Kamis, 14 Juni 2012

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam Perspektif Perdagangan Internasional

Bab 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
    Globalisasi ekonomi sudah ada sejak dahulu, tetapi mulai kelihatan ke permukaan pada dasawarsa 60-an.  Hal ini dapat dilihat dengan menyebarnya mata rantai produksi dan pemasaran sejumlah perusahaan multinasional dari negara-negara industri ke seluruh pelosok dunia. Pada kenyataannya tidak satupun negara di dunia yang mampu menghindari dampak globalisasi. Globalisasi pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi sosial yang akan membawa kondisi umat manusia yang berbeda-beda dan berpencar di dunia kepada suatu tradisi tunggal yang tidak mengenal batas-batas wilayah.  Globalisasi telah membuat dunia seolah tanpa batas (borderless). Era ini ditandai dengan maraknya aktivitas di bidang ekonomi. Salah satu ciri bisnis atau perekonomian yang paling menonjol pada era globalisasi : moving quickly, sangat cepat mengalami perubahan.
    Seperti yang dikemukakan oleh William Irvin Thompson, dengan dukungan teknologi dan informasi, kecepatan perubahan tidak lagi menghitung abad, tahun, dan bulan, tetapi pergeseran dan perubahan bisa terjadi setiap hari.  Globalisasi ekonomi tampak dari adanya kebebasan gerak perusahaan dan uang yang melintasi batas-batas negara yang dikenal dengan istilah perdagangan internasional atau transaksi bisnis internasional. Penggambaran tentang proses globalisasi dapat dilakukan dalam banyak dimensi di antaranya dimensi ekonomi, politik, sosial, budaya dan hukum.
    Namun meskipun demikian dalam banyak pembicaraan globalisasi senantiasa dipandang identik dengan internasionalisasi kegiatan ekonomi, khususnya dalam bentuk liberalisasi perdagangan dan investasi.  Globalisasi ekonomi yang semakin berkembang oleh prinsip perdagangan bebas selanjutnya membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum tidak dapat dihindarkan. Sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut dalam arti substansi berbagai undang-undang dan melewati batas-batas negara.  Globalisasi dalam dunia bisnis telah menimbulkan kompleksitas dan keberagaman transaksi. Kondisi seperti ini menimbulkan tuntutan akan kepastian hukum (legal certainty) dari setiap transaksi.
     Kondisi seperti diuraikan di atas menjadikan kebebasan berkontrak sebagai paradigma utama dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak dipandang sebagai penjelmaan hukum (legal expression) prinsip perdagangan bebas.  Sama halnya dengan liberalisasi perdagangan, doktrin kebebasan berkontrak dibangun diatas asumsi terdapatnya kekuatan posisi tawar yang sama antara para pihak yang melakukan transaksi. Akibatnya bisa terjadi pihak yang lemah dikuasai oleh pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Kritikan terhadap doktrin kebebasan berkontrak menyebutkan terjadinya perubahan paradigma hukum kontrak dari kebebasan berkontrak kearah kepatutan. Saat ini kebebasan berkontrak tidaklah berarti kebebasan tanpa batas.  Unsur kepastian hukum dalam kebebasan berkontrak diimbangi dengan unsur keadilan (justice) bagi para pihak dalam kontrak. 
    Para ahli hukum, baik yang berasal dari negara maju maupun negara berkembang, mengakui bahwa hukum perdagangan internasional akan mempengaruhi hukum nasional sebuah negara, demikian juga sebaliknya.  Hukum perdagangan internasional bertujuan membuka pasar internasional secara luas, tanpa terganggu oleh hambatan – hambatan perdagangan khususnya hambatan dalam negeri. Keterbukaan pasar, akan mendorong perubahan pola bisnis perusahaan multinasional dengan melakukan investasi ke luar negeri untuk memenuhi supply pasar internasional dan mendekatkan diri dengan konsumen. Hambatan – hambatan tersebut seringkali membawa dampak yang besar dalam arus perdagangan dunia, sehingga sangat sering menimbulkan sengketa, baik yang terjadi antar negara dengan negara, negara dengan pelaku usaha, atau pelaku usaha satu dengan yang lainnya. Mekanisme hambatan tarif yang diatur dalam hukum perdagangan internasional mempengaruhi pola perubahan pengembangan usaha perusahaan multinasional dari sekadar kegiatan perdagangan menjadi kegiatan investasi langsung (direct investment). Penerapan hambatan tarif daripada kegiatan impor akan menekan perusahaan – perusahaan multinasional untuk melakukan relokasi investasi langsung ke wilayah host country, yang membawa keuntungan yang lebih besar, namun dengan resiko sengketa yang besar juga. Resiko sengketa yang besar ini membawa pada dilematis pemilihan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien, namun dapat memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak. Ketakutan akan hukum nasional yang berbelit – belit dibarengi dengan tuntutan agar sengketa diselesaikan secepat mungkin namun harus memiliki kepastian hukum yang jelas mengakibatkan para pihak sangat berhati – hati dalam memilih mekanisme penyelesaian sengketanya. Beberapa perusahaan dari berbagai negara di dunia memiliki sifat dan karakteristik dengan metode pemilihan yang berbeda – beda dalam mencari sebuah penyelesaian sengketa.
    Menurut Erman Rajagukguk, masuk akal, jika masyarakat Cina tradisional enggan membawa persengketaan di antara mereka ke depan pengadilan yang resmi, karena hubungan yang harmonis bukan konflik mendapatkan tempat yang tinggi di masyarakat.  Salah satu model penyelesaian sengketa yang berkembang adalah arbitrase, tetapi konsep arbitrase dapat ditafsirkan secara berbeda oleh setiap kultur dan arbitrase tidak dapat ditujukan menyelesaikan sengketa yang melibatkan konflik kultural. Tradisi Jepang bersama dengan Cina dan negara-negara Asia Timur lainnya yang dipengaruhi oleh filosofi Confucian, memiliki kultur konsiliatori (conciliatory culture), dimana mediasi atau konsiliasi sudah lama diakui sebagai mekanisme yang lebih cocok untuk penyelesaian sengketa. Hal ini sejalan dengan kultur Jepang yang menekankan keharmonisan, yang pada gilirannya mempengaruhi untuk mengutamakan mediasi dan konsiliasi dan bukan litigasi.
    Setidak-tidaknya ada empat cara untuk menyelesaian sengketa. Pertama, satu pihak atau lebih sepakat untuk menerima suatu situasi, dimana kepentingan mereka tidak terpenuhi seluruhnya. Kedua, pihak-pihak mengajukan situasi atau persyaratan secara lengkap kepada orang atau panel, yang akan memutuskan kepentingan mana yang harus dipenuhi dan kepentingan mana yang tidak dipenuhi. Pada umumnya, orang atau panel yang tidak memihak tersebut akan merujuk kepada aturan-aturan atau pedoman yang telah ada dan yang telah disepakati oleh semua pihak atau sedikitnya sudah diketahui oleh semua pihak. Ketiga, persepsi satu pihak atau pihak lain berubah, sehingga tidak ada perbedaan kepentingan. Keempat, kepentingan satu pihak atau pihak yang lain berubah, sehingga, tidak ada perbedaan kepentingan. 
    Secara konvensional, penyelesaian sengketa dilakukan melalui litigasi (Pengadilan) dimana posisi para pihak berlawanan satu sama lain.  Proses ini membutuhkan waktu yang amat lama, oleh karena itu penyelesaian secara litigasi tidak diterima dalam dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangannya.  Pengadilan dianggap sebagai lembaga yang tidak efektif untuk penyelesaian sengketa bisnis. Disamping panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk menjalani proses persidangan, putusan pengadilan yang bersifat terbuka juga dapat “mematikan” reputasi seorang pelaku bisnis. Sedangkan dalam dunia bisnis, reputasi merupakan unsur yang sangat penting. Sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang ahli sosiologi hukum terkemuka Jepang bernama Takeyosi Kawasima : ”membawa perkara ke pengadilan berarti mengisukan suatu tantangan umum dan membakar suatu pertengkaran”.   Forum peradilan selama ini dianggap jauh dari ideal untuk menyelesaikan sengketa bisnis yang muncul dikalangan dunia usaha, khususnya dengan mitra usaha luar negeri . Seiring dengan makin tumbuhnya keperluan dunia usaha dan kesadaran kalangan praktisi dan pemerintah akan suatu proses penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan, dengan demikian diambil suatu cara sebagai alternatif atau pelengkap terhadap proses penyelesaian sengketa sebagai suatu pola yang dikenal dengan “alternatif penyelesaian sengketa” (Alternative Dispute Resolution/ADR).
    Namun di sisi lain, kemunculan berbagai organisasi internasional sebagai salam subjek hukum internasional, membawa perluasan yang baru bagi lapangan hukum internasional khususnya di bidang penyelesaian sengketa. Organisasi internasional sering bersengketa baik dengan sesama organisasi internasional lainnya, negara, bahkan dengan individu. Pembentukan dinas – dinas sipil internasional, atau sekretariat – sekretariat, dimana anggota – anggotanya terikat pada organisasi oleh hubungan kontraktual, menghendaki didirikannya pengadilan – pengadilan khusus yang kompeten untuk memutus sengketa – sengketa yang timbul dari hubungan – hubungan itu, apabila dipakai pandangan bahwa anggota – anggota itu mendapat hak – hak hukum yang seharusnya dilindungi oleh sistem peradilan administrasi, dan tidak diserahkan pada kebijaksanaan tanpa batas dari eksekutif sebagaimana banyak dipraktekkan oleh sistem Anglo – Amerika.
    Pengajuan langsung sengketa – sengketa demikian kepada ICJ adalah tidak mungkin mengingat kenyataan bahwa para pihak yang terlibat itu di satu pihak adalah orang – perorangan dan di pihak lainnya adalah organisasi internasional, yang masik – masing tidak memiliki locus standi di muka Mahkamah – mahkamah tersebut dalam perkara – perkara yang sifatnya contentious case. Pengajuan perkara demikian kepada pengadilan negeri dipandang tidak memadai, karena hal itu bertentangan dengan imunitas umum terhadap yurisdiksi lokal yang dituntut oleh organisasi – organisasi itu, dan pada umumnya sengketa itu meliputi masalah hukum internal dan hukum administrasi dari organisasi terkait dan bukan hukum lokal. Apabila hak – hak yang diperoleh para anggota staf itu harus dilindungi oleh suatu badan peradilan yang tidak memihak, maka harus dibentuk pengadilan – pengadilan khusus.
    Karakteristik perdagangan internasional yang termasuk dalam cross border issues selalu dipergunakan sebagai argumentasi untuk membedakan disiplin ini dengan beberapa disiplin hukum lainnya, sehingga penanganan dalam masalah penyelesaian sengketanya pun harus mendapatkan perhatian yang khusus. Hubungan yang tidak terpisahkan antara peraturan investasi dan peraturan perdagangan internasional sebenarnya telah menjadi pembahasan masyarakat internasional pada saat berlangsunya United Nations Conference on Trade and Employment tahun 1948 di Havana. Konferensi yang menghasilkan Havan Charter ini meminta kepada negara – negara peserta agar menghindari perlakuan yang diskriminatif terhadap investor asing.  Namun demikian, kegagalan ratifikasi menyebabkan kajian ini kurang mendapat perhatian.  Masalah ini kembali menarik perhatian pada saat parlemen Kanada mengesahkan Canada’s Foreign Investment Revies Act pada tanggal 12 Desember 1973.  Untuk menjamin keuntungan yang signifikan bagi Kanada, pemerintah menetapkan syarat – syarat bagi investor yang melakukan permohonan penanaman modal asing. Ketentuan di Kanada ini ditentang oleh Perusahaan Gannet dan membawanya ke Panel GATT. Panel GATT berpendapat bahwa panel mengakui kedaulatan Kanadap untuk mengatur sendiri kebijakan penanaman modalnya, dan panel tidak bermaksud untuk menguji kedaulatan tersebut. Namun panel berpendapat  bahwa dalam melaksanakan kedaulatan tersebut tidak berarti pemerintah Kanada boleh begitu saja menyampingkan kewajiban internasional yang telah disepakatinya (GATT).  Dengan memperhatikan keterkaitan antara persyaratan penanaman modal dan kewajiban – kewajiban Kanada di bawah ketentuan GATT, Panel memutuskan bahwa persyaratan – persyaratan penanaman modal yang diwajibkan oleh Pemerintah Kanada tersebut bertentangan dengan prinsip – prinsip perdagangan internasional yang diatur dalam GATT, terutama prinsip national treatment.
    Pada periode setelah berlakunya Agreement on Trade Related Investment Measures hasil perundingan Putaran Uruguay, bermunculan sengketa – sengketa perdagangan yang lahir dari peraturan – penanaman modal, antara lain Brazil dengan kebijakan investasi sektor otomotif, India dengan kebijakan local content requirement, Indonesia dengan kebijakan mobil nasional, Filipina dengan kebijakan foreign exchange limitation, dan berbagai negara lainnya.  Sejumlah sengketa tersebut menunjukkan bahwa peraturan penanaman modal suatu negara dapat menimbulkan sengketa bidang perdagangan internasional, ketika peraturan penanaman modal tersebut bertentangan dengan kewajiban internasional dari host country berdasarkan prinsip – prinsip perdagangan internasional yang diatur dalam GATT / WTO.
    Berbagai lembaga internasional dibentuk dan disepakati oleh masyarakat dunia untuk mencoba menyelesaikan sengketa perdagangan internasional terkait dengan masalah investasi. Masing – masing lembaga ini memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang berbeda, namun memiliki karakteristik yang hampir sama yaitu menerapkan prinsip – prinsip perdagangan internasional yang sama, serta mengutamakan waktu penyelesaian yang secepat mungkin dengan memperhatikan akibatnya bagi perdagangan internasional yang ditimbulkan oleh sengketa yang dibawa. Mekanisme penyelesaian sengketa, serta penerapan prinsip – prinsip perdagangan internasional dalam menyelesaikan kasus – kasus merupakan beberapa pedoman utama untuk berhasil mempertahankan hak ketika bersengketa dengan pihak lain.

B. Rumusan Masalah
    Pembahasan di dalam penulisan adalah aspek – aspek penyelesaian sengketa yang sering digunakan dalam dunia perdagangan internasional. Masalah akan dibatasi pada mekanisme serta praktiknya yang sering dipakai dalam dunia perdagangan internasional.



















Bab 2
PEMBAHASAN
    Penyelesaian sengketa perdagangan internasional tidak dapat dilepaskan dari kaidah – kaidah hukum internasional yang telah berlaku secara umum. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB memberikan pedoman yang cukup lengkap bagi para pihak yang bersengketa dalam lingkup hukum internasional, yang dapat pula dijadikan pedoman dalam bidang sengketa perdagangan internasional  : “the parties to any dispute... shall... seek a solution by negotiation, inquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement resorting to regional agencies or arrangements, or othe peaceful means of their own choice.”
    Transaksi – transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, dari berupa hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dan lain – lain. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa.  Umumnya, sengketa – sengketa perdagangan internasional sering didahului oleh penyelesaian dengan negosiasi. Jika penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara – cara lainnya seperti penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase.  Penyerahan sengketa, baik kepada pengadilan maupun ke arbitrasi seringkali didasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak. Langkah biasa yang ditempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau memasukkan suatu klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau badan arbitrase.
    Dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut diletakkan, baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul. Biasanya pula kelalaian para pihak untuk menentukan forum ini akan berakibat pada kesulitan dalam penyelesaian sengketanya karena dengan adanya kekosongan pilihan forum tersebut akan menjadi ulasan yang kuat bagi setiap forum untuk menyatakan dirinya berwewenang untuk memeriksa suatu sengketa. Lazimnya dalam sistem hukum Common Law dikenal dengan konsep long arm jurisdiction, yaitu konsep yang menerapkan bahwa pengadilan dapat menyatakan kewenangannya untuk menerima setiap sengketa yang dibawa kehadapannya meskipun hubungan antara pengadilan dengan sengketa tersebut tipis sekali.
    Di samping forum pengadilan , para pihak dapat pula menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif penyelesaian sengketa, yang lazim dikenal sebagai ADR (Alternative Dispute Resolution). Pengaturan alternatif di sini dapat berupa cara alternatif di samping pengadilan, bisa juga berarti alternatif penyelesaian secara umum, yaitu berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan termasuk pengadilan.   Dalam dunia transaksi bisnis internasional, berbagai jenis penyelesaian sengketa dipakai untuk dapat menjaga efektivitas dan efisiensi keberlangsungan bisnis yang diusahakan. Mekanisme penyelesaian sengketa dalam dunia perdagangan internasional dapat dibagi dalam beberapa bentuk yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Ada beberapa forum penyelesaian sengketa yang memiliki lebih dari satu fungsi di antara keempat fungsi yang disebutkan tadi. Beberapa karakteristik dari masing – masing penyelesaian sengketa ini memiliki kesamaan, namun berbeda dalam praktiknya.
A. Negosiasi
    Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua digunakan.  Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap hari oleh negosiasi tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian publik.  Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya. Setiap penyelesaiannya pun didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para pihak. Senada dengan itu, Kohona mengatakan bahwa negosiasi adalah :
“an efficacious means of settling disputes relating to an agreement because they enable parties to arrive at conclusions having regard to the wishes of all the disputants.”
    Dalam  dunia perdagangan internasional, negosiasi dapat dijabarkan dalam pertemuan – pertemuan kedua belah pihak yang bersengketa untuk mencoba mencari jalan keluar ketika ditemukan adanya persoalan terkait masalah perdagangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pertemuan – pertemuan tersebut sering gagal menemukan solusi terhadap permasalahan yang muncul, namun demikian praktek negosiasi sudah merupakan kebiasaan yang umum sebagai langkah awal proses penyelesaian sengketa di dunia, termasuk dalam dunia perdagangan internasional.
    Berbagai kelemahan dalam proses negosiasi dalam dunia perdagangan internasional hampir sama dengan kelemahan negosiasi dalam kasus lainnya, seperti proses berlangsung yang lambat dan memakan waktu yang lama tanpa ada batas waktu , dan pendirian salah satu pihak yang keras sehingga proses negosiasi tidak produktif .
    Semua transaksi internasional adalah produk dari negosiasi, hasil dari pembuatan kesepakatan, di antara para pihak. Meskipun beberapa pengacara sering berpikir bahwa negosiasi berakhir ketika para peserta menyetujui semua detail dan menandatangani kontrak yang dibuat pada saat negosiasi, pandangan ini hampir tidak pernah mencerminkan realitas yang terjadi dalam dunia nyata. Sebenarnya, sebuah kesepakatan internasional adalah negosiasi secara terus – menerus antara para pihak untuk sebuah transaksi karena mereka berusaha untuk menyesuaikan hubungan mereka dengan lingkungan internasional yang berubah dengan cepat seperti perselisihan sipil, gejolak politik, intervensi militer, fluktuasi moneter, dan perubahan teknologi di mana mereka harus bekerja .
    Tidak ada negosiasi, terutama dalam transaksi jangka panjang, bisa memprediksi segala kemungkinan bahwa para pihak mungkin tidak dapat mencapai pemahaman yang sempurna antara para pihak, terutama ketika mereka datang dari budaya yang berbeda. Jika mereka melakukan perubahan misalnya jadwal pertemuan, terjadi kesalahpahaman, atau masalah yang tidak diatur dalam kontrak, kedua pihak perlu untuk menggunakan negosiasi untuk menangani kesulitan mereka. Singkatnya, negosiasi adalah alat fundamental untuk mengelola kesepakatan mereka. Dan ketika para pihak asli dalam kesepakatan akhirnya memiliki konflik, misalnya, kegagalan dari satu pihak untuk melakukan sesuai dengan harapan pihak lain, negosiasi dapat menjadi alat yang realistis hanya untuk menyelesaikan kontroversi tersebut, terutama jika pihak yang ingin untuk mempertahankan hubungan bisnis mereka. Dengan demikian, negosiasi, setidaknya pada awalnya, adalah sarana untuk memperbaiki beberapa hal yang memiliki kerusakan konstruksi kesepakatan.
    Dalam kehidupan kesepakatan internasional, kita dapat mengidentifikasi sampai tiga tahap yang berbeda ketika konflik mungkin timbul dan para pihak mengandalkan resolusi konflik dan negosiasi untuk mencapai tujuan mereka: pembuatan kesepakatan, pengelolaan kesepakatan, dan pembenahan kesepakatan (deal making, deal managing, deal manding). Dalam konteks masing-masing tiga jenis negosiasi tersebut, kita harus mencari tahu untuk apa kewenangan pihak ketiga masuk dalam negosiasi, apakah yang disebut mediator, dapat membantu para pihak untuk membuat, mengelola, dan memperbaiki hubungan yang produktif dalam bisnis internasional. 
3. Mediasi
    Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut bisa individu (pengusaha) atau lembaga atau organisasi profesi atau dagang. Mediator ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi dengan kapasitasnya sebagai pihak netral berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.  Usulan – usulan penyelesaian melalui mediasi dibuat secara tidak resmi / informal, dan diberikan berdasarkan informasi – informasi yang diberikan oleh para pihak, bukan atas penyelidikannya.  Jika usulan tidak diterima, mediator masih dapat melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan – usulan baru.  Oleh karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal – hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat usulan – usulan yang dapat mengakhiri sengketa.
    Seperti halnya negosiasi, tidak ada prosedur – prosedur khusus yang harus ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas menentukan prosedurnya. Hal yang penting adalah kesepakatan para pihak mulai dari proses (pemilihan) cara mediasi, menerima atau tidaknya usulan – usulan yang diberikan mediator, sampai kepada pengakhiran tugas mendiator. 
    Kelebihan mediasi digambarkan oleh Gerald Cooke sebagai : “where mediation is successfully used, it generally provides a quick, cheap, and effective result. It is clearly appropriate, therefore, to consider providing for mediation or other alternative dispute resolution techniques in the contractual dispute resolution clause.”
    Model biasa dari sebuah negosiasi bisnis internasional adalah perwakilan dua perusahaan dari berbagai negara duduk di meja perundingan dan berdiskusi untuk membentuk ketentuan kontrak komersial. Sementara banyak transaksi terjadi dengan cara itu, banyak orang lain membutuhkan jasa dari satu atau lebih pihak ketiga untuk memfasilitasi kesepakatan proses pembuatan. Orang-orang ini biasanya tidak disebut sebagai mediator. Mereka tidak membawa berbagai label lain yang sebenarnya merupakan pekerjaan mereka: konsultan, penasihat, agen, broker, bankir investasi, dan lainnya. Kesepakatan keputusan mediator ini biasanya memiliki semacam kontrak kesepakatan dengan salah satu pihak, dan terkadang keduanya, namun mereka tidak secara resmi merupakan karyawan dari salah satu pihak.
    Meskipun bisa dikatakan bahwa konsultan dan penasehat tidak boleh dianggap mediator karena mereka tidak independen dari para pihak, pemeriksaan tentang peran mereka dalam negosiasi kesepakatan bisnis internasional mengungkapkan bahwa mereka melaksanakan fungsi mediator, dan bahwa mereka membantu para pihak untuk mengubah, mempengaruhi atau mempengaruhi perilaku mereka sehingga dipakai untuk mengelola konflik atau potensi konflik yang timbul dalam proses negosiasi. Bahkan jika mediator memiliki kontrak dengan dan dibayar hanya dengan satu sisi kesepakatan pihak saja, kemampuannya untuk memainkan peran mediasi yang efektif adalah krusial bergantung pada kemauan pihak lain untuk menerima orang itu sebagai peserta dalam prosen pembuatan kesepakatan. Memang, dalam banyak kasus, salah satu aset utama dari keputusan mediator adalah kenyataan bahwa mereka dikenal dan diterima oleh pihak lain dalam kesepakatan tersebut.
    Setelah kesepakatan telah ditandatangani, konsultan, pengacara, dan penasihat ini dapat terus berhubungan dengan satu atau kedua belah pihak dan secara informal membantu sebagai mediator dalam mengelola konflik yang mungkin timbul dalam pelaksanaan transaksi. Dalam beberapa kasus, para pihak untuk transaksi yang kompleks dan berkepanjangan, berusaha untuk meminimalkan risiko konflik. Mereka dapat memuat ketentuan khusus dalam kontrak mereka dengan menetapkan suatu proses untuk mengelola konflik dan mencegah dari adanya penghentian total kesepakatan.  Misalnya, suatu kontrak dapat saja menetapkan bahwa dalam hal konflik tidak dapat diselesaikan di tingkat operasional, sehingga manajemen senior dari kedua belah pihak akan terlibat dalam negosiasi untuk menyelesaikannya.
    Secara umum, manajemen perusahaan di tingkat atas tidak secara langsung terlibat dalam konflik namun secara berkelanjutan mengawasi transaksi dan hubungannya dengan perusahaan mengenai semua strategi pelaksanaannya, sehingga memungkinkan posisi yang lebih baik untuk menyelesaikan sengketa daripada mereka yang berada di lapangan, sehingga menimbulkan perasaan bahwa mereka memiliki kepentingan pribadi dalam "memenangkan" sengketa.  Setelah manajemen di tingkat atas dari kedua belah pihak telah mencapai pemahaman, mereka mungkin harus berfungsi sebagai mediator dengan bawahan mereka untuk mengubah perilaku dan sikap sehubungan dengan interaksi pada tingkat operasional.
    Akuisisi pada tahun 1991 oleh Perusahaan Matsushita dari Jepang, salah satu produsen terbesar di dunia elektronik, terhadap MCA, salah satu perusahaan terbesar Amerika Serikat di bidang hiburan, sebanyak lebih dari $6milyar, mengilustrasikan penggunaan mediator dalam proses pembuatan keputusan kesepakatan.  Matsushita telah menentukan bahwa pertumbuhan mereka di masa depan adalah bergantung pada dipenuhinya sumber film, program televisi, dan musik, dan perangkat lunak, untuk melengkapi konsumen elektronik produk perangkat keras. Matsushita tahu bahwa hal tersebut bisa menemukan sumber baru seperti sumber perangkat lunak dalam industri hiburan AS, tetapi juga mereka mengakui bahwa mereka hampir mengabaikan prinsip – prinsip dalam dunia industri dan praktik. Oleh karena itu mereka melibatkan Michael Ovitz, pendiri dan kepala Creative Artists Agency, salah satu agen bakat yang paling terkenal di Hollywood, untuk membimbing mereka sebagai seorang mediator antara Matsushita dan MCA.
    Secara tradisional, perusahaan yang terlibat dalam sengketa bisnis internasional belum aktif mencari bantuan mediator. Mereka pertama kali mencoba menyelesaikan masalah diri mereka sendiri melalui negosiasi, tetapi ketika mereka menilai bahwa telah gagal, mereka segera melanjutkan pada proses arbitrase. Berbagai faktor yang menjelaskan kegagalan mereka untuk mencoba mediasi diantaranya :
1.    kurangnya pengetahuan mereka tentang mediasi dan ketersediaan layanan mediasi,
2.    fakta bahwa perusahaan cenderung untuk memberikan kontrol sengketa mereka ke pengacara profesional yang memilih proses litigasi, dan
3.    keyakinan bahwa mediasi hanyalah mengulur-ulur taktik untuk penundaan sehingga terhindar dari proses arbitrase, refleksi akan sebuah ketakutan kekalahan.
    Dengan meningkatnya pengakuan akan kelemahan arbitrase, beberapa perusahaan mulai beralih ke bentuk yang lebih eksplisit dengan mediasi untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Semakin sengketa bisa diukur, misalnya tingkat kerusakan aset oleh tindakan rekanannya atau jumlah biaya royalti yang terhutang kepada pemberi lisensi, maka para pihak akan melibatkan pihak ketiga yang independen seperti ahli akuntansi internasional atau perusahaan konsultan untuk memeriksa masalah ini untuk memberikan pendapat.  Pendapat ini tidak mengikat para pihak tetapi memiliki efek yang memungkinkan mereka untuk membuat prediksi yang lebih realistis dari apa yang mungkin terjadi dalam proses arbitrase.
C. Konsiliasi
    Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit untuk dibedakan karena istilahnya seringkali digunakan dengan bergantian.  Namun menurut Behrens, ada perbedaan antar kedua istilah ini yaitu konsiliasi lebih formal daripada mediasi.
    Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi.  Komisi konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun, putusannya tidaklah mengikat para pihak.
    Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap yaitu tahap tertulis dan tahap lisan, yaitu sengketa yang diuraikan secara tertulis diserahkan kepada badan konsiliasi kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak, dan para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut namun bisa juga diwakili oleh kuasanya.  Berdasarkan fakta – fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasi akan menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan – usulan penyelesaian sengketanya. Sekali lagi, usulan ini sifatnya tidaklah mengikat sehingga diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.
    Konsiliasi internasional sebagai penyelesaian sengketa dengan modus diplomatik di mana konsiliator pihak ketiga atau komisi konsiliasi memiliki efek yang paling menonjol pada proses, didefinisikan oleh Cot sebagai :
    “Intervention in the settlement of an international dispute by a body having no political authority of its own, but enjoying the confidence of the parties to the dispute and entrusted with the task of investigating every aspect of the dispute and of proposing a solution which is not binding on the parties.”
    Meskipun definisi ini dibuat dalam konteks konsiliasi internasional antar negara, mungkin akan diterapkan sama untuk konsiliasi internasional yang melibatkan entitas non-negara. Cot mengidentifikasi aspek inti dari proses konsiliasi sebagai berikut:
1.    konsiliator (atau komisi konsiliasi) harus memiliki kepercayaan dari para pihak yang bersengketa agar dapat melakukan fungsinya denga baik,
2.    fungsi konsiliator adalah untuk memeriksa sengketa secara keseluruhan, termasuk klarifikasi fakta dan survei dari kedua hukum yang berlaku dan elemen non-yuridis,
3.    rekomendasi dari konsiliator tidak perlu didasarkan murni pada penerapan hukum. Prinsip hukum yang relevan dapat menjadi alasan tambahan atau mungkin tidak sama sekali; dan
4.    resolusi yang diusulkan oleh konsiliator adalah tidak mengikat para pihak yang bersengketa, yang dapat menolak untuk melaksanakan rekomendasi.
    Konsep otonomi dari para pihak dapat membuat mereka mengatur konstitusi konsiliasi masing-masing. Dengan persetujuan mereka, para pihak dapat menentukan kepribadian seluruh proses konsiliasi: jumlah dan identitas konsiliator, tingkat tugas konsiliator, dan semua aspek dari prosedur konsiliasi. Untuk konsiliasi yang melibatkan sengketa bisnis internasional, para pihak dapat menghindari ketidakpastian akibat perancangan peraturan mereka sendiri dengan setuju bahwa proses tersebut akan diatur oleh aturan kelembagaan seperti International Chamber of Commerce Conciliation Rules (UNCITRAL) bentukan PBB.
    Di bidang ekonomi internasional, konsiliasi baik disusun berdasarkan format tradisionalnya atau aspek-aspek tertentu dari konsep tersebut tetap digunakan sebagai salah satu penyelesaian sengketa. Selain itu, konsiliasi jarang dipakai bila perselisihan tidak timbul.  Dengan beberapa pengecualian yang ditemukan dalam bidang perdagangan internasional, para pihak yang bersengketa tampaknya lebih suka untuk menentukan metode penyelesaian sengketanya sendiri. Namun, ada beberapa dukungan kontemporer untuk penggunaan yang lebih besar tentang konsiliasi dan lainnya yang tidak mengikat bentuk penyelesaian. Mereka tidak berusaha untuk memberikan survei menyeluruh tentang penggunaan konsiliasi, melainkan akan melacak paradigma konsiliasi di seluruh spektrum hukum transnasional untuk menggambarkan keragaman penerapannya.
    Lembaga arbitrase seperti International Chamber of Commerce dan ICSID, menawarkan layanan konsiliasi, yang biasanya diatur oleh seperangkat aturan (misalnya ICC Rules of Optional Conciliation, 1995). Selain itu, UNCITRAL telah menyiapkan seperangkat aturan yang konsiliasi pihak dapat menggunakan tanpa mengacu pada sebuah institusi. Umumnya, dalam konsiliasi kelembagaan, pihak yang bersengketa dapat meminta konsiliasi untuk lembaga mereka. Konsiliator memiliki kebijaksanaan yang luas untuk melakukan proses, dalam praktek dia akan mengundang kedua belah pihak untuk menyatakan pandangan mereka tentang sengketa dan kemudian akan membuat laporan mengusulkan penyelesaian yang sesuai. Para pihak dapat menolak laporan tersebut dan melanjutkan ke arbitrase, atau mereka mungkin menerimanya.     Dalam banyak kasus, saran dari konsiliator digunakan sebagai dasar untuk penyelesaian negosiasi. Fungsi konsiliasi sangat prediktif. Konsiliator biasanya tidak mengadopsi pemecahan masalah atau pendekatan hubungan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak. Proses ini rahasia dan benar-benar sukarela. Salah satu pihak dapat menarik diri dari konsiliasi setiap saat.



D. Arbitrase
    Hampir semua kontrak bisnis internasional saat ini membawa setiap sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari antara para pihak untuk diselesaikan melalui arbitrase komersial internasional. Para pihak memilih pilihan ini dengan berbagai alasan: untuk menghindari pengadilan nasional yang sering memberikan putusan yang tidak memuaskan, untuk mencari sebuah forum netral dan ahli dalam bidang perselisihan mereka, untuk melakukan penyelesaian sengketa secara pribadi, dan mendapatkan kepastian hukum putusan arbitrase tersebut yang pasti akan dilaksanakan oleh kedua belah pihak.  Arbitrase International memiliki dua jenis: ad hoc yang pada dasarnya dikelola oleh para pihak menurut sebuah seperangkat aturan yang disepakati, atau kelembagaan, yang dikelola oleh sebuah institusi mapan seperti International Chamber of Commerce, London Court of Arbitration, American Arbitration Association, Stockholm Chamber of Commerce, atau International Centre for Settlement of Investment Disputes, sebuah afiliasi dari World Bank.
    Para pihak dengan kesepakatan bebas untuk membentuk proses arbitrase yang mereka inginkan. Biasanya, mereka memilih tiga orang untuk panel arbitrase yang terdiri dari seorang arbiter yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa, dan ketua yang dipilih oleh dua arbiter. Berdasarkan Convention on the Recognition and Enforcement of Arbitral Awards, yang ditandatangani oleh lebih dari seratus negara, baik perjanjian arbitrase dan putusan arbitrase dinyatakan berlaku di seluruh dunia.  Dalam perkembangannya, para pelaku ekonomi yang memilih jalur non-litigasi dalam penyelesaian sengketanya, meminati lembaga arbitrase sebagai sarana penyelesaian sengketa dagang internasional dikarenakan beberapa hal antara lain;
1.    Proses beracara melalui litigasi biasanya memakan waktu yang relatif cukup lama, karena proses peradilan mengenal tingkat pertama hingga tingkat kasasi dan bahkan peninjauan kembali.
2.    Hukum acara peradilan yang bertele-tele, rumit dan birokratis menimbulkan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi ini memakan biaya yang mahal dan waktu yang cukup lama.
3.    Prinsip penyelesaian sengketa yang dianut oleh lembaga arbitrase yaitu, baik pemeriksaan maupun putusannya tertutup untuk umum (disclousure).
4.    Putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat, prinsip ini memberikan pengertian bahwa suatu putusan arbitrase akan dapat langsung dilaksanakan segera setelah putusan tersebut dijatuhkan, walau dalam prakteknya prinsip tidak selamanya benar.
5.    Hakim pengadilan sering tidak menguasai substansi persoalan yang terkait dengan perkara-perkara khusus. Hal ini dapat dihindari oleh para pihak, karena kepada mereka diberikan kebebesan untuk memilih arbiternya yang dianggap cakap oleh mereka.
6.    Sifat putusan yang diberikan arbiter dalam arbitrase biasanya lebih bersifat win-win solution bukan menang-kalah (win-lose) seperti putusan hakim dalam pengadilan.
7.    Prinsip dasar pengambilan keputusan dalam arbitrase yang didasarkan pada kepatutan (ex aequo et bono), keadilan serta kepentingan para pihak yang bersengketa.
8.    Citra dunia peradilan yang tidak baik. Hal terakhir ini merupakan salah satu alasan utama bagi para pelaku ekonomi dalam menghindari lembaga pengadilan. Penyalahgunaan kewenangan, profesionalisme dan sikaf berat sebelah adalah irama yang sering kita temui di dunia peradilan khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, investor asing merasa alergi terhadap hukum dan pengadilan lokal (terutama Indonesia).
    Erman Rajagukguk, dalam bukunya Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan menyebutkan beberapa alasan para kalangan usahawan memilih lembaga arbitrase sebagai sarana penyelesaian sengketa mereka adalah sebagai berikut;
Pertama, karena pengusaha asing menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka. Kedua, pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan hakim-hakim dari negara berkembang tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan niaga dan keuangan internasional yang rumit. Ketiga, pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan memakan waktu yang lama dan ongkos yang besar, karena proses pengadilan yang panjang dari tingkat pertama sampai dengan tingkat Mahkamah Agung. Keempat, Adanya anggapan bahwa pengadilan kan bersikap subyektif kepada pengusaha lokal karena hakim yang memeriksa dan memutus sengketa bukan dari negara mereka. Kelima, penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan hasilnya akan merenggangkan hubungan dagang diantara mereka. Keenam, penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase dianggap dapat melahirkan putusan yang kompromistis, yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
    Hal pertama yang perlu ditekankan adalah bahwa arbitrase yang memiliki kesamaan dengan mediasi adalah bukan mediasi. Arbitrase komersial internasional adalah proses legalistik yang tujuannya adalah untuk menentukan hak masing-masing dan kewajiban para pihak yang bersengketa, bukan untuk membantu mereka mengubah sikap dan perilaku mereka untuk menyelesaikan konflik mereka.  Pada dasarnya arbitrase adalah sebuah litigasi swasta.
    Dengan demikian di latar belakang hampir semua sengketa bisnis internasional dengan penggunaan arbitrase yang mengikat adalah jika para pihak secara sendiri atau dengan bantuan orang ketiga, tidak dapat menyelesaikan konflik sendiri. Faktor ini mempengaruhi cara dimana pihak-pihak menangani perselisihan mereka dan juga mempengaruhi strategi setiap penengah yang diundang untuk membantu mereka yang bersengketa menyelesaikan konflik. Dalam hal ini, sengketa bisnis internasional tidak seperti perselisihan politik internasional antar negara-negara di mana tidak ada proses ajudikatif yang menunggu untuk mendapatkan keputusan mengikat. Akibatnya, ketika pihak sebuah transaksi bisnis internasional menemukan diri mereka terlibat dalam sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan, mereka selalu akan memulai proses arbitrase untuk menyelesaikan masalah tersebut.
    Arbitrase bagaimanapun juga bukanlah sebuah proses yang tidak ada kekurangan, tidak mahal, dan selalu menawarkan solusi yang cepat  seperti litigasi di pengadilan yang mahal dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyimpulkan, serta selalu menghasilkan keretakan hubungan bisnis dari para pihak. Bahkan ketika pengadilan arbitrase membuat keputusan yang mendukung salah satu pihak, pihak yang kalah pada akhirnya melanjutkan di pengadilan, sehingga menunda atau bahkan mencegah penyelesaian akhir sengketa. Misalnya, arbitrase pada kasus antara Mesir dan investor asing yang membutuhkan waktu lima tahun pada fase pertama dan mengakibatkan biaya hukum dan administrasi hampir $ 1,5 juta dolar.  Tapi setelah itu, putusan arbitrase ini diajukan ke pengadilan dan kasus itu diarbitrasekan kembali di forum lain. Para pihak akhirnya menyudahi masalah melalui negosiasi empat belas tahun setelah sengketa dimulai.
    Prospek suatu proses yang mahal, panjang dan berpotensi merusak pada akhirnya mendorong kedua belah pihak untuk menegosiasikan penyelesaian sengketa mereka. Sebagai contoh, sekitar dua pertiga dari semua kasus arbitrase diajukan ke International Chamber of Commerce Court of Arbitration diselesaikan melalui negosiasi sebelum putusan arbitrase dibuat.  Orang ketiga, apakah yang disebut mediator atau sebaliknya, secara teori dalam sengketa bisnis internasional dapat menyelesaikan konflik mereka tanpa adanya pengaruh dari keputusan seorang arbiter dalam arbitrase yang sudah dilakukan sebelumnya.
    Awalnya, kita bisa bertanya apakah arbiter sendiri dapat dan harus berusaha untuk memfasilitasi penyelesaian negosiasi sengketa. Pada pertanyaan ini, praktek tampaknya sangat bervariasi di setiap negara. Umumnya, orang Amerika dan orang Eropa menganggapnya tidak pantas bagi seorang wasit untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa. Dalam pandangan mereka, seorang wasit harus melakukan tidak lebih dari sekedar memberikan petunjuk kemungkinan penyelesaian tetapi tidak harus secara aktif terlibat dalam upaya mediasi, dan dalam budaya lain, misalnya Cina dan Jerman, arbiter sering mengambil peran yang lebih aktif dengan mengusulkan perumusan atas permintaan para pihak sebuah formulasi penyelesaian, dengan berpartisipasi dalam negosiasi penyelesaian sengketa, dan bahkan aktif secara terpisah berhubungan pihak-pihak tersebut dengan persetujuan mereka. Dalam budaya Asia, yang memiliki keengganan khusus untuk berkonfrontasi, arbiter bahkan lebih energik daripada rekan-rekan mereka di Eropa dan Amerika dalam upaya memfasilitasi kesepakatan antara pihak yang berselisih, bukan hanya memaksakan keputusan.
    Secara umum, sebagai upaya penengah, seminimal apapun untuk memfasilitasi penyelesaian, arbitrase cenderung memiliki efek “membujuk” para pihak bahwa jika mereka membiarkan sengketa yang akan ditengahi, mereka tidak akan mencapai semua yang mereka harapkan. Upaya tersebut oleh arbiter memiliki efek prediktif. Ketika arbiter sangat mendorong sebuah penyelesaian, mereka benar-benar mengatakan kepada perusahaan penggugat sesuatu yang mungkin tidak akan diterima, dan mereka juga mengatakan kepada para responden bahwa jika kasus tersebut diputuskan, maka mereka harus membayar sesuatu ganti rugi. Strategi arbiter yang berusaha untuk memainkan peran mediasi adalah untuk memberikan para pihak sebuah evaluasi realistis dari apa yang mereka akan terima atau diminta untuk membayar dalam setiap putusan arbitrase akhir.















Bab 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
    Globalisasi telah membuat dunia seolah tanpa batas (borderless). Era ini ditandai dengan maraknya aktivitas di bidang ekonomi. Salah satu ciri bisnis atau perekonomian yang paling menonjol pada era globalisasi : moving quickly, sangat cepat mengalami perubahan. Perubahan yang cepat ini menuntut para pelaku usaha di bidang perdagangan untuk dapat mencari jalan keluar secepatnya ketika mereka menghadapi sengketa dibidangnya. Pemilihan mekanisme penyelesaian sengketa akan sangat menentukan keberlangsungan bidang usahanya.
    Penyelesaian sengketa perdagangan internasional tidak dapat dilepaskan dari kaidah – kaidah hukum internasional yang telah berlaku secara umum. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB memberikan pedoman yang cukup lengkap bagi para pihak yang bersengketa dalam lingkup hukum internasional. Umumnya, sengketa – sengketa perdagangan internasional sering didahului oleh penyelesaian dengan negosiasi. Jika penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara – cara lainnya seperti penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi atau arbitrase.  Penyerahan sengketa, baik jalur litigasi maupun ke alternatif yang lain seringkali didasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak. Langkah biasa yang ditempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau memasukkan suatu klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat.
    Dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut diletakkan, baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul. Mekanisme penyelesaian sengketa yang dipakai dalam dunia transaksi perdagangan internasional adalah negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
    Dalam  dunia perdagangan internasional, negosiasi dapat dijabarkan dalam pertemuan – pertemuan kedua belah pihak yang bersengketa untuk mencoba mencari jalan keluar ketika ditemukan adanya persoalan terkait masalah perdagangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pertemuan – pertemuan tersebut sering gagal menemukan solusi terhadap permasalahan yang muncul, namun demikian praktek negosiasi sudah merupakan kebiasaan yang umum sebagai langkah awal proses penyelesaian sengketa di dunia, termasuk dalam dunia perdagangan internasional. Berbagai kelemahan dalam proses negosiasi dalam dunia perdagangan internasional hampir sama dengan kelemahan negosiasi dalam kasus lainnya, seperti proses berlangsung yang lambat dan memakan waktu yang lama tanpa ada batas waktu , dan pendirian salah satu pihak yang keras sehingga proses negosiasi tidak produktif .
    Dengan meningkatnya pengakuan akan kelemahan arbitrase dan tidak efektifnya proses negosiasi, beberapa perusahaan mulai beralih ke bentuk yang lebih eksplisit dengan mediasi untuk menyelesaikan sengketa bisnis, yang sebenarnya merupakan sebuah proses negosiasi dengan menggunakan jasa orang ketiga. Semakin sengketa bisa diukur, misalnya tingkat kerusakan aset oleh tindakan rekanannya atau jumlah biaya royalti yang terhutang kepada pemberi lisensi, maka para pihak akan melibatkan pihak ketiga yang independen seperti ahli akuntansi internasional atau perusahaan konsultan untuk memeriksa masalah ini untuk memberikan pendapat.  Pendapat ini tidak mengikat para pihak tetapi memiliki efek yang memungkinkan mereka untuk membuat prediksi yang lebih realistis dari apa yang mungkin terjadi dalam proses arbitrase.
    Di bidang ekonomi internasional, bentuk penyelesaian sengketa sebagai perluasan dari mediasi adalah konsiliasi, yang baik disusun berdasarkan format tradisionalnya atau aspek-aspek tertentu dari konsep tersebut tetap digunakan sebagai salah satu penyelesaian sengketa. Selain itu, konsiliasi jarang dipakai bila perselisihan tidak timbul.  Dengan beberapa pengecualian yang ditemukan dalam bidang perdagangan internasional, para pihak yang bersengketa tampaknya lebih suka untuk menentukan metode penyelesaian sengketanya sendiri. Namun, ada beberapa dukungan kontemporer untuk penggunaan yang lebih besar tentang konsiliasi dan lainnya yang tidak mengikat bentuk penyelesaian. Mereka tidak berusaha untuk memberikan survei menyeluruh tentang penggunaan konsiliasi, melainkan akan melacak paradigma konsiliasi di seluruh spektrum hukum transnasional untuk menggambarkan keragaman penerapannya. Beberapa lembaga arbitrase internasional seperti ICSID juga menawarkan jasa konsiliasi dalam penyelesaian sengketa bisnis internasional.
    Hampir semua kontrak bisnis internasional saat ini membawa setiap sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari antara para pihak untuk diselesaikan melalui arbitrase komersial internasional. Para pihak memilih pilihan ini dengan berbagai alasan: untuk menghindari pengadilan nasional yang sering memberikan putusan yang tidak memuaskan, untuk mencari sebuah forum netral dan ahli dalam bidang perselisihan mereka, untuk melakukan penyelesaian sengketa secara pribadi, dan mendapatkan kepastian hukum putusan arbitrase tersebut yang pasti akan dilaksanakan oleh kedua belah pihak.  Arbitrase International memiliki dua jenis: ad hoc yang pada dasarnya dikelola oleh para pihak menurut sebuah seperangkat aturan yang disepakati, atau kelembagaan, yang dikelola oleh sebuah institusi mapan seperti International Chamber of Commerce, London Court of Arbitration, American Arbitration Association, Stockholm Chamber of Commerce, atau International Centre for Settlement of Investment Disputes, sebuah afiliasi dari World Bank.
B. Saran
    Sengketa perdagangan internasional adalah sengketa yang kompleks namun membutuhkan mekanisme penyelesaian yang cepat dan tepat. Pemilihan forum penyelesaian sengketa hendaknya dilakukan secara tepat sehingga efektivitas dan efisiensi keberlangsungan transaksi perdagangan internasional lainnya dapat terus terjaga. Proses penyelesaian sengketa yang paling pertama dipilih hendaknya adalah negosiasi. Bagaimanapun mengikatnya sebuah mekanisme penyelesaian sengketa melalui forum non – litigasi melalui sebuah badan resmi (konsiliasi dan arbitrase), tidak akan mampu menjamin efektivitas dan efisiensi keberhasilan penyelesaian sebuah sengketa. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri juga negosiasi seringkali menemui jalan buntu apabila ada salah satu pihak yang mempertahankan pendapatnya.
    Forum penyelesaian sengketa dengan mekanisme mediasi harus memperhatikan kemampuan mediator sebagai orang ketiga dalam sengketa. Peran mediator yang sangat krusial dalam penyelesaian sengketa harus diperhatikan dengan memperhatikan kemampuannya dalam menjaga kepentingan kedua belah pihak yang bersengketa. Saat ini, mekanisme konsiliasi sebagai bentuk lain dari mediasi memiliki badan – badan non – litigasi yang resmi, yang diterima oleh masyarakat dunia sebagai badan penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Pengetahuan akan mekanisme beracara dalam badan tersebut akan sangat membantu dalam mendapatkan penyelesaian sengketa secara efektif dan efisien. Forum – forum penyelesaian sengketa secara konsiliasi ini juga menyediakan mekanisme penyelesaian arbitrase. Arbitrase merupakan cara yang diterima secara umum sebagai cara yang paling efektif dalam menyelesaikan sengketa dibanding dengan cara lain.
    Proses penyelesaian sebuah sengketa transaksi perdagangan internasional harus selalu berakar dari itikad baik para pihak. Dengan adanya itikad baik untuk menyelesaikan sebuah sengketa, maka forum penyelesaian sengketa apapun yang akan dipakai pasti akan berjalan dengan lancar dan menemukan keputusan yang memuaskan kedua belah pihak.

Penentuan Batas Maritim (Maritime Delimitation) Menurut International Tribunal for The Law Of The Sea (ITLOS), Studi Kasus Sengketa Teluk Benggala Antara Bangladesh vs Myanmar, Putusan ITLOS No.16, 14 Maret 2012

Latar Belakang Tulisan
    Telah dipahami bahwa sumber daya alam baik di darat maupun di laut serta pulau kecil, harus dimanfaatkan untuk tujuan yang mulia secara baik dan damai terutama bagi kesejahteraan manusia maupun pelestarian alam sendiri. Namun kepentingan atas pemanfaatan itu perlu dilaksanakan secara bijak, terencana dan menyeluruh. Sehingga terdapat pengertian berupa pengelolaan dalam sebuah kerangka kegiatan yang bernama eksplorasi, bukan perlakuan sepihak yang tanpa perencanaan dan pengawasan bersifat eksploitasi.
    Salah satu aspek eksplorasi adalah pelaksanaan secara tertib dan patuh terhadap berbagai peraturan, termasuk batas kelola yang telah membagi akses suatu wilayah pengelolaan, wilayah kedaulatan, serta wilayah hak kedaulatan. Pengertian "batas" dalam perspektif ini bukan berarti membatasi akses terhadap sumber daya alam darat dan perairan yang seharusnya bebas untuk siapa saja (open access), justru sebaliknya adalah demi aspek kejelasan dan memberi keadilan bagi siapapun (common properties).
    Laut secara historis memiliki dua fungsi penting yaitu sebagai media komunikasi dan sebagai tempat sumber daya alam baik hayati maupun non hayati.  Prinsip fundamental dalam mengatur hukum laut adalah tanah yang mendominasi laut sehingga situasi wilayah mendapatkan titik awal untuk menentukan hak – hak maritim dari negara pantai.  "Batas" atau “Delimitation” diperlukan untuk menegaskan sampai di mana sebuah entitas, apakah itu bagi keberadaan sebuah negara, provinsi, kabupaten dan kota, hingga desa dan seterusnya. Sekaligus memiliki peran dan tangung jawab masing-masing untuk memelihara lalu mengelola pada wilayah menurut kewenangannya. Tanggung jawab ini tidak saja untuk melindungi kepentingan eksplorasi, tetapi yang terpenting adalah untuk menjaga dan melindungi sumber daya alam dari eksplorasi berlebihan. Idealnya, batas wilayah diperlukan untuk menyeimbangkan antara hak dan kewajiban berbagai pihak yang terkait. Maka dalam pemahaman demikian, dibutuhkan pengetahuan untuk penanganan yang baik terkait aspek batas secara komprehensif.
    Dalam rangka mewujudkan dan terutama mengelola perbatasan, memerlukan keahlian tertentu dari segala pihak yang berkompoten. Keahlian ini akan saling terkait, diantaranya terdapat aspek hukum, sosial dan hal teknis yang menyeluruh. Contohnya penerapan dan penegakkan hukum tentang yurisdiksi perbatasan, harus diiringi pemahaman disiplin geografis dan geodesi karena penentuan batas yurisdiksi tersebut memerlukan pemetaan posisi dengan penentuan titik-titik koordinat yang faktual.  Sebaliknya penentuan dan penetapan titik koordinat perbatasan, memerlukan legitimasi sebagai berkekuatan hukum.
    Adapun dalam konteks batas laut negara, kewenangan pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil laut telah merupakan wilayah kedaulatan (souvereignty) NKRI. Sebagai negara pantai yang dilindungi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982), selain berhak atas laut teritorial 12 mil laut, Indonesia masih memiliki Zona Tambahan 24 mil laut serta Zona Ekonomi Ekslusif 200 mil laut yang disebut wilayah hak berdaulat (sovereign right). Kendati wilayah laut hingga 200 mil laut bukan wilayah kedaulatan negara, tetapi sebagai wilayah hak berdaulat ZEE telah memberi kewenangan bagi Indonesia untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi konservasi, dan pengelolaan sumber daya lautnya. Namun demikian, meskipun diberikan hak untuk mengelola laut, Indonesia masih berpotensi untuk bersengketa dengan negara – negara tetangganya dalam menentukan batas maritim, sehingga diperlukan adanya studi yang berkelanjutan serta pendalaman yang lebih komprehensif terkait masalah batas maritim. Penetapan batas maritim selain memberikan kepastian hukum, juga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya sengketa yang berkepanjangan dalam hubungan antar negara.
    Penetapan batas maritim juga bertujuan untuk memudahkan dan menjadi dasar hukum bagi segenap aparat keamanan laut dalam melaksanakan tugas menjaga kedaulatan, menjamin keselamatan pelayaran, penegakkan hukum (law enforcement) bagi setiap unsur-unsur di lapangan untuk bertindak. Adapun terjadinya pelanggaran di wilayah laut Indonesia yang dilakukan oleh pihak-pihak asing, merupakan salah satu akibat dari masih belum disepakatinya beberapa perjanjian tentang garis batas serta wilayah laut NKRI yang berbatasan dengan 10 negara tetangga.
    Dewasa ini potensi terjadinya konflik dan sengketa dalam ranah internasional kian bertambah mengikuti semakin intensnya subjek-subjek hukum internasional dalam menjalin hubungan. Hal ini tentu patut diwaspadai mengingat konflik dan sengketa merupakan bibit peperangan yang bisa mengganjal cinta-cita mulia semua bangsa yakni menciptakan perdamaian dan memelihara perdamaian. Namun perlu juga disadari bahwa pada kenyataannya adalah sebuah keniscayaan meniadakan konflik dan sengketa. Karena sengketa ataupun konflik internasional selalu berbanding lurus dengan interaksi subjek hukum internasional.
    Studi Hubungan Internasional pada dasarnya bertujuan mempelajari perilaku internasional, yaitu perilaku aktor-aktor baik negara maupun aktor non negara di dalam arena transaksi internasional. Hubungan atau interaksi yang terjadi antar aktor dalam sistem internasional sangat beraneka ragam. Pada dasarnya kondisi umum dan karakteristik hubungan di antara aktor-aktor tersebut akan selalu bergerak pada dua pola umum, yaitu konflik dan kerjasama.  Konflik dapat terjadi ketika kepentingan dan tujuan suatu pihak bertabrakan dengan kepentingan dan tujuan pihak lain yang berbeda.
    Semakin bertambahnya entitas yang menjadi subjek dari hukum internasional juga menjadi salah satu faktor yang menjadikan hubungan antara entitas ini semakin kompleks. Dalam hubungan yang hampir tak berbatas inilah potensi konflik yang berujung pada sengketa memunculkan dirinya semakin intens. Menurut beberapa pakar hukum internasional, subjek dari persengketaan bermacam-macam, mulai dari sengketa mengenai kebijakan suatu negara sampai persoalan perbatasan. Oleh sebab itu diperlukan sebuah sistem penyeleselaian sengketa yang mampu mewadahi pertikaian subjek-subjek hukum internasional ini.
    Penyelesaian sengketa secara harfiah disamakan dengan pertikaian. Pertikaian atau sengketa, keduanya adalah kata yang dipergunakan secara bergantian dan merupakan terjemahan dari “dispute”. John G. Merrils memahami persengketaan sebagai terjadinya perbedaan pemahaman akan suatu keadaan atau objek yang diikuti oleh pengklaiman salah satu pihak dan memunculkan reaksi penolakan oleh pihak lainnya.  Karena itu, sengketa internasional adalah perselisihan, yang tidak secara ekslusif melibatkan negara, dan memiliki konsekuensi pada lingkup internasional.
    Batas antar negara yang dipisahkan oleh perairan berpotensi menimbulkan sengketa kelautan. Walaupun Konvensi Hukum Laut Internasional telah ditandatangani oleh 147 negara dan 1 organisasi, yaitu Komunitas Eropa, namun perselisihan batas negara yang mengarah pada sengketa hukum laut masih saja bisa terjadi.  Seperti yang dialami Indonesia-Malaysia, yang tengah bersitegang mengenai blok Ambalat di perairan Sulawesi. Indonesia dan Malaysia adalah penandatangan konvensi tersebut. Upaya penyelesaian konflik hukum laut umumnya berujung di meja perundingan. Dosen hukum internasional dari Universitas Indonesia, Sidik Suraputra mengemukakan, sengketa yang berhubungan dengan batas wilayah diselesaikan terlebih dahulu lewat jalur diplomasi.  Pada kenyataannya, tidak sedikit sengketa batas laut yang diselesaikan melalui jalur litigasi. Seperti halnya perseteruan beberapa tahun lalu antara Indonesia-Malaysia mengenai pulau Sipadan Ligitan. Keduanya kemudian sepakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut ke International Court of Justice (ICJ).
    Selain ICJ, sebenarnya terdapat pengadilan internasional yang lebih khusus untuk menangani sengketa hukum laut. Pengadilan khusus tersebut adalah International Tribunal Law of The Sea (ITLOS) yang berkedudukan di Hamburg, Jerman. Berbicara tentang ITLOS, pakar hukum laut dari Universitas Padjadjaran Etty Agoes mengatakan perkembangan dari pengadilan ini cukup bagus. Untuk beberapa hal, ITLOS memiliki kelebihan dibanding ICJ. Seperti pada contoh sengketa Sipadan Ligitan yang penyelesaiannya di ICJ memakan waktu lama. Pada waktu itu, Indonesia harus menunggu giliran kasus lain di ICJ selesai diperiksa. Sedangkan di ITLOS, karena khusus menangani sengketa yang berhubungan dengan kelautan, maka otomatis penyelesaiannya akan lebih cepat.
    Di sekitaran putusan ITLOS, sengketa batas maritim yang paling terkenal dan bahkan paling pertama ditangani oleh tribunal ini adalah sengketa batas maritim antara Bangladesh dan Myanmar di sekitaran Teluk Benggala. Berbagai pertimbangan terkait dengan batas maritim sangat baik untuk dijadikan rujukan dalam mempelajari aspek – aspek penentuannya dalam rangka mendapatkan sudut pandang yang lebih komprehensif dalam perlindungan wilayah laut Indonesia yang memiliki struktur yang sama dengan para pihak yang bersengketa ini, karena ITLOS merupakan satu – satunya tribunal yang memakai rujukan khusus dalam bidang hukum laut. Atas dasar pertimbangan ini maka penulis merasa perlu diadakan pemahaman yang lebih lanjut lewat sebuah penulisan tentang Aspek Penentuan Batas Maritim Menurut International Tribunal For The Law Of The Sea Dalam Perlindungan Wilayah Laut Indonesia dengan Studi Kasus Sengketa Penentuan Batas Maritim Bangladesh dan Myanmar Di Teluk Benggala (Putusan ITLOS No.16 Tanggal 14 Maret 2012).
Secara umum, ada tiga unsur yang termasuk dalam wilayah negara yaitu unsur daratan, perairan / lautan, dan ruang udara. Masing – masing unsur ini mempunyai keterkaitan dengan pelaksanaan kedaulatan negara. Terhadap wilayah daratan, negara mempunyai atau melaksanakan kedaulatan mutlak. Dalam konteks ini, secara ekstrim negara dapat menutup secara sepihak wilayah negaranya terhadap negara di sekitarnya. Sementara terhadap wilayah ruang udara dan perairan / kelautan, kewenangan negara dalam melaksanakan kedaulatannya harus mempertimbangkan kepentingan negara lain (kewenangan minus). Dengan demikian, ketentuan hukum internasional yang berkaitan dengan wilayah negara diatur dalam perangkat hukum yang berbeda pula.
A. Pengaturan Zona Maritim Dalam UNCLOS 1982
    Untuk menentukan kepastian hukum dalam penguasaan dan pemanfaatannya untuk setiap zona, UNCLOS 1982 menetapkan berbagai ketentuan yang mengatur batas – batas maksimum suatu zona serta penerapan batas – batas terluarnya. Untuk Laut Teritorial (di bawah kedaulatan mutlak negara) ditetapkan lebarnya 12 mil laut. Zona Tambahan 24 mil laut, Zona Ekonomi eksklusif 200 mil laut dan Landas Kontinen antara 200 – 350 mil laut atau sampai dengan 100 mil laut dihitung dari kedalaman (isobath) 2.500 meter.
    Seperti diketahui, UNCLOS 1982 juga secara khusus mengatur dan mengakui karakteristik khusus keberadaan negara kepulauan dibanding dengan negara – negara yang seluruh atau sebagia besar wilayahnya terdiri attas daratan. Untuk itu, suatu negara kepulauan diberi hak untuk menetapkan :
1.    Perairan Kepulauan, yaitu perairan pada sisi dalam dari garis – garis pangkal pulau – pulau yang menjadi wilayahnya, dan
2.    Perairan Pedalaman pada perairan kepulauannya.
    Untuk menjamin kepastian hukum dan pemahaman bersama negara – negara mengenai luas dan cara/teknis pengukuran masing – masing zona di atas, UNCLOS 1982 menetapkan bahwa zona maritim tersebut harus diukur dari garis – garis dasar atau garis – garis pangkal. Ketentuan mengenai teknis penetapan garis – garis pangkal tersebut diatur dalam Pasal 5, 7 dan Pasal 47 UNCLOS 1982.
    UNCLOS 1982 memperkenalkan tiga bentuk garis pangkal di mana salah satunya dapat dipergunakan negara – negara dalam menetapkan zona maritimnya sesuai dengan bentuk geografis wilayahnya. Tiga bentuk garis pangkal yang dimaksud adalah :
1.    Garis Pangkal Biasa (normal base line), dalam hal ini penetapan zona maritim didasarkan pada garis air terendah sepanjang pantai pada waktu air laut sedang surut dan mengikuti segala lekukan pantai. Pada mulut atau muara sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut dan pelabuhan, garis air terendah tersebut dapat ditarik sebagai suatu garis lurus.
2.    Garis – Garis Pangkal Lurus (straight base lines), metode ini menetapkan penetapan garis air terendah yang menghubungkan titik – titik terluar dari garis pantai pulau – pulau suatu negara dengan bentuk geografis : a. garis pantai yang menjorok dan menikung jauh ke dalam, atau b. deretan / gugusan pulau sepanjang pantai di dekatnya, atau c. delta, atau d.kondisi alam lainnya yang menyebabkan garis pantai sangat tidak tetap, dan e. kepentingan ekonomi khusus bagi negara tersebut, yang kenyataan dan pentingnya secara jelas dibuktikan oleh praktek yang telah berlangsung lama.
3.    Garis – Garis Pangkal Lurus Kepulauan (straight archipelagic base lines), titik awal zona maritim dalam hal ini ditetapkan dengan menghubungkan garis air terendah pada titik – titik terluar pada pulau – pulau dan karang kering suatu negara kepulauan. namun metode ini mensyaratkan bahwa : a. garis – garis pangkal lurus kepulauan harus meliputi pulau – pulau utama dari negara kepulauan, b. perbandingan antara luas wilayah perairan dan luas daerah daratan harus berkisar antara 1 : 1 sampai 1 : 9, c. panjang setiap garis pangkal tidak boleh melebihi 100 mil laut kecuali 3% dari jumlah seluruh garis – garis pangkal yang terbentuk tidak lebih dari 125 mil laut, d. garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan tersebut, e. garis tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut kecuali : 1). diatasnya telah dibangun mercusuar atau instalasi serupa yang secara tetap berada di atas permukaan laut, atau 2). elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat, f. garis pangkal demikian tidak boleh memotong laut teritorial negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.
Dalam UNCLOS 1982 juga diatur bahwa penetapan batas terluar untuk setiap zona maritim dapat dilakukan secara unilateral dengan menggunakan garis – garis pangkal sebagai titik awal pengukuran. Namun apabila ternyata tidak mungkin untuk dilakukan klaim sesuai batas maksimum yang diperbolehkan, maka perlu ditetapkan (secara bersama dengan negara tetangga) garis – garis batas yang zona maritimnya berbatasan / bersinggungan atau tumpang tindih.
    Selain perkenalan terhadap ketiga bentuk penentuan garis batas tersebut, UNCLOS 1982 juga mengatur garis – garis batas yang lebih spesifik pada zona – zona tertentu yaitu :
1.    Garis Batas Laut Teritorial.
    Ketentuan mengenai penarikan dan penetapan garis batas laut teritorial baik bagi negara – negara yang pantainya berdampingan atau berhadapan diatur dalam Pasal 15 UNCLOS 1982 yang berbunyi : “Dalam hal dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun di antaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya di antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik – titiknya sama jaraknya dari titik – titik terdekat pada garis – garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing – masing negara diukur. Tetapi ketentuan di atas tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan di atas”. Ketentuan dalam pasal tersebut menunjukkan adanya beberapa pilihan dalam menarik dan menetapkan garis batas laut teritorial negara, yaitu : a. menggunakan metode garis tengah (median line), b. dengan cara lain apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain, dan c. dengan cara lain melalui persetujuan di anatar negara – negara yang berkepentingan.
2.    Garis Batas ZEE atau Landas Kontinen
    Pasal 74 dan Pasal 83 UNCLOS 1982 mengatur tentang penetapan batas ZEE maupun Landa Kontinen antara negara – negara yang secara geografis berdampingan ataupun berhadapan. Ketentuan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
(1)    Penetapan batas ZEE dan Landas Kontinen, antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan (antara negara – negara yang berkepentingan) atas dasar hukum internasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapati suatu penyelesaian yang adil.
(2)    Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara – negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV.
(3)    Sambil menunggu suatu persetujuan seperti ditentukan dalam ayat (1), negara – negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pegertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis, dan selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan.
(4)    Dalam hal adanya persetujuan yang berlaku antara negara – negara yang bersangkuran, maka masalah yang bertalian dengan penetapan batas ZEE / Landas Kontinen, harus ditetapkan dengan ketentuan persetujuan itu.
    Dengan berbagai ketentuan aturan dalam UNCLOS 1982 di atas, dapat dilihat bahwa penetapan garis batas (laut teritorial dan zona maritim) suatu negara harus dilakukan dengan persetujuan (kerjasama) negara yang berkepentingan. Dengan kata lain, penetapan tersebut bukanlah suatu tindakan secara unilateral. Rasa persahabatan antar negara dituntut untuk diutamakan dalam kerjasama penerapan garis batas zona maritim agar tercapat keadilan / keseimbangan yang memuaskan semua pihak. Namun dalam praktek prinsip persahabatan dan hidup bertetangga yang baik tidak selalu tercapai dalam penetapan batas tersebut sehingga melahirkan persengketaan wilayah .
    Penyelesaian sengketa dalam bidang hukum laut sebelum UNCLOS 1982 dilakukan dalam kerangka penyelesaian sengketa internasional pada umumnya, yaitu sengketa diselesaikan melalui mekanisme – mekanisme dan institusi – institusi peradilan internasional yang sudah ada. 
    UNCLOS 1982 mengarahkan negara – negara untuk segera menyelesaikan sengketa yang berhubungan dengan laut. Negara – negara tidak dapat lagi menunda penyelesaian sengketa dengan bersembunyi di balik kedaulatan negara. Suatu negara dapat menunda penyelesaian sengketa bila negara lain yang terlibat dalam sengketa setuju untuk penundaan tersebut. Jika tidak ada persetujuan demikian, maka mekanisme prosedur memaksa (compulsory procedure) dalam UNCLOS 1982 harus diberlakukan.
B. Sarana Penyelesaian Sengketa Batas Maritim dalam Kerangka UNCLOS 1982
    Seperti yang disinggung di atas, bahwa negara – negara yang menghadapi sengketa diharuskan menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi dalam ketentuan yang diharuskan UNCLOS 1982. Untuk itu, Pasal 287 UNCLOS 1982 mengatur tentang alternatif dan prosedur penyelesaian sengketa bagi negara – negara yang berhubungan dengan wilayah atau zona kelautan. Ada dua bentuk alternatif penyelesaian sengketa dimana negara – negara diberi kebebasan memilih bentuk penyelesaian mana yang mereka anggap paling tepat dalam sengketa yang dihadapi. Adapun bentuk alternatif penyelesaian sengketa dalam kerangka UNCLOS 1982 adalah :
1.    Penyelesaian Sengketa Secara Damai.
    Dalam perspektif ini, UNCLOS 1982 mewajibkan negara – negara menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka dengan merujuk pada ketentuan Pasal 3 ayat (2) Piagam PBB. Di sini negara – negara diberi kebebasan untuk memilih bentuk prosedur penyelesaian sengketa dengan menggunakan sarana – sarana penyelesaian sengketa sebagaimana diatur pada Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB. Sekalipun demikian, ketentuan dalam Pasal 33 Piagam PBB tidak meniadakan kemungkinan para pihak untuk memilih bentuk penyelesaian sengketa secara damai lainnya sepanjang para pihak sepakat untuk itu.
    Jika cara dan prosedur yang ditentukan pada Pasal 33 Piagam PBB tidak mampu menyelesaikan sengketa di antara para pihak, maka salah satu pihak dapat mengundang pihak lainnya untuk mengadakan prosedur konsiliasi. jika prosedur ini disetujui para pihak, masing – masing pihak akan memilih dua konsiliator dari negara – negara peserta konvensi kemudian ditambah masing – masing satu konsiliator dari negara yang terlibat sengketa. Keseluruhan konsiliator ini akan memilih konsiliator kelima yang akan bertindak sebagai Ketua. Panel konsiliasi akan bertugas selama satu tahun untuk melakukan dengar pendapat, membuat laporan pelaksanaan konsiliasi dan membuat rekomendasi – rekomendasi untuk penyelesaian sengketa tersebut. Laporan dan rekomendasi yang dihasilkan oleh Panel Konsiliasi tidak otomatis mengikat para pihak yang bersengketa sebab keputusan akhir diterima atau tidak diterimanya rekomendasi Panel dalam menyelesaikan sengketa ada pada negara – negara yang menghadapi sengketa.  Artinya, penerimaan rekomendasi Panel harus dinyatakan secara tegas secara bersama oleh para pihak yang bersengketa. Apabila satu pihak menerima dan pihak lain tidak menerima, maka rekomendasi Panel tidak dapat dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa.
    Suatu prosedur penyelesaian sengketa secara damai dapat dikatakan berhasil adalah apabila para pihak yang terlibat sengketa secara bersama – sama menyatakan menerima dan puas akan hasil rekomendasi atau keputusan prosedur penyelesaian sengketa yang dilakukan.
2.    Penyelesaian Sengketa Dengan Prosedur Wajib (Compulsory Settlement)
    Dalam hal tidak tercapai suatu kesepakatan dalam penyelesaian sengketa secara damai, maka para pihak dapat menggunakan prosedur wajib yang menghasilkan keputusan yang mengikat. Bab XV khususnya Pasal 287 UNCLOS 1982 menyediakan empat forum yang dapat dipilih untuk penyelesaian sengketa yaitu :
a.    International Tribunal For The Law Of The Sea (ITLOS).
b.    International Court of Justice (ICJ).
c.    Arbitral Tribunal.
d.    Special Arbitral Tribunal.
    ITLOS adalah badan peradilan independen yang dibentuk oleh UNCLOS. Badan ini ditujukan untuk mengadili sengketa – sengketa yang lahir dari pelaksanaan maupun penafsiran ketentuan – ketentuan dalam UNCLOS.  Berdasarkan statutanya, ITLOS dapat membentuk Chamber untuk menangani bidang – bidang tertentu yang disengketakan. Saat ini ada beberapa Chamber yang telah dibentuk yaitu : a. the Chamber of Summary Procedure, b. the Chamber of Fisheries Disputes and the Chamber for Environment Disputes, c. Special Chamber Concerning the Conservation and Sustainable Exploitation of Swordfish Stock In The south Eastern Pacificc Ocean, dan d. Seabed Disputes Chamber. Tribunal ini terbuka bagi semua negara anggota UNCLOS, dan di samping itu dalam kasus – kasus tertentu membuka kesempatan pada orang, badan hukum atau organisasi internasional mengajukan perkara ke hadapannya.  Yurisdiksi Tribunal tidak terbatas atas semua kasus yang berhubungan dengan pelaksanaan dan penafsiran ketentuan UNCLOS 1982 yag disampaikan padanya. Tribunal juga berwenang mengadili sengketa – sengketa yang lahir dari pelaksanaan perjanjian – perjanjian internasional yang secara tegas menyatakan ITLOS sebagai forum penyelesaian sengketa.
    ICJ adalah sarana peradilan yang dapat dipilih negara – negara dalam menyelesaikan sengketa, termasuk di bidang kelautan dengan cara litigasi sebelum terbentuknya ITLOS. ICJ dalam memutus perkara, termasuk dalam bidang Hukum Laut, tidak hanya menggunakan ketentuan dalam UNCLOS akan tetapi juga menggunakan ketentuan Hukum Internasional yang berkaitan dengan sengketa. Ketentuan Hukum Internasional tetap dipakai oleh ICJ dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan perbatasan karena Hukum Internasional masih banyak mengandung nilai – nilai kolonial.  Dengan kandungan demikian, nilai – nilai dan prinsip kolonial tersebut masih digunakan ICJ sebagai landasan dalam membuat keputusan, padahal secara faktual telah terjadi perubahan geopolitik dunia setelah era kolonial berakhir pada Abad XX yang sekaligus membawa perubahan pada nilai dan prinsip hukum. Salah satu indikasi atas putusan ICJ yang menggunakan nilai dan prinsip lama adalah atas kasus yang diajukan oleh Kamerun dan Nigeria mengenai pengaturan batas maritim di wilayah sekitar Semenanjung Bakassi tahun 2002.  Artinya, penggunaan perspektif yang kurang tepat oleh Hakim ICJ dalam mengadili sengketa pemilikan wilayah yang disampaikan ke Mahkamah adalah dengan pengutamaan penggunaan alasan dan kaedah hukum yang berakar pada era kolonial (dominasi Eropa atas wilayah dunia).

    Penyelesaian sengketa dengan menggunakan Arbitral Tribunal dan Special Arbitral Tribunal pada intinya adalah penyelesaian apabila para pihak yang bersengketa tidak sepakat / berhasil menyelesaikan sengketa secara damai seperti yang sudah dipaparkan terlebih dahulu.  Keterikatan para pihak yang bersengketa untuk memilih forum penyelesaian sengketa di atas, Boer Mauna menyebut : “Negara – negara pihak pada waktu menandatangani, meratifikasi, atau kapan saja, melalui suatu deklarasi dapat memilih badan – badan penyelesaian sengketa yang ada. Jika tidak ada deklarasi dimaksud maka negara pihak tersebut dianggap memilih Arbitrase.”  Artinya, negara – negara diberi kebebasan waktu untuk memilih forum penyelesaian sengketa baik sebelum atau sesudah sengketa timbul. Forum / sarana penyelesaian sengketa manapun yang dipilih, para pihak bersengketa dalam menyelesaikan sengketa dalam konteks UNCLOS, ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai pedoman penilaian pemilihan saran penyelesaian yaitu : a. mencapai tujuan untuk memelihara perdamaian, b. efektivitas penyelesaian sengketa, c. strategi dalam menyelesaikan sengketa, dan d. efisiensi waktu, biaya, dan upaya. Hal ini perlu ditekankan karena sekali satu sarana penyelesaian sengketa dipilih akan otomatis diikuti oleh konsekuensi yuridis dibelakangnya. Setiap negara dapat mengklaim hak berdaulatnya meskipun berdampingan negara lain, berdasarkan latar belakang sejarah penggunaan laut teritorialnya, lewat berbagai penyelesaian sengketa ini.
C.    Penyelesaian Sengketa Batas Maritim Dalam ITLOS Berdasarkan Kasus Bangladesh dan Myanmar Di Teluk Benggala.
1. Latar Belakang Sengketa
    Teluk Benggala ialah sebuah teluk yang terletak di bagian timur laut Lautan Hindia. Teluk ini terletak di barat Semenanjung Malaya dan barat India. Teluk ini terlihat seperti segitiga. Ini disebut Teluk Benggala karena di utaranya ada negara bagian India Benggala Barat dan negara Bangladesh. Teluk Benggala kaya akan sumber daya alam ( minyak dan cadangan gas) sehingga banyak negara yang ingin memilikinya untuk mengeksplorasi dan mengekploitasinya (menguasai). Dengan kata lain, eksplorasi dan eksploitas sumberdaya alam masih merupakan motivasi utama negosiasi batas maritim ini. Selama kurun waktu 5 tahun (2005 – 2010), India dan Myanmar (dikenal juga dengan Birma) secara ekstensif melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas di Teluk Bengal yang merupakan teluk tempat beberapa negara mengklaim wilayah maritim termasuk Bangladesh, India dan Myanmar. Oleh sebab itu muncullah sengketa batas laut maritim antara Myanmar dan Bangladesh. Mereka saling mengklaim bahwa Teluk Benggala merupakan wilayahnya.












Gambar 1.   
    Teluk Benggala sesuai gambar di atas terletak di Delta Benggala yang membentuk kurang lebih 60% garis pantai Bangladesh, dan dipercaya kaya akan kekayaan alam dan gas. Pada 1974, Bangladesh dan Myanmar telah membentuk sebuah Agreed Minutes yang pada intinya menyepakati batas laut teritorial antara keduanya, dan dipakai sampai saat sengketa diajukan ke tribunal. Pada tahun yang sama, Bangladesh juga telah membentuk kesepakatan dengan Myanmar dan India mengenai pengaturan tentang Zona Ekonomi Eksklusif. Sejak 1979 sampai 2005 ada sebuah Friendship Line yang disepakati oleh Bangladesh dan Myanmar tentang batas – batas ZEE dan Landas Kontinen mereka, yang selama kurun waktu tersebut setiap aktivitas yang dilakukan sesuai dengan prosedur yang disepakati. Namun seiring dengan perkembangan teknologi, kebutuhan akan gas dan sumber daya alam, serta adanya aktivitas konsesi gas alam yang semakin tinggi di antara kedua negara, maka sengketa pun tidak dapat dihindarkan.
    India juga memasukkan diri dalam sengketa ini, karena sebagian batas Teluk Benggala masuk dalam wilayah teritorial India di Pulau Andaman, dan India secara ekstensif melakukan konsesi gas terhadapnya. Negosiasi dengan pihak Bangladesh telah dilakukan sejak 1982, dan sampai 2008 telah melaksanakan pertemuan bilateral namun belum juga menemukan titik temu. Tidak dapat dihindarkan bahwa campur tangan India dalam sengketa ini akan menghasilkan masalah karena permasalahan hanya berada di tangan dua belah pihak. T. O. Elias berpendapat, permasalahan seperti ini sangat berkaitan dengan adanya hak dan kewajiban yang dilanggar yang berimplikasi pada pihak ketiga dalam sebuah perjanjian.









    Gambar 2
    Sengketa batas maritim berkepanjangan yang telah berusia sekitar 21 tahun antara Bangladesh dan Myanmar akhirnya dirundingkan kembali. Pertemuan-pertemuan terus dilakukan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Pertemuan berlangsung di Dhaka, ibukota Bangladesh selama dua hari tanggal 1-2 April 2008. Meski bisa dikatakan sebagai kemajuan dalam hubungan kedua negara dalam usaha menetapkan batas maritim, pertemuan tersebut berakhir tanpa hasil. Kedua negara yang bersengketa di Teluk Benggala tidak berhasil menyatukan pandangan sehingga tidak bisa menyepakati garis batas tunggal seperti yang diinginkan.
    India dan Myanmar telah menyepakati batas maritim dengan menggunakan metode garis ekuidistan yang memungkinkan kedua negara melakukan eksplorasi dan ekploitasi sumber daya di Teluk Benggala dengan lebih luas secara legal. Mengingat berakhirnya perundingan antara Bangladesh dan Myanmar yang tanpa keputusan, negosiasi dilanjutkan Juni 2008 di Yangon, ibukota Myanmar. Pada tanggal 3 November 2008, Bangladesh akan mengirimkan tim diplomatik ke Myanmar untuk berusaha memecahkan sengketa perbatasan, pada saat kapal-kapal kedua pihak berhadapan di lepas pantai perairan yang disengketakan di Teluk Benggala. Pertemuan lain dijadwalkan untuk menetapkan garis batas laut yang akan diselenggarakan di Dhaka, 16-17 November 2008. Bangladesh dan Myanmar menandatangani perjanjian untuk mempercepat penyelesaian semua masalah kedua negara, termasuk sengketa pengungsi di Bangladesh.
    Pada tanggal 8 November 2008, Bangladesh menyatakan akan menarik kapal-kapal perang yang dikirim ke Teluk Benggala apabila Myanmar, memberikan jaminan akan menghentikan eksplorasi di satu zona maritim yang disengketakan. Myanmar, yang menemukan cadangan besar gas alam di Teluk Benggala, menegaskan bahwa kegiatan eksplorasinya adalah sah. Ketegangan muncul ketika Myanmar mengirim kapal-kapal perang untuk mendukung kegiatan pengeboran sekitar 50 km selatan Pulau Saint Martin, Bangladesh. Bangladesh pun segera mengirim empat kapal perang ke daerah itu serta beberapa personel angkatan bersenjata untuk siaga menghadapi berbagai ancaman yang terjadi. Pada tanggal 12 November 2008, Pejabat Myanmar dan Bangladesh mengadakan pertemuan di New Delhi untuk membahas sengketa territorial di kawasan Teluk Benggala yang kaya minyak dan gas alam.
    Bangladesh, India, dan Myanmar merupakan negara peratifikasi UNCLOS 1982. Pada 8 Oktober 2009, Bangladesh secara resmi mengajukan sengketa Teluk Benggala ini dengan cara arbitrase melawan Myanmar dan India. India kemudian menyatakan setuju terhadap cara penyelesaian sengketa demikian. Myanmar pada 4 November 2009 dan Bangladesh 12 Desember 2009 secara resiprokal menyepakati bahwa klaim ini akan dibawa ke ITLOS.
    Kasus antara Bangladesh dan Myanmar menjadi kasus delimitasi batas maritim pertama yang ditangani oleh Tribunal. Sebelumnya Tribunal telah menerima dan menyelesaikan 15 kasus di bidang hukum laut internasional. Myanmar menjadi negara anggota ASEAN pertama yang sepakat dan memilih untuk menyelesaikan sengketa batas maritimnya melalui jalur mahkamah internasional. Sebagai catatan, beberapa negara ASEAN pernah bersengketa di mahkamah Internasional terkait masalah kelautan dan kedaulatan, namun tidak pernah terkait batas maritim. Sebagai contoh adalah Malaysia dan Singapura yang pernah bersengketa di Tribunal tentang reklamasi pantai Singapura dan di Mahkamah terkait kedaulatan beberapa karang dan elevasi surut di Selat Singapura.
    Mandat tribunal dalam kasus ini adalah untuk menentukan batas – batas laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas Kontinen, termasuk yang melebihi 200mil laut. Berdasarkan mandat tersebut, maka tribunal mulai melakukan eksaminasi atas bukti – bukti yang diajukan kedua belah pihak.
2. Yurisdiksi, Hukum Yang Dipakai, serta Putusan ITLOS
    Putusan ITLOS penting yang paling pertama harus dibahas adalah bagaimana ITLOS menyikapi pertentangan yurisdiksi yang dikehendaki oleh kedua belah pihak terhadap ITLOS. Bangladesh yang berpendapat bahwa ITLOS diberikan yurisdiksi untuk menentukan batas laut teritorial, ZEE, dan Landas Kontinen sampai 200 mil laut berdasarkan UNCLOS 1982 Pasal 15, 74, 76, dan 83 ditentang oleh Myanmar dengan berpendapat bahwa ITLOS tidak berhak menentukan batas Landas Kontinen sampai 200 mil laut. ITLOS berpendapat bahwa dalam kesepakatan awal kedua belah pihak, ITLOS diberikan yurisdiksi untuk menentukan sesuai mandat yang telah disebutkan di atas, oleh karena itu pada intinya menerima pendapat Bangladesh, dan menolak pendapat Myanmar.
    Hukum yang dipakai oleh ITLOS adalah berdasarkan Pasal 23 Statuta ITLOS yang menyatakan bahwa tribunal akan memakai semua hukum internasional yang diperlukan untuk menentukan segala sesuatu yang berkaitan dengan Pasal 293 UNCLOS 1982.
    ITLOS dalam menentukan batas laut teritorial memutuskan bahwa akan memeriksa Agreed Minutes yang telah disepakati kedua belah pihak pada 1974 dan 2008. Perdebatan awal pada saat pelaksanaan kasus ini adalah bagaimana kedua belah pihak mempertahankan pengertian Agreed Minutes tersebut. Bangladesh berpendapat bahwa Agreed Minutes bersifat mengikat secara hukum sedangkan Myanmar berpendapat sebaliknya. Perdebatan ini dengan mengajukan Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Perdebatan kemudian berlanjut pada keabsahan diplomat para pihak yang mewakili pada saat dibuat Agreed Minutes tersebut dimana Myanmar kesemua pihak tidak memiliki full powers yang sah dalam menyusun sebuah perjanjian internasional. Tribunal berpendapat bahwa Agreed Minutes yang dihasilkan tersebut adalah sah dan mengikat karena yang diperhatikan adalah isi dan materi pembahasannya, bukan pada bentuk atau pembentukannya. Masalah penggunaan sebuah perjanjian internasional bukanlah terikat pada bagaimana perjanjian tersebut dibentuk, namun kekuatan mengikat atas isi materi perjanjian tersebut.
    Perdebatan selanjutnya adalah tentang bagaimana pelaksanaan Agreed Minutes itu sendiri. Bangladesh berpendapat bahwa mereka telah melaksanakan perjanjian tersebut dengan mengijinkan kapal laut Myanmar untuk menggunakan hak lintas damai dalam laut teritorial sesuai yang disepakati dalam perjanjian tersebut, juga sekaligus telah mengadakan patroli laut secara berkelanjutan dan memiliki nelayan – nelayan yang melakukan penangkapan ikan secara aktif. Namun Myanmar berpendapat Bangladesh tidak melaksanakan secara de facto tentang pengelolaan dalam laut teritorial yang disepakati tersebut, oleh karena itu laut teritorial yang disepakati dalam perjanjian tersebut tidak dapat disahkan. Dalam perdebatan ini, Tribunal memutuskan bahwa bukti – bukti yang diajukan oleh Bangladesh tidaklah de facto karena hanya berdasarkan kesaksian semata, dan tidak menunjukkan adanya bukti – bukti hukum yang faktual terkait keberadaan patroli laut dan nelayan – nelayan tersebut sebagai bentuk hukum yang tetap, sehingga persetujuan mengenai laut teritorial tersebut dinyatakan tidak sah. Pelaksanaan perjanjian tersebut adalah hal yang rumit namun sederhana, karena perdebatan pelaksanaannya bukanlah pada pengajuan bukti, namun hal – hal yang terjadi di lapangan.  Tribunal kemudian menentukan batas laut teritorial antara kedua belah pihak dengan menggunakan pasal 15 UNCLOS 1982, namun memperhatikan terlebih dahulu latar belakang historis serta beberapa keadaan khusus dalam area tersebut seperti keberadaan pulau St.Martin. Setelah mempertimbangkan berbagai hal tersebut, diputuskan bahwa laut teritorial akan dibatasi dengan menggunakan metode equidistan line.
    Pelaksanaan sebuah perjanjian sangat mutlak diikuti oleh keinginan kedua belah pihak untuk secara berkelanjutan mengaplikasikan isi perjanjian, dengan segala kemungkinan menghindari sengketa yang dapat muncul di kemudian hari. Apabila kemudian muncul sengketa, maka isi dari perjanjian tersebut menjadi pertimbangan kuat di atas bentuk dan tanggal disetujui perjanjian.
    Putusan ITLOS dapat dilihat pada gambar berikut.




Gambar 3.
    Dalam menentukan batas ZEE dan Landas Kontinen, tribunal dengan persetujuan kedua belah pihak memakai metode single delimitation line atau garis batas tunggal meskipun UNCLOS 1982 memakai metode lain, namun berdasarkan praktik dunia internasional (dari pandangan Bangladesh yang kemudian disetujui oleh Myanmar) pemakaian single maritime boundary atau batas maritim tunggal sudah diakui untuk menentukan kedua zona tersebut. Dasar hukum yang dipakai untuk menentukan garis batas tunggal untuk ZEE dan Landas Kontinen pada sengketa ini adalah berdasarkan Pasal 74 dan 83 UNCLOS 1982 yang pada dasarnya memiliki kesamaan isi namun berbeda dalam tujuan penggunaannya semata. Seperti disebutkan pada Pasal 74 yang mengakui keberadaan Pasal 38 Statuta ICJ yang didalamnya juga mengakui keberadaan aturan internasional lain dalam pengaturan semacam ini, maka hukum kebiasaan internasional dianggap tribunal sebagai salah satu aturan hukum internasional yang dapat dipakai untuk menentukan garis batas tunggal tersebut untuk mendapatkan solusi yang terbaik. Tribunal memakai putusan pada kasus “Arbitration between Barbados and the Republic of Trinidad and Tobago, relating to the delimitation of the exclusive economic zone and the continental shelf between them, Decision of 11 April 2006, RIAA, Vol. XXVII, p. 147, at pp. 210-211, para. 223” , bahwa keberadaan hukum kebiasaan internasional diakui untuk membantu berbagai persoalan yang terkait dengan penentuan batas kedaulatan bersama – sama dengan aturan hukum internasional dan putusan – putusan pengadilan lainnya.
    Dalam proses penentuan garis batas tunggal dengan menggunakan hukum kebiasaan internasional, tribunal memakai prinsip “the land dominates the sea through the projection of the coasts or the coastal fronts” atau tanah yang mendominasi laut lewat proyeksi pantai atau pantai terluar. (Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine), Judgment, I.C.J. Reports 2009, p. 61, at p. 89, para. 77), dan juga sesuai dengan putusan ICJ dalam North Sea Case yang menyatakan “the land is the legal source of the power which a State may exercise over territorial extensions to seaward” atau tanah adalah sumber hukum untuk memperoleh kekuatan mengikat dimana negara dapat memakainya untuk mendapatkan perpanjangan wilayah sampai ke daerah laut. (North Sea Continental Shelf, Judgment, I.C.J. Reports 1969, p. 3, at p. 51, paragraph 96) . Putusan akhir tribunal adalah dengan menetapkan bahwa rasio perbandingan pantai adalah 1 : 1.42 untuk Myanmar. Gambar hasil putusan tribunal dapat dilihat sebagai berikut.



Gambar 4

    Metode penetapan batas ZEE dan Landas Kontinen yang ditetapkan tribunal dalam kasus ini adalah dengan memakai metode equidistance / relevant circumstances method dengan mengemukakan berbagai yurisprudensi yang sudah ada sebelumnya dalam ICJ dengan mengingat bahwa sengketa ini merupakan sengketa pertama tentang penentuan batas maritim yang ditangani ITLOS. Penentuan selanjutnya merupakan penentuan teknis secara geodesi berdasarkan metode yang telah ditentukan tersebut.
    Tribunal dalam putusannya menetapkan bahwa mereka memiliki yurisdiksi dalam mengadili perkara tentang Landas Kontinen yang melebihi 200 mil laut, dengan memperhatikan Pasal 76 UNCLOS 1982 tentang konsep landas kontinen tunggal yang berkaitan dengan dengan Pasal 77 UNCLOS 1982 tentang negara mendapatkan hak berdaulat atas landas kontinen sepanjang 200 mil laut dan sampai melebihinya. Pasal 83 UNCLOS 1982 juga menegaskan bahwa hak berdaulat tersebut tidak mendapatkan pembedaan apabila memiliki negara pantai lain yang berdekatan (adjacent coasts). Dengan konsep landas kontinen tunggal pada Arbitration between Barbados and Trinidad and Tobago (Putusan 11 April 2006, RIAA, Vol. XXVII, p. 147, at pp. 208-209, para. 213), maka tribunal berpendapat bahwa yurisdiksi untuk menerapkan hukum terhadap landas kontinen tidak terbatas pada landas kontinen bagian dalam saja, namun juga termasuk pada bagian luarnya karena landas kontinen dianggap merupakan satu kesatuan yang utuh, oleh karena itu tribunal diberikan hak untuk menerapkan hukum atas landas kontinen yang melebihi 200 mil laut. Penolakan Myanmar atas hak Bangladesh akan landas kontinen yang melebihi 200 mil laut ditolak oleh tribunal dengan alasan telah ditetapkan terlebih dahulu saat diputuskan tentang ZEE dan Landas Kontinen di atas. Penetapan yurisdiksi, pengertian, serta pengukuran landas kontinen melebihi 200 mil laut selanjutnya ditetapkan tribunal dengan memperhatikan berbagai keputusan ICJ, arbitrase, dan komisi – komisi yang telah ada terlebih dahulu seperti Arbitration between Barbados and the Republic of Trinidad and Tobago (Decision of 11 April 2006, RIAA, Vol. XXVII, p. 147, at p. 209, para. 217), Territorial and Maritime Dispute between Nicaragua and Honduras in the Caribbean Sea (Nicaragua v. Honduras), Responsibilities and obligations of States sponsoring persons and entities with respect to activities in the Area (Request for Advisory Opinion submitted to the Seabed Disputes Chamber), 1 February 2011, para. 57), Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional khususnya Pasal 33, dan International Seabed Authority, agar penetapan batas landas kontinen tersebut tidak merugikan pihak yang permohonannya ditolak sehingga putussan ini memperoleh kekuatan mengikat sesuai dengan Pasal 33 paragraf 2 Statuta ITLOS yang menyatakan bahwa putusan ITLOS hanya mengikat apabila tidak merugikan pihak yang permohonannya ditolak.
D. Putusan ITLOS tentang Sengketa Batas Maritim Bangladesh dan Myanmar Dalam Hubungan Dengan Perlindungan Wilayah Laut Di Indonesia.
    Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas dengan berbatasan dengan banyak negara tetangga yang juga memiliki pantai, baik yang berhadapan maupun yang berdampingan. Dalam perlindungan wilayah laut di Indonesia, potensi munculnya sengketa dengan berbagai negara tetangga tersebut akan sangat dimungkinkan mengingat hukum internasional mengakui adanya hak berdaulat atas wilayah laut . Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Indonesia dalam mengantisipasi potensi sengketa wilayah laut sebagai bentuk perlindungan adalah :
1.    Perlindungan wilayah laut harus dilakukan berdasarkan UNCLOS 1982, dimana Indonesia termasuk negara peratifikasi konvensi tersebut. Pengetahuan yang mendalam tentang pengaturan terhadap wilayah laut serta hak – hak yang diperoleh oleh sebuah negara lewat UNCLOS 1982 adalah mutlak diperlukan dengan melibatkan berbagai pihak dan ahli.
2.    Ketika berhadapan dengan negara pantai yang lain yang berdekatan ataupun berhadapan dengan wilayah kedaulatan Indonesia di laut, maka perlu diadakan perundingan pembuatan perjanjian internasional yang tepat. Perwujudan atau realisasi hubungan – hubungan internasional dalam bentuk perjanjian internasional sudah sejak lama dilakukan oleh negara – negara di dunia ini.  Banyak perjanjian bilateral mempunyai persamaan yang paling dekat dengan kontrak – kontrak pribadi yang dibuat oleh perorangan – perorangan, sehingga kehati – hatian sangat diperlukan dengan memperhatikan kepentingan nasional negara.
3.    Dalam menyusun sebuah perjanjian bilateral terkait masalah perbatasan, perlu diperhatikan adanya keterlibatan pihak ketiga. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi ketika ada hak – hak tertentu dari pihak ketiga dilanggar akibat dibuatnya perjanjian bilateral tersebut. Negara pihak ketiga memiliki kekuatan diplomatik yang sah untuk melibatkan diri dalam perjanjian tersebut khususnya masalah kedaulatan negara.
4.    Pemilihan sarana penyelesaian sengketa yang tepat sangat menentukan eksistensi wilayah laut Indonesia. Negosiasi adalah sarana penyelesaian sengketa yang mutlak harus dilakukan terlebih dahulu untuk menghindari sengketa yang berkepanjangan. Namun demikian, sengketa yang terkait dengan masalah kedaulatan atas wilayah laut biasanya diselesaikan lewat ICJ, mengingat ICJ telah memiliki begitu banyak yurisprudensi yang terkait dengan masalah kedaulatan. Untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang lebih khusus menangani masalah delimitasi maritim, maka hendaknya ITLOS merupakan saran yang paling tepat dengan memperhatikan efisiensi waktu serta ketepatan penggunaan hukum yang dipakai dalam menyelesaikan sengketa.
5.    ITLOS dalam menyelesaikan sengketa memakai berbagai yurisprudensi serta hukum kebiasaan internasional yang ada. Pengetahuan yang komprehensif akan berbagai kasus yang telah ada sangat membantu mempertahankan materi pembelaan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa.
6.    Penetapan Batas Zona Maritim Laut oleh ITLOS tidak terpaku pada satu metode saja, namun memperhatikan bukti – bukti semerta pemeriksaan fakta serta kondisi laut, beserta dengan perjanjian internasional yang telah dibuat yang terkait dengan zona – zona maritim yang dimaksud. Dalam kasus ini, Laut Teritorial memakai metode equidistan line serta ZEE dan Landas Kontinen dengan single delimitation line dan relevant circumstances method.