sangat sulit
untuk dilaksanakan satu per satu, negosiasi yang dilaksanakan pun dapat
berlangsung sangat alot dan lambat, karena harus menampung aspirasi dari
seluruh negara peserta pertemuan, meskipun urgensi akan keputusan tersebut bisa
saja hanya melibatkan keputusan antar dua negara saja namun harus memperhatikan
pendapat dari negara – negara lain yang tidak memiliki keterkaitan dalam
kemungkinan perjanjian yang dibuat.
Negosiasi tidak mungkin dapat dilakukan ketiak dua negara
menolak untuk bertemua (AS dan Iran), ataupun ketika ada asas non-recognition
yang diterapkan satu negara terhadap negara lain.Hal ini menegaskan bahwa
negosiasi memiliki kelemahan yang sangat mendasar, yaitu kepentingan politik
setiap negara di dunia tidak pernah sama, yang ada adalah penyesuaian –
penyesuaian kebijakan yang telah diambil dari kebijakan politik di ssebuah
negara.
2. MEDIASI
Ketika proses negosiasi antara dua negara tidak menemukan
jalan keluar, maka intervensi dari pihak ketiga dapat saja memberikan
penyelesaian terhadap masalah yang dihadapi ataupun kemungkinan dihadapi oleh
dua negara terkait sebuah keputusan.
Di dalam bukunya, Merrills mengemukakan bahwa Mediasi
berada di antara pengertian Good Offices dan Conciliation. Mediasi merupakan
perwujudan dari Good Offices yang dilakukan dengan cara – cara Conciliation,
tapi bukan merupakan suatu sistem yang tetap seperti pada Conciliation. Namun
demikian, menurutnya pada kasus tertentu hal ini sangat sulit untuk dibedakan.
Pada mediasi, negara – negara yang bersengketa dapat
bersepakat untuk memasukkan pihak luar di dalam sengketanya untuk mencoba
memberikan penyelesaian tanpa ada keterikatan untuk memenuhi kewajiban
keputusan yang diberikan oleh pihak ketiga tersebut. Pihak ketiga berhak untuk
memberikan berbagai solusi yang diperlukan untuk mendapatkan penyelesaian atas
sengketa yang ada. Bahkan pihak ketiga yang dimaksudkan dapat saja tidak
terdiri dari satu pihak saja, namun dapat memiliki jumlah yang banyak, ataupun
dengan metode simultan. Ketika negosiasi menghasilkan deadlock, maka mediasi
dapat menyediakan keuntungan – keuntungan untuk mengontrol kembali sengketa
yang sedang berjalan, bahkan memberikan persyaratan – persyaratan baru untuk
menyelesaikan sengketa yang sedang berlangsung. Secara politis, mediasi juga
lebih menguntungkan daripada sekedar negosiasi secara langsung pada kasus
tertentu.
Contoh kasus antara Inggris dan Argentina pada tahun 1982
saat invasi Falkland Island 1982, Amerika Serikat menawarkan mediasi antara
kedua belah pihak, kemudian diikuti oleh penawaran Good Offices oleh Sekretaris
Jenderal PBB Javier Perez De Cuellar. Amerika memberikan pandangan bahwa perang
antara sekutu NATO dan OAS, yang notabene memiliki beberapa anggota sekutu yang
sama, dapat saja memberikan pilihan bahwa mereka tidak menginginkan adanya
perpecahan, sehingga sengketa ini perlu mendapatkan pertimbangan yang lebih
lanjut lagi untuk dikonfrontir. Sekretaris Jenderal PBB juga terlibat di dalam
mediasi ini sebagai konsekuensi untuk mencegah diambilnya keputusan Dewan
Keamanan, yang berusaha untuk mencegah adanya korban yang lebih banyak lagi.
Mediasi juga dapat memberikan dampak positif bagi negara
kecil maupun negara – negara berkembang untuk dapat menjalin hubungan kerjasama
baik secara baru maupun yang lebih besar lagi dengan negara – negara maju di
dunia. Seperti misalnya Algeria yang berusaha memberikan bantuan mediasi antara
AS dan Iran. Algeria secara politis membuka kerjasama yang baru dalam membina
hubungan dengan Amerika Serikat, dan lebih besar lagi, mereka menawarkan sebuah
jalan keluar untuk mencegah adanya sengketa yang lebih besar lagi antara negara
– negara muslim dengan negara superpower.
Kelemahan terbesar dari proses mediasi adalah apabila
negara – negara yang bersengketa tidak memiliki kehendak untuk mengikuti
keputusan yang diberikan oleh mediator. Mediasi yang dilakukan memang tidak
memiliki kewajiban keterikatan bagi negara – negara yang bersengketa untuk
mengikuti kehendak ataupun keputusan jalan keluar yang diberikan oleh mediator,
namun demikian, apabila sebuah pemerintahan menerima sebuah proses mediasi,
maka mereka memiliki dasar – dasar yang kuat bahwa persoalan sengketa yang
dihadapi diakui sebagai sebuah masalah internasional.
Di dalam sebuah mediasi, pendapat – pendapat dari luar
tidak terlalu memegang peranan yang penting, karena hal yang paling memegang
peranan adalah sebuah indusemen atau bujukan, karena di dalam sebuah mediasi,
para pihak harus menerima bahwa mediasi adalah lebih dari sekedar ide bagus
semata, namun sebagai sebuah jalan keluar penyelesaian masalah. Dalam kasus
antara Argentina dan Inggris, pihak Chille masuk sebagai pihak indusemen untuk
membujuk Argentina lewat utusan Paus, Kardilnal Samore, agar dapat mengikuti
proses mediasi lebih lanjut lagi.
Di dalam proses negosiasi, netralitas dari pihak mediator
sangat dijunjung tinggi dan sangat sering dipertanyakan oleh pihak – pihak yang
bersengketa. Pada kasus antara Iran dan AS, kedudukan Algeria sebagai mediator
sangat dipertanyakan oleh AS mengingat Algeria merupakan negara muslim yang
sama dengan Iran yang juga adalah negara muslim, karena pada fungsinya,
mediator adalah penyedia informasi – informasi penting antara kedua negara,
yang harus membawa keseimbangan informasi yang sangat ketat terkait
permasalahan yang dihadapi. Tidak boleh ada ruang informasi yang memberatkan
ataupun meringankan salah satu pihak saja.
Dalam mediasi, informasi – informasi yang disajikan oleh
mediator tidak selalu memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, bahkan lebih
lanjut justru dapat menimbulkan kecurigaan – kecurigaan tertentu oleh pihak –
pihak yang bersengketa, apalagi ketika mediator di dalam mediasinya mengkritik
kebijakan yang diambil oleh salah satu pihak, maka netralitas dari mediator
pada saat itu juga dapat langsung dipertanyakan.
Keterbatasan dari sebuah proses mediasi sudah sangat
jelas, bahwa mediasi pada dasarnya hanyalah sebuah proses. Keputusan
penyelesaian sengketa yang dimediasi kemudian dikembalikan kepada negara –
negara yang bersengketa apakah akan mengikuti saran dan informasi – informasi
serta jalan keluar yang diberikan lewat proses mediasi atau tidak. Meskipun
mediasi dilakukan oleh mediator yang sangat handal dengan mengemukakan
informasi akurat dan jalan keluar yang dipandang dunia sangat baik,
keberhasilan sebuah mediasi sangat tergantung timing yang tepat pada saat para
pihak yang bersengketa memiliki keinginan untuk menyelesaikan masalah atau
tidak. Salah satu teknik mediasi yang paling sering dilakukan adalah dengan
mempertimbangkan resiko eskalasi perkembangan sengketa apakah telah berlangsung
secara lama dan menimbulkan kelelahan politik attau tidak.
Mediasi sangat sering gagal pada kasus dimana salah satu
negara harus menyerahkan kepentingannnya berada di bawah kepentingan negara
lain. Negara – negara tertentu lebih mengajukan kepentingan – kepentingan
politiknya dalam sebuah sengketa daripada aspek – aspek lain yang akan
ditimbulkan akibat adanya sengketa, sedangkan jalan keluar dari sebuah mediasi
sangat umum dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek politik, karena aspek
politik merupakan aspek yang tidak memiliki netralitas dalam penyelesaian
sengketa.
3. INQUIRY
Model inquiry adalah salah satu penyelesaian sengketa
ketika negosiasi mengalami jalan buntu dan tidak dimungkinkannnya ada mediator
untuk menangani sebuah masalah. Inquiry pada dasarnya adalah sebuah model
penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak lain di dalam sebuah sengketa,
yang tidak memiliki interest atau tujuan pada sengketa yang sedang terjadi.
pihak ketiga tersebut tidak sedang mengejar kepentingan lain pada sengketa yang
sedang berjalan, dan benar – benar ditunjuk dan disepakati oleh kedua belah
pihak yang sedang bersengketa untuk dapat memberikan penyelesaian. Pada
akhirnya, inquiry memberikan dampak hukum yang lebih mengikat kepada kedua
belah pihak yang bersengketa. Pada bukunya, Merrills membahas inquiry dari segi
aspek organisasi internasional sebagai peluang arbitrase, karena pengadilan
internasional akan dibahas di bab lain.
Pada kasus Antara Amerika Serikat dan Spanyol 15 Februari
1898, adanya periwtiwa hancurnya Havana Harbour milik Amerika Serikat yang
menelan korban 259 petugasnya, Amerika Serikat menuduh Spanyol sebagai
representasi kekuaran Eropa untuk menghancurkan Amerika Serikat pada saat itu.
Spanyol menolak untuk bertanggung jawab dalam insiden tersebut, karena Spanyol
yang mengadakan komisi penyelidikan menemukan bahwa penyebab hancurnya
pelabuhan tersebut disebabkan kerusakan internal. Amerika Serikat kemudian
mengadakan sebuah komisi penyelidikan tandingan, yang dianggotai US Naval, dan
menemukan fakta bahwa hancurnya pelabuhan tersebut diakibatkan adanya serangan
laut oleh pihak lain, dan karena situasi peperangan pada saat itu adalah antara
AS dan Spanyol, maka Spanyol merupakan tertuduh utama. Situasi ini kemudian
memanas di dunia internasional, dan dibahas dalam Hague Peace Conference 1899,
dimana tawaran Rusia untuk memberikan komisi penyelidikan pengganti terhadap
komisi penyelidikan setiap negara yang bersengketa kemudian dipertimbangkan di
dalam konferensi.
Namun kemudian hal ini banyak ditentang oleh negara –
negara lain, karena apabila pihak lain diundang untuk menempatkan komisi
inquiry-nya di sebuah negara, maka akan ada asas – asas kedaulatan yang
kemungkinan besar akan dilanggar oleh negara tersebut. Maka pembahasan yang
berlanjut tentang batas – batas penyelidikan dilanjutkan dengan menentukan
bahwa komisi penyelidikan haruslah merepresentasikan netralitas, dan tidak
melibatkan tujuan – tujuan tertentu di dalam melaksanakan tugasnya.
Pada kasus Dogger Bank, ketika kapal Rusia melaksanakan
perjalanan dari Baltik ke Timur jauh, kapten kapan mengklaim di perjalanan
dekat Dogger Bank mereka diserang oleh torpedo – torpedo Jepang, yang
mengakibatkan adanya salah satu kapal tenggelam. Untuk mengatasi masalah ini,
aktivitas diplomatik yang intens dari Perancis menghasilkan komisi Inquiry yang
beranggotakan Perancis, Austro-Hungary, dan Amerika Serikat untuk menyelidiki
sengketa ini.
Konvensi Hague 1907 menghasilkan pedoman – pedoman baru bagi
inquiry, bahwa inquiry dapat dijadikan dasar lebih lanjut apabila para pihak
yang bersengketa menginginkan tindakan yang lebih lanjut ke pengadilan
arbitrase. Kasus Turco-Italian 1911 mengemuka dengan adanya kecurigaan dari
Italia terhadap keterlibatan Perancis. Berdasarkan konvensi Hague, maka komisi
inquiry pun dibentuk antara Italia, Perancis, dan Inggris. Keputusan yang
dihasilkan komisi kemudian disepakati oleh para pihak sebagai aspek hukum yang
dapat diajukan apabila ingin membawa sengketa ini ke pengadilan arbitrase
ataupun pengadilan yang lebih lanjut.
Berdasarkan beberapa kasus di atas, dapat ditarik
pendapat bahwa inquiry merupakan salah satu cara pengambilan kesimpulan
terhadap sebuah masalah yang lebih komprehensif daripada kedua cara terdahulu,
dimana melibatkan pihak lain yang tidak memiliki tujuan tertentu, ataupun
keterkaitan apapun dengan mengambil berbagai sudut pandang dan kepentingan yang
sama sekali berbeda dari pihak – pihak yang bersengketa. Tidak ada muatan
apapun di dalam proses inquiry karena pihak ketiga hanya berfungsi sebagai
penyelidik untuk menjamin keamanan dunia semata. Namun demikian, ketika bertemu
dengan masalah kedaulatan terkait dengan diperlukan adanya campur tangan pihak
lain terhadap kedaulatan negara tertentu untuk kepentingan inquiry, maka dapat
diambil pendapat bahwa bentuk inquiry adalah subordinat daripada fungsinya. Hal
yang lebih perlu ditekankan adalah fungsi penyelesaian masalah dari inquiry
daripada sekedar bentuk penyelesaiannya, karena bentuk penyelesaian dengan
metode inquiry dapat dilaksanakan dan didiskusikan dengan berbagai cara sesuai
dengan kepentingan dari negara yang bersengketa.
Inquiry merupakan proses yang sangat fleksibel dan baik,
namun tidak serta merta digunakan sebagai metode yang sangat umum dan sering
digunakan dalam dunia internasional. Hal ini disebabkan adanya berbagai
perbedaan interpretasi dari berbagai pihak atas fakta – fakta yang ditemukan di
lapangan. Setiap pihak tidak memiliki interpretasi yang sama atas setiap persoalan
serta fakta yang ada, sehingga secara jelas dapat mungkin dilakukan dengan
sekedar negosiasi semata ataupun harus mendapatkan penanganan yang lebih
lanjut. pada kasus kesalahan penyerangan Amerika Serikat atas daerah Yugoslavia
saat kampanye serangan udara NATO, perhatian akan masalah ini sangat erat di
dunia internasional harus dibentuk komisi penyelidikan. Pada akhirnya, Amerika
Serikat mengakui kesalahannya di dalam sebuah diskusi dan membayar kompensasi
berdasarkan hasil negosiasi dengan pihak – pihak terkait.