Senin, 01 April 2013

Negosiasi dan Mediasi, Menurut J.G.Merrills



NEGOSIASI, MEDIASI, DAN INQUIRY
(J. G. Merrills)
1.  NEGOSIASI
            Negosiasi adalah cara yang paling pertama dipilih untuk menyelesaikan sebuah sengketa internasional yang melibatkan subjek – subjek hukum internasional. Hal ini telah diatur di dalam Piagam PBB pasal 33 ay. 1 yang menuliskan cara penyelesaian sengketa yang paling pertama adalah negosiasi. Cara ini paling sering mendapatkan kesuksesan dalam menyelesaikan masalah, dan lebih lanjut, lewat negosiasi, negara mampu menghindari metode penyelesaian sengketa lain, sekalipun tingkat keberhasilannya diperkirakan sangat kecil. Lebih lanjut, meskipun negosiasi tidak berhasil untuk menyelesaikan sebuah masalah, proses yang telah terjadi dalam negosiasi sering sekali menentukan langkah – langkah yang lebih lanjut apabila kedua belah pihak tidak mendapatkan titik temu. Tonggak dasar metode penyelesaian sengketa yang berikutnya sering sekali telah ditentukan terlebih dahulu lewat sebuah negosiasi. Negosiasi juga bukan hanya sekedar bentuk penyelesaian sengketa semata, namun dalam pengertian yang lebih luas, juga merupakan cara pencegahan terjadinya sebuah sengketa internasional. Salah satu bentuk pengertian ini adalah Konsultasi.
Konsultasi
            Konsultasi merupakan salah satu bentuk negosiasi yang dilakukan ketika negara merencanakan ataupun mengambil tindakan yang dianggap berpotensi untuk melanggar kepentingan – kepentingan negara lain terlebih dahulu mengajak pihak negara lain tersebut untuk berdiskusi bersama – sama untuk mencari solusi agar terhindar dari potensi sengketa yang akan terjadi. Nilai paling berharga dari sebuah konsultasi adalah cara ini dapat menyediakan segala informasi – informasi berharga tentang kepentingan pihak lain, sebelum segala sesuatunya dilaksanakan, karena jauh lebih mudah untuk mengantisipasi hal – hal yang tidak diinginkan terjadi daripada menyelesaikan ataupun mengubah isi keputusan yang sudah terlanjur diambil. Pemakaian cara konsultasi biasanya dilakukan dengan cara saling mengirim notifikasi kepada negara lain ketika ada tindakan yang akan dilakukan dapat menimbulkan bahaya terganggunya kepentingan mereka. Contoh kasus adalah Lake Lanoux Case dan Land Reclamation Case. Pada kasus pertama, terjadi sengketa antara Perancis dan Spanyol, dimana Spanyol membawa ke pengadilan bahwa Perancis berada di bawah semacam kewajiban untuk mendapatkan persetujuan terlebih dahulu terhadap sebuah proyek yang dilaksanakan pihak Perancis di Pyrennes tentang pengelolaan air untuk skema hydroelektrik yang memiliki akibat dapat saja mengganggu kepentingan Spanyol. Pengadilan kemudian menolak argumen dari Spanyol, namun terkandung makna bahwa Perancis terlebih dahulu harus melakukan sebuah konsultasi kepada Spanyol terkait dengan masalah ini. Secara eksekutif, konsultasi jauh lebih mudah dilakukan daripada secara legislatif, karena dapat ,menyediakan jalan keluar yang lebih cepat.
            Konsultasi memang merupakan sebuah jalan keluar yang terbaik untuk mencegah terjadinya sengketa internasional, dan sebagai langkah awal yang dalam praktek semakin berkembang di dunia internasional. namun demikian, ketika konsultasi telah masuk pada ranah pemilihan wilayah kewajiban atau pelengkap saja, maka kita akan mendapatkan kesulitan dalam pengambilan keputusannya. Ingat, negara bukan hanyalah sebuah entitas, namun merupakan kumpulan dari sebuah grup yang berisi berbagai kepentingan nasional, sehingga sebuah konsultasi yang dilakukan tidak serta merta membawa kepentingan nasional seluruh negara. Ketika berhadapa dengan ranah legislatif, maka konsultasi pun akan menemui banyak kesulitan untuk mencapai titik temu.
            Salah satu bentuk pelaksanaan negosiasi juga adalah dengan mengadakan pertemuan awal dari berbagai negara untuk menegosiasikan beberapa kepentingan yang memiliki keterkaitan antar negara. Cara ini sangat positif, karena dapat menampung berbagai kepentingan terlebih dahulu, dan dapat menghasilkan berbagai tindakan – tindakan pencegahan di kemudian hari terhadap sebuah kemungkinan masalah yang akan terjadi. kekurangannya, cara ini dapat saja menghasilkan terlalu banyak keputusan, yang pada akhirnya sangat sulit untuk dilaksanakan satu per satu, negosiasi yang dilaksanakan pun dapat berlangsung sangat alot dan lambat, karena harus menampung aspirasi dari seluruh negara peserta pertemuan, meskipun urgensi akan keputusan tersebut bisa saja hanya melibatkan keputusan antar dua negara saja namun harus memperhatikan pendapat dari negara – negara lain yang tidak memiliki keterkaitan dalam kemungkinan perjanjian yang dibuat.
            Negosiasi tidak mungkin dapat dilakukan ketiak dua negara menolak untuk bertemua (AS dan Iran), ataupun ketika ada asas non-recognition yang diterapkan satu negara terhadap negara lain.Hal ini menegaskan bahwa negosiasi memiliki kelemahan yang sangat mendasar, yaitu kepentingan politik setiap negara di dunia tidak pernah sama, yang ada adalah penyesuaian – penyesuaian kebijakan yang telah diambil dari kebijakan politik di ssebuah negara.




2. MEDIASI
            Ketika proses negosiasi antara dua negara tidak menemukan jalan keluar, maka intervensi dari pihak ketiga dapat saja memberikan penyelesaian terhadap masalah yang dihadapi ataupun kemungkinan dihadapi oleh dua negara terkait sebuah keputusan.
            Di dalam bukunya, Merrills mengemukakan bahwa Mediasi berada di antara pengertian Good Offices dan Conciliation. Mediasi merupakan perwujudan dari Good Offices yang dilakukan dengan cara – cara Conciliation, tapi bukan merupakan suatu sistem yang tetap seperti pada Conciliation. Namun demikian, menurutnya pada kasus tertentu hal ini sangat sulit untuk dibedakan.
            Pada mediasi, negara – negara yang bersengketa dapat bersepakat untuk memasukkan pihak luar di dalam sengketanya untuk mencoba memberikan penyelesaian tanpa ada keterikatan untuk memenuhi kewajiban keputusan yang diberikan oleh pihak ketiga tersebut. Pihak ketiga berhak untuk memberikan berbagai solusi yang diperlukan untuk mendapatkan penyelesaian atas sengketa yang ada. Bahkan pihak ketiga yang dimaksudkan dapat saja tidak terdiri dari satu pihak saja, namun dapat memiliki jumlah yang banyak, ataupun dengan metode simultan. Ketika negosiasi menghasilkan deadlock, maka mediasi dapat menyediakan keuntungan – keuntungan untuk mengontrol kembali sengketa yang sedang berjalan, bahkan memberikan persyaratan – persyaratan baru untuk menyelesaikan sengketa yang sedang berlangsung. Secara politis, mediasi juga lebih menguntungkan daripada sekedar negosiasi secara langsung pada kasus tertentu.
            Contoh kasus antara Inggris dan Argentina pada tahun 1982 saat invasi Falkland Island 1982, Amerika Serikat menawarkan mediasi antara kedua belah pihak, kemudian diikuti oleh penawaran Good Offices oleh Sekretaris Jenderal PBB Javier Perez De Cuellar. Amerika memberikan pandangan bahwa perang antara sekutu NATO dan OAS, yang notabene memiliki beberapa anggota sekutu yang sama, dapat saja memberikan pilihan bahwa mereka tidak menginginkan adanya perpecahan, sehingga sengketa ini perlu mendapatkan pertimbangan yang lebih lanjut lagi untuk dikonfrontir. Sekretaris Jenderal PBB juga terlibat di dalam mediasi ini sebagai konsekuensi untuk mencegah diambilnya keputusan Dewan Keamanan, yang berusaha untuk mencegah adanya korban yang lebih banyak lagi.
            Mediasi juga dapat memberikan dampak positif bagi negara kecil maupun negara – negara berkembang untuk dapat menjalin hubungan kerjasama baik secara baru maupun yang lebih besar lagi dengan negara – negara maju di dunia. Seperti misalnya Algeria yang berusaha memberikan bantuan mediasi antara AS dan Iran. Algeria secara politis membuka kerjasama yang baru dalam membina hubungan dengan Amerika Serikat, dan lebih besar lagi, mereka menawarkan sebuah jalan keluar untuk mencegah adanya sengketa yang lebih besar lagi antara negara – negara muslim dengan negara superpower.
            Kelemahan terbesar dari proses mediasi adalah apabila negara – negara yang bersengketa tidak memiliki kehendak untuk mengikuti keputusan yang diberikan oleh mediator. Mediasi yang dilakukan memang tidak memiliki kewajiban keterikatan bagi negara – negara yang bersengketa untuk mengikuti kehendak ataupun keputusan jalan keluar yang diberikan oleh mediator, namun demikian, apabila sebuah pemerintahan menerima sebuah proses mediasi, maka mereka memiliki dasar – dasar yang kuat bahwa persoalan sengketa yang dihadapi diakui sebagai sebuah masalah internasional.
            Di dalam sebuah mediasi, pendapat – pendapat dari luar tidak terlalu memegang peranan yang penting, karena hal yang paling memegang peranan adalah sebuah indusemen atau bujukan, karena di dalam sebuah mediasi, para pihak harus menerima bahwa mediasi adalah lebih dari sekedar ide bagus semata, namun sebagai sebuah jalan keluar penyelesaian masalah. Dalam kasus antara Argentina dan Inggris, pihak Chille masuk sebagai pihak indusemen untuk membujuk Argentina lewat utusan Paus, Kardilnal Samore, agar dapat mengikuti proses mediasi lebih lanjut lagi.
            Di dalam proses negosiasi, netralitas dari pihak mediator sangat dijunjung tinggi dan sangat sering dipertanyakan oleh pihak – pihak yang bersengketa. Pada kasus antara Iran dan AS, kedudukan Algeria sebagai mediator sangat dipertanyakan oleh AS mengingat Algeria merupakan negara muslim yang sama dengan Iran yang juga adalah negara muslim, karena pada fungsinya, mediator adalah penyedia informasi – informasi penting antara kedua negara, yang harus membawa keseimbangan informasi yang sangat ketat terkait permasalahan yang dihadapi. Tidak boleh ada ruang informasi yang memberatkan ataupun meringankan salah satu pihak saja.
            Dalam mediasi, informasi – informasi yang disajikan oleh mediator tidak selalu memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, bahkan lebih lanjut justru dapat menimbulkan kecurigaan – kecurigaan tertentu oleh pihak – pihak yang bersengketa, apalagi ketika mediator di dalam mediasinya mengkritik kebijakan yang diambil oleh salah satu pihak, maka netralitas dari mediator pada saat itu juga dapat langsung dipertanyakan.
            Keterbatasan dari sebuah proses mediasi sudah sangat jelas, bahwa mediasi pada dasarnya hanyalah sebuah proses. Keputusan penyelesaian sengketa yang dimediasi kemudian dikembalikan kepada negara – negara yang bersengketa apakah akan mengikuti saran dan informasi – informasi serta jalan keluar yang diberikan lewat proses mediasi atau tidak. Meskipun mediasi dilakukan oleh mediator yang sangat handal dengan mengemukakan informasi akurat dan jalan keluar yang dipandang dunia sangat baik, keberhasilan sebuah mediasi sangat tergantung timing yang tepat pada saat para pihak yang bersengketa memiliki keinginan untuk menyelesaikan masalah atau tidak. Salah satu teknik mediasi yang paling sering dilakukan adalah dengan mempertimbangkan resiko eskalasi perkembangan sengketa apakah telah berlangsung secara lama dan menimbulkan kelelahan politik attau tidak.
            Mediasi sangat sering gagal pada kasus dimana salah satu negara harus menyerahkan kepentingannnya berada di bawah kepentingan negara lain. Negara – negara tertentu lebih mengajukan kepentingan – kepentingan politiknya dalam sebuah sengketa daripada aspek – aspek lain yang akan ditimbulkan akibat adanya sengketa, sedangkan jalan keluar dari sebuah mediasi sangat umum dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek politik, karena aspek politik merupakan aspek yang tidak memiliki netralitas dalam penyelesaian sengketa.

3. INQUIRY
            Model inquiry adalah salah satu penyelesaian sengketa ketika negosiasi mengalami jalan buntu dan tidak dimungkinkannnya ada mediator untuk menangani sebuah masalah. Inquiry pada dasarnya adalah sebuah model penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak lain di dalam sebuah sengketa, yang tidak memiliki interest atau tujuan pada sengketa yang sedang terjadi. pihak ketiga tersebut tidak sedang mengejar kepentingan lain pada sengketa yang sedang berjalan, dan benar – benar ditunjuk dan disepakati oleh kedua belah pihak yang sedang bersengketa untuk dapat memberikan penyelesaian. Pada akhirnya, inquiry memberikan dampak hukum yang lebih mengikat kepada kedua belah pihak yang bersengketa. Pada bukunya, Merrills membahas inquiry dari segi aspek organisasi internasional sebagai peluang arbitrase, karena pengadilan internasional akan dibahas di bab lain.
            Pada kasus Antara Amerika Serikat dan Spanyol 15 Februari 1898, adanya periwtiwa hancurnya Havana Harbour milik Amerika Serikat yang menelan korban 259 petugasnya, Amerika Serikat menuduh Spanyol sebagai representasi kekuaran Eropa untuk menghancurkan Amerika Serikat pada saat itu. Spanyol menolak untuk bertanggung jawab dalam insiden tersebut, karena Spanyol yang mengadakan komisi penyelidikan menemukan bahwa penyebab hancurnya pelabuhan tersebut disebabkan kerusakan internal. Amerika Serikat kemudian mengadakan sebuah komisi penyelidikan tandingan, yang dianggotai US Naval, dan menemukan fakta bahwa hancurnya pelabuhan tersebut diakibatkan adanya serangan laut oleh pihak lain, dan karena situasi peperangan pada saat itu adalah antara AS dan Spanyol, maka Spanyol merupakan tertuduh utama. Situasi ini kemudian memanas di dunia internasional, dan dibahas dalam Hague Peace Conference 1899, dimana tawaran Rusia untuk memberikan komisi penyelidikan pengganti terhadap komisi penyelidikan setiap negara yang bersengketa kemudian dipertimbangkan di dalam konferensi.
            Namun kemudian hal ini banyak ditentang oleh negara – negara lain, karena apabila pihak lain diundang untuk menempatkan komisi inquiry-nya di sebuah negara, maka akan ada asas – asas kedaulatan yang kemungkinan besar akan dilanggar oleh negara tersebut. Maka pembahasan yang berlanjut tentang batas – batas penyelidikan dilanjutkan dengan menentukan bahwa komisi penyelidikan haruslah merepresentasikan netralitas, dan tidak melibatkan tujuan – tujuan tertentu di dalam melaksanakan tugasnya.
            Pada kasus Dogger Bank, ketika kapal Rusia melaksanakan perjalanan dari Baltik ke Timur jauh, kapten kapan mengklaim di perjalanan dekat Dogger Bank mereka diserang oleh torpedo – torpedo Jepang, yang mengakibatkan adanya salah satu kapal tenggelam. Untuk mengatasi masalah ini, aktivitas diplomatik yang intens dari Perancis menghasilkan komisi Inquiry yang beranggotakan Perancis, Austro-Hungary, dan Amerika Serikat untuk menyelidiki sengketa ini.
            Konvensi Hague 1907 menghasilkan pedoman – pedoman baru bagi inquiry, bahwa inquiry dapat dijadikan dasar lebih lanjut apabila para pihak yang bersengketa menginginkan tindakan yang lebih lanjut ke pengadilan arbitrase. Kasus Turco-Italian 1911 mengemuka dengan adanya kecurigaan dari Italia terhadap keterlibatan Perancis. Berdasarkan konvensi Hague, maka komisi inquiry pun dibentuk antara Italia, Perancis, dan Inggris. Keputusan yang dihasilkan komisi kemudian disepakati oleh para pihak sebagai aspek hukum yang dapat diajukan apabila ingin membawa sengketa ini ke pengadilan arbitrase ataupun pengadilan yang lebih lanjut.
            Berdasarkan beberapa kasus di atas, dapat ditarik pendapat bahwa inquiry merupakan salah satu cara pengambilan kesimpulan terhadap sebuah masalah yang lebih komprehensif daripada kedua cara terdahulu, dimana melibatkan pihak lain yang tidak memiliki tujuan tertentu, ataupun keterkaitan apapun dengan mengambil berbagai sudut pandang dan kepentingan yang sama sekali berbeda dari pihak – pihak yang bersengketa. Tidak ada muatan apapun di dalam proses inquiry karena pihak ketiga hanya berfungsi sebagai penyelidik untuk menjamin keamanan dunia semata. Namun demikian, ketika bertemu dengan masalah kedaulatan terkait dengan diperlukan adanya campur tangan pihak lain terhadap kedaulatan negara tertentu untuk kepentingan inquiry, maka dapat diambil pendapat bahwa bentuk inquiry adalah subordinat daripada fungsinya. Hal yang lebih perlu ditekankan adalah fungsi penyelesaian masalah dari inquiry daripada sekedar bentuk penyelesaiannya, karena bentuk penyelesaian dengan metode inquiry dapat dilaksanakan dan didiskusikan dengan berbagai cara sesuai dengan kepentingan dari negara yang bersengketa.
            Inquiry merupakan proses yang sangat fleksibel dan baik, namun tidak serta merta digunakan sebagai metode yang sangat umum dan sering digunakan dalam dunia internasional. Hal ini disebabkan adanya berbagai perbedaan interpretasi dari berbagai pihak atas fakta – fakta yang ditemukan di lapangan. Setiap pihak tidak memiliki interpretasi yang sama atas setiap persoalan serta fakta yang ada, sehingga secara jelas dapat mungkin dilakukan dengan sekedar negosiasi semata ataupun harus mendapatkan penanganan yang lebih lanjut. pada kasus kesalahan penyerangan Amerika Serikat atas daerah Yugoslavia saat kampanye serangan udara NATO, perhatian akan masalah ini sangat erat di dunia internasional harus dibentuk komisi penyelidikan. Pada akhirnya, Amerika Serikat mengakui kesalahannya di dalam sebuah diskusi dan membayar kompensasi berdasarkan hasil negosiasi dengan pihak – pihak terkait.

Journal Review : THE PLACE OF THE WTO AND ITS LAW IN THE INTERNATIONAL LEGAL ORDER

Journal Review
THE PLACE OF THE WTO AND ITS LAW
IN THE INTERNATIONAL LEGAL ORDER
By : Pascal Lamy

            Di bagian awal tulisannya, Pascal Lamy mengemukakan tentang asal mula perdagangan dimasukkan sebagai sebuah lapangan hukum internasional publik bersumber dari apa yang disebut dengan treaty / perjanjian, yang digambarkan dalam perjanjian dagang bilateral antara Amenophis IV dan Raja Alasia di siprus Abad XIV SM. Sejak saat itu, perjanjian dagang secara bilateral terus ada, namun sekarang harus dilaporkan kepada WTO.
            Aturan – aturan hukum internasional baginya telah berevolusi secara dramatis dengan mengemukakan sejarah mengenai Perjanjian Westphalia, Kongres Wina 1815, serta kemunculan organisasi internasional pada abad ke-19 lewat Liga Bangsa – Bangsa yang diikuti Perserikatan Bangsa – Bangsa. Aturan – aturan hukum internasional sekalipun mengalami berbagai perubahan, namun tetap meninggalkan jejak sejarah di kalangan masyarakat internasional. Hal ini dijelaskannya dengan perumpamaan masalah gas, cairan, dan benda – benda padat. Perjanjian Westphalia diumpamakan sebagai gas, dimana adanya mekanisme desentralisasi, yang mencerminkan adanya perbedaan secara hirarkis gas. Hal ini sebenarnya tidak terlalu tergambarkan dengan jelas. Selanjutnya persoalan benda padat diasosiasikan dengan kemunculan Uni Eropa yang merupakan contoh tentang sebuah organisasi internasional yang diatur secara otonomi, dan mengatur segala persoalan internalnya secara sendiri tanpa bantuan pihak luar. Di antara keduanya, ada yang diumpamakan sebagai cairan, yaitu World Trade Organization, yang mengatur berbagai kerjasama, untuk menyeimbangkan kepentingan antara kedua sifat yang disebutkan sebelumnya. WTO dianggap sebagai organisasi internasional yang membawa secara bersama – sama dua konsep hukum internasional, yaitu sistem negara independen dan organisasi internasional lainnya bekerjasama lewat mekanisme konferensi internasional di bawah hukum internasional yang telah menjadi tradisi.
            Di atas semuanya itu, Lamy berpendapat, WTO terdiri dari aturan – aturan hukum yang benar, dengan mengutip pendapat Prof. Jean Salmon yang mengemukakan bahwa sebuah badan yang di dalamnya berisi aturan – aturan hukum harus memiliki sistem dan mengatur sebuah kelompok, semakin memperjelas kedudukan WTO sebagai badan yang memiliki aturan hukum yang jelas lewat dua mekanismenya yaitu aturan baku dan penegakan – penegakannya.
            Ketika memeriksa tentang apa yang membuat WTO menjadi sebuah sistem hukum yang unik dalam aturan hukum internasional, Lamy memulainya dengan mengutarakan kemunculan GATT. GATT lahir tidak memiliki anggota, namun hanya memiliki peserta yang mengikatkan diri terhadapnya, sesuatu hal yang sangat unik. Baru pada 50 tahun kemudian sejak diciptakan GATT, dengan Marakesh Agreement, maka GATT memiliki organisasi resmi yang mengaturnya, yaitu WTO lewat Agreement Establishing WTO dengan legal personality-nya diatur dalam Article VIII. Implikasi dari status hukum WTO ini kemudian memberikan berbagai keistimewaan bahkan kekebalan yang diperlukan untuk melaksanakan fungsinya, yang memberikan segi berbeda bagi dunia hukum internasional yaitu dapat bertindak secara internasional, juga dapat bertindak secara internal, misalnya mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak agar supaya kondisi internalnya dapat berjalan dengan baik.
            Sebagai organisasi internasional, WTO terdiri dari aturan hukum yang terintegrasi dan khusus : menghasilkan sebuah badan yang memiliki aturan hukum, membentuk sebuah sistem, dan mengatur sebuah komunitas. Sebagai badan yang memiliki aturan hukum, WTO memiliki GATT yang menghasilkan berbagai perundingan yang dinegosiasikan secara berulang – ulang. Aturan hukum ini membentuk sebuah sistem yang terintegrasi, dimana perjanjian – perjanjian yang dihasilkan dalam WTO didapatkan bukan dari sekedar perundingan saja namun dari segala bentuk keputusan yang didapatkan di dalamnya misalnya lewat Dispute Settlement Body. WTO mengatur sebuah komunitas, yang disebut sebagai anggota.
            Dengan melihat fenomena yang ada, Lamy berpendapat bahwa WTO bukanlah sebuah sistem hukum yang terisolasi dari hukum internasional, dengan melihat bahwa sistem hukum WTO tetap menghormati adanya persamaan kedaulatan negara, asas itikad baik, kerjasama internasional, dan kewajiban menyelesaikan sengketa secara damai. Dari beberapa asas yang dikemukakannya, Lamyu hanya menjelaskan hal mengenai persamaan kedaulatan negara dan penyelesaian sengketa secara damai. Persamaan kedaulatan negara di dalam WTO direfleksikannya lewat sistem konsensus dengan mekanisme one government one vote yang dilaksanakan dalam berbagai perundingan dan konferensi dan ditetapkan dalam Ministerial Conference untuk dijadikan aturan baku kemudian. Prinsip ini juga tertuang dalam beberapa aturan WTO yang spesifik seperi adanya prinsip non-diskriminasi dalam klausul Most Favoured Nation dan National Treatment, juga di dalam prinsip resiprositas dalam setiap mekanisme negosiasi di dalam WTO.
            Ketika menyebutkan pendapay Kofi Anan yang mengemukakan bahwa semua aturan – aturan ini harus adil, Lamy merefleksikannya ke dalam perlakuan khusus WTO terhadap negara – negara berkembang yang mendapatkan fleksibilitas dan pengembangan secara khusus, sehingga negara – negara berkembang dapat menikmati keuntungan – keuntungan non-resiprokal. Selain itu, Lamy juga menyebutkan adanya penghargaan terhadap apa yang disebut dengan custom territory seperti Cina Taipei, yang sebenarnya tidak tercantumkan sebagai bentuk penjabaran prinsip kedaulatan negara. Kemudian, hal yang sama dengan itu juga tercermin dalam keanggotaan Uni Eropa dalam WTO secara unik. Yang membuatnya unik adalah Uni Eropa diperhitungkan sebagai anggota, namun anggota – anggota dari Uni Eropa juga adalah anggota WTO. Juga perlu diperhitungkan berkembangnya partisipasi keanggotaan NGO yang diatur secara luas lewat berbagai perundingan dan pertemuan – pertemuan yang diadakan oleh Dewan Umum. Namun demikian, mereka tidak dapat secara sembarangan masuk dalam forum – forum negosiasi, karena WTO tetaplah merupakan bingkai antar negara.
            Selanjutnya, Lamy membahas mengenai prinsip penyelesaian sengketa secara damai dengan memperhatikan apa yang disiratkan dalam Piagam PBB. Lamy mengawalinya dengan menyampaikan pernyataan sebuah deklarasi Majelis Umum PBB (Declaration on Principles of Inteernational Law Concerning Friendly Relations and Cooperation among States in accordance with the Charte of The United Nations), yang menyebutkan bahwa negara dalam sengketa internasional harus menyelesaikannya secara damai dengan memperhatikan perdamaian, kemanan, dan keadilan dalam dunia internasional. Hal ini kemudian diterjemahkan lewat adanya sistem penyelesaian sengketa. Sistem penyelesaian sengketa ini diatur dalam badan – badan yang dibentuk sebagai cara untuk menginstitusikan tanggung jawab sebuah organisasi dalam kebiasaan internasional, yaitu desentralisasi. International Law Commission mengakui bahwa Dispute Settlement Body dalam WTO adalah sebuah sistem yang bersifat lex specialis.
            DSB dalam WTO ini menghasilkan rekomendasi dan aturan – aturan tertentu, sekaligus menyediakan persyaratan fundamental bagi sebuah pengadilan yang adil. Lebih lanjut, dengan adanya Appelate Body, prosedur kasasi menjadi sebuah aturan hukum yang alami di dalam WTO. Di atas semuanya itu, yurisdiksi WTO berlaku bagi semua anggota WTO, sehingga tidak ada satupun negara anggota WTO yang akan menentang keputusan yang dikeluarkan oleh badan penyelesaian sengketa bentukan WTO ini. Sistem penyelesaian sengketa WTO ini terintegrasikan hanya dalam satu badan saja yaitu Dispute Settlement Body untuk menyediakan penyatuan sistem.
            Implikasi dari penyatuan ini adalah negara dapat menerapkan aturan yang diciptakan oleh DSB meskipun mereka tidak memiliki kepentingan ataupun tidak mewakili kepentingan di dalam aturan tersebut. Prinsip ini menyatakan bahwa negara dapat saja mengajukan klaim suatu masalah terhadap sebuah negara anggota yang tidak melaksanakan kewajiban – kewajibannya dalam aturan WTO. Hal ini menyiratkan bahwa negara anggota WTO secara berkelanjutan memonitor perkembangan dan mengimplementasikan aturan – aturan WTO secara ketat. Ini disimpulkan oleh Lamy sebagai sebuah communization atau dapat kita artikan sebagai bentuk adanya sebuah komunitas yang terintegrasikan oleh sebuah sistem.
            Hal yang paling menarik tentang DSB ini adalah negara yang berdaulat mendapatkan kontrol tertentu terhadap penyelesaian sengketa secara damai ini. Negara dalam WTO mendapatkan hak untuk melakukan apa yang disebut dengan tindakan countermeasures atau tindakan balasan. Hal ini merupakan refleksi kontrol negara terhadap kedaulatannya sendiri, sehingga aturan – aturan WTO tidak serta merta menguasai suatu sistem sebuah negara, karena dalam tradisi hukum internasional dikenal adanya hak negara untuk menentukan hukumnya sendiri.
            WTO dalam aturan hukum internasional diakui oleh Lamy sebagai sebuah sui generis ketika sistemnya berlaku secara menyatu dan memiliki berbagai pengkhususan. Hal ini secara nyata berlaku ketika sistem WTO dapat mengatur seluruh anggotanya sebagai sebuah komunitas.
            Pembicaraan kedua yang dikemukakan Lamy adalah hubungan antara aturan WTO dengan aturan organisasi internasional lainnya karena disangkut – pautkan dengan efektivitas dan legitimasi dari aturan WTO itu sendiri. Lamy membicarakan aturan – aturan WTO memperlakukan norma – norma hukum yang lain, termasuk hukum yang dikeluarkan oleh organisasi internasional lain. Meskipun WTO adalah organisasi yang hegemonik, namun juga mengakui kompetensi terbatas dan spesialisasi dari organisasi internasional yang lain. Bagi Lamy, norma – norma dalam WTO bukanlah merupakan pengganti ataupun pemegang kendali atas norma – norma organisasi internasional yang lain, bahkan faktanya, WTO mengakui secara eksplisit bahwa perdagangan bukanlah satu – satunya pertimbangan kebijakan yang dapat dibuat oleh para anggotanya. Misalnya pada masalah barang, WTO mengenal pengecualian – pengecualian yang dapat dibuat oleh para anggotanya yang telah terikat komitmen pada organisasi internasional yang lain seperti komitmen tentang lingkungan yang dapat menyebabkan adanya pengecualian – pengecualian dalam akses pasar.
            Aturan – aturan WTO mengembangkan revolusi interpretasi teleologi yang mengenal tempat perdagangan dalam berbagai skema tindakan negara dan keseimbangan – keseimbangan yang dibutuhkan lewat berbagai kebijakan yang dibuat. Cara pertama yang dikemukakan Lamy adalah WTO mengembangkan revolusinya dengan mempertimbangkan WTO Treaty sebagai sebuah bentuk perjanjian sebagaimana yang dimaksud dengan Konvensi Wina Tentang Perjanjian Internasional ketika Appelate Body menyelesaikan kasus US-Gasoline. Appelate Body kemudian mengeluarkan statement yang sangat terkenal yaitu GATT tidak dapat diinterpretasikan secara terisolasi dari berbagai aturan internasional. Jadi, dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam WTO, pemakaian dan penyesuaian dengan norma – norma internasional yang lain selalu dilakukan.
            Dengan memperhatikan kesesuaian dengan norma internasional yang lainnya, maka WTO mengenal adanya berbagai pengecualian dalam penerapan aturannya. Appelate Body menjelaskan bahwa pengecualian – pengecualian yang akan dibuat oleh WTO, haruslah dilakukan secara tepat sesuai dengan kebutuhan norma – norma diluar WTO, serta melalui pemeriksaan keseimbangan terlebih dahulu. Pemeriksaan yang dimaksud adalah terkait maasalah nilai – nilai yang dilindungi oleh pengecualian tersebut, ketepatan pemilihan penerapan pengecualian tersebut, serta dampaknya dalam dunia perdagangan. Ketika penentuan langkah – langkah tersebut sudah dilakukan, kembali lagi harus diseimbangkan dengan hak – hak berbagai pemerintahan untuk menentukan kebijakan mereka dalam dunia perdagangan. Dengan kata lain, berbagai langkah ini memberikan pengakuan bahwa WTO mengenal adanya kehadiran aturan – aturan non-WTO yang tetap dibatasi penerapannya, namun tetap memberikan kesesuaian yang berkesinambungan dalam aturan – aturan hukum internasional.
            Cara kedua yang dikemukakan adalah dengan menerapkan prinsip fundamental yang selalu diusung oleh WTO yaitu negara anggota dapat menentukan standar nasionalnya sendiri sesuai keinginannya, selama anggota tersebut konsisten dan sesuai dengan aturan – aturan WTO. Seperti kasus Kanada-Uni Eropa tentang import material baja, Perancis diberikan kekhususan untuk dapat melarang impor tersebut karena disesuaikan dengan kondisi negaranya, meskipun panel WTO menentukan lain. Lamy kemudian menambahkan tentang integrasi WTO dengan aturan internasional lainnya dengan mengemukakan SPS Agreement yang disusun berdasarkan Codex Alimentarius.
            Lamy menyebutkan secara singkat poin dalam pembukaan Marrakesh Agreement Establishing the WTO bahwa WTO didirikan untuk melakukan perkembangan secara terus – menerus. Beliau menganggap bahwa hal ini secara eksplisit tersirat dari bagaimana cara WTO mengembangkan aturan – aturannya secara internal secara menyesuaikannya dengan aturan – aturan hukum internasional. Contoh yang dikemukakannya terkait ini adalah pada kasus US-Shrimps yang mengadopsi berbagai aturan internasional kontemporer untuk mendefinisikan sumber daya alam untuk dipakai sebagai hukum yang disesuaikan dengan ketentuan yang ada di dalam WTO. Disimpulkannya terkait hal ini, WTO selalu waspada dengan adanya kehadiran aturan dan sistem hukum internasional yang lain dan tidak bertindak sendiri dalam hukum internasional. Dengan adanya kesesuaian semacam ini, maka Lamy berpendapat bahwa WTO selalu bertindak dengan memperhatikan dan menyesuaikan dengan kehadiran organisasi internasional yang lainnya.
            Interaksi aktual antara WTO dengan organisasi internasional yang lain dapat dilihat dengan adanya hubungan yang jelas antara WTO dengan IMF dan Bank Dunia. Hubungan ini dapat ditunjukkan dengan berbagai kerjasama antar lembaga dalam masalah bantuan teknis dan capacity-building lewat berbagai perundingan serta program – program bantuan yang dilakukan oleh organisasi multilateral lainnya serta pengembangan secara regional untuk membantu negara – negara berkembang. Lamy juga menunjukkan kerjasama antara WTO, Bank Dunia, dan FAO dalam menentukan mekanisme Standards and Trade Development. Kemudian ada juga kerjasama dengan WHO dan World Organization for Animal Health. Lamy juga menyebutkan ada sekitar 75 organisasi internasional yang bertindak sebagai observer di lingkungan badan – badan bentukan WTO. Berbagai kerjasama ini dibentuk untuk mendapatkan berbagai kesesuaian dalam hukum internasional, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 1 Piagam PBB, yang menjadi masalah krusial dalam legitimasi WTO dan efektivitas aturan perdagangannya.
            Kebijakan – kebijakan yang ditempuh oleh WTO dibentuk untuk kemudian diikuti berbagai kewajiban yang harus dilaksanakan anggota – anggotanya, dan perlu dicatat bahwa kesesuaian dengan aturan hukum internasional lain sangat menentukan pelaksanaan kebijakan ini. Namun, meskipun Lamy berpendapat bahwa dunia internasional membutuhkan adanya global governance, namun sebagai seorang pragmatic practicioner  beliau mengatakan bahwa akan sangat sulit untuk mendapatkan aplikasi serta penerapan yang ketat terkait dengan hal tersebut karena tidak dapat dipungkiri berbagai keputusan yang dikeluarkan oleh DSB seringkali berujung pada sengketa yang berkelanjutan, sehingga aturan WTO serta mekanisme penyelesaian sengketa yang ditetapkan oleh WTO disadari tidak akan selalu menyelesaikan masalah. Contoh kasus yang dikemukakannya adalah antara Chile dan European Communities pada masalah perdagangan perikanan. Kasus ini menimbulkan kebingungan antara kewenangan WTO pada perdagangan dan kewenangan ITLOS karena terkait masalah hukum laut internasional dengan memakai UNCLOS sebagai sumber hukumnya. Namun Lamy berpendapat,seharusnya yang dipakai adalah mekanisme WTO karena terkait dengan jangka waktu penyelesaiannya yang lebih efisien. Proses yang dilakukan di dalam WTO dianggapnya lebih cepat daripada proses badan penyelesaian sengketa manapun di dunia ini. Disinilah hadir adanya ketidakseimbangan kebutuhan penyelesaian sengketa yang dihadapi oleh WTO. Meskipun WTO memiliki badan penyelesaian sengketa, yurisdiksi terhadap masalah – masalah tertentu tetap dipertanyakan karena keseimbangan antara norma – norma WTO dan kebutuhan akan determinasi norma internasional lainnya sangat diperlukan. Ketika sengketa dimasukkan ke dalam WTO, hakim yang ada di dalam WTO sangat mungkin untuk menentukan hukum secara hirarkis, karena mengutamakan kepentingan perdagangan, sehingga norma hukum internasional yang lainnya seolah – olah dikesampingkan.
            Lamy berpendapat bahwa tidak ada alasan untuk menyediakan WTO berbagai kewenangan aksklusif untuk menentukan kesesuaian norma yang diambil dari berbagai aturan internasional. Hal ini disebabkan adanya kelemahan mendasar dalam sistem WTO yaitu kekuasaannya yang realtif serta mekanisme penyelesaian sengketanya yang juga relatif. Hal ini sangat menunjukkan adanya ketidaksesuaian antata WTO sebagai sebuah mekanisme penegakan aturan yang sangat kuat dengan countermeasures atau tindakan balasan sebagai sistem desentralisasi tradisional dalam beberapa aturan hukum. Ada banyak aspek dalam WTO yang harus dikembangkan. Berbagai solusi yang dikemukakan oleh Lamy tidak akan membawa pada penyelesaian masalah yang terkait dengan kekuatan mengikatnya dalam aturan internasional, namun setidaknya Lamy percaya hal tersebut dapat membawa WTO menjadi lebih efektif dalam menjalankan misinya dalam dunia perdagangan.
            Di akhir tulisannya, Lamy menyimpulkan bahwa WTO memiliki tempat dan peran dalam aturan hukum internasional sebagai katalis bagi penghormatan terhadap kesesuaian aturan internasional yang saling menguntungkan dan bahkan bagi peningkatan global governance yang dapat mengatur dunia internasional lebih baik lagi dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan.

PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KERANGKA WORLD TRADE ORGANIZATION (Menurut Buku Peter Van den Bossche : The Law of World Trade Organization)

WTO DISPUTE SETTLEMENT SYSTEM

A.    The Origins of the Disputes Setttlement
            Sistem penyelesaian sengketa ini diciptakan oleh para negara anggota WTO pada saat Putaran Uruguay dengan harapan untuk menciptakan suatu sistem  yang kuat dan dapat mengikat semua pihak dalam rangka menyelesaikan sengketa perdagangan dalam kerangka WTO. Dengan  sistem penyelesaian sengketa ini juga diharapkan agar negara anggota dapat mematuhi peraturan-peraturan yang disepakati dalam WTO Agreement. Sistem penyelesaian sengketa WTO juga dibentuk sebagai pembaruan dari sistem penyelesaian sengketa General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang sebelumnya ada.
            Kesepakatan WTO mengenai penyelesaian sengketa (Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Dispute/ DSU) menandai dimulainya proses yang lebih terstruktur dan tahap-tahap prosedur yang lebih jelas. Dengan sistem penyelesaian sengketa WTO diharapkan akan diperoleh kestabilan dan perkiraan peraturan perdagangan internasional yang berpihak pada kegiatan bisnis, petani, pekerja dan konsumen dari seluruh dunia.
            Penyelesaian sengketa adalah bagian yang sangat  penting dalam manajemen negara anggota WTO dan kaitannya dengan hubungan ekonomi yang luas yang dewasa ini menuntut semua pihak untuk memahami persetujuan perdagangan internasional dengan segala implikasinya terhadap perkembangan ekonomi nasional secara menyeluruh.

B.     Principles of WTO Disputes Settlement
            Negara-negara anggota WTO telah sepakat bahwa jika ada negara anggota yang melanggar peraturan perdagangan WTO, negara-negara anggota tersebut akan menggunakan sistem penyelesaian multilateral daripada melakukan aksi sepihak. Ini berarti negara-negara tersebut mematuhi prosedur yang telah disepakati dan menghormati putusan yang diambil.
            Meskipun banyak prosedur WTO yang mirip dengan proses pengadilan, negara-negara anggota yang bersengketa tetap diharapkan melakukan perundingan dan menyelesaikan masalah mereka sendiri. Oleh karena itu, tahap pertama yang dilakukan adalah konsultasi antar pemerintah yang terlibat dalam suatu kasus. Bahkan sekiranya kasus tersebut melangkah ke tahap berikutnya, konsultasi dan mediasi tetap dimungkinkan.
            Persetujuan Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Dispute (DSU) juga menutup kemungkinan suatu negara yang kalah dalam kasus tertentu menghalang-halangi pengesahan keputusan. Di bawah ketentuan GATT, suatu putusan disahkan hanya berdasarkan konsensus, yang berarti tidak ada keeputusan jika terdapat keberatan dari suatu negara. Di bawah ketentuan WTO, putusan secara otomatis disahkan kecuali ada konsensus untuk menolak hasil putusan-negara yang ingin merintangi putusan harus mendekati seluruh anggota WTO lainnya (termasuk lawannya dalam kasus tersebut) untuk membatalkan keputusan panel. Jadi penyelesaian sengketa WTO mengandung prinsip-prinsip: adil, cepat, efektif, dan saling menguntungkan.
            Penyelesaaian sengketa menjadi tanggung jawab Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) yang merupakan penjelmaan dari Dewan Umum (General Council/GC). DSB adalah satu-sataunya badan yang memiliki otoritas membentuk panel yang terdiri dari para ahli yang bertugas menelaah kasus. DSB dapat juga menerima atau menolak  keputusan panel atau keputuan pada tingkat banding. DSB tersebut memonitor pelaksanaan putusan-putusan dan rekomendasi serta memiliki kekuasaan/wewenang untuk mengesahkan retalisasi jika suatu negara tidak memantau suatu putusan.
           
C.    WTO Disputes Settlement Proceding
            Penyelesaian sengketa menjadi tanggung jawab  Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) yang juga merupakan penjelmaan dari dewan umum (general Council). DSB adalah satu-satunya badan yang memiliki otoritas membentuk panel yang bertugas menelaah kasus. DSB juga bisa menerima dan menolak keputusan panel atau keputusan pada tingkat banding.
            Panel berfungsi seperti pengadilan. Tetapi tidak seperti peradilan normal, para panelis dipilih berdasarkan konsultasi di antara negara yag bersengketa. Hanya jika tidak ada kesepakatan di antara pihak yang bersengketa., direktur jenderal WTO dapat menunjuk panel. Panel terdiri atas tiga atau lima orang ahli dari berbagai negara yang meneliti  bukti-bukti yag ada dan memutuskan pihak yang kalah dan yang menang. Laporan panel disampaikan ke dispute settlement body (DSB) yang hanya dapat menolak laporan tersebut jika terdapat konsensus.
            Tahap-tahap penyelesaian sengketa di WTO adalah sebagai berikut:
1.      Tahap Pertama: Konsultasi (maksimum 60 hari)
      Sebelum mengambil tindakan-tindakan lebih jauh, negara-negara yang bersengketa haruslah berunding (konsultasi) terlebih dahulu untuk mencari jalan keluar atas perbedaan pendapat di antara mereka. Jika gagal, mereka juga dapat meminta bantuan Direktur Jenderal WTO untuk menengahi atau membantu dengan cara lain.
2.      Tahap Kedua: Panel (maksimum 45 hari untuk pembentukan panel ditambah waktu 6 bulan bagi panel untuk menghasilkan putusan)
      Jika konsultasi mengalami kegagalan, negara yang mengajukan gugatan dapat meminta dibentuknya suatu panel. Negara yang “tergugat” dapat berupaya untuk merintangi pembentukan panel sebanyak satu kali, tetapi pada sidang DSB yang kedua kalinya, pembentukan panel tersebut tidak dapat lagi dihambat kecuali ada konsensus yang menentang panel tersebut.
      Laporan akhir panel biasanya diberikan kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam waktu 6 bulan. Dalam kasus-kasus penting, termasuk kasus yag menyangkut barang-barang yang mudah hancur (perishable goods), tenggat waktunya dapat diperpendek menjadi 3 bulan.
      Persetujuan WTO memaparkan lebih rinci bagaimana cara kerja panel. Tahap-tahap pentingnya adalah sebagai berikut:
1.      Sebelum dengar pendapat yang pertama: masing-masing pihak yang bersengketa mengajukan kasusnya  kepada panel secara tertulis.
2.      Dengar pendapat yang pertama: kasus untuk negara “penggugat” dan negara yang “digugat”: negara yang mengajukan gugatan (penggugat), negara yang digugat (tergugat), dan negara yang menyatakan punya kepentingan dalam persengketaan tersebut mengajukan kasus mereka pada dengar pendapat (hearing) yang pertama.
3.      Bantahan (rebuttal): negara-negara yang terlibat mengajukan bantahan tertulis dan argumen lisan pada pertemuan panel yang kedua.
4.      Peran ahli (Experts): jika salah satu pihak mengajukan masalah-masalah yang bersifat teknis atau ilmiah maka panel dapat meminta pendapat para pakar/ahli atau menunjuk expert review group untuk mempersiapkan saran/pendapatnya.
5.      Draft pertama (first draft): panel yang mengajukan gambaran latar belakang (berisi fakta-fakta dan argumen) dalam rancangannya laporannya (first draft) untuk  kedua belah pihak, dan memberikan waktu dua minggu bagi kedua belah pihak  tersebut untuk memberikan tanggapan.
6.      Laporan sementara (interim report): panel kemudian mengajukan suatu laporan sementara yang memuat juga temuan-temuan dan kesimpulan akhir kepada kedua belah pihak dan memberikan waktu satu minggu untuk memberikan tanggapan.
7.      Peninjauan: lamanya waktu untuk menanggapi tidak melebihi dua minggu.
8.      Laporan akhir: sebuah laporan akhir kemudian diajukan kepada kedua belah pihak. Setelah tiga minggu, laporan tersebut disirkulasikan kepada seluruh anggota WTO.
9.      Laporan akhir menjadi keputusan: laporan tersebut otomatis menjadi putusan atau rekomendasi DSB dalam jangka waktu 60 hari, kecuali ada konsensus untuk menolaknya.
          Banding
          Tiap pihak yang bersengketa dapat mengajukan banding atas keputusan panel. Kadang-kadang kedua belah pihak sama-sama mengajukan banding. Namun banding harus didasarkan pada suatu peraturan tertentu seperti interpretasi legal atas suatu ketentuan/pasal dalam suatu persetujuan WTO. Banding tidak dapat dilakukan untuk menguji kembali bukti-bukti yang ada atau bukti-bukti baru yang muncul.
          Tiap upaya banding diteliti oleh tiga dari tujuh orang anggota tetap badan banding yang ditetapkan oleh DSB dan berasal dari anggota WTO yang mewakili kalangan luas. Anggota Appelate Body/AB memiliki masa depan 4 tahun. Mereka harus berasal dari individu-individu yang memiliki reputasi dalam bidang hukum dan perdagangan internasional, dan lepas dari kepentingan negara manapun.

D.    WTO Disputes Settlement Practices
          Indonesia pernah menjadi “tergugat” menghadapi Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat pada kasus “Mobil Nasional” (indonesia-certain measures affecting the automobile industry). Kebijakan  Indonesia dalam memberikan kemudahan untuk industri mobil nasional dianggap melanggar ketentuan WTO yang terkait dengan Persetujuan TRIMs dan dianggap telah melakukan diskriminasi. Panel memutuskan agar Indonesia menyesuaikan peraturannya selaras dengan aturan WTO.
          Indonesia pernah menjadi pihak ketiga (third party) bersama dengan beberapa anggota WTO dalam sengketa antara Uni Eropa menghadapi Argentina sebagai “tergugat” yang melakukan  diskriminasi dengan menetapkan tindakan safeguard berupa pembatalan impor alas kaki (footwear) yang berasal dari beberapa negara anggota WTO, termasuk Indonesia.
          Indonesia yang merupakan eksportir utama alas kaki ke Argentina merasa dirugikan karena dikenakan tambahan bea masuk (specific duty) sedangkan negara-negara Mercosur (Brazil, Uruguay, Paraguay) tidak dikenakan tindakan safeguard. Argentina akhirnya melakukan penyesuaian aturannya mengenai safeguard.
          Di samping itu, Indonesia bersama-sama beberapa anggota WTO (Canada, Mexico, jepang, Brazil, India, Thailand, Chile, Korea Selatan, dan EC) menggugat  Amerika Serikat dalam kasus “US-Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000” (Byrd Amendent). Kebijakan AS dianggap bertentangan dengan persetujuan anti-dumping Subsidy and Countervailing Measures.
          Byrd amendment merupakan peraturan AS yang membagikan bea anti dumping dan countervailing yang dikumpulkan pemerintah AS kepada industri domestiknya yang dirugikan oleh tindakan dumping atau subsidi oleh negara lain. Kasus ini menarik untuk dikaji karena menunjukan keterkaitan yang erat antara kebijakan dalam negeri suatu negara dengan peraturan yang disepakati di WTO. AS berpendapat bahwa WTO tidak mengatur bagaimana suatu negara harus menggunakan bea anti dumping dan countervailing, karenanya AS bebas untuk membagikannya kepada industri domestiknya. Namun negara-negara penggugat di atas berpendapat bahwa byrd amendment menyebabkan kerugian ganda bagi produk ekspornya, karena AS di satu sisi telah memberlakukan bea anti dumping dan countervailing, dan kemudian membagikannya kepada perusahaan saingannya di AS. Byrd Amendment tersebut dianggap tindakan yag berlebihan dalam menangkal dumping atau subsidi dari negara lain. Kasus ini juga sarat  dengan interpretasi legalistik berbagai perjanjian WTO khususnya berkaitan dengan perjanjian Anti Dumping dan Subsidy and Countervailing Measures.
            Panel untuk kasus ini yang dibentuk pada tahun 2001 telah menghasilkan keputusan untuk merekomndasikan kepada DSB untuk meminta AS agar menyesuaikan peraturannya dengan persetujuan-persetujuan WTO dengan cara mencabut CDSOA (Bird Amendment). Namun AS mengajukan banding atas keputusan tersebut sehingga kemudian dibentuk Appellate Body yang pada bulan Januari 2003 memutuskan bahwa Byrd Amendment tidak konsisten  dengan persetujuan-persetujuan WTO. Oleh karena itu AS diminta  untuk melakukan penyesuaian (perubahan) dalam Byrd Amendment tersebut agar konsisten dengan ketentuan WTO.